Jam 7 malam, aku mengendarai kembali Fortuner hitamku membelah jalanan untuk segera kembali ke Bandung. Tepat di depanku, mobil ambulance tanpa sirine, hanya menyalakan lampu rotator, membawa jenazah Kharisma.
Setelah pemeriksaan jasad Kharisma selesai. Pengurusan fardhu kifayah, aku serahkan pada pihak rumah sakit kepolisian. Setelah semuanya selesai. Aku menyewa satu ambulance untuk membawa jasad Kharisma. Sedangkan aku, sendirian di dalam mobil."Aarrrkkhhh!" Kupukuli stir mobil dengan kepalan tangan. Kepala rasanya ingin meledak saat ini juga.Hasil visum dari jasad Kharisma benar-benar membuatku terpukul. Bulir bening mulai berjatuhan dari mataku.Kugigit bibir bawah dengan kuat. Menahan supaya tangisku tidak tumpah."Jangan menangis, Dewa! Jangan! Dia tidak pantas kamu tangisi!" gumamku pada diri sendiri.Dengan cepat, aku menyeka butiran bening yang tadi sempat membahasi pipiku."Aku tidak boleh—menangis! Tidak ..." parau aku berucap. Suaraku rasa tertahan di tenggorokan.Kupasang earphone, lalu menghubungi Nakula kembali, untuk menyulap rumahku menjadi rumah duka dan tetap merahasiakan hal ini terutama dari ibuku.***Tiga jam perjalanan, akhirnya mobil ambulance itu tiba di depan rumahku. Aku pun memarkirkan mobilku di depan rumah. Petugas rumah sakit kepolisian menurunkan jasad Kharisma dari dalam mobil, lalu membawanya ke dalam rumah.Di depan pintu rumah. Nakula menghambur ke arahku. Sorot matanya kebingungan dan penuh tanda tanya. Petugas rumah sakit kepolisian menurunkan jasad Kharisma dari dalam mobil, lalu membawanya ke dalam rumah.Aku memasuki rumah bersama Nakula. Di dalam rumah, sudah ada ibuku.Aku tertegun dibuatnya. "Naku! Abang sudah bilang, jangan bilang siapa-siapa! Kenapa malah ada ibu di sini?" tanyaku berbisik di telinga Nakula."Gue nggak bilang siapa-siapa, Bang! Sumpah! Gue cuma bilang ART, lo, Bi Ima!""Terus kenapa bisa ada ibu?""Ibu baru aja dateng, Bang!"Aku menatap tajam Nakula. Mencari kebohongan lewat dua bola matanya. Namun tidak kutemukan. Naku tidak berbohong.Rumah Ibu hanya terpisah 4 rumah dengan rumahku. Membuat Ibu bisa kapan saja datang ke rumah ini. Tapi ini sudah malam, untuk apa Ibu datang di malam seperti ini? Apa Ibu merasakan firasat mengenai menantunya itu, sampai akhirnya Ibu datang? Ah, entahlah!Begitu jasad Kharisma dibaringkan. Bi Ima datang dan langsung memasangkan kain jarik, menutupi jasad yang telah dibungkus kain kafan.Sedangkan, Ibu. Aku melihat tubuhnya merosot di dekat kepala Kharisma. Ibu menutup mulutnya dan mulai menangisi menantu kesayangannya."Bi Ima, buatkan kopi hitam dan antar ke atas!" titahku pada Bi Ima.Aku bergegas menaiki tangga lalu masuk ke dalam kamar. Berjalan cepat memasuki kamar mandi. Melepas seluruh pakaianku, menyalakah shower, lalu membiarkan kucuran airnya membahasi setiap inci kulitku malam ini.Tubuhku luruh di lantai kamar mandi. Kutumpahkan semua tangis dan sesak yang menghimpit dadaku sejak tadi. Kupukuli dinding kamar mandi di depanku.Aku menangis sejadi-jadinya di bawah guyuran air shower. Aku tidak kuat lagi menahannya. Ini terlalu menyakitkan."Kenapaaa? Kenapaaa?" teriakku seperti orang kesetanan."Kenapaaa? Kenapa kamu tega, Risma? Kenapa ...?" lirihku. Aku semakin tergugu di bawah guyuran air shower.Aku puaskan tangisku saat ini. Aku biarkan air mata mengalir deras malam ini. Biarkan air mataku tersamarkan oleh kucuran air shower.Setelah ini, aku berjanji. Aku tidak akan lagi menangisinya. Aku berjanji, ini terakhir kalinya, aku menangisi wanita pengkhianat itu.