Davina telah kembali pada pangkuan Sang Khaliq. Ia telah pergi menuju kedamaian yang abadi. Pusaranya dipenuhi kelopak bunga tabur. Di sisi papan nisan yang terukir namanya, Bu Titi menangis sesenggukan. Dengan tangan kirinya yang masih dipasangi arm sling.Bu Titi, aku serta Bi Ima. Masih terpekur di samping pusara, tempat peristirahatan terakhir anak kecil manis nan menggemaskan itu. Sama seperti Bu Titi, Bi Ima pun menangis pilu di sebelahku.Sekuat hati, aku menahan agar tak menangis. Tetapi, lelehan air mataku, bak tanggul yang bisa jebol kapan saja. Tangisku pun tak dapat dibendung."Bu, maapkan saya, Bu. Gara-gara saya, Davina jadi meninggal. Pak Dewa pasti marah sekali sama saya, Bu … Saya sudah membuat anaknya meninggal …." ujar Bu Titi di sela isakan tangisnya.Aku mengusap wajahku yang basah. Lalu mengusap-usap bahu Bu Titi. Perempuan seusia Bi Ima, yang tengah meratapi kepergian putri asuhnya ini."Nggak, Bu! Ini bukan karena Ibu. Kematian itu pasti datang. Semua ini, suda
********Setelah aku berhasil menemukan Dewa di rooftop kafe miliknya semalam. Aku dan Dewa, akhirnya sama-sama pulang ke rumah baru kami.Dan pagi ini.Aku kembali mendatangi pusara Davina, tentu bersama Dewa.Laki-laki dengan tatapan mata bak elang itu. Saat ini masih berjongkok di sisi gundukan tanah yang masih dipenuhi kelopak bunga tabur.Dia juga menaruh buket bunga mawar putih, di dekat papan nisan yang tertancap. Tangan besarnya, meraba, mengusap dan menelisik tulisan yang tertera di papan nisan tersebut.Kemudian, ia menempelkan keningnya, pada papan nisan. "Bagaimana pun, kamu pernah menjadi satu-satunya pelipur dalam hidup ini. Meski kenyatannya, kita bukanlah siapa-siapa. Semoga kamu selalu berada dalam kedamaian, Sa—yang. Tenanglah, dan berbahagialah di sana!" ucapnya setengah berbisik. Namun, masih dapat kutangkap. Sebab, aku berada dekat di sampingnya.Dan terakhir. Ia mencium papan nisan itu cukup lama. Hingga menyudahinya, dan mengajakku kembali ke rumah baru kami.**
Pagi ini, aku tidak bangun terlambat lagi. Jam lima pagi, aku sudah berkutat di dapur. Menyiapkan sarapan untuk Naga dan juga aku. Sementara Dewa, dia hanya meminta untuk dibuatkan roti kupas isi selai seperti biasa. Tak ketinggalan, segelas cappucino hangat sebagai teman rotinya.Aku tengah membuat sup ayam. Juga nasi yang sudah kutanak menggunakan magic com. Aku memang membiasakan Naga untuk langsung makan nasi saat sarapan.Aku mematikan kompor. Saat sup ayam buatanku sudah mendidih dan matang. Aku menuangkan sedikit kuahnya pada sendok, lalu mencicipinya. Dan rasanya, selalu pas.Selesai membuat sup ayam. Lantas aku menanak air dalam panci kecil. Untuk menyeduh cappucino pesanan Dewa. Aku masih tidak mengerti, apa dia kenyang sarapan roti dan kopi seperti ini? Hanya dua lembar roti dan segelas kopi. Dan dia baru akan makan makanan berat, pada jam 11 siang nanti. Apa dia akan memiliki tenaga?Sedangkan sependek yang aku tahu, sarapan itu penting. Karena setelah semalaman kita tidur
*********Aku melakukan apa yang Dewa inginkan. Dia telah melucuti celana training yang dipakainya. Kedua tanganku, bergerak menyentuh lalu menggenggam pusaka miliknya. Bergerak mengurut dari ujung hingga pangkal. Setelahnya, lantas meremas bagian pangkalnya. Hingga pusaka itu mulai menggeliat untuk berdiri.Dewa menegakkan tubuhnya cepat, untuk melepas kaos oblong yang melekat. Hingga sekarang, tubuh atasnya telah polos. Dewa kembali membungkuk lalu menyambar kembali bibirku. Kedua tangannya, mencoba menarik baju yang masih menutupi tubuhku. Hingga sampai di bagian dada, kami melepas cumbuan kami sejenak, agar bajuku terlepas.Kami melanjutkan cumb*an yang terhenti. Dewa dengan tubuhnya yang sudah polos, dan tubuh atasku yang hanya terbalut bra.Entah kenapa, cumb*an sore ini, terasa begitu panas. Kulit tubuh bagian atas tubuh kami, saliing bersentuhan. Tak ada jarak.Dewa menurunkan cumb*annya ke leher, lalu kedua bahuku yang polos. Turun ke bagian dada. Dan membuatku cukup terlena.
