“Aku ingin menukar bayiku dengan bayimu!” permintaan Xian Lian bagaikan petir di siang bolong di telinga Yan Li.
“TIDAK!” teriak Yan Li histeris sambil mendekap bayinya erat-erat.Wang Ji menghela napas sebelum akhirnya berkata, “Baiklah, Hamba akan menukar putra kami dengan Yang Mulia Pangeran!”“Apa kau gila, Suamiku? Menyerahkan anak kita ke tangan buronan kerajaan sama dengan membunuhnya!” mata Yan Li melotot ke arah Wang Ji.“Serahkan anak kita, Yan Li!”perintah Wang Ji tegas dan tak bisa dibantah.Dengan berat hati dan tak henti-hentinya menangis, Yan Li menyerahkan bayinya ke tangan suami.Xian Lian sendiri menciumi putra kandungnya berulang-ulang untuk terakhir kali.“Ibu akan datang menjemputmu nanti, Putraku! Sementara Ibu pergi, bertahanlah, Nak!” bisik Xian Lian pada putranya.Setelah menukar bayi mereka, Xian Lian membawa putra Wang Ji bersama bibi Shu menaiki kereta kuda.Wang Ji sudah meletakkan bekal yang cukup untuk mereka bertiga.“Hati-hati di jalan, Nyonya Xian!” kata Wang Ji.“Tolong jaga putraku sampai aku kembali!” pesan Xian Lian sambil menitikkan air mata. Wang Ji mengangguk.Xian Lian menghentakkan tali kekang kuda di depannya, kereta mulai melaju meninggalkan desa Kuning.Wang Ji menimang putra mahkota dalam gendongannya, “Mulai detik ini Ayah yang akan menjagamu, dan namamu sekarang adalah Yu Ping!”***Kereta kuda yang dikendarai Xian Lian telah melaju tiga hari tiga malam hampir tanpa istirahat karena mereka berburu dengan waktu.Di hari ke-empat ketika mereka melewati sebuah bukit, dari belakang terlihat tentara berkuda mengejar.Ternyata ada penduduk yang bertemu mereka di jalan, mengenali wajah Xian Lian yang sama dengan gambar wajah buronan istana.Penduduk tersebut segera melapor pada petinggi wilayah, petinggi wilayah pun mengirimkan surat lewat burung merpati pos ke istana.Begitu Ma Yin membaca surat tersebut, ia segera memerintahkan salah satu dari Tujuh Malaikat Pencabut Nyawa, yaitu Dewi Seribu Wajah untuk memburu dan membunuh mereka.Xian Lian berusaha memacu kuda lebih cepat namun kuda itu sudah terlalu lelah untuk berlari, sementara kuda Dewi Seribu Wajah sudah semakin dekat.Pendekar yang terkenal dengan jarum beracunnya itu, menghentakkan tubuh meninggalkan kudanya, melenting tinggi melampaui kereta kuda yang dinaiki Xian Lian.Jelas dia seorang pendekar dengan ilmu sinkang yang sangat tinggi.Dewi Seribu Wajah mendarat beberapa meter dari kereta, Xian Lian berniat menabraknya.Dewi Seribu Wajah melontarkan jarum-jarum beracun dari balik lipatan lengan baju ke arah kuda yang sedang berlari ke arahnya.Kuda itu ambruk seketika ke tanah, membawa serta kereta di belakangnya.Xian Lian dan bibi Shu terlempar dan jatuh ke tanah berbatu, beruntung bayi dalam gendongan bibi Shu tak terluka.Xian Lian merangkak mendekati bibi Shu namun Dewi Seribu Wajah menendangnya hingga ia jatuh telentang. Pendekar kejam itu menginjak telapak tangannya hingga ia menjerit kesakitan.“Akhirnya aku bisa membawa kepala kalian kepada Yang Mulia!” Dewi Seribu Wajah menyeringai melihat Xian Lian tak berdaya.Tiba-tiba Bibi Shu menubruk tubuh Dewi Seribu Wajah dan memojokkannya ke arah kereta yang terguling.“Yang Mulia, cepat lari!” teriak bibi Shu seraya memeluk tubuh musuh sekuat tenaga.Berurai air mata, Xian Lian bangkit, meraih bayinya yang tergeletak di tanah lalu berlari ke atas tebing.“Lepaskan aku, Wanita Tua sialan!” maki Dewi Seribu Wajah pada bibi Shu, namun wanita tua itu kukuh memeluknya erat-erat.Dewi Seribu Wajah memberontak dengan mudah, begitu belitan tangan bibi Shu terlepas, ia memukul dada bibi Shu hingga wanita tua itu terpental dan muntah darah.Dewi Seribu Wajah melompat menggunakan ilmu meringankan tubuhnya, berkelebat lalu mendarat tak jauh dari Xian Lian. “Mau lari ke mana, nyawamu sudah ada di tanganku!”Wajah Xian Lian pucat pasi, ia sudah sampai di tepi tebing yang curam.Tak ada jalan untuk melarikan diri lagi bagi mantan ratu negeri Qi itu.Sementara Dewi Seribu Wajah mendekat perlahan, menikmati ketakutan korbannya.“Suamiku, maaf aku tak bisa membalaskan dendammu!” teriak Xian Lian memandang ke langit.Tanpa disangka oleh antek-antek raja Qi Xiang, Xian Lian dan bayi dalam gendongannya, berbalik dan melompat ke dasar jurang.Dewi Seribu Wajah melongok ke bawah, jurang itu sangat dalam dan gelap, tingginya ratusan meter.Pastilah mereka sudah mati, pikir Dewi Seribu Wajah. Maka ia pulang dan melaporkan kematian ratu Xian Lian dan putra mahkota.Dengan cepat berita kematian ratu dan putra mahkota menyebar ke seluruh negeri tak terkecuali Desa Kuning. Yan Li menangis, meratapi putranya yang telah tiada.“Anakku …huhuhu!” jeritnya pilu.Semua ini gara-gara ratu sialan itu, tega menukar bayi karena mementingkan putra kandungnya sendiri.Yan Li melirik ke arah Yu Ping yang berada dalam gendongan Wang Ji.Awas kau, Bocah Sialan! Akan kubuat hidupmu menderita selamanya!Sejak saat itu Yu Ping hidup bersama Wang Ji dan Yan Li. Wang Ji memiliki dua anak lain berusia lebih tua dari Yu Ping.Kakak laki-laki tertua berