Aliran oksigen di otak rasanya menipis. Membuat pikiran buntu. Tak dapat berpikir lagi. Menerka pun sia-sia. Hanya akan menambah sesak dalam dada.
Kharisma istriku ditemukan tewas di kamar ini bersama Guntur? Dan diduga karena overdosis? Astaga. Kenyataan macam apa ini?Aku menyandarkan kepala pada badan sofa. Menengadah, menatap langit-langit kamar di penginapan ini. Dadaku terasa sesak. Kuatur nafas yang tak beraturan.Kucoba untuk berpikir dengan jernih. Apa yang sudah Kharisma perbuat sebenarnya hingga bisa tewas bersama Guntur di dalam kamar ini.Dari ujung mataku. Jasad Kharisma sudah dibawa dalam kantung jenazah. Pun dengan jasad Guntur. Petugas membawanya keluar dari dalam kamar ini.Aku mendesah.Apa yang harus aku katakan pada orang tuanya nanti? Bagaimana aku memberitahu orangtua Kharisma, bahwa Kharisma sudah meninggal?Ibu ku juga. Apa yang harus kujelaskan pada Ibu mengenai menantu kesayangannya itu?Aku meremas rambutku seraya menundukkan kepala. Saat tadi Pak Hamdan membuka selimut tosca yang menutupi tubuh mereka yang sudah tak bernyawa.Pak Hamdan hanya membuka sampai batas dada jasad Kharisma. Kedua bahu Kharisma nampak polos. Begitu juga dengan Guntur yang nampak bertelanjang dada.Apa mereka benar-benar ditemukan dalam keadaan tidak senonoh? Apa Kharisma-ku sudah mengkhianati ku dan bermain api dengan Guntur?Guntur Arisandy.Sejak kapan dia kembali ke Indonesia? Setahuku, dia pindah dan menetap di negeri Sakura sejak 5 tahun yang lalu. Aku pun masih berhubungan baik dengannya. Sering bertukar kabar meski hanya melalui ponsel.Apa Guntur baru kembali belum lama ini? Dan Kharisma menyambutnya di penginapan ini tanpa sepengetahuanku, lalu berakhir dengan kelebihan obat sampai overdosis?Aku berharap semua ini hanya mimpi. Siapapun, tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini!Plakk!Kutampar pipi kiriku sekuatnya. Seketika, rasa panas menjalar. Ini nyata. Bukan mimpi!"Aarrggg …." Aku berteriak kesal. Pak Hamdan segera menghampiriku. Setelah sejak tadi berbicara pada perempuan yang berdiri di dekat jendela kamar ini. Perempuan berkerudung itu terlihat pergi, meninggalkan kamar jahanam ini."Anda baik-baik saja?" tanya Pak Hamdan yang kini duduk di sofa sebelahku.Ku usap wajah dengan kasar. Tidak kuhiraukan pertanyaannya itu. Kusandarkan kembali kepalaku pada badan sofa."Tenang, Pak Dewa! Kami tahu, Anda sangat shock. Tapi, Anda tetap harus mengendalikan diri!" tukasnya kemudian.Aku membuang nafas. Lalu meraup dengan rakus, udara yang kuharap bisa mengisi paru-paru ku."Apa Anda mau dilakukan otopsi pada jenazah istri, Anda?" tanya Pak Hamdan.Aku menggeleng. "Jangan, Pak. Visum luar saja," balasku singkat.Pak Hamdan mengangguk. Lalu meminta rekannya yang masih ada di kamar untuk melakukan permintaanku. Gegas rekan Pak Hamdan itu ke luar.Tinggalah aku dengan Pak Hamdan di kamar terkutuk ini. Dua pria lain yang tadi duduk di sofa set di sebelah kiriku pun ikut keluar.Aku menarik nafas dalam-dalam. Lalu berdehem. "Pak, bagaimana bisa istri saya ditemukan tewas di kamar ini?" tanyaku pada Pak Hamdan."Begini, Pak. Berdasarkan keterangan dari pihak penginapan, istri Anda bersama teman lelakinya, check