***"Bang, elu dipanggil ibu!" ucap Nakula.Aku tidak menggubris. Aku enggan menemui Ibu. Biarkan Bi Ima dan Ibu yang menemui pelayat. Kusesap rokok dalam jepitan jemariku. Menyesapnya dengan kuat lalu menghembuskannya perlahan menjadi kepulan asap di depan ku.Beginilah caraku menenangkan diri. Menyesap rokok ditemani segelas kopi. Nakula menyulut rokok yang sama denganku. Lalu duduk di tembok penghalang balkon menghadapku.Dari balkon lantai dua rumahku, mulai terdengar suara-suara orang membacakan surat Yaasin dari lantai bawah."Jadi, yang meninggal itu, istri lu, Bang?" tanyanya. Seharusnya, dia tidak perlu menanyakan lagi. Aku yakin dia pasti sudah melihat, jasad siapa yang ada di bawah.Aku tidak menjawab. Kusesap kembali rokok di tanganku. Kemudian menikmati kopi hitamku yang sudah dingin."Bang! Itu yang meninggal istri lu. Kenapa lu bisa tenang-tenang aja di sini? Sedangkan di bawah ibu nangis-nangis, Bang! Tapi elu suaminya. Malah asik rokok kopi di sini! Gila lu, Bang!" cercanya tanpa titik koma.Aku mendecih. Dengan satu sudut bibir terangkat, mendengar cercaan adikku barusan."Bacain istri lu, yaasin kek, berdoa kek, Bang! Lu gak ada berduka citanya ditinggal istri?!" omelnya lagi.Lantas aku beranjak, masuk ke dalam kamar. Mengambil amplop putih dan kembali ke balkon. Menyerahkan amplop itu pada Nakula, untuk membungkam mulutnya yang tak bisa berhenti mengoceh.Setelah Nakula menerima amplop itu, dia membolak-baliknya lalu membukanya.Aku kembali duduk di kursi dan menyesap rokok di tangan. Sambil memperhatikan ekspresi Naku ketika melihat isi surat yang sedang dibacanya sekarang.Dahinya berkerut lalu kemudian matanya melotot. "Apaan ini, Bang?" tanyanya spontan."Kamu masih bisa baca, 'kan?""Ya, maksud gue, isi pernyataan ini udah valid?"Aku mengangguk. "100%!"Lekas kutekan sisa rokok ke dalam asbak. Naku terlihat menggeleng. "Gila!" umpatnya. Aku bisa mendengar Nakula mendecih. Disodorkannya kembali amplop itu padaku. Naku kembali menyesap rokoknya.Aku mengambil kembali amplop dari tangan Naku seraya beranjak ke dalam kamarku, dan menyimpannya lagi di atas meja.Aku ke luar kamar, meninggalkan Nakula di teras balkon. Aku berdiri di ambang pintu kamar sebelahku. Di atas kasur dengan sprai pink bunga-bunga, anakku tertidur pulas, ditunggui pengasuhnya.Melihat keberadaanku, pengasuh anakku bergegas meninggalkan kamar. Lantas aku masuk dan mendekati putriku.Kutatap putriku satu-satunya yang baru berusia 8 bulan. Bayi yang kehadirannya aku dan Kharisma nantikan selama ini. Sekarang, Kharisma justru pergi meninggalkan putri kami untuk selamanya.Aku mendesah.Putriku tertidur begitu pulas. Putriku