“Ya Allah, kenapa semua bisa jadi begini, sih? Kamu kok nggak pernah bilang apa-apa sama Ibu, Ranti? Kamu nggak menghargai Ibu sebagai orangtua? Iya?”
Serasa belum cukup guncangan hidup yang dialami Ranti barusan, sang ibu mertua justru malah menggarami luka dengan lagi-lagi mempersalahkannya. Ranti memilih bungkam. Tubuhnya yang goyah saja belum mampu ia tegakkan, Bu Ine malah dengan tanpa empatinya menagih penjelasan dengan nada menumpahkan kesalahan. Mengapa sebagai sesama wanita bahkan ia tak sadar bila menantu di hadapannya kini tengah terajam? Sungguh, memang ada makhluk yang hatinya bisa sedemikian tanpa perasaan! “Kamu sudah melakukan apa sampai suami kamu minta cerai gitu, ha?” teriak Bu Ine tampak gemas karena merasa tak tahu apa-apa. Ranti menghela napas panjang sebelum kemudian menumpahkan perasaan. Tidak, ia tak akan menangis kali ini. Tidak lagi. Sudah cukup di malam-malam yang lalu ia menangis di atas sajadah dan mengadukan semua perlakuan buruk Irwan terhadapnya. Tentang hinaan dan cercaan yang selama ini ditanggung oleh Ranti dalam diamnya. Ya, sudah seringkali Irwan mengatainya buruk rupa. Tak lagi segar dan cantik seperti dulu saat mereka masih baru berkenalan. Tak lagi menarik dipandang lawan jenis karena tampak ayu mempesona dan wangi tubuhnya. Juga tak mencerminkan berkelas dari pakaian branded mahal yang dulu biasa dikenakan. Tapi yang Irwan lupa adalah bahwa semua itu gara-gara dirinya menikah dengan pria itu! Karena Irwan yang pelit tak memberinya nafkah yang layak hingga ia terpaksa tak bisa membeli skin care apalagi baju branded lagi. Karena Irwan yang perhitungan hingga ia tak pernah mendapat jatah lebihan dari uang belanja untuk sekedar merawat diri. Bahkan, Ranti harus rela sering begadang hingga pagi hanya untuk mencari uang tambahan dari menulis novel online demi mencukupi kebutuhan harian mereka. Ini yang tak pernah diketahui oleh Irwan. Pria tak peka itu hanya mau tahu beres saja semuanya. Ia tak tahu bahwa istrinya harus memeras otak untuk mencari tambahan. Dikiranya cukup uang jatah bulanan yang diberikan untuk Ranti selama ini? “Ibu dengar sendiri kan tadi Mas Irwan bilang udah nggak sanggup hidup sama istri yang seperti aku. Itu masalahnya, Bu.” Sambil sekuat tenaga menahan sabar, Ranti akhirnya menjawab selugas mungkin. Tidak tega juga rasanya kalau harus membuat wanita tua itu ikut menanggung kemarahan dalam dada Ranti. Akan disimpannya itu semua untuk Irwan saja nanti! Bu Ine tampak menelan ludah dan tak dapat berkata apa-apa. Sejenak Ranti mengira sang ibu mertua akhirnya iba terhadapnya. Tapi rupanya salah, kalimat selanjutnya dari Bu Ine semakin menusuk palung hati Ranti yang paling dalam. “Kamu itu memang istri yang nggak becus urusin suami! Harusnya kamu itu tahu diri dan jaga penampilan biar Irwan nggak sampai lari begini! Sudah nggak kerja tapi juga nggak bisa nyenengin suami! Pantas kamu itu nggak hamil-hamil juga. Merawat diri sendiri aja nggak bisa, apalagi merawat bayi!” JLEBB! Tidak ada yang lebih sakit daripada dikatai jelek oleh suami plus dikatai mandul oleh ibu mertua sendiri. Dan keduanya dialami Ranti di satu malam yang sama. Sungguh, luka malam