Kini, aku sudah berada di depan rumahku, masih diam di dalam mobil. Aku memilih pulang dari cafe.Kulihat di depan pintu rumah sana, Bi Ima tengah berbicara dengan seorang pria berjaket kulit hitam. Entah siapa aku tidak tahu. Pria itu terlihat menyerahkan sebuah koper pada Bi Ima.Aku memicingkan mata. Itu seperti koper milik Kharisma, yang dibawanya saat izin pergi waktu itu. Bi Ima menerimanya, setelah itu, si pria tadi bergegas pergi dari teras rumahku.Setelah pria tadi benar-benar meninggalkan rumahku. Segera aku turun dari mobil. dan melangkah menuju teras rumah."Bi Ima!" seruku secepatnya dari ambang pintu. Bi Ima menghentikan langkahnya. Lalu berbalik. "Iya, Pak Dewa?"Aku melangkah masuk ke dalam rumah. Berjalan ke arah Bi Ima yang berdiri sambil memegangi dorongan koper."Pak, tadi ada yang mengantar koper ini. Katanya ini milik Bu Risma, yang lupa diserahkan pada Bapak," jelasnya, tanpa aku tanya. Bi Ima menyerahkan koper itu padak. Jadi benar, koper ini memang milik Kha
Kuularkan tangan untuk menyentuh lipatan kain berwarna merah menyala itu, dan menariknya ke atas."Lingerie?"Nafasku terasa memburu. Kurentangkan kain merah menyala, yang aku duga adalah lingerie.Ya, ternyata memang benar. Setelah aku merentangkannya. Terpampang di hadapanku, lingerie dengan aksen renda di bagian depannya. Dengan belahan dada super rendah.Jika dipakai oleh Kharisma yang tinggi semampai. Maka lingerie itu hanya sampai menutupi lututnya. Otomatis akan memperlihatkan, kaki jenjangnya yang putih dan mulus.Lingerie merah menyala, sangat kontras di kulit Kharisma yang putih. Jika Kharisma memakainya, tentu akan memperindah lekuk tubuhnya.Aku menelan saliva dengan susah payah. Tenggorokanku tercekat. Tanganku yang masih memegangi lingerie, terasa gemetar. Lekas kulempar dengan asal, benda itu dari tanganku.Aku melanjutkan memeriksa barang lain yang masih di dalam koper. Sejenak aku tertegun. Karena setelah lingerie merah menyala itu ku singkiran dari tumpukan isi kope
Prank Prankk!Gelas beserta tekonya pun aku banting ke lantai. Hingga pecah semuanya. Apapun yang ada di dekatku saat ini, aku hancurkan. Sehingga ruangan depan ini, seperti diterpa badai.Secepatnya aku kembali menaiki tangga, masuk ke dalam kamar yang belum selesai Bi Ima bereskan. Mengambil bungkus rokok, lalu ke teras balkon. Duduk di kursi teras seraya menyulut sebatang rokok, dan menyesapnya.Semua ini membuatku benar-benar frustasi.Kusesap dan kuhembuskan asap rokok perlahan, yang akhirnya terasa begitu menenangkan.Aku salah. Seharusnya, aku tidak membiarkan Ibu, mengadakan dan menyiapkan acara tahlilan. Dari awal, seharusnya aku melarang keras pada Ibu. Aku tidak sudi, rumah yang aku beli dari hasil kerja keras dan hasil keringatku ini. Dijadikan tempat untuk mendoakan wanita pengkhianat itu.Rumah ini sudah aku miliki, satu tahun sebelum aku menikah dengan Kharisma. Tidak ada sedikitpun uang Kharisma dalam pembelian rumah ini.Andai Kharisma meninggal tidak dalam keadaan ya