begitu mirip dengan Kharisma. Bulu mata lentik serta mata bulatnya benar-benar turunan dari Kharisma.Apa putriku tidak merasakan ikatan batinnya dengan Mamanya? Apa karena selama ini, putriku diasuh oleh pengasuh. Sehingga membuat ikatannya dengan Kharisma tak terikat semestinya?Aku rasa, ada ataupun tidak ada Kharisma, tidak akan berpengaruh pada putriku. Toh selama ini, putriku lengket pada pengasuhnya dari pada Mama kandungnya sendiri.Kharisma sibuk bekerja di perusahaan manufaktur. Waktunya lebih banyak di kantor daripada di rumah. Aku sudah melarangnya untuk terus bekerja. Penghasilanku lebih dari cukup untuk membiayai dan memenuhi kebutuhan hidup Kharisma.Kesibukannya, membuat waktunya bersama putri kami sangat sedikit. Kharisma ada di rumah di hari Sabtu Minggu. Kharisma yang sering ke luar kota untuk beberapa hari pun, sepertinya membuat putriku terbiasa tanpa belaian dari Mamanya.Nakula kembali menghampiriku. Dia duduk di bibir tempat tidur di sebelahku."Bang, asam urat ibu naik karena hal ini," ucapnya.Aku hanya mampu menghela nafas. Ibu pasti sangat shock dengan kematian Kharisma. Kuusap wajah dengan kasar. Bagaimana aku berterus terang pada Ibu?"Tapi kamu belum bilang yang sebenernya sama Ibu, 'kan?" tanyaku seraya menatap tajam Nakula.Nakula menggeleng. "Nggaklah, Bang! Gue takut ibu malah pingsan!" jawabnya.Aku manggut-manggut. Nakula memang bisa dipercaya."Mertua lo, belum dikasih tahu, Bang?" tanya Nakula kembali.Aku menggeleng."Kenapa, Bang? Mereka orangtua istri lo! Mereka berhak tahu keadaan anaknya, Bang!""Abang tahu! Tapi alasan apa yang harus Abang katakan Nakula? Ini aib! Abang malu!"Aku menutup wajah dengan kedua tangan. Bayangan Kharisma sebagai sosok istri sempurna, seolah menari di pelupuk mata."Bang!" Nakula memanggilku dengan pelan."Gue nggak nyangka, Bang!" sambungnya. Aku masih diam. Dia saja tidak menyangka. Apalagi aku?"Selain sering ke club, ternyata istri lo pemake, Bang!" imbuhnya.Seketika aku terperangah. Lantas menoleh pada Nakula di sampingku. "Club?" tanyaku memastikan.Nakula mengangguk. "Clubing, Bang!"Aku membelalak tak percaya. Kenyataan apalagi yang akan terungkap setelah kematian Kharisma?Jasad Kharisma sudah dikuburkan. Dapat kudengar tangisan orang-orang terdekat Kharisma. Kedua orangtua juga adiknya. Begitu juga ibuku. Ibu yang duduk di kursi roda, akibat asam uratnya yang naik, tetap ikut mengantar Kharisma hingga ke peristirahatan terakhir, setelah semalam tidur di rumahku.Mereka semua menangis tersedu. Meratapi kepergian Kharisma yang tiba-tiba. Tidak ada yang menyangka bahwa wanita dengan tinggi 175 cm itu, pergi secepat ini.Aku berdiri di bawah pohon kamboja. Terhalang dua makam lain dari tanah kuburan dimana jasad Kharisma dikubur. Penguburan jasad Kharisma kuserahkan semuanya pada pengurus jenazah di komplek rumahku.Aku menolak ikut turun ke dalam liang lahat. Sedikitpun, aku tak menyentuh jasad itu. Aku jijik. Hatiku terlalu sakit. Aku pun menyaksikan penguburan jasadnya dari sini. Tidak berniat mendekat sama sekali.Kulihat mereka semua terisak. Papa mertuaku, terlihat memeluk papan nisan kuburan anak pertamanya itu. Papa mertua menangis. Begitu pun Mama