in sekitar tiga hari yang lalu di penginapan ini pada sore hari.""Berdasarkan dari pantauan cctv, istri Anda dengan teman lelakinya itu, sejak pertama kali check-in, hanya terlihat satu kali keluar dari dalam kamar ini, itupun sekitar pukul 8 malam.""Sejak kembali ke penginapan ini, sekitar pukul 11 malam, tidak ada lagi aktivitas yang terpantau. Apalagi seharian kemarin sampai pagi hari ini. Barulah pagi tadi, housekeeping coba memastikannya. Mengetuk pintu berulangkali, tetapi tidak juga ada jawaban. Keadaan pintu kamar ini terkunci tapi tidak ada data check out. Sampai akhirnya, para housekeeping mendobrak pintu kamar ini. Dua pria yang memakai seragam kerja dan barusan keluar, merekalah yang pertama kali mengetahui keadaan istri Anda," jelas Pak Hamdan.Hening. Pak Hamdan tidak melanjutkan penjelasannya lagi. Padahal aku masih ingin mendengar kenyataan apa yang akan disampaikan Pak Hamdan ini. Walaupun hatiku berdarah-darah mendapatinya."Lanjutkan, Pak," pintaku.Pak Hamdan mengangguk pelan. "Menurut dua housekeeping yang pertama kali melihat istri Anda dan teman lelakinya di kamar ini. Mereka … ditemukan dalam keadaan telanj*ng, hanya tertutup selimut. Serta, mulut mereka berbusa. Lalu selanjutnya, pihak penginapan menghubungi kami untuk segera melakukan tindakan. Setelah kami datang dan memeriksa kamar ini. Kami menemukan obat-obat ini di dalam laci nakas."Pak Hamdan menyodorkan bungkusan obat di atas meja di hadapanku. Aku meraba-raba. Akhirnya kuambil bungkusan obat di depanku itu lalu meniliknya dengan seksama.Prakk!Kulempar secepatnya obat itu ke atas meja kembali. Sependek yang aku tahu, obat itu tergolong jenis obat kuat dan perangsang. Tapi aku masih berharap, perkiraanku ini salah.Kucoba untuk rileks. Menenangkan gemuruh dalam dada ini. Aku hanya mampu tersenyum kecut. Menyadari betapa bodohnya aku. Betapa Kharisma begitu pandai membohongiku.Kutarik nafas kembali. Dadaku teramat sesak. Aku memandang nanar keadaan kamar ini. Kamar bercat putih dengan wangi pengharum lavender. Kamar jahanam yang menjadi saksi bisu pengkhianatan Kharisma.Netraku rasanya memanas. Wanita yang teramat aku cintai. Ternyata tega membagi hati dengan sahabatku sendiri. Bukan hanya membagi hati. Tapi juga kehangatan di atas ranjang, Kharisma tega membaginya dengan Guntur.Kenapa Kharisma begitu tega? Apa salahku selama ini? Semua keinginannya, aku coba untuk penuhi. Aku mencintai Kharisma begitu dalam. Aku setia padanya. Aku setia pada pernikahanku. Aku setia pada keluarga kecilku.Aku tidak pernah membuka hati untuk wanita lain. Meski hanya celah kecil. Aku bekerja siang malam mengembangkan cafe. Memperluas kemitraan. Membuka cabang di tempat yang strategis. Semua aku lakukan demi Kharisma. Demi istri dan juga anakku.Setelah kematiannya yang tak terduga ini. Siapa yang pantas aku gugat? Siapa yang patut aku salahkan? Siapa yang akan menjawab segala pertanyaan yang berputar di kepalaku? Siapa?!Kharisma keterlaluan.Setelah kurasa tenang, lantas kurogoh ponsel di dalam saku celana. Kuhubungi Nakula, adikku. Tidak perlu menunggu lama, Nakula menerima panggilan dariku."Hallo, Bang?" ucapnya di ujung telepon