Awan tebal menutupi sebagian langit di belahan bumi sebelah barat ketika mereka tiba di kaki Gunung Kunlun. Hal tersebut merupakan pertanda hujan akan turun dengan deras dan kemungkinan bisa seharian. “Tetua Cheng, sebentar lagi hujan turun dan biasanya gunung akan dipenuhi kabut. Sebaiknya kita mencari tempat perlindungan dulu, besok bila langit sudah cerah baru lanjutkan perjalanan!” usul Tetua Wang. Ia agak ngeri menatap langit makin gelap di atasnya, sehingga gunung Kunlun di depan mata terlihat suram. Meskipun sebenarnya gunung tersebut sangat terkenal keindahannya, namun juga penuh misteri dan berbahaya.Konon hutan tersebut dijaga oleh Dewa-Dewi sehingga tak sembarang orang bisa mendaki hingga ke puncak, terutama orang-orang berhati kotor.“Tidak bisa, kita harus terus berjalan karena musuh yang mengincar anak ini pasti mengejar di belakang!” tegas Tetua Cheng. “Tapi gunung ini dipenuhi pepohonan dan banyak tebing-tebi
"Jangan lari, Bocah Tak Berguna! Begitu tertangkap, kupatahkan kedua kakimu!" ancaman Tetua Wang bukanlah gertak sambal biasa. Pria itu sudah membuktikan sebelumnya dengan memusnahkan seluruh tenaga dalamnya. Yu Ping mendaki lebih cepat menuju sebuah celah sempit yang berada beberapa meter saja di atasnya. Ia hanya bisa berharap celah sempit itu mampu memuat tubuhnya guna menghindari kejaran Tetua Wang. Namun tetua Hoa San itu menggunakan ilmu meringankan tubuh saat mendaki, melompat dengan lincah dari satu pijakan ke pijakan berikutnya. Dalam beberapa lompatan saja, pria tua itu sudah tinggal sejengkal saja di belakang Yu Ping. “Aku tidak boleh tertangkap lagi!” tekad Yu Ping. Ia melompat lebih tinggi hingga menggapai mulut gua sempit, mengerahkan tenaga naik ke atas.SETT!Yu Ping tersentak dan hampir kehilangan pegangan ketika tangan Tetua Wang menangkap kaki kanannya, berusaha menariknya ke bawah."Lepaskan!" Yu Ping berus
Selagi ketiganya sibuk bertarung, Yu Ping merangkak menjauh menuju jembatan. Ia tak ada pilihan selain melewatinya menuju ke seberang. “Aku harus tetap hidup!” Yu Ping mengepalkan kedua tangannya, mengumpulkan semangat yang ada meski tulang-tulangnya terasa remuk, berdiri dan berlari ke arah jembatan. “Hei, jangan lari!” Tetua Wang menangkis serangan pedang Lian Xi, lalu berlari mengejar Yu Ping. Lian Xi tak mau kalah, melesat lebih cepat melampaui Tetua Wang untuk mendapatkan targetnya lebih dulu. Yu Ping mempercepat langkah namun saat menginjakkan kaki di atas jembatan batu, ia hampir saja tergelincir. Tak ingin menyerah, ia bangkit dan melanjutkan berjalan menyusuri jembatan berlumut itu. Tiba-tiba seseorang menyambar leher baju Yu Ping hingga ia nyaris terangkat ke udara. Ternyata Lian Xi yang berhasil menangkapnya lebih dulu, Yu Ping tak mampu melawan mengingat jurang di bawah mereka. Dari belakang, Tetua Wang melayang
"Aku ingin mengatakan bahwa aku telah jatuh cinta padamu, maukah kau menjadi kekasihku?" bisik pemuda tampan itu lembut. Semburat merah menghiasi wajah Qing Ning, perasaan campur aduk menjadi satu. Terharu, bahagia, sedih, bingung, dan malu menjadi satu. Gadis cantik itu bahagia tentu saja karena harus ia akui juga telah memiliki rasa yang sama pada pendekar muda di hadapannya. Tetapi ia juga sedih dan bingung karena belum bisa melupakan Yu Ping sepenuhnya. “Mengapa kau terdiam?” Qi Yun menatapnya mesra, “Tidakkah kau memiliki rasa yang sama denganku?” “Kakak Qi, aku tidak tahu bagaimana harus menjawabnya,” Qing Ning menjawab dengan suara gemetar. Untuk pertama kali merasa dicintai membuatnya ingin menangis terharu. Seandainya saja pria yang mengungkapkan cinta adalah Yu Ping, tentu kebahagiaan-nya menjadi sempurna. “Maaf, aku tidak layak menerima cintamu. Carilah pria yang bisa mencintaimu dengan tulus, karena bukan aku orangnya!” masih terngiang kata-kata terakhir Yu Ping di te
