Aku terdiam sejenak. Netraku masih memperhatikan wajah dalam tangkapan awal file video di depanku ini.Itu benar adikku. Nakula Prathayuda. Segala tanya memenuhi kepalaku. Jariku sampai gemetar dibuatnya.Kutarik napas dalam-dalam. Kemudian kuhembuskan perlahan. Berkali-kali kulakukan, hingga kurasa cukup tenang. Jari tanganku pun tidak segemetar tadi.Dengan segenap kekuatan dan keberanian. Akhirnya jariku tergerak, untuk menekan file video itu.Klik!Netraku membeliak. Jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Rasanya hampir keluar dari tempatnya. Nakula dengan Kharisma?Nakula tidak bertelanjang dada, tapi dia ternyata tak memakai sehelai benang pun. Begitu juga dengan si perempuan.Nafasku terasa sangat memburu. Netraku memanas dibuatnya. Tenggorokanku tercekat.Nakula menggau*i kakak iparnya sendiri.Aku menurunkan laptop dari pangkuan. Menarik kaki dan memeluk kedua lutut. Menyaksikan video itu berputar.Desahan serta racauan terdengar jelas dari video lakn*t itu. Bagaimana merek
*****Duduk di teras balkon, seraya menyesap rokok yang terapit di sela jari tangan. Entah sudah berapa banyak rokok yang kusesap sepagi ini. Juga entah berapa banyak gelas kopi yang kuhabiskan.Sudah dua minggu, aku di rumah. Urusan kafe, kuserahkan penuh pada karyawan. Entah kemana semangat kerja yang selama ini selalu menggebu dalam jiwaku. Semuanya hancur. Semua melebur. Setelah bukti permainan gila Kharisma dan Nakula terkuak.Setelah kutelusuri kembali. Ternyata memang hanya ada satu video menjijikan Kharisma bersama Nakula. Tidak sebanyak video Kharisma bersama Guntur. Meski hanya satu, tapi mampu menghancurkan hidupku.Dua minggu, aku menghabiskan waktu di rumah bersama Davina. Hanya senyum dan kelucuannya pelipur luka ku saat ini. Hanya kepolosan dan keceriaan tawa dari Davina yang bisa membuatku, sejenak melupakan kebej*tan Mamanya.Walau setelah melihat video Kharisma bersama Nakula, terbersit dalam pikiranku. Apakah Davina benar darah dagingku? Ataukah Davina, merupakan be
Tiba di barber shop langganan. Aku segera melakukan perawatan khusus pria. Rambut serta wajahku segera mendapatkan pelayanan.Selesai dari barber shop ini. Aku akan menemui Alwina, lalu mengecek gedung pernikahan Nakula.Wajahku telah mendapatkan perawatan. Telihat sedikit segar dan tidak lagi kusam seperti tadi. Begitu juga rambutku yang telah dipangkas dan sudah rapi.Jika ditelisik. Tidak ada yang kurang dari diriku. Wajahku rupawan. Fisikku juga tinggi tegap berkulit putih. Aku juga pebisnis handal. Tapi kenapa, nasibku harus seperti ini? Mengenaskan. Orang-orang terdekat, justru mengkhianati tanpa ragu.Kuhela napas panjang. Urusan di barbershop telah selesai. Aku langsung meluncur menuju rumah Alwina. Tapi sebelum itu, aku sempatkan mengambil menu makanan siang dari kafe. Karena sebentar lagi, sudah masuk jam makan siang, dan Alwina pasti pulang ke rumahnya.*****Sampai di halaman depan rumah Alwina, dan baru saja mematikan mesin mobil. Nampak sedan merah milik Alwina pun masuk
