"Dewa ...." Aku melihat Ibu masuk ke dalam kamar. Aku yang baru saja merebahkan tubuh setelah selesai merokok dari balkon. Tidak berniat bangun.Pasti ibu ingin membahas tentang kebenaran yang tadi aku sampaikan.Ibu dipapah Bi Ima untuk duduk di tepi tempat tidur. Bi Ima gegas pergi. Meninggalkanku berdua dengan Ibu."Dewa, ibu mau bicara!" seru Ibu."Silahkan, Bu!" jawabku singkat. Aku masih diposisi rebahan."Mertua dan adik ipar kamu, pergi ke klinik. Dahi dan pelipis Karina ternyata robek, Dewa!" ujar Ibu.Aku tak menanggapi. Bocah tengil seperti Karina memang pantas mendapatkannya. Itulah akibat dari mulutnya yang asal cuap.Menuduh dan menghinaku di depan mertua dan ibuku sendiri. Luka robek itu masih bisa diobati. Tapi luka hatiku, karena pengkhianatan kakaknya juga tuduhannya tadi, entah kapan akan terobati."Dewa, apa benar, semua yang tadi kamu katakan? Rasanya, ibu nggak percaya!" tanya dan ungkap ibu kemudian.Aku menghela nafas. Lalu bangkit dan duduk menghadap ibu."Bu,
"Wa?!" Suara Argi menyandarku dari kebekuan. Argi terlihat mengibaskan tangannya di depan wajahku."I ... iya ... iya, Gi? Kenapa?" Aku tergagap menjawabnya."Kok, kenapa? Ada juga lo yang kenapa, Wa? Lo beneran nggak tahu, pernikahan sahabat lo sendiri?" Lagi-lagi, Argi tidak percaya, kalau aku memang tidak tahu pernikahan Guntur."Sumpah, Gi! Gue nggak tahu! Lo salah kali, yang nikah tiga tahun lalu bukan si Guntur!" sanggahku."Ck, bentar!" Argi mendecak. Lantas mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. Kemudian memainkan ponselnya itu.Aku kembali menyulut sebatang rokok, dan menyesapnya dalam-dalam lalu mengepulkan asapnya melalui mulut. Ah, menenangkan sekali."Lo liat, Wa! Itu foto waktu nikahan si Guntur!" ujarnya, seraya menyodorkan ponsel miliknya.Aku memperhatikan. Ku perbesar foto di layar ponselnya itu. Seketika dahiku mengerut. Karena foto di ponsel Argi yang kuamati sekarang, memang foto pernikahan Guntur."Gue dikirimin foto itu sekitar tiga tahun yang lalu.
Kini, aku sudah berada di depan rumahku, masih diam di dalam mobil. Aku memilih pulang dari cafe.Kulihat di depan pintu rumah sana, Bi Ima tengah berbicara dengan seorang pria berjaket kulit hitam. Entah siapa aku tidak tahu. Pria itu terlihat menyerahkan sebuah koper pada Bi Ima.Aku memicingkan mata. Itu seperti koper milik Kharisma, yang dibawanya saat izin pergi waktu itu. Bi Ima menerimanya, setelah itu, si pria tadi bergegas pergi dari teras rumahku.Setelah pria tadi benar-benar meninggalkan rumahku. Segera aku turun dari mobil. dan melangkah menuju teras rumah."Bi Ima!" seruku secepatnya dari ambang pintu. Bi Ima menghentikan langkahnya. Lalu berbalik. "Iya, Pak Dewa?"Aku melangkah masuk ke dalam rumah. Berjalan ke arah Bi Ima yang berdiri sambil memegangi dorongan koper."Pak, tadi ada yang mengantar koper ini. Katanya ini milik Bu Risma, yang lupa diserahkan pada Bapak," jelasnya, tanpa aku tanya. Bi Ima menyerahkan koper itu padak. Jadi benar, koper ini memang milik Kha
Kuularkan tangan untuk menyentuh lipatan kain berwarna merah menyala itu, dan menariknya ke atas."Lingerie?"Nafasku terasa memburu. Kurentangkan kain merah menyala, yang aku duga adalah lingerie.Ya, ternyata memang benar. Setelah aku merentangkannya. Terpampang di hadapanku, lingerie dengan aksen renda di bagian depannya. Dengan belahan dada super rendah.Jika dipakai oleh Kharisma yang tinggi semampai. Maka lingerie itu hanya sampai menutupi lututnya. Otomatis akan memperlihatkan, kaki jenjangnya yang putih dan mulus.Lingerie merah menyala, sangat kontras di kulit Kharisma yang putih. Jika Kharisma memakainya, tentu akan memperindah lekuk tubuhnya.Aku menelan saliva dengan susah payah. Tenggorokanku tercekat. Tanganku yang masih memegangi lingerie, terasa gemetar. Lekas kulempar dengan asal, benda itu dari tanganku.Aku melanjutkan memeriksa barang lain yang masih di dalam koper. Sejenak aku tertegun. Karena setelah lingerie merah menyala itu ku singkiran dari tumpukan isi kope