"Kamu serius?""Dalam hal seperti ini, apa yang bisa dijadikan bahan untuk bercanda?"Aku menelan saliva dengan susah payah. Satu tahun lalu, Kharisma bekerja sebagai sekertaris pribadi. Setahuku, Kharisma itu seorang staff acounting di perusahaan manufaktur. Bukan sekertaris di perusahaan property. Ya, Tuhan. Sejauh ini aku dibohongi dan aku tidak sadar. Menyedihkan sekali."Lalu, apalagi yang kamu tahu tentang mereka?"Alwina menyipitkan matanya. "Apa kamu kira, aku tahu semuanya, dan aku membiarkan hubungan mereka tetap berlanjut?" tanya Alwina."Aku di sini, sama sepertimu. Aku dibohongi habis-habisan oleh suamiku sendiri," imbuhnya."Apalagi saat aku menelusuri isi ponsel suamiku. Ck," decak Alwina. Dia menyeka sudut matanya."Menjijikan," sambung Alwina disertai tawa meledek."Kalau kamu berharap, aku tahu mengenai hubungan mereka selama ini. Kamu salah. Aku sama sepertimu. Hatiku hancur saat mengetahui suamiku tewas bersama Kharisma di penginapan waktu itu. Hanya mereka yang ta
Aku kembali ke atas tempat tidur. Setelah menghabiskan dulu sebatang rokok di teras balkon. Sekarang aku sudah kembali ke kamar.Aku kembali mengambil ponsel yang tadi kubanting di atas tempat tidur. Aku yakin, dalam ponsel ini, pasti banyak sekali bukti perselingkuhan Kharisma dan Guntur. Hanya saja, aku perlu menguatkan hati jika masih ingin melihat semua file yang ada dalam ponsel itu.Kuhirup nafas dalam-dalam. Menguatkan diriku sendiri, untuk mencari tahu, apalagi yang Kharisma lakukan selama ini di belakangku.Pelan, aku menekan tombol kunci benda pipih yang ada di tanganku saat ini. Memilih tombol menu. Tidak banyak aplikasi di dalamnya. Hanya ada aplikasi gagang telpon hijau.Jariku secara refleks memilih aplikasi tersebut. Kolom chat kosong, hanya ada pesan yang diarsipkan. Begitu pun status. Panggilan apalagi. Daftar kontak hanya ada satu. Siapa lagi kalau bukan Honey-nya itu.Aku menghela nafas. Kemudian membuka chat yang diarsipkan. Chat itu memang dari satu nomor. Tidak a
Aku ingat betul, bahwa Kharisma masih virgin saat pertama kali aku menyentuhnya. Terdapat bercak darah di atas sprai kala itu, dan aku yakin kalau itu adalah darah keperawanannya."Ck, udah ah kamu gak usah bahas dia di sini, Honey! Di sini kita mau senang-senang, bukan mau bahas dia, 'kan?!" seru Kharisma dengan manja.Kucuran air sudah tidak lagi terdengar. Mungkin dimatikan."Jawab aku, Sweety! Apa yang membuat Dewa bisa menerima kalau kamu udah ngga virgin? Padahal seharusnya, Dewa melepaskan kamu. Dan kamu menjadi milikku lagi!" Guntur berucap. Jelas sekali kudengar, karena sudah tidak diiringi suara kucuran air."Aku pake darah perawan palsu." Kharisma menjawab seraya terkekeh."Kamu serius?" Guntur bertanya tidak percaya.Namun, tidak lagi kudengar sahutan dari Kharisma."Terus, dia juga ngga tahu dan ngga curiga, kalau kamu pernah keguguran anakku?" tanya Guntur lagi.Dug dug dug!Jantungku berdegup semakin kencang.Keguguran anaknya?Ya, Tuhan. Jadi Kharisma pernah hamil anak
~"Bang Dewa, gila!" Aku merutuk di depan cermin rias dalam kamarku. Melihat dahi serta pelipisku yang ditutupi perban, akibat harus dijahit.Aku menghela nafas panjang. Lantas mengambil bingkai foto di atas nakas. Terbingkai fotoku bersama Kak Risma."Kak, gue tahu, elo ada main ma si Guntur. Tapi kenapa sampai lo mati juga bareng dia, sih? Lo cinta mati sama dia? Gila lo, Kak!" umpatku pada foto dalam bingkai."Gue tahu, lo itu keras kepala. Tapi, gak semestinya juga, lo mati bareng si Guntur, Kak! Gue 'kan udah sering bilang sama lo, Kak. Lo ngomong baik-baik sama Bang Dewa, kalo lo pengin cerai dari dia. Lo jujur sama dia. Kalo lo gak bahagia sama dia. Tapi lo terus aja lanjutin hubungan lo sama si Guntur dan bohongin Bang Dewa. Lo lebih denger bisikan setan daripada kata-kata gue, Kak!""Coba aja, lo ada di sini! Udah gue jitak kepala lo, Kak!" Aku terus saja merutuki potret Kak Risma di dalam foto."Lo liat nih dahi gue sampai harus dijahit," ucapku seorang diri, sambil menunjuk