Dengan pencahayaan yang sangat minim, Yu Ping berusaha mencari jalan keluar. Ia mencoba menaiki pohon di dekatnya, tetapi lumut tebal menghalanginya, berulangkali memanjat namun selalu merosot ke bawah. Setelah berjam-jam mencoba, akhirnya ia jatuh terduduk ke tanah. AAAHH! Yu Ping berteriak sekencang-kencangnya, frustasi. “Apakah sampai di sini saja akhir hidupku? Ayah Angkat, Guru, Qing Ning, Kakak Xin, Paman Wu Qing, maafkan aku telah mengecewakan kalian!” seruan sedih Yu Ping menggema karena pantulan dinding-dinding batu di sekitarnya. Yu Ping tak pernah menyadari teriakan pilunya akan berakibat fatal. Tak jauh dari tempat itu, sepasang mata makhluk dengan iris kuning dan pupil lonjong berwarna hitam perlahan terbuka, terdengar dengusan pelan dari hidungnya. Sekilas kepalanya lebih menyerupai batu besar berwarna hitam.Setelah lelah berteriak-teriak tanpa ada yang mendengar, Yu Ping memeluk lutut dan meletakkan dagu di atas lengannya yang penuh luka goresan. Ia mencoba mengus
"Aku akan menunggumu di sini, sampai kau keluar. Kau boleh pilih, mati kelaparan di dalam, atau mati hangus oleh bara apiku!" Fucanglong mendengus lalu duduk di ujung mulut gua. Yu Ping jatuh menggelosor ke tanah, meringis menahan sakit karena sebagian tubuhnya mengalami luka lecet dan luka bakar. Ia sadar tak bisa bertahan lama bila tak segera keluar dari tempat itu. Tetapi berada di sebuah lorong kecil dan tertutup sementara di mulut gua seekor naga yang marah sudah menunggu, sungguh mustahil untuk keluar hidup-hidup.Kesal, Yu Ping meninju tanah di sampingnya. Tiba-tiba ia menyadari tanah di sampingnya tersebut berbeda dengan yang ia duduki. Pemuda itu berlutut dan mulai menggali tanah lunak dengan bantuan bebatuan runcing yang ia temukan di sekitar. Setelah beberapa jam menggali, Yu Ping berhasil membuat ceruk menuju ke area yang berbeda agar lepas dari terkaman sang dewa naga Fucanglong.Tanpa menggubris kedua telapak tangannya yang terluka, Yu Ping terus berjuang menggali tana
"Kita sudah sampai, Manusia!" Fucanglong menggoleng bahu Yu Ping yang masih dalam posisi meringkuk, dengan moncongnya. “Bangunlah!” Yu Ping membuka mata, menggerakkan bahunya ke samping hingga telentang menghadap sang Dewa Naga yang menjulang di atasnya. “Bila ingin membunuhku mengapa tidak langsung saja kau lakukan?” ujar Yu ping ketus. Fucanglong menarik sudut-sudut mulutnya ke atas, menampilkan taring-taringnya yang mengerikan. Yu Ping menelan ludah, membayangkan taring-taring itu sebentar lagi akan mencabik-cabik tubuhnya. “Aku mendapatkan perintah dari kakakku, Ying Long untuk mendidikmu agar kelak dapat menjadi Panglima Keadilan di duniamu!” suara bariton Fucanglong mengejutkan Yu Ping. Pemuda itu bukan terkejut karena suaranya yang keras, melainkan karena penjelasan yang diberikan. “Ying Long?” mata pemuda itu membeliak, “Panglima Keadilan? Mengapa nama-nama itu tidak asing di telingaku?” “Saudaraku telah mendatangimu sebelumnya.” Ah mimpi itu, Yu Ping terkesiap setelah
"Menyatu dengan alam merupakan proses pemurnian diri!" tiba-tiba ia mendengar suara dari dalam dirinya sendiri berbicara. Yu Ping takjub, apakah baru saja ia mendengarkan mata batin-nya? Murid Dewa Naga Fucanglong itu tidak mau membuang waktu berpikir lebih lama lagi. Ia kembali duduk bersila, dan meletakkan kedua punggung tangan di atas lutut. Pemuda itu menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Setelah itu, ia memejamkankan mata dan mulai memfokuskan pendengaran pada suara-suara di sekelilingnya. Makin lama ia bermeditasi, suara-suara di sekitarnya semakin jelas terdengar di telinga. Pemuda itu bukan hanya mendengar suara air, dedaunan, dan kobaran api saja. Lambat laun ia mampu mendengarkan suara desiran angin dan kepakan sayap kunang-kunang yang terbang mendekati bola api di langit-langit gua. Dalam keadaan mata terpejam, Yu Ping menyaksikan torehan aksara Han yang membentuk sebuah kalimat melayang-layang di hada