Plukk!Karina melempar tepat mengenai wajahku, surat keterangan kepolisian yang diremasnya. "Semua ini karena elo, Bang!" ucapnya lantang seraya berdiri.Aku yang tersulut emosi, juga berdiri. "Apa-apaan kamu hah?" tanyaku geram."Kak Risma selingkuh itu, gara-gara elo, Bang! Elo gak bisa jadi suami idaman! Elo gak bisa bahagiain kakak gue! Elo itu lemah di atas ranjang! Bukan Kakak gue yang murahan. Tapi elo yang nggak bisa puasin dia! Makanya dia selingkuh dari elo!" pungkas Karina menyudutkanku.Tanganku mengepal mendengar ucapan Karina barusan.Apa Karina sudah tahu kalau Kharisma itu selingkuh? Sialan!"Elo itu payah dalam urusan ranjang, Bang! Jadi bukan salah Kharisma, kalau dia cari kepuasan dari pria lain!" hardik Karina kembali.PLAKKK!Amarah yang sudah di ubun-ubun, membuatku akhirnya menampar adik ipar tidak punya etika seperti Karina ini."Kamu anak kecil, nggak usah sok tahu dengan urusan rumah tangga orang!" ucapku seraya menunjuk wajah Karina.Karina memegangi pipinya
"Dewa ...." Aku melihat Ibu masuk ke dalam kamar. Aku yang baru saja merebahkan tubuh setelah selesai merokok dari balkon. Tidak berniat bangun.Pasti ibu ingin membahas tentang kebenaran yang tadi aku sampaikan.Ibu dipapah Bi Ima untuk duduk di tepi tempat tidur. Bi Ima gegas pergi. Meninggalkanku berdua dengan Ibu."Dewa, ibu mau bicara!" seru Ibu."Silahkan, Bu!" jawabku singkat. Aku masih diposisi rebahan."Mertua dan adik ipar kamu, pergi ke klinik. Dahi dan pelipis Karina ternyata robek, Dewa!" ujar Ibu.Aku tak menanggapi. Bocah tengil seperti Karina memang pantas mendapatkannya. Itulah akibat dari mulutnya yang asal cuap.Menuduh dan menghinaku di depan mertua dan ibuku sendiri. Luka robek itu masih bisa diobati. Tapi luka hatiku, karena pengkhianatan kakaknya juga tuduhannya tadi, entah kapan akan terobati."Dewa, apa benar, semua yang tadi kamu katakan? Rasanya, ibu nggak percaya!" tanya dan ungkap ibu kemudian.Aku menghela nafas. Lalu bangkit dan duduk menghadap ibu."Bu,
"Wa?!" Suara Argi menyandarku dari kebekuan. Argi terlihat mengibaskan tangannya di depan wajahku."I ... iya ... iya, Gi? Kenapa?" Aku tergagap menjawabnya."Kok, kenapa? Ada juga lo yang kenapa, Wa? Lo beneran nggak tahu, pernikahan sahabat lo sendiri?" Lagi-lagi, Argi tidak percaya, kalau aku memang tidak tahu pernikahan Guntur."Sumpah, Gi! Gue nggak tahu! Lo salah kali, yang nikah tiga tahun lalu bukan si Guntur!" sanggahku."Ck, bentar!" Argi mendecak. Lantas mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. Kemudian memainkan ponselnya itu.Aku kembali menyulut sebatang rokok, dan menyesapnya dalam-dalam lalu mengepulkan asapnya melalui mulut. Ah, menenangkan sekali."Lo liat, Wa! Itu foto waktu nikahan si Guntur!" ujarnya, seraya menyodorkan ponsel miliknya.Aku memperhatikan. Ku perbesar foto di layar ponselnya itu. Seketika dahiku mengerut. Karena foto di ponsel Argi yang kuamati sekarang, memang foto pernikahan Guntur."Gue dikirimin foto itu sekitar tiga tahun yang lalu.