itu tak akan pernah bisa dilupakan oleh Ranti. Dengan bibir bergetar menahan tangis, Ranti memilih mengemasi juga baju-bajunya ke dalam koper miliknya sendiri. Rumah ibu mertuanya itu sudah bak neraka saja baginya kini. “Mau ke mana kamu, Ranti? Kamu juga mau pergi, ha?” Bu Ine membelalak melihat tingkah Ranti yang dalam diam terus mengemasi baju dan perlengkapan pribadinya. “Untuk apa lagi Ranti di sini, Bu? Mas Irwan udah menceraikan Ranti dan Ibu juga terus menghina Ranti--" “Menghina apa? Itu kenyataan, kan? Kamu kalau becus jadi istri, tidak mungkin Irwan kabur begini. Sekarang Ibu di rumah sendiri, kamu malah mau ninggalin juga! Harusnya—“ “Harusnya apa, Bu? Ibu yang harusnya mendidik anak Ibu biar tidak seenaknya sendiri jadi suami! Ibu nggak tahu selama ini Ranti cuma dapat uang belanja berapa, kan? Ibu nggak tahu demi mencukupi kebutuhan kita aku harus kerja juga meski di rumah aja? Ibu nggak tahu di sela-sela mengurus rumah aku juga memeras otak untuk menghasilkan tulisan biar laku dibaca orang dan dapat uang?” Bu Ine menyipitkan mata. Ya, ia memang tak pernah peduli dengan berapa uang yang diberikan Irwan untuk istrinya. Yang ia tahu adalah ia sudah dapat jatah sendiri untuk keperluan pribadi. Urusan rumah dan bahkan biaya berobatnya ya Ranti yang menanggung. Siapa lagi? Kan uang Irwan diserahkan kepada Ranti katanya? Tapi kok Ranti bilang hanya dikasih jatah belanja dan selalu kurang sampai Ranti harus cari tambahan? “Kamu mengada-ada, ya? Beneran tukang ngarang kamu ini! Irwan bilang sama Ibu gajinya semua dipegang kamu, kok!" bantah Bu Ine keras. "Dan Ibu langsung percaya gitu aja? Ibu harusnya lebih mengenal putra Ibu sendiri lah. Sepelit apa dia biasanya? Seperhitungan apa dia bahkan sama ibunya sendiri juga? Apa mungkin Mas Irwan ngasih semua gajinya sama aku? Gak ada, Bu. Cuma tiga juta! Bayangin, Bu. Tiga juta di kota besar begini dapat apa? Buat bayar listrik dan air aja udah sejuta. Dua juta lagi buat makan sebulan kita bertiga apa cukup? Belum lagi biaya berobat Ibu yang kata Mas Irwan dia udah nggak ada sisa uang lagi! Mau pake uang apa lagi kalau bukan Ranti ikut kerja, Bu?" "Tapi gaji Irwan itu lima belas juta, Ranti!" "Mas Irwan bilang yang dua juta dia pakai buat bensin dan uang saku. Sisanya habis untuk bayar cicilan mobil dan rumah ini ...." "Astaga! Ini rumah sudah dibeli mendiang ayahnya cash sejak Irwan masih kuliah, kok. Keterlaluan itu anak!" Kini Bu Ine tampak menyadari kesalahannya. Fakta yang terungkap dari mulut Ranti akhirnya membuatnya tahu siapa yang tukang ngarang dan memutar-balikkan kenyataan. Tak lain adalah putranya sendiri ternyata! "Jadi sisa gajinya yang sebanyak itu lari ke mana, Bu?" Ranti kini membelalak ngeri. Oke, ia sudah menerima tentang kepelitan sang suami yang dikiranya memang terpaksa sebab terbelit masalah ekonomi. Tapi kalau ternyata semua hanya kebohongan semata ia sungguh tak menyangka! Bu Ine saling berpandangan dengan Ranti. Keduanya tak habis pikir banyak sekali fakta mengejutkan yang terkuak malam itu. Bu Ine yang mengira semua gaji Irwan dipegang sang istri, juga Ranti yang berpikir sebagian besar gaji Irwan selama ini habis untuk cicilan mobil dan rumah. Semuanya ternyata salah! Semua hanya bualan Irwan! "Jangan-jangan ...." Keduanya hampir serentak mengucapkan hal sama yang terlintas dalam pikiran. bersambung ….Mertua dan menantu itu beberapa lama saling pandang. Isi pikiran mereka sepertinya serupa, tetapi keduanya sama-sama tak percaya dan ingin membantah. Terdiam tanpa kata, tetapi air muka dan tatapan mereka telah saling mengungkapkan segalanya.