Satu setengah tahun kemudian…...Aku berdiri di depan pagar rumahku. Menatap bangunan dua lantai yang ada di seberang rumah ini.Bangunan yang sudah satu tahun terakhir, menjadi kaffe baru milik Dewa.Setelah melalui perundingan dan pemikiran yang matang. Aku dan Dewa akhirnya mencapai kesepakatan.Aku resmi keluar dari Gwyna Group. Aku menjual saham serta kantor itu pada adik iparku. Juga rumah mewah peninggalan Mas Guntur pun, telah aku jual.Aku dan Dewa sepakat. Akan memulai hidup baru. Benar-benar baru. Tanpa sedikitpun jejak masa lalu.Begitu juga dengan Dewa. Empat bangunan kaffe miliknya, berhasil ia jual dengan harga tinggi.Dia lalu memilih bangunan rumah di seberang rumah kami, untuk dijadikan caffe miliknya.Dewa memulai bisnis kafe dari awal lagi. Bahkan dari nol. Kafe dengan nama baru, akan tetapi dia masih memperkerjakan Haris, orang kepercayaannya di kafe yang lama.Dia memilih membangun kafe di seberang rumah ini, agar dia tak perlu lagi meninggalkan keluarga kecil
Dering ponsel di atas meja menghentikan gerakan jemariku yang tengah sibuk dengan keyboard laptop. Kuraih ponsel cepat untuk melihat siapa yang memanggil. Ternyata dari nomor yang tidak dikenal. Kuusap layar ponsel untuk menerima panggilannya. Takut penting."Hallo …." Suara seorang lelaki terdengar dari ujung sana setelah panggilannya kuterima."Iya hallo?" balasku."Benar ini dengan Pak Sadewa, suami dari Ibu Kharisma?""Iya benar, saya Dewa. Istri saya memang bernama Kharisma. Ini dengan siapa?" Jantungku mulai tak karuan. Takut terjadi sesuatu pada Kharisma, istriku."Kami dari Petugas Kepolisian puncak Bogor. Ingin mengabarkan, kalau Ibu Kharisma ditemukan tidak bernyawa di penginapan mewah yang ada di puncak. Kami meminta Anda segera kemari, untuk mempercepat proses penyelidikan kematian istri Anda!"Seketika tubuhku membeku. Kharisma tewas? Di penginapan mewah daerah puncak? Kharisma memang pergi ke luar kota sejak tiga hari lalu, tapi ke Jakarta, bukan Bogor."Bapak jangan ber
Aliran oksigen di otak rasanya menipis. Membuat pikiran buntu. Tak dapat berpikir lagi. Menerka pun sia-sia. Hanya akan menambah sesak dalam dada.Kharisma istriku ditemukan tewas di kamar ini bersama Guntur? Dan diduga karena overdosis? Astaga. Kenyataan macam apa ini?Aku menyandarkan kepala pada badan sofa. Menengadah, menatap langit-langit kamar di penginapan ini. Dadaku terasa sesak. Kuatur nafas yang tak beraturan.Kucoba untuk berpikir dengan jernih. Apa yang sudah Kharisma perbuat sebenarnya hingga bisa tewas bersama Guntur di dalam kamar ini.Dari ujung mataku. Jasad Kharisma sudah dibawa dalam kantung jenazah. Pun dengan jasad Guntur. Petugas membawanya keluar dari dalam kamar ini.Aku mendesah.Apa yang harus aku katakan pada orang tuanya nanti? Bagaimana aku memberitahu orangtua Kharisma, bahwa Kharisma sudah meninggal?Ibu ku juga. Apa yang harus kujelaskan pada Ibu mengenai menantu kesayangannya itu?Aku meremas rambutku seraya menundukkan kepala. Saat tadi Pak Hamdan me
Jam 7 malam, aku mengendarai kembali Fortuner hitamku membelah jalanan untuk segera kembali ke Bandung. Tepat di depanku, mobil ambulance tanpa sirine, hanya menyalakan lampu rotator, membawa jenazah Kharisma. Setelah pemeriksaan jasad Kharisma selesai. Pengurusan fardhu kifayah, aku serahkan pada pihak rumah sakit kepolisian. Setelah semuanya selesai. Aku menyewa satu ambulance untuk membawa jasad Kharisma. Sedangkan aku, sendirian di dalam mobil."Aarrrkkhhh!" Kupukuli stir mobil dengan kepalan tangan. Kepala rasanya ingin meledak saat ini juga.Hasil visum dari jasad Kharisma benar-benar membuatku terpukul. Bulir bening mulai berjatuhan dari mataku.Kugigit bibir bawah dengan kuat. Menahan supaya tangisku tidak tumpah."Jangan menangis, Dewa! Jangan! Dia tidak pantas kamu tangisi!" gumamku pada diri sendiri.Dengan cepat, aku menyeka butiran bening yang tadi sempat membahasi pipiku."Aku tidak boleh—menangis! Tidak ..." parau aku berucap. Suaraku rasa tertahan di tenggorokan.Kupa