"Kamu sudah pernah melihatnya bertingkah laku seperti Kharisma? Emm, Karina itu sering pergi ke tempat hiburan malam, misalnya," tanya Alwina menyelidik.Aku menggeleng. "Aku ngga pernah mendatangi dan ngga tahu juga tempat-tempat seperti itu.""Lalu darimana, kamu bisa menyimpulkan, kalau dia sama seperti Kharisma?""Apa harus dibuktikan? Apa ngga cukup, hubungan darah mereka yang membuktikan kalau kelakuan mereka itu pasti sama?" desisku.Alwina memicingkan matanya. "Kamu yakin?" tanyanya terdengar santai."Yakinlah!" jawabku mantap."Berikan aku satu pernyataan, kalau kamu sudah melihat dengan mata kepala kamu sendiri, bahwa Karina berkelakuan seperti Kharisma!" pintanya.Dahiku mengernyit seketika. "Aku 'kan udah bilang, aku ngga pernah pergi ke tempat hiburan malam seperti itu, Wina! Selama ini pun, aku menjaga jarak dengannya. Apalagi sekarang, setelah kematian kakaknya yang memalukan! Aku sangat tidak menyukai dia, Wina!" tegasku."Kita lupakan sejenak mengenai kelakuan Kharis
Menjelang jam makan siang. Aku melajukan Fortuner hitamku menuju kafe, menembus jalanan yang mulai padat di siang hari ini.Selesai menemani Davina untuk tidur siang, aku memutuskan untuk pergi ke kafe. Bukan untuk meninjau seperti biasa. Tapi untuk mengambil makanan serta minuman paling best seller di kafe milikku itu, untuk kuantar menuju Gwyna Group. Kantor properti yang saat ini dipimpin oleh Alwina.Setelah menemuinya di kawasan danau beberapa hari lalu. Serta berlayar meski hanya dengan perahu kayu mengelilingi danau itu. Bertemu kembali dengan Wina seperti menjadi candu.Entahlah, aku juga tidak mengerti dengan apa yang menimpaku ini. Masih terlalu dini untuk menyimpulkan. Hanya yang aku tahu, aku selalu ingin menemuinya meski tanpa alasan pasti.Meski Wina ternyata tak satu penilaian denganku. Meski dia membantah ketidaksukaan ku terhadap Karina, tapi entah kenapa aku tidak marah padanya.Justru pikiranku sedikit terbuka, untuk mencari tahu kebenaran tentang Karina, agar keben
Aku beranjak dari depan mobil Alwina, menuju mobilku. Karena merasa tak punya pilihan lain, Alwina mengekor di belakangku. Membuka pintu mobil depan sebelah kiri dan masuk.Setelah siap, kulajukan mobil meninggalkan gedung Gwyna Group. Memacu mobil sesuai arah yang diberikan Alwina, karena aku belum tahu rumahnya selama ini.Sampai akhirnya mobilku memasuki kawasan perumahan elite. Lebih elite dari komplek perumahanku. Alwina menunjukkan rumahnya ada di bagian ujung blok pertama perumahan tersebut.Alwina meminta untuk membawa mobilku masuk ke halaman rumahnya. Aku hanya bisa menurut.Tiba di ujung perumahan, aku membawa mobil masuk setelah pagar tinggi bercat hitam itu terbuka. Lalu menghentikan mobil di halaman luas rumah berlantai dua milik Alwina.Dengan cepat Alwina melepas seat belt, dan tergesa keluar dari mobil. Aku masih di belakang stir kemudi. Alwina berlari ke arah teras rumahnya. Di depan sana pun, Naga yang tengah dijaga pengasuhnya, berlari menyambut kedatangan Ibunya.