FLASHBACK ONTok tok tok! Tok tok tok! Aku yang baru bisa tidur, terpaksa harus bangun akibat ketukan di pintu kamar kost yang aku sewa. Aku mengucek mata yang rasanya sangat lengket.Tok tok tok!Lagi, pintu kembali di ketuk karena aku masih duduk di atas tempat tidurku. Dengan malas, aku beringsut dari tempat tidur. Lalu melangkah gontai menuju pintu.Memutar anak kunci, lalu membuka pintu kamar kost-ku.Kesadaran yang masih belum sepenuhnya. Serasa dimasukan dengan paksa dalam ragaku saat ini. Melihat Kak Risma dengan matanya yang teler serta jalannya yang sempoyongan."Astaga, Kak! Elo mab*k?!" tanyaku seketika. Mataku yang tadi begitu lengket. Mendadak melek setelah kedatangan kakakku ini.Kak Risma tidak menjawab. Kak Risma menerobos masuk ke dalam kamarku. Hingga menubruk bahuku, karena aku masih berdiri di ambang pintu.Kak Risma menjatuhkan dirinya di pinggir kasur berukuran single milikku yang tanpa dipan. Badan hingga kakinya tergeletak di lantai. Sedangkan kepalanya, dia
Satu setengah tahun kemudian…...Aku berdiri di depan pagar rumahku. Menatap bangunan dua lantai yang ada di seberang rumah ini.Bangunan yang sudah satu tahun terakhir, menjadi kaffe baru milik Dewa.Setelah melalui perundingan dan pemikiran yang matang. Aku dan Dewa akhirnya mencapai kesepakatan.Aku resmi keluar dari Gwyna Group. Aku menjual saham serta kantor itu pada adik iparku. Juga rumah mewah peninggalan Mas Guntur pun, telah aku jual.Aku dan Dewa sepakat. Akan memulai hidup baru. Benar-benar baru. Tanpa sedikitpun jejak masa lalu.Begitu juga dengan Dewa. Empat bangunan kaffe miliknya, berhasil ia jual dengan harga tinggi.Dia lalu memilih bangunan rumah di seberang rumah kami, untuk dijadikan caffe miliknya.Dewa memulai bisnis kafe dari awal lagi. Bahkan dari nol. Kafe dengan nama baru, akan tetapi dia masih memperkerjakan Haris, orang kepercayaannya di kafe yang lama.Dia memilih membangun kafe di seberang rumah ini, agar dia tak perlu lagi meninggalkan keluarga kecil
*********Aku melakukan apa yang Dewa inginkan. Dia telah melucuti celana training yang dipakainya. Kedua tanganku, bergerak menyentuh lalu menggenggam pusaka miliknya. Bergerak mengurut dari ujung hingga pangkal. Setelahnya, lantas meremas bagian pangkalnya. Hingga pusaka itu mulai menggeliat untuk berdiri.Dewa menegakkan tubuhnya cepat, untuk melepas kaos oblong yang melekat. Hingga sekarang, tubuh atasnya telah polos. Dewa kembali membungkuk lalu menyambar kembali bibirku. Kedua tangannya, mencoba menarik baju yang masih menutupi tubuhku. Hingga sampai di bagian dada, kami melepas cumbuan kami sejenak, agar bajuku terlepas.Kami melanjutkan cumb*an yang terhenti. Dewa dengan tubuhnya yang sudah polos, dan tubuh atasku yang hanya terbalut bra.Entah kenapa, cumb*an sore ini, terasa begitu panas. Kulit tubuh bagian atas tubuh kami, saliing bersentuhan. Tak ada jarak.Dewa menurunkan cumb*annya ke leher, lalu kedua bahuku yang polos. Turun ke bagian dada. Dan membuatku cukup terlena.