“Kita nggak boleh gegabah menuduh dulu, Ranti. Nggak mungkin Irwan itu ....” Ucapan Bu Ine terhenti. Pikirannya berkecamuk akan tetap mencurigai putranya sendiri atau mencoba mencarikan alasan yang lain lagi demi menjawab tanda tanya besar dalam hati. Sebagai ibu, ia tentu berkeinginan membela Irwan dengan segenap hati. Tapi fakta-fakta yang barusan terungkap membuat naluri sebagai wanitanya juga terlukai. Ia jadi sedikit merasa kasihan pada nasib Ranti selama ini. Kuat sekali wanita itu hanya dijatah tiga juta dengan kebutuhan yang sedemikian banyaknya. Dan menantunya itu sama sekali tak pernah terdengar mengeluh atau protes selama ini. Mau tak mau hatinya jadi ikut terenyuh. Hatinya seluas apa si Ranti ini, pikirnya sambil merasa bersalah tela
Sementara itu, ojek online yang telah tiba langsung mengantar Ranti ke rumah Mona juga. Sepanjang perjalanan, hati Ranti kebat-kebit, antara berharap kecurigaannya akan perselingkuhan Irwan tidak terbukti tapi juga naluri yang merasa hal itu sangat besar kemungkinan memang terjadi."Mbak, sudah sampai. Di sini kan alamatnya?" Terkejut, Ranti geragapan karena sedari tadi rupanya ia melamun saja. Ya Tuhan, bahaya sekali melamun semalam ini dengan ojek tak dikenal pula.Usai turun dan meminta untuk ditunggu sebentar oleh si Abang ojek, Ranti mendekati sebuah rumah di hadapannya yang memang persis seperti rumah yang ada di foto Mona. Ada nomor 65 di pagar hitam kayu tertutupnya.Jam yang sudah menunjuk angka delapan malam membuat Ranti ragu dan beberapa kali menoleh ke belakang. Takut-takut kalau ada orang lingkungan situ yang akan mencurigainya. Tapi tujuannya sudah bulat. Ia harus memeriksa apa benar suaminya ke situ atau tidak. Apa benar suaminya ada main dengan Mona atau tidak.Jantun
Di malam itu, Bu Ine pingsan sebab serangan jantung. Wanita separuh baya yang memang telah memiliki riwayat tensi tinggi dan risiko serangan jantung itu terlalu terguncang hingga tubuhnya tak kuat lagi bertahan. Tubuh tua itu terbaring di lantai sebelah meja telepon dengan tanpa ada seorang pun di rumahnya. Tentu saja kondisi itu sudah terbayang kini di benak Ranti.Dan ia yang masih menyayangi sang ibu mertua meski bagaimanapun amarahnya pada Irwan, langsung menelepon ambulance rumah sakit langganan Bu Ine untuk menjemput beliau. Dan ia juga bergegas minta diantar oleh ayahnya untuk kembali ke rumah Bu Ine. Dalam perjalanan, ia sibuk menelepon Irwan meskipun tahu ponselnya sedang dimatikan. Astaga! Pria itu tak sadarkah bahwa ibunya tengah dalam bahaya? Berasyik masyuk dengan wanita lain membuatnya lupa daratan dan hilang akal! Akhirnya ia berkirim pesan yang mengabarkan agar segera menyusul mereka ke rumah sakit yang dituju. Rasa bersalah kini menyelimuti benak Ranti.