Kupasang seat belt di kursi kemudi. Setelah selesai, lekas kutancap gas, membelah jalanan menuju gedung pernikahan adik semata wayang ku akan dilaksanakan. Menyusul rombongan seserahan dari pihak keluargaku.Kerabat dari almarhum Ayah, yang kesemuanya tinggal di Jakarta. Serta kerabat dari Ibu yang menetap di Tangerang. Malam tadi, tiba di rumah Ibu. Lalu pagi ini, semuanya berangkat menuju gedung pernikahan, sebagai pengantar calon mempelai pria.Setelah melalui perdebatan panjang dengan Ibu di rumahnya sebelum ini. Akhirnya, Ibu setuju untuk tetap di rumah. Aku berpura-pura akan menggantikan Ibu di pesta nanti. Aku yang akan menjadi wakil Ibu di pesta pernikahan bungsunya.Aku meyakinkan pada Ibu, kalau pesta akan berjalan lancar hingga akhir. Padahal, entah pesta itu akan terlaksana atau tidak. Karena aku sudah menyusun rencana, untuk mengacaukan semuanya, sesaat sebelum akad nikah dimulai.Tiga hari sebelum hari ini tiba. Aku menukar isi dari botol obat yang dikonsumsi oleh Ibu se
Video masih berputar. Nakula berbalik kembali. Wajahnya pucat. Persi mayat yang siap dikuburkan.Aku kembali melihatnya di sana. Bagaimana Nakula menggerakkan pinggulnya dengan liar dan penuh nafsu, saat mengga*li kakak iparnya sendiri. Tangannya mencengkram erat, pinggul si wanita yang tengkurap di ujung tempat tidur.Semua orang di sini pun, menjadi saksi, bagaimana bej*tnya kelakuan sang calon pengantin itu.Video masih berlanjut. Memperlihatkan bagaimana Kharisma begitu menikmati permainan lelaki di belakangnya itu. Mereka saling mendesah. Hingga akhirnya mencapai klimaks dari permainan panas mereka.Video berakhir.BRUKKK!"PAPAAAA!" Kulihat tubuh Pak Ken ambruk. Dengan tangan memegangi dadanya. Diikuti teriakan panik dari sang istri yang kini berjongkok, di samping tubuh sang suami.Suasana riuh. Bisik-bisik terengar di kiri dan kananku. Terdengar mereka tak percaya dan menyayangkan adanya video itu.Kulihat, keluarga lain dari Karina, tergopoh-gopoh mendekat pada tubuh Pak Ken
Kemudian dia berlari ke arah pelaminan. Membanting kursi yang harusnya dia duduki sebagai raja sehari di pestanya ini. Dia mengambil dengan kasar, lalu melempar hiasan-hiasan bunga dekor di pelaminannya hingga berantakan.Nakula mengamuk. Dan aku membiarkannya."AARRRGGGG! Siapa yang sudah berani mengacaukan acara pernikahankuuu?"Lagi-lagi dia berteriak. Seiring dengan tubuhnya yang luruh ke bawah. Kali ini di atas pelaminannya. "Siapaaaaa?" teriaknya kembali.Aku melangkah menjauhi kursi tempatku duduk sejak tadi. Tanpa ragu, aku melangkah menuju ke atas pelaminan. Mengarah pada adik semata wayangku yang tengah gundah dan kacau."AKU!" ucapku lantang, setelah berada agak dekat di hadapannya.Rasanya aku pun tak mau lagi menjadi abang untuknya. Dia terlalu bej*t untuk menjadi seorang adik bagiku.Nakula mendongakkan kepalanya. Hingga dia menatapku. Mulutnya membulat. Perlahan dia pun bangkit dari posisinya yang terduduk tak berdaya."Bang Dewa," ujarnya lirih.Dengan langkah terseok,
"Elo tega, Bang!" desis Nakula tepat di telingaku.Dapat kudengar teriakan orang-orang yang masih berada dalam gedung ini. Orang-orang yang menyaksikan perdebatanku dengan Nakula sejak tadi.Orang-orang yang secepat kilat mendatangiku dan Nakula. Dengan sigap seseorang mendekat dan menahan tubuhku yang hampir limbung. Aku pun masih dapat melihat Nakula yang dijauhkan paksa dariku dan berontak.Aku merasakan perih tak terkira di perut bawah.BREETT!Kucabut pisau berlumur darah segar yang Nakula tancapkan tadi. Mataku berkunang-kunang melihat pisau serta tangan berlumur darahku sendiri."DEWAAAA!"Suara teriakan Alwina, merupakan hal terakhir yang aku ingat. Sebelum kesadaranku akhirnya hilang.*****Aku membuka mata perlahan. Bau obat-obatan khas rumah sakit menusuk hidung. Cahaya lampu di langit-langit ruangan, menyorot penglihatanku setelah aku berhasil membuka mata dengan sempurna."Dewa?"Aku melirik ke samping. Ada Alwina dan Om Frans—suami Tante Rum."Syukurlah kamu sudah siuman
Om Frans menepuk pelan bahuku, memberiku kekuatan."Jadi, Kharisma itu tukang selingkuh, Wa?" tanya Om Frans lagi."Lebih dari itu, Om. Dia murahan. Dia ... gila se*s." Aku mendecih. Menggelengkan kepala kuat-kuat. Kelebat bayangan pengkhianatannya dengan Guntur. Juga adegan panasnya dengan Nakula. Membuat hatiku kembali digurat sembilu.Om Frans manggut-manggut. "Om ngerti. Semua pasti menyakitkan buat kamu, Wa! Om tahu, kamu marah. Kamu kecewa. Kamu terluka, Wa. Sampai kamu memilih melakukan itu semua di acara adikmu," ujar Om Frans."Iya, Om. Dewa hancur mengetahui itu semua. Meski akhirnya Dewa terluka seperti ini. Tapi, Dewa puas. Sudah membuat Nakula dan Karina hancur di acara pernikahan mereka. Dan pernikahan itu batal!" ucapku."Iya. Hanya kepuasan yang kamu dapat. Tapi nggak ada kebaikan yang kamu dapatkan. Kamu tahu? Pak Ken, dinyatakan meninggal saat diperiksa begitu sampai di rumah sakit. Nyawanya ngga tertolong. Dia punya riwayat penyakit jantung. Kemungkinan dia sudah me
Satu setengah tahun kemudian…...Aku berdiri di depan pagar rumahku. Menatap bangunan dua lantai yang ada di seberang rumah ini.Bangunan yang sudah satu tahun terakhir, menjadi kaffe baru milik Dewa.Setelah melalui perundingan dan pemikiran yang matang. Aku dan Dewa akhirnya mencapai kesepakatan.Aku resmi keluar dari Gwyna Group. Aku menjual saham serta kantor itu pada adik iparku. Juga rumah mewah peninggalan Mas Guntur pun, telah aku jual.Aku dan Dewa sepakat. Akan memulai hidup baru. Benar-benar baru. Tanpa sedikitpun jejak masa lalu.Begitu juga dengan Dewa. Empat bangunan kaffe miliknya, berhasil ia jual dengan harga tinggi.Dia lalu memilih bangunan rumah di seberang rumah kami, untuk dijadikan caffe miliknya.Dewa memulai bisnis kafe dari awal lagi. Bahkan dari nol. Kafe dengan nama baru, akan tetapi dia masih memperkerjakan Haris, orang kepercayaannya di kafe yang lama.Dia memilih membangun kafe di seberang rumah ini, agar dia tak perlu lagi meninggalkan keluarga kecil
*********Aku melakukan apa yang Dewa inginkan. Dia telah melucuti celana training yang dipakainya. Kedua tanganku, bergerak menyentuh lalu menggenggam pusaka miliknya. Bergerak mengurut dari ujung hingga pangkal. Setelahnya, lantas meremas bagian pangkalnya. Hingga pusaka itu mulai menggeliat untuk berdiri.Dewa menegakkan tubuhnya cepat, untuk melepas kaos oblong yang melekat. Hingga sekarang, tubuh atasnya telah polos. Dewa kembali membungkuk lalu menyambar kembali bibirku. Kedua tangannya, mencoba menarik baju yang masih menutupi tubuhku. Hingga sampai di bagian dada, kami melepas cumbuan kami sejenak, agar bajuku terlepas.Kami melanjutkan cumb*an yang terhenti. Dewa dengan tubuhnya yang sudah polos, dan tubuh atasku yang hanya terbalut bra.Entah kenapa, cumb*an sore ini, terasa begitu panas. Kulit tubuh bagian atas tubuh kami, saliing bersentuhan. Tak ada jarak.Dewa menurunkan cumb*annya ke leher, lalu kedua bahuku yang polos. Turun ke bagian dada. Dan membuatku cukup terlena.