Pagi ini, aku tidak bangun terlambat lagi. Jam lima pagi, aku sudah berkutat di dapur. Menyiapkan sarapan untuk Naga dan juga aku. Sementara Dewa, dia hanya meminta untuk dibuatkan roti kupas isi selai seperti biasa. Tak ketinggalan, segelas cappucino hangat sebagai teman rotinya.Aku tengah membuat sup ayam. Juga nasi yang sudah kutanak menggunakan magic com. Aku memang membiasakan Naga untuk langsung makan nasi saat sarapan.Aku mematikan kompor. Saat sup ayam buatanku sudah mendidih dan matang. Aku menuangkan sedikit kuahnya pada sendok, lalu mencicipinya. Dan rasanya, selalu pas.Selesai membuat sup ayam. Lantas aku menanak air dalam panci kecil. Untuk menyeduh cappucino pesanan Dewa. Aku masih tidak mengerti, apa dia kenyang sarapan roti dan kopi seperti ini? Hanya dua lembar roti dan segelas kopi. Dan dia baru akan makan makanan berat, pada jam 11 siang nanti. Apa dia akan memiliki tenaga?Sedangkan sependek yang aku tahu, sarapan itu penting. Karena setelah semalaman kita tidur
********Setelah aku berhasil menemukan Dewa di rooftop kafe miliknya semalam. Aku dan Dewa, akhirnya sama-sama pulang ke rumah baru kami.Dan pagi ini.Aku kembali mendatangi pusara Davina, tentu bersama Dewa.Laki-laki dengan tatapan mata bak elang itu. Saat ini masih berjongkok di sisi gundukan tanah yang masih dipenuhi kelopak bunga tabur.Dia juga menaruh buket bunga mawar putih, di dekat papan nisan yang tertancap. Tangan besarnya, meraba, mengusap dan menelisik tulisan yang tertera di papan nisan tersebut.Kemudian, ia menempelkan keningnya, pada papan nisan. "Bagaimana pun, kamu pernah menjadi satu-satunya pelipur dalam hidup ini. Meski kenyatannya, kita bukanlah siapa-siapa. Semoga kamu selalu berada dalam kedamaian, Sa—yang. Tenanglah, dan berbahagialah di sana!" ucapnya setengah berbisik. Namun, masih dapat kutangkap. Sebab, aku berada dekat di sampingnya.Dan terakhir. Ia mencium papan nisan itu cukup lama. Hingga menyudahinya, dan mengajakku kembali ke rumah baru kami.**
Davina telah kembali pada pangkuan Sang Khaliq. Ia telah pergi menuju kedamaian yang abadi. Pusaranya dipenuhi kelopak bunga tabur. Di sisi papan nisan yang terukir namanya, Bu Titi menangis sesenggukan. Dengan tangan kirinya yang masih dipasangi arm sling.Bu Titi, aku serta Bi Ima. Masih terpekur di samping pusara, tempat peristirahatan terakhir anak kecil manis nan menggemaskan itu. Sama seperti Bu Titi, Bi Ima pun menangis pilu di sebelahku.Sekuat hati, aku menahan agar tak menangis. Tetapi, lelehan air mataku, bak tanggul yang bisa jebol kapan saja. Tangisku pun tak dapat dibendung."Bu, maapkan saya, Bu. Gara-gara saya, Davina jadi meninggal. Pak Dewa pasti marah sekali sama saya, Bu … Saya sudah membuat anaknya meninggal …." ujar Bu Titi di sela isakan tangisnya.Aku mengusap wajahku yang basah. Lalu mengusap-usap bahu Bu Titi. Perempuan seusia Bi Ima, yang tengah meratapi kepergian putri asuhnya ini."Nggak, Bu! Ini bukan karena Ibu. Kematian itu pasti datang. Semua ini, suda