Prank Prankk!Gelas beserta tekonya pun aku banting ke lantai. Hingga pecah semuanya. Apapun yang ada di dekatku saat ini, aku hancurkan. Sehingga ruangan depan ini, seperti diterpa badai.Secepatnya aku kembali menaiki tangga, masuk ke dalam kamar yang belum selesai Bi Ima bereskan. Mengambil bungkus rokok, lalu ke teras balkon. Duduk di kursi teras seraya menyulut sebatang rokok, dan menyesapnya.Semua ini membuatku benar-benar frustasi.Kusesap dan kuhembuskan asap rokok perlahan, yang akhirnya terasa begitu menenangkan.Aku salah. Seharusnya, aku tidak membiarkan Ibu, mengadakan dan menyiapkan acara tahlilan. Dari awal, seharusnya aku melarang keras pada Ibu. Aku tidak sudi, rumah yang aku beli dari hasil kerja keras dan hasil keringatku ini. Dijadikan tempat untuk mendoakan wanita pengkhianat itu.Rumah ini sudah aku miliki, satu tahun sebelum aku menikah dengan Kharisma. Tidak ada sedikitpun uang Kharisma dalam pembelian rumah ini.Andai Kharisma meninggal tidak dalam keadaan ya
"Kamu serius?""Dalam hal seperti ini, apa yang bisa dijadikan bahan untuk bercanda?"Aku menelan saliva dengan susah payah. Satu tahun lalu, Kharisma bekerja sebagai sekertaris pribadi. Setahuku, Kharisma itu seorang staff acounting di perusahaan manufaktur. Bukan sekertaris di perusahaan property. Ya, Tuhan. Sejauh ini aku dibohongi dan aku tidak sadar. Menyedihkan sekali."Lalu, apalagi yang kamu tahu tentang mereka?"Alwina menyipitkan matanya. "Apa kamu kira, aku tahu semuanya, dan aku membiarkan hubungan mereka tetap berlanjut?" tanya Alwina."Aku di sini, sama sepertimu. Aku dibohongi habis-habisan oleh suamiku sendiri," imbuhnya."Apalagi saat aku menelusuri isi ponsel suamiku. Ck," decak Alwina. Dia menyeka sudut matanya."Menjijikan," sambung Alwina disertai tawa meledek."Kalau kamu berharap, aku tahu mengenai hubungan mereka selama ini. Kamu salah. Aku sama sepertimu. Hatiku hancur saat mengetahui suamiku tewas bersama Kharisma di penginapan waktu itu. Hanya mereka yang ta
Aku kembali ke atas tempat tidur. Setelah menghabiskan dulu sebatang rokok di teras balkon. Sekarang aku sudah kembali ke kamar.Aku kembali mengambil ponsel yang tadi kubanting di atas tempat tidur. Aku yakin, dalam ponsel ini, pasti banyak sekali bukti perselingkuhan Kharisma dan Guntur. Hanya saja, aku perlu menguatkan hati jika masih ingin melihat semua file yang ada dalam ponsel itu.Kuhirup nafas dalam-dalam. Menguatkan diriku sendiri, untuk mencari tahu, apalagi yang Kharisma lakukan selama ini di belakangku.Pelan, aku menekan tombol kunci benda pipih yang ada di tanganku saat ini. Memilih tombol menu. Tidak banyak aplikasi di dalamnya. Hanya ada aplikasi gagang telpon hijau.Jariku secara refleks memilih aplikasi tersebut. Kolom chat kosong, hanya ada pesan yang diarsipkan. Begitu pun status. Panggilan apalagi. Daftar kontak hanya ada satu. Siapa lagi kalau bukan Honey-nya itu.Aku menghela nafas. Kemudian membuka chat yang diarsipkan. Chat itu memang dari satu nomor. Tidak a
Aku ingat betul, bahwa Kharisma masih virgin saat pertama kali aku menyentuhnya. Terdapat bercak darah di atas sprai kala itu, dan aku yakin kalau itu adalah darah keperawanannya."Ck, udah ah kamu gak usah bahas dia di sini, Honey! Di sini kita mau senang-senang, bukan mau bahas dia, 'kan?!" seru Kharisma dengan manja.Kucuran air sudah tidak lagi terdengar. Mungkin dimatikan."Jawab aku, Sweety! Apa yang membuat Dewa bisa menerima kalau kamu udah ngga virgin? Padahal seharusnya, Dewa melepaskan kamu. Dan kamu menjadi milikku lagi!" Guntur berucap. Jelas sekali kudengar, karena sudah tidak diiringi suara kucuran air."Aku pake darah perawan palsu." Kharisma menjawab seraya terkekeh."Kamu serius?" Guntur bertanya tidak percaya.Namun, tidak lagi kudengar sahutan dari Kharisma."Terus, dia juga ngga tahu dan ngga curiga, kalau kamu pernah keguguran anakku?" tanya Guntur lagi.Dug dug dug!Jantungku berdegup semakin kencang.Keguguran anaknya?Ya, Tuhan. Jadi Kharisma pernah hamil anak