Pagi ini, aku tidak bangun terlambat lagi. Jam lima pagi, aku sudah berkutat di dapur. Menyiapkan sarapan untuk Naga dan juga aku. Sementara Dewa, dia hanya meminta untuk dibuatkan roti kupas isi selai seperti biasa. Tak ketinggalan, segelas cappucino hangat sebagai teman rotinya.Aku tengah membuat sup ayam. Juga nasi yang sudah kutanak menggunakan magic com. Aku memang membiasakan Naga untuk langsung makan nasi saat sarapan.Aku mematikan kompor. Saat sup ayam buatanku sudah mendidih dan matang. Aku menuangkan sedikit kuahnya pada sendok, lalu mencicipinya. Dan rasanya, selalu pas.Selesai membuat sup ayam. Lantas aku menanak air dalam panci kecil. Untuk menyeduh cappucino pesanan Dewa. Aku masih tidak mengerti, apa dia kenyang sarapan roti dan kopi seperti ini? Hanya dua lembar roti dan segelas kopi. Dan dia baru akan makan makanan berat, pada jam 11 siang nanti. Apa dia akan memiliki tenaga?Sedangkan sependek yang aku tahu, sarapan itu penting. Karena setelah semalaman kita tidur
********Setelah aku berhasil menemukan Dewa di rooftop kafe miliknya semalam. Aku dan Dewa, akhirnya sama-sama pulang ke rumah baru kami.Dan pagi ini.Aku kembali mendatangi pusara Davina, tentu bersama Dewa.Laki-laki dengan tatapan mata bak elang itu. Saat ini masih berjongkok di sisi gundukan tanah yang masih dipenuhi kelopak bunga tabur.Dia juga menaruh buket bunga mawar putih, di dekat papan nisan yang tertancap. Tangan besarnya, meraba, mengusap dan menelisik tulisan yang tertera di papan nisan tersebut.Kemudian, ia menempelkan keningnya, pada papan nisan. "Bagaimana pun, kamu pernah menjadi satu-satunya pelipur dalam hidup ini. Meski kenyatannya, kita bukanlah siapa-siapa. Semoga kamu selalu berada dalam kedamaian, Sa—yang. Tenanglah, dan berbahagialah di sana!" ucapnya setengah berbisik. Namun, masih dapat kutangkap. Sebab, aku berada dekat di sampingnya.Dan terakhir. Ia mencium papan nisan itu cukup lama. Hingga menyudahinya, dan mengajakku kembali ke rumah baru kami.**
Davina telah kembali pada pangkuan Sang Khaliq. Ia telah pergi menuju kedamaian yang abadi. Pusaranya dipenuhi kelopak bunga tabur. Di sisi papan nisan yang terukir namanya, Bu Titi menangis sesenggukan. Dengan tangan kirinya yang masih dipasangi arm sling.Bu Titi, aku serta Bi Ima. Masih terpekur di samping pusara, tempat peristirahatan terakhir anak kecil manis nan menggemaskan itu. Sama seperti Bu Titi, Bi Ima pun menangis pilu di sebelahku.Sekuat hati, aku menahan agar tak menangis. Tetapi, lelehan air mataku, bak tanggul yang bisa jebol kapan saja. Tangisku pun tak dapat dibendung."Bu, maapkan saya, Bu. Gara-gara saya, Davina jadi meninggal. Pak Dewa pasti marah sekali sama saya, Bu … Saya sudah membuat anaknya meninggal …." ujar Bu Titi di sela isakan tangisnya.Aku mengusap wajahku yang basah. Lalu mengusap-usap bahu Bu Titi. Perempuan seusia Bi Ima, yang tengah meratapi kepergian putri asuhnya ini."Nggak, Bu! Ini bukan karena Ibu. Kematian itu pasti datang. Semua ini, suda