Tiba di RS Harapan. Aku serta Dewa buru-buru mencari keberadaan Davina. Setelah sebelumnya, menanyakan informasi tentangnya.Sampai di depan kamar dimana Davina ditangani. Bi Ima pun sudah ada di sana. Ia bangkit dari duduknya dan berhambur memelukku. Bi Ima terisak begitu saja."Gimana Davina sekarang, Bi? Kalian mau pergi kemana? Kenapa nggak hubungi saya kalau kalian mau pergi? Aghh!" Dewa melayangkan kepalan tangannya di udara.Sedangkan Bi Ima, tak berucap apa pun. Dia masih terisak dalam pelukanku. Aku pun hanya bisa mengusap-usap lengannya, agar ia sedikit tenang dan mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.Klek!Pintu ruangan terbuka. Berbarengan dengan seorang dokter wanita yang keluar."Bagaimana? Sudah ada keluarga dari Ananda Davina? Korban harus segera mendapat transfusi darah," ujar sang dokter.Dewa maju dengan sigap ke hadapan dokter tersebut. "Saya ayahnya, Dok. Ambil darah saya. Selamatkan Davina, Dok!" ucap Dewa memohon.Dokter itu mengangguk cepat. "Baik. Mari
Kutarik napas dalam sepenuh dadaku."Semalam. Saat kita melakukan hubungan suami istri. Dan kamu udah duluan sampai ke puncak. Aku saat itu, sama sekali belum merasakan apa-apa. Aku nggak merasa terpuaskan sama sekali …."Senyum di bibir itu seketika lenyap. Setelah aku berucap demikian.Keningnya melipat. Tatapan matanya meredup dan raut wajahnya penuh tanya menatapku."Maksudnya?" tanyanya pelan.Aku menelan saliva. Mengumpulkan segenap kekuatan. Otakku berputar, mencari kata-kata yang tepat agar maksudku tersampaikan tapi tidak mwmbuat Dewa tersinggung.Kembali aku menarik napas sepenuh dada."E—eu—m … I—i—iyyaa … jadi … aku belum mencapai klimaks saat milik kamu sudah selesai …." Hati-hati dan pelan aku mengutarakan apa yang aku rasakan semalam.Dewa nampak terdiam. Semoga aku tidak salah berucap dan Dewa mengerti apa yang kusampaikan."Apa kamu mau menuduhku lemah syahw*t juga, seperti yang Karina lakukan?" tanyanya dengan tatapan mendelik.Sontak netraku membeliak mendengarnya.
*****Jam delapan malam.Aku sedang menyisir rambutku. Duduk di depan meja rias. Aku masih berdua di rumah baruku bersama Dewa ini.Malam ini. Lingerie hitam dengan belahan dada agak rendah, membalut tubuhku. Panjangnya hanya sampai lutut. Dua utas tali dibagian pundak, hanya sebagai penyangga. Membiarkan pundakku terekspos.Aku rasa, penampilanku saat ini sudah cukup menggoda. Harusnya bisa membangkitkan dan membuat gairah Dewa lebih dari kemarin.K l e k!Pintu kamar dibuka. Berbarengan dengan Dewa yang masuk ke dalam kamar ini. Pandangan mata kami bertemu, dalam pantulan cermin di hadapanku.Dewa menutup pintu kembali. Lantas dia berjalan mendekat. Dan kali ini, memang berjalan ke arahku. Dewa menghenyakkan bobotnya di ujung meja rias di hadapanku. Dia menatapku. Aku lantas menunduk, tak kuat untuk lama-lama menatap mata elangnya.Daguku disentuh ujung jarinya, lalu diangkat. Hingga tatapan kami bersirobok. Mau tak mau, aku pun harus kembali menatapnya."Kamu nggak dingin pakai baj
****Apa yang barusan terjadi antara aku dan suamiku itu?Dia sudah merebahkan tubuhnya di sampingku dengan napasnya yang terengah. Sedangkan aku, masih belum mencapai puncak yang kuinginkan. Bahkan milikku saja masih berdenyut tak karuan di bawah sana.Oh. Ya, ampun. Ada apa ini?Aku masih telentang dengan pandangan lurus menatap langit-langit kamar baruku ini.Aku beranikan diri menoleh pada Dewa yang sudah berbaring tepat di sebelahku. Dia masih terjaga. Dadanya nampak naik turun. Lantas, dia pun menoleh padaku dan tersenyum, kemudian mendekatkan wajahnya.Cup.Dia mengecup keningku sekilas, dan kembali ke posisinya semula. Sambil menarik selimut dengan kakinya, untuk menutupi tubuhnya. Dia juga membenahi selimut itu, agar menutupi tubuhku. Kemudian, matanya mulai ia pejamkan.Dia tidur?Aku memalingkan wajahku kembali.Apa ini? Apa yang terjadi pada Dewa? Apa dia sudah mencapai klimaksnya saat penyatuan tadi?Kepalaku disergap berbagai pertanyaan. Sedangkan inti bawah tubuhku masih