Ranti menghela napas panjang. Ia masih sedikit khawatir dengan keadaan Bu Ine. Tapi, untuk tetap bertahan di sana dan berada dalam satu ruangan dengan Irwan ia sudah tak nyaman. Pokoknya sebisa mungkin ia akan menghindar. Pria dengan kelakuan busuk itu kini telah membuatnya muak. Pengorbanan dan kepatuhannya selama ini sebagai istri rupanya sama sekali tak dihargai. Balasan yang ia terima justru adalah pengkhianatan yang begitu menyakitkan. Sesampai di rumah, Bu Hana masih menahan HP sang putri. Wanita keibuan itu tahu betul Ranti pasti masih kepikiran aka kondisi mertuanya. Dan ia hanya berjaga agar tak sampai Ranti terbujuk untuk mengasihani Irwan si brengsek itu. Ia sudah tak mau lagi putrinya akan luluh dimanfaatkan lagi oleh lelaki kurang ajar yang sayangnya adalah menantunya itu. Lebih baik Ranti bercerai dengan tenang dan menjalani kembali kehidupannya. Toh putrinya masih muda. Sementara Irwan kebingungan membujuk ibunya agar mau hanya diurus oleh dirinya saja. Mau bagaimana
Irwan lalu mengalah dan berpikir ibunya nanti juga pasti tak akan meminta hal-hal aneh di hadapan Mona. Toh, ibunya pasti paham kalau Mona bukan seperti Ranti. Penampilan mereka berdua saja sudah jauh berbeda. Ranti yang sederhana dan apa adanya sebab hanya di rumah saja. Sementara Mona yang selalu cetar dengan riasan lengkap dan wangi menguar ke mana-mana. Sungguh tidak pantas memang kalau Mona yang merawat ibunya.Sepeninggal Mona dari ruangan kerjanya, Irwan akhirnya langsung mengambil inisiatif untuk menghubungi agency penyalur asisten rumah tangga yang ia ketahui. Ada beberapa kawannya yang sudah sering merekomendasikan kontak agency itu setiap kali Irwan datang ke kondangan tidak membawa istri.“Kamu itu seharusnya punya pelayan di rumah, Irwan. Biar istri kamu nggak kerepotan dan jadi bisa ikut kamu kalau acara di luar perusahaan. Lihatlah, semua membawa istrinya masing-masing tapi kamu selalu aja sendirian, seperti pria single nggak laku aja kamu!” sindir Herman, salah seorang
Sementara itu, Ranti yang berada di rumah orangtuanya mulai menata hati. Ia tak mau menyibukkan diri dengan mencemaskan Bu Ine karena toh mantan ibu mertuanya itu pasti telah dirawat dengan baik oleh putranya sendiri. Biar Irwan tahu bagaimana cerewetnya Bu Ine selama ini. Biar Irwan akhirnya akan bisa menyadari dan menghargai usaha keras Ranti di rumah itu untuk mengambil hati Bu Ine. Dikiranya mungkin gampang untuk berperan sebagai istri sekaligus menantu yang baik di rumah itu?Kesehariannya kini dihabiskan dengan semakin tekun menulis novel online. Setidaknya karena penghasilan dari novel online itu ia tak perlu cemas meskipun kini akan menjadi janda. Bahkan sejak masih menjadi istri Irwan saja pendapatannya sudah sangat berguna untuk menutupi segala kebutuhan yang kurang. Untung sekali dirinya punya pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah saja tanpa meninggalkan tanggung jawabnya sebagai istru pun menantu elama ini. Yah, meskipun ternyata menurut Irwan masih kurang pengorbanan