Tiba di RS Harapan. Aku serta Dewa buru-buru mencari keberadaan Davina. Setelah sebelumnya, menanyakan informasi tentangnya.Sampai di depan kamar dimana Davina ditangani. Bi Ima pun sudah ada di sana. Ia bangkit dari duduknya dan berhambur memelukku. Bi Ima terisak begitu saja."Gimana Davina sekarang, Bi? Kalian mau pergi kemana? Kenapa nggak hubungi saya kalau kalian mau pergi? Aghh!" Dewa melayangkan kepalan tangannya di udara.Sedangkan Bi Ima, tak berucap apa pun. Dia masih terisak dalam pelukanku. Aku pun hanya bisa mengusap-usap lengannya, agar ia sedikit tenang dan mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.Klek!Pintu ruangan terbuka. Berbarengan dengan seorang dokter wanita yang keluar."Bagaimana? Sudah ada keluarga dari Ananda Davina? Korban harus segera mendapat transfusi darah," ujar sang dokter.Dewa maju dengan sigap ke hadapan dokter tersebut. "Saya ayahnya, Dok. Ambil darah saya. Selamatkan Davina, Dok!" ucap Dewa memohon.Dokter itu mengangguk cepat. "Baik. Mari
Kutarik napas dalam sepenuh dadaku."Semalam. Saat kita melakukan hubungan suami istri. Dan kamu udah duluan sampai ke puncak. Aku saat itu, sama sekali belum merasakan apa-apa. Aku nggak merasa terpuaskan sama sekali …."Senyum di bibir itu seketika lenyap. Setelah aku berucap demikian.Keningnya melipat. Tatapan matanya meredup dan raut wajahnya penuh tanya menatapku."Maksudnya?" tanyanya pelan.Aku menelan saliva. Mengumpulkan segenap kekuatan. Otakku berputar, mencari kata-kata yang tepat agar maksudku tersampaikan tapi tidak mwmbuat Dewa tersinggung.Kembali aku menarik napas sepenuh dada."E—eu—m … I—i—iyyaa … jadi … aku belum mencapai klimaks saat milik kamu sudah selesai …." Hati-hati dan pelan aku mengutarakan apa yang aku rasakan semalam.Dewa nampak terdiam. Semoga aku tidak salah berucap dan Dewa mengerti apa yang kusampaikan."Apa kamu mau menuduhku lemah syahw*t juga, seperti yang Karina lakukan?" tanyanya dengan tatapan mendelik.Sontak netraku membeliak mendengarnya.
*****Jam delapan malam.Aku sedang menyisir rambutku. Duduk di depan meja rias. Aku masih berdua di rumah baruku bersama Dewa ini.Malam ini. Lingerie hitam dengan belahan dada agak rendah, membalut tubuhku. Panjangnya hanya sampai lutut. Dua utas tali dibagian pundak, hanya sebagai penyangga. Membiarkan pundakku terekspos.Aku rasa, penampilanku saat ini sudah cukup menggoda. Harusnya bisa membangkitkan dan membuat gairah Dewa lebih dari kemarin.K l e k!Pintu kamar dibuka. Berbarengan dengan Dewa yang masuk ke dalam kamar ini. Pandangan mata kami bertemu, dalam pantulan cermin di hadapanku.Dewa menutup pintu kembali. Lantas dia berjalan mendekat. Dan kali ini, memang berjalan ke arahku. Dewa menghenyakkan bobotnya di ujung meja rias di hadapanku. Dia menatapku. Aku lantas menunduk, tak kuat untuk lama-lama menatap mata elangnya.Daguku disentuh ujung jarinya, lalu diangkat. Hingga tatapan kami bersirobok. Mau tak mau, aku pun harus kembali menatapnya."Kamu nggak dingin pakai baj
****Apa yang barusan terjadi antara aku dan suamiku itu?Dia sudah merebahkan tubuhnya di sampingku dengan napasnya yang terengah. Sedangkan aku, masih belum mencapai puncak yang kuinginkan. Bahkan milikku saja masih berdenyut tak karuan di bawah sana.Oh. Ya, ampun. Ada apa ini?Aku masih telentang dengan pandangan lurus menatap langit-langit kamar baruku ini.Aku beranikan diri menoleh pada Dewa yang sudah berbaring tepat di sebelahku. Dia masih terjaga. Dadanya nampak naik turun. Lantas, dia pun menoleh padaku dan tersenyum, kemudian mendekatkan wajahnya.Cup.Dia mengecup keningku sekilas, dan kembali ke posisinya semula. Sambil menarik selimut dengan kakinya, untuk menutupi tubuhnya. Dia juga membenahi selimut itu, agar menutupi tubuhku. Kemudian, matanya mulai ia pejamkan.Dia tidur?Aku memalingkan wajahku kembali.Apa ini? Apa yang terjadi pada Dewa? Apa dia sudah mencapai klimaksnya saat penyatuan tadi?Kepalaku disergap berbagai pertanyaan. Sedangkan inti bawah tubuhku masih