Kini, aku sudah berada di depan rumahku, masih diam di dalam mobil. Aku memilih pulang dari cafe.Kulihat di depan pintu rumah sana, Bi Ima tengah berbicara dengan seorang pria berjaket kulit hitam. Entah siapa aku tidak tahu. Pria itu terlihat menyerahkan sebuah koper pada Bi Ima.Aku memicingkan mata. Itu seperti koper milik Kharisma, yang dibawanya saat izin pergi waktu itu. Bi Ima menerimanya, setelah itu, si pria tadi bergegas pergi dari teras rumahku.Setelah pria tadi benar-benar meninggalkan rumahku. Segera aku turun dari mobil. dan melangkah menuju teras rumah."Bi Ima!" seruku secepatnya dari ambang pintu. Bi Ima menghentikan langkahnya. Lalu berbalik. "Iya, Pak Dewa?"Aku melangkah masuk ke dalam rumah. Berjalan ke arah Bi Ima yang berdiri sambil memegangi dorongan koper."Pak, tadi ada yang mengantar koper ini. Katanya ini milik Bu Risma, yang lupa diserahkan pada Bapak," jelasnya, tanpa aku tanya. Bi Ima menyerahkan koper itu padak. Jadi benar, koper ini memang milik Kha
Kuularkan tangan untuk menyentuh lipatan kain berwarna merah menyala itu, dan menariknya ke atas."Lingerie?"Nafasku terasa memburu. Kurentangkan kain merah menyala, yang aku duga adalah lingerie.Ya, ternyata memang benar. Setelah aku merentangkannya. Terpampang di hadapanku, lingerie dengan aksen renda di bagian depannya. Dengan belahan dada super rendah.Jika dipakai oleh Kharisma yang tinggi semampai. Maka lingerie itu hanya sampai menutupi lututnya. Otomatis akan memperlihatkan, kaki jenjangnya yang putih dan mulus.Lingerie merah menyala, sangat kontras di kulit Kharisma yang putih. Jika Kharisma memakainya, tentu akan memperindah lekuk tubuhnya.Aku menelan saliva dengan susah payah. Tenggorokanku tercekat. Tanganku yang masih memegangi lingerie, terasa gemetar. Lekas kulempar dengan asal, benda itu dari tanganku.Aku melanjutkan memeriksa barang lain yang masih di dalam koper. Sejenak aku tertegun. Karena setelah lingerie merah menyala itu ku singkiran dari tumpukan isi kope
Prank Prankk!Gelas beserta tekonya pun aku banting ke lantai. Hingga pecah semuanya. Apapun yang ada di dekatku saat ini, aku hancurkan. Sehingga ruangan depan ini, seperti diterpa badai.Secepatnya aku kembali menaiki tangga, masuk ke dalam kamar yang belum selesai Bi Ima bereskan. Mengambil bungkus rokok, lalu ke teras balkon. Duduk di kursi teras seraya menyulut sebatang rokok, dan menyesapnya.Semua ini membuatku benar-benar frustasi.Kusesap dan kuhembuskan asap rokok perlahan, yang akhirnya terasa begitu menenangkan.Aku salah. Seharusnya, aku tidak membiarkan Ibu, mengadakan dan menyiapkan acara tahlilan. Dari awal, seharusnya aku melarang keras pada Ibu. Aku tidak sudi, rumah yang aku beli dari hasil kerja keras dan hasil keringatku ini. Dijadikan tempat untuk mendoakan wanita pengkhianat itu.Rumah ini sudah aku miliki, satu tahun sebelum aku menikah dengan Kharisma. Tidak ada sedikitpun uang Kharisma dalam pembelian rumah ini.Andai Kharisma meninggal tidak dalam keadaan ya
"Kamu serius?""Dalam hal seperti ini, apa yang bisa dijadikan bahan untuk bercanda?"Aku menelan saliva dengan susah payah. Satu tahun lalu, Kharisma bekerja sebagai sekertaris pribadi. Setahuku, Kharisma itu seorang staff acounting di perusahaan manufaktur. Bukan sekertaris di perusahaan property. Ya, Tuhan. Sejauh ini aku dibohongi dan aku tidak sadar. Menyedihkan sekali."Lalu, apalagi yang kamu tahu tentang mereka?"Alwina menyipitkan matanya. "Apa kamu kira, aku tahu semuanya, dan aku membiarkan hubungan mereka tetap berlanjut?" tanya Alwina."Aku di sini, sama sepertimu. Aku dibohongi habis-habisan oleh suamiku sendiri," imbuhnya."Apalagi saat aku menelusuri isi ponsel suamiku. Ck," decak Alwina. Dia menyeka sudut matanya."Menjijikan," sambung Alwina disertai tawa meledek."Kalau kamu berharap, aku tahu mengenai hubungan mereka selama ini. Kamu salah. Aku sama sepertimu. Hatiku hancur saat mengetahui suamiku tewas bersama Kharisma di penginapan waktu itu. Hanya mereka yang ta