sana."Naku, tolong siapkan pemakaman—""Apa?" pekik Nakula."Pemakaman siapa, Bang? Siapa yang meninggal?" cerocosnya lagi.Aku memijat dahi. Kuhela nafas dalam-dalam. Mungkin aku salah orang menelpon Nakula untuk menyiapkan pemakaman. Tapi, aku tidak tahu harus menghubungi siapa lagi. Lagipun, aku yakin. Nakula orang yang bisa menjaga rahasia."Hallo hallo, Bang? Abang masih di situ 'kan? Bang! Siapa yang meninggal? Bilang dong, biar gue nggak penasaran!" cerocosnya lagi.Begitulah, Nakula. Adik lelakiku satu-satunya yang amat sangat cerewet. Ibu saja kalah cerewetnya oleh Nakula. Ibu bilang, Nakula persis seperti almarhum Ayah. Apalagi cerewetnya itu.Aku menarik nafas. "Denger! Kamu siapkan saja Naku! Tapi, diam-diam saja. Jangan sampai ada yang tahu kalau Abang nyuruh kamu siapkan pemakaman!""Apa? Ini rahasia? Lu ngga bun*h anak orang 'kan, Bang?!""Nggaklah! Please. Abang minta tolong sama kamu! Kamu siapkan pemakaman tapi jangan kamu beritahu siapapun. Abang belum bisa cerita semuanya sekarang! Bisa 'kan?""Hmm … oke, Bang! Sekarang abang dimana?""Ada, lah! Nanti abang cerita semuanya sama kamu! Yang penting, tolong kamu siapkan saja pemakamannya!""Siap laksanakan!"Tuttt!Kuputuskan sambungan telepon dengan Nakula. Memasukkan kembali ponsel ke dalam saku celana.Aku merunduk. Kututup wajah dengan kedua tangan.Kenyataan ini terlalu menyakitkan.Jam 7 malam, aku mengendarai kembali Fortuner hitamku membelah jalanan untuk segera kembali ke Bandung. Tepat di depanku, mobil ambulance tanpa sirine, hanya menyalakan lampu rotator, membawa jenazah Kharisma. Setelah pemeriksaan jasad Kharisma selesai. Pengurusan fardhu kifayah, aku serahkan pada pihak rumah sakit kepolisian. Setelah semuanya selesai. Aku menyewa satu ambulance untuk membawa jasad Kharisma. Sedangkan aku, sendirian di dalam mobil."Aarrrkkhhh!" Kupukuli stir mobil dengan kepalan tangan. Kepala rasanya ingin meledak saat ini juga.Hasil visum dari jasad Kharisma benar-benar membuatku terpukul. Bulir bening mulai berjatuhan dari mataku.Kugigit bibir bawah dengan kuat. Menahan supaya tangisku tidak tumpah."Jangan menangis, Dewa! Jangan! Dia tidak pantas kamu tangisi!" gumamku pada diri sendiri.Dengan cepat, aku menyeka butiran bening yang tadi sempat membahasi pipiku."Aku tidak boleh—menangis! Tidak ..." parau aku berucap. Suaraku rasa tertahan di tenggorokan.Kupa
Jasad Kharisma sudah dikuburkan. Dapat kudengar tangisan orang-orang terdekat Kharisma. Kedua orangtua juga adiknya. Begitu juga ibuku. Ibu yang duduk di kursi roda, akibat asam uratnya yang naik, tetap ikut mengantar Kharisma hingga ke peristirahatan terakhir, setelah semalam tidur di rumahku.Mereka semua menangis tersedu. Meratapi kepergian Kharisma yang tiba-tiba. Tidak ada yang menyangka bahwa wanita dengan tinggi 175 cm itu, pergi secepat ini.Aku berdiri di bawah pohon kamboja. Terhalang dua makam lain dari tanah kuburan dimana jasad Kharisma dikubur. Penguburan jasad Kharisma kuserahkan semuanya pada pengurus jenazah di komplek rumahku.Aku menolak ikut turun ke dalam liang lahat. Sedikitpun, aku tak menyentuh jasad itu. Aku jijik. Hatiku terlalu sakit. Aku pun menyaksikan penguburan jasadnya dari sini. Tidak berniat mendekat sama sekali.Kulihat mereka semua terisak. Papa mertuaku, terlihat memeluk papan nisan kuburan anak pertamanya itu. Papa mertua menangis. Begitu pun Mama