Sekitar dua minggu kemudian, surat cerai datang ke rumah orangtua Ranti dibawakan oleh pengacara Irwan. Ranti yang sudah berancang-ancang pun tak mau gegabah. Dihubunginya dulu pengacaranya sendiri yang tak lain adalah Dewi, sahabatnya.Dewi lantas mengambil alih urusan tersebut sebab ada beberapa hal yang Ranti ingin pastikan tercantum dalam surat gugatan cerai tersebut. Dia tidak bodoh seperti wanita v6 yang setelah diselingkuhi tak mendapat apa pun dari mantan suami. Minimal ia harus mencantumkan klausal perihal bukti Irwan telah berselingkuh agar semua biaya perceraian dan juga pembagian gono-gini didapatnya dengan mulus.Bukan matre, tapi Ranti hanya ingtin membuat Irwan kapok dan mendapatkan balasan yang setimpal karena telah mengkhianati dirinya dengan wanita lain. Jelas ia tak rela kalau harta gono-gininya akan jatuh ke tangan si pelakor meskipun ia sendiri juga tak akan sudi memakai harta tersebut. Ia sudah berniat akan menyumbangkan semuanya ke panti asuhan saja. Lumayan be
"Dasar pelakor kamu!”“Wanita tak tahu malu! Tukang rebut suami orang!”“Cantik-cantik cuma buat gaet suami orang! Rugi banget jadi wanita!”“Semoga wajahmu berubah buruk dan nggak ada lagi yang mau kenal sama kamu! Karma itu ada! Camkan itu!”Serentetan cercaan muncul di notifikasi akun sosial media milik Mona. Ia histeris pagi itu kala mengecek ponselnya dan mengetahui berbagai hujatan tengah dilemparkan oleh netizen terhadapnya.“Sial! Ini pasti kerjaan si mantan istri kamu, nih!” Mona mendengkus marah seraya menatap tajam pada Irwan yang masih mengeringkan rambut dengan handuk.Ia dan Mona memang sudah semakin bebas bermalam di satu atap karena toh mereka merasa proes perceraian antara Irwan dengan Ranti sedang berlangsung. Mereka semakin tak tahu malu dalam menuntaskan hubungan haram entah itu di hotel atau di rumah Mona yang ternyata selama ini cicilannya dibayar oleh Irwan. Pantas saja uang gajinya selalu musnah entah ke mana. Rupanya Mona yang menikmati semuanya.“Ada apa sih,
Hukuman terberat bukan dipenjara atau membayar sejumlah besar denda yang diajukan oleh perusahaan milik Jodi. Bukan!Irwan sama sekali tak keberatan kalau ia harus dipenjara selama beberapa saat atau menumpuk utang hanya untuk membayar denda asalkan setelah itu ia masih bisa memiliki Ranti!Ya, kini Irwan benar-benar sadar dan menyesal setengah mati mengapa dulu ia sampai terpikir untuk mengkhianati istri tercintanya itu. Sungguh, ia mengutuk hari di mana Mona berhasil meruntuhkan kesetiaannya. Hari di mana ia terpesona oleh bujuk rayu wanita sial*n itu. Astaga! Andai bisa ia mengulang waktu!Pengacara dari perusahaan barunya sudah membereskan semua urusan jaminan hingga ia tak perlu sampai menginap di balik tahanan. Tapi meskipun pulang ke rumah, pikirannya hanya terpusat pada satu hal. Bagaimana ia bisa mendapatkan kembali simpati dan cinta dari Ranti, mantan istri yang masih sangat dicintai serta diharapkannya itu.Tapi nyatanya kuasa hukum Jodi justru memberikannya dua pilihan, be
"Ada apa ini?"Sambil berusaha bersikap setenang mungkin, Irwan menghampiri tiga petugas tesebut dan mempersilakan mereka duduk kembali di sofa ruang tamu."Ini surat penahanan Anda, Pak Irwan. Harap bersikap kooperatif karena sudah berkali-kali surat panggilan interogasi datang, tetapi Anda sama sekali tidak memberikan respon." Seorang petugas yang sepertinya adalah senior di antara dua lainnya itu berkata sambil menyodorkan sebuah amplop putih panjang.Irwan mengambil dan membuka lalu membacanya dalam hati. Betul yang petugas itu katakan. Ia benar-benar harus ditahan saat itu juga. Astaga!"Tapi, Pak. Bukankah seharusnya saya berhak mendapatkan bantuan pengacara? Perusahaan baru saya sudah pasti akan bersedia menyediakan pengacara mahal untuk saya--""Silakan, Pak. Di pengadilan nanti Bapak bebas didampingi pengacara. Tapi saat ini yang penting Anda harus ikut kami," jawab sang petugas senior lagi.Irwan tak punya pilihan lain. Ia izin untuk berganti pakaian dulu ke kamar sambil mel