Alwina menggeleng. "Kalau Tuhan sudah menghendaki mereka bersama, kamu bisa apa?" tanya Alwina terdengar menantang.Aku mengangkat kedua bahu. "Semoga ada keajaiban dari Tuhan, yang tidak kita ketahui dan membatalkan pernikahan mereka," ucapku, sambil tersenyum sinis.Lagi-lagi Alwina menggeleng. "Berdoalah yang baik-baik, Dewa. Jangan pernah mendoakan keburukan! Kamu tahu kenapa? Karena setiap doa itu, akan kembali pada diri kita sendiri!" petuahnya.Sebelah alisku terangkat. "Aku nggak percaya," sanggahku terhadap petuahnya barusan.Alwina mengangkat kedua bahunya. "Percaya atau nggak, itu hak kamu! Sebagai teman, tugasku hanya mengingatkan saja. Tapi menurutku, ngga ada ruginya juga kok, kamu mendoakan yang baik untuk adik kamu itu. Misalnya, jika adik kamu dan Karina batal menikah, semoga kelak keduanya dipertemukan dengan jodoh masing-masing yang jauh lebih baik," pungkasnya. Terdengar begitu bijak di telinga ini.Kuhela napas panjang. Alwina selalu bijak. Rasanya, setiap ucapan
Aku terdiam sejenak. Netraku masih memperhatikan wajah dalam tangkapan awal file video di depanku ini.Itu benar adikku. Nakula Prathayuda. Segala tanya memenuhi kepalaku. Jariku sampai gemetar dibuatnya.Kutarik napas dalam-dalam. Kemudian kuhembuskan perlahan. Berkali-kali kulakukan, hingga kurasa cukup tenang. Jari tanganku pun tidak segemetar tadi.Dengan segenap kekuatan dan keberanian. Akhirnya jariku tergerak, untuk menekan file video itu.Klik!Netraku membeliak. Jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Rasanya hampir keluar dari tempatnya. Nakula dengan Kharisma?Nakula tidak bertelanjang dada, tapi dia ternyata tak memakai sehelai benang pun. Begitu juga dengan si perempuan.Nafasku terasa sangat memburu. Netraku memanas dibuatnya. Tenggorokanku tercekat.Nakula menggau*i kakak iparnya sendiri.Aku menurunkan laptop dari pangkuan. Menarik kaki dan memeluk kedua lutut. Menyaksikan video itu berputar.Desahan serta racauan terdengar jelas dari video lakn*t itu. Bagaimana merek
*****Duduk di teras balkon, seraya menyesap rokok yang terapit di sela jari tangan. Entah sudah berapa banyak rokok yang kusesap sepagi ini. Juga entah berapa banyak gelas kopi yang kuhabiskan.Sudah dua minggu, aku di rumah. Urusan kafe, kuserahkan penuh pada karyawan. Entah kemana semangat kerja yang selama ini selalu menggebu dalam jiwaku. Semuanya hancur. Semua melebur. Setelah bukti permainan gila Kharisma dan Nakula terkuak.Setelah kutelusuri kembali. Ternyata memang hanya ada satu video menjijikan Kharisma bersama Nakula. Tidak sebanyak video Kharisma bersama Guntur. Meski hanya satu, tapi mampu menghancurkan hidupku.Dua minggu, aku menghabiskan waktu di rumah bersama Davina. Hanya senyum dan kelucuannya pelipur luka ku saat ini. Hanya kepolosan dan keceriaan tawa dari Davina yang bisa membuatku, sejenak melupakan kebej*tan Mamanya.Walau setelah melihat video Kharisma bersama Nakula, terbersit dalam pikiranku. Apakah Davina benar darah dagingku? Ataukah Davina, merupakan be
Tiba di barber shop langganan. Aku segera melakukan perawatan khusus pria. Rambut serta wajahku segera mendapatkan pelayanan.Selesai dari barber shop ini. Aku akan menemui Alwina, lalu mengecek gedung pernikahan Nakula.Wajahku telah mendapatkan perawatan. Telihat sedikit segar dan tidak lagi kusam seperti tadi. Begitu juga rambutku yang telah dipangkas dan sudah rapi.Jika ditelisik. Tidak ada yang kurang dari diriku. Wajahku rupawan. Fisikku juga tinggi tegap berkulit putih. Aku juga pebisnis handal. Tapi kenapa, nasibku harus seperti ini? Mengenaskan. Orang-orang terdekat, justru mengkhianati tanpa ragu.Kuhela napas panjang. Urusan di barbershop telah selesai. Aku langsung meluncur menuju rumah Alwina. Tapi sebelum itu, aku sempatkan mengambil menu makanan siang dari kafe. Karena sebentar lagi, sudah masuk jam makan siang, dan Alwina pasti pulang ke rumahnya.*****Sampai di halaman depan rumah Alwina, dan baru saja mematikan mesin mobil. Nampak sedan merah milik Alwina pun masuk
Kupasang seat belt di kursi kemudi. Setelah selesai, lekas kutancap gas, membelah jalanan menuju gedung pernikahan adik semata wayang ku akan dilaksanakan. Menyusul rombongan seserahan dari pihak keluargaku.Kerabat dari almarhum Ayah, yang kesemuanya tinggal di Jakarta. Serta kerabat dari Ibu yang menetap di Tangerang. Malam tadi, tiba di rumah Ibu. Lalu pagi ini, semuanya berangkat menuju gedung pernikahan, sebagai pengantar calon mempelai pria.Setelah melalui perdebatan panjang dengan Ibu di rumahnya sebelum ini. Akhirnya, Ibu setuju untuk tetap di rumah. Aku berpura-pura akan menggantikan Ibu di pesta nanti. Aku yang akan menjadi wakil Ibu di pesta pernikahan bungsunya.Aku meyakinkan pada Ibu, kalau pesta akan berjalan lancar hingga akhir. Padahal, entah pesta itu akan terlaksana atau tidak. Karena aku sudah menyusun rencana, untuk mengacaukan semuanya, sesaat sebelum akad nikah dimulai.Tiga hari sebelum hari ini tiba. Aku menukar isi dari botol obat yang dikonsumsi oleh Ibu se