Plukk!Karina melempar tepat mengenai wajahku, surat keterangan kepolisian yang diremasnya. "Semua ini karena elo, Bang!" ucapnya lantang seraya berdiri.Aku yang tersulut emosi, juga berdiri. "Apa-apaan kamu hah?" tanyaku geram."Kak Risma selingkuh itu, gara-gara elo, Bang! Elo gak bisa jadi suami idaman! Elo gak bisa bahagiain kakak gue! Elo itu lemah di atas ranjang! Bukan Kakak gue yang murahan. Tapi elo yang nggak bisa puasin dia! Makanya dia selingkuh dari elo!" pungkas Karina menyudutkanku.Tanganku mengepal mendengar ucapan Karina barusan.Apa Karina sudah tahu kalau Kharisma itu selingkuh? Sialan!"Elo itu payah dalam urusan ranjang, Bang! Jadi bukan salah Kharisma, kalau dia cari kepuasan dari pria lain!" hardik Karina kembali.PLAKKK!Amarah yang sudah di ubun-ubun, membuatku akhirnya menampar adik ipar tidak punya etika seperti Karina ini."Kamu anak kecil, nggak usah sok tahu dengan urusan rumah tangga orang!" ucapku seraya menunjuk wajah Karina.Karina memegangi pipinya
"Dewa ...." Aku melihat Ibu masuk ke dalam kamar. Aku yang baru saja merebahkan tubuh setelah selesai merokok dari balkon. Tidak berniat bangun.Pasti ibu ingin membahas tentang kebenaran yang tadi aku sampaikan.Ibu dipapah Bi Ima untuk duduk di tepi tempat tidur. Bi Ima gegas pergi. Meninggalkanku berdua dengan Ibu."Dewa, ibu mau bicara!" seru Ibu."Silahkan, Bu!" jawabku singkat. Aku masih diposisi rebahan."Mertua dan adik ipar kamu, pergi ke klinik. Dahi dan pelipis Karina ternyata robek, Dewa!" ujar Ibu.Aku tak menanggapi. Bocah tengil seperti Karina memang pantas mendapatkannya. Itulah akibat dari mulutnya yang asal cuap.Menuduh dan menghinaku di depan mertua dan ibuku sendiri. Luka robek itu masih bisa diobati. Tapi luka hatiku, karena pengkhianatan kakaknya juga tuduhannya tadi, entah kapan akan terobati."Dewa, apa benar, semua yang tadi kamu katakan? Rasanya, ibu nggak percaya!" tanya dan ungkap ibu kemudian.Aku menghela nafas. Lalu bangkit dan duduk menghadap ibu."Bu,
"Wa?!" Suara Argi menyandarku dari kebekuan. Argi terlihat mengibaskan tangannya di depan wajahku."I ... iya ... iya, Gi? Kenapa?" Aku tergagap menjawabnya."Kok, kenapa? Ada juga lo yang kenapa, Wa? Lo beneran nggak tahu, pernikahan sahabat lo sendiri?" Lagi-lagi, Argi tidak percaya, kalau aku memang tidak tahu pernikahan Guntur."Sumpah, Gi! Gue nggak tahu! Lo salah kali, yang nikah tiga tahun lalu bukan si Guntur!" sanggahku."Ck, bentar!" Argi mendecak. Lantas mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. Kemudian memainkan ponselnya itu.Aku kembali menyulut sebatang rokok, dan menyesapnya dalam-dalam lalu mengepulkan asapnya melalui mulut. Ah, menenangkan sekali."Lo liat, Wa! Itu foto waktu nikahan si Guntur!" ujarnya, seraya menyodorkan ponsel miliknya.Aku memperhatikan. Ku perbesar foto di layar ponselnya itu. Seketika dahiku mengerut. Karena foto di ponsel Argi yang kuamati sekarang, memang foto pernikahan Guntur."Gue dikirimin foto itu sekitar tiga tahun yang lalu.