"Apa? Berani nyamperin kamu ke rumah? Mau apa katanya?" Jodi yang mendapat laporan dari Ranti segera terpantik emosi."Tau tuh, katanya mau bicara empat mata. Pake bilang minta ampun dan sumpah nggak akan ngulangin kesalahan lah, apa lah, ish." Ranti menjelaskan sambil bibirnya mengerucut kesal sendiri atas sikap Irwan tadi.Mereka berdua tengah makan siang di cafe dekat MP Distro milik Ranti. Biasanya mereka juga sekalian membahas hal-hal penting mengenai distro yang berhubungan dengan Jodi dan tentu saja juga diselipi urusan pribadi."Lalu, kamu kasih dia kesempatan lagi?" tanya Jodi sambil hatinya ketar-ketir. Bagaimana pun, Irwan adalah cinta pertama Ranti. Dan banyak sekali orang yang bilang bahwa namanya cinta pertama itu pasti susah hilang sama sekali meski sudah berpisah sekalipun. Siapa yang tidak khawatir?"Ya nggak, lah. Langsung kutinggalin dia di sana. Biarin deh ngomong sama pagar sana sekalian! Enak amat minta dimaafin setelah apa yang dia perbuat!" Ranti masih menggebu
Malam-malam dingin terus menyelimuti Irwan. Dalam kesepian, ia terus merindui sosok Ranti, sang mantan istri. Di ranjang, di sudut-sudut kamar, di depan meja rias, bahkan di dalam kamar mandi, seringkali ia dapati bekas-bekas aroma Ranti yang masih tertinggal.Ah, kenapa ia begitu gegabah? Kenapa sampai sebodoh itu menggugat cerai istri sebaik Ranti cuma demi seorang Mona yang nyatanya sama sekali tak sepadan?vLihat sekarang, Ranti bisa kembali jadi bahkan jauh lebih cantik dari dulu semasa perawan. Dan pekerjaan? Kini wanita itu sudah jauh melampaui pencapaian Irwan sendiri, apalagi Mona! Tidak ada apa-apanya!Ranti pandai memasak, menu yang ia sediakan tak pernah gagal memanjakan lidah Irwan maupun ibunya. Ranti juga pandai mengambil hati sang mertua dengan bersikap penurut serta tanpa banyak protes dan bersedia melayani apa pun pinta Bu Ine. Berbanding terbalik sekali dengan Mona yang sebagai wanita taunya hanya bersolek, belanja dan menghabiskan duit! Selain itu nol!"Kembalilah
“Kamu kok jadi jarang banget pulang ke rumahku, sih?” protes Mona di kantor hari itu.“Ya aku kan harus nemenin Ibuku, Mon. Lagipula kan kita udah selalu ketemu di kantor." Irwan menjawab santai karena ia tak begitu tertarik lagi dengan Mona. Baginya, mengejar Ranti kembali merupakan sebuah misi yang jauh lebih penting ketimbang menuruti kemauan wanita di depannya itu.“Ya beda dong, Sayang ….” Mona merapatkan tubuhnya dan menyentuhkan jemari ke rahang Irwan.Biasanya Irwan akan meleleh lalu turut mencumbu wanita itu, tapi tidak kali ini. Irwan justru menepis tubuh Mona dan bangkit dari kursi putarnya untuk keluar dari ruangan.“Dengar, Mona. Kita masih baru di perusahaan ini, jadi jaga sikapmu sebelum kita bisa dapat peringatan atau parahnya dipecat lagi seperti dulu!”Mona memelototi Irwan yang meninggalkannya begitu saja di ruangan.“Sial! Kenapa sih dia? Kayaknya udah ada yang lain lagi ini!” gerutu Mona menyipitkan mata sambil bertekad akan menyelidiki.Tidak mungkin Irwan cuek p
"Aku pulang langsung atau boleh mampir dulu?" tanya Jodi saat sudah sampai di depan pagar rumah Ranti.Ranti menengok jam tangan yang menunjuk angka 9 dan kemudian menggelengkan kepalanya pelan. "Udah kemalaman banget, Jod. Kapan-kapan aja ya mampirnya.""Bukain gih gerbangnya," pinta Jodi kemudian seraya bersiap memutar mobil untuk masuk rumah."Loh, kubilang pulang aja, ini udah kemaleman," ulang Ranti yang sejenak mengira Jodi salah mengartikan ucapannya tadi."Iya aku langsung pulang. Ini cuma mau masukin mobil dulu kok," sergah Jodi yang tak sabar lalu keluar sendiri dan dengan cepat mendorong pintu besi berwarna hitam itu menggeser ke samping hingga terbuka semua.Ranti masih terperangah. Gimana sih, kan disuruh pulang, kok malah mobilnya dimasukin? Pikirannya tak sampai menerka maksud Jodi.Sementara Jodi memilih melanjutkan tindakan. Memasukkan mobil sedan maticnya ke teras, bersebelahan dengan mobil ayah Ranti. Kemudian ia keluar dari kursi kemudi dan menyerahkan kunci pada R
"Would you be mine?"Hening. Hembusan angin pantai meniup lembut jilbab Ranti hingga berkibar menutup hampir separuh wajahnya. Melihat itu, jemari Irwan tak kuasa untuk tak menyentuh helai jilbab yang dikenakan oleh wanita di hadapan."Cantik ...." Sebuah kata meluncur lancar dari bibir Jodi. Tak ayal membuat wajah Ranti yang sudah merona semakin tampak matang sempurna.Astaga! Kalau ada tempat kabur dan sembunyi, rasanya Ranti akan melompat ke sana secepatnya. Tak ada yang bisa dilakukannya kini selain menundukkan kepala. Memandangi ujung sepatunya sambil dengan susah payah menjaga agar debaran jantung tak sampai terdengar oleh pria di hadapan."Ran ...? Tidur ya kamu?" Mendadak Jodi mengangkat lembut dagu Ranti dan menengadahkan wajah ayu itu hingga menghadap langsung ke matanya.Dan saat dua pasang mata bertemu, kembali tak ada sepatah pun terucap. Hanya desau angin yang terasa semakin kencang saja hingga Jodi memutuskan mengambilkan jas yang tadi ia letakkan di mobil untuk dikenak
"Udah beres semua urusan Distro?" tanya Jodi kala Ranti sudah masuk ke dalam mobilnya."Udah, kok. Nanti kalau ada apa-apa Imel akan hubungin aku. Tapi nggak ada jadwal khusus hari ini, sepertinya aman," jawab Ranti meyakinkan.Biasanya ia memang akan menolak diajak keluar kalau ada jadwal kedatangan stok bahan atau produk jadi yang datang. Juga bila ada janji temu dengan supplier atau buyer partai besar. Tapi hari ini bebas, ia bisa keluar dengan Jodi entah ke mana pria itu akan membawanya."Oke, berarti kalau kita perginya agak jauhan bisa kan?" tanya Jodi lagi.Seketika Ranti menoleh ke arah pria di belakang kemudi itu."Agak jauh ke mana maksud kamu?""Ya ada deh, nggak jauh-jauh banget. Palingan dua jam perjalanan," jawab Jodi penuh misteri.Mobil sudah melaju membelah jalanan kota Bandung di jam pulang kerja. Bisa dibayangkan macetnya, tetapi rupanya hanya sebentar mereka berjibaku dalam padatnya kendaraan karena Jodi kemudian berbelok ke areal yang lumayan sepi, menuju ke Indra
Jodi lumayan terkejut kala siang itu mendapati sosok Irwan ada di kantornya. Sejujurnya ia tak menyangka Irwan akan berani menginjakkan kaki lagi di Giant Textile. Rupanya nyalinya besar juga, pikir Jodi sambil kemudian bersikap waspada.“Kau kemari, Irwan? Untuk apa?” tanya Jodi akhirnya.“Untuk berbincang secara lelaki!” tukas Irwan pendek. Tampak dadanya naik turun menahan emosi. Hal mana membuat Jodi terheran karena seharusnya yang emosi kala melihat Irwan adalah dirinya. Jelas-jelas Jodi yang dirugikan dan dikhianati sedemikian rupa hingga Giant Textile kehilangan tender potensialnya.“Perbincangan antar lelaki? Wow!” komentar Jodi sedikit mencibir.“Saya kemari karena Bapak rupanya begitu takut dengan aksi saya sampai-sampai mulai mengintimidasi Ibu dan Ranti untuk ikut membujuk saya. Di mana nyali Anda sebagai lelaki, Pak? Bukankah ini urusan pribadi kita berdua?” Irwan langsung melabrak Jodi.“Tunggu, siapa yang mengintimidasi Ibu kamu dan Ranti?” Jodi menaikkan alis tanda tak