Kini, aku sudah berada di depan rumahku, masih diam di dalam mobil. Aku memilih pulang dari cafe.Kulihat di depan pintu rumah sana, Bi Ima tengah berbicara dengan seorang pria berjaket kulit hitam. Entah siapa aku tidak tahu. Pria itu terlihat menyerahkan sebuah koper pada Bi Ima.Aku memicingkan mata. Itu seperti koper milik Kharisma, yang dibawanya saat izin pergi waktu itu. Bi Ima menerimanya, setelah itu, si pria tadi bergegas pergi dari teras rumahku.Setelah pria tadi benar-benar meninggalkan rumahku. Segera aku turun dari mobil. dan melangkah menuju teras rumah."Bi Ima!" seruku secepatnya dari ambang pintu. Bi Ima menghentikan langkahnya. Lalu berbalik. "Iya, Pak Dewa?"Aku melangkah masuk ke dalam rumah. Berjalan ke arah Bi Ima yang berdiri sambil memegangi dorongan koper."Pak, tadi ada yang mengantar koper ini. Katanya ini milik Bu Risma, yang lupa diserahkan pada Bapak," jelasnya, tanpa aku tanya. Bi Ima menyerahkan koper itu padak. Jadi benar, koper ini memang milik Kha
Kuularkan tangan untuk menyentuh lipatan kain berwarna merah menyala itu, dan menariknya ke atas."Lingerie?"Nafasku terasa memburu. Kurentangkan kain merah menyala, yang aku duga adalah lingerie.Ya, ternyata memang benar. Setelah aku merentangkannya. Terpampang di hadapanku, lingerie dengan aksen renda di bagian depannya. Dengan belahan dada super rendah.Jika dipakai oleh Kharisma yang tinggi semampai. Maka lingerie itu hanya sampai menutupi lututnya. Otomatis akan memperlihatkan, kaki jenjangnya yang putih dan mulus.Lingerie merah menyala, sangat kontras di kulit Kharisma yang putih. Jika Kharisma memakainya, tentu akan memperindah lekuk tubuhnya.Aku menelan saliva dengan susah payah. Tenggorokanku tercekat. Tanganku yang masih memegangi lingerie, terasa gemetar. Lekas kulempar dengan asal, benda itu dari tanganku.Aku melanjutkan memeriksa barang lain yang masih di dalam koper. Sejenak aku tertegun. Karena setelah lingerie merah menyala itu ku singkiran dari tumpukan isi kope
Prank Prankk!Gelas beserta tekonya pun aku banting ke lantai. Hingga pecah semuanya. Apapun yang ada di dekatku saat ini, aku hancurkan. Sehingga ruangan depan ini, seperti diterpa badai.Secepatnya aku kembali menaiki tangga, masuk ke dalam kamar yang belum selesai Bi Ima bereskan. Mengambil bungkus rokok, lalu ke teras balkon. Duduk di kursi teras seraya menyulut sebatang rokok, dan menyesapnya.Semua ini membuatku benar-benar frustasi.Kusesap dan kuhembuskan asap rokok perlahan, yang akhirnya terasa begitu menenangkan.Aku salah. Seharusnya, aku tidak membiarkan Ibu, mengadakan dan menyiapkan acara tahlilan. Dari awal, seharusnya aku melarang keras pada Ibu. Aku tidak sudi, rumah yang aku beli dari hasil kerja keras dan hasil keringatku ini. Dijadikan tempat untuk mendoakan wanita pengkhianat itu.Rumah ini sudah aku miliki, satu tahun sebelum aku menikah dengan Kharisma. Tidak ada sedikitpun uang Kharisma dalam pembelian rumah ini.Andai Kharisma meninggal tidak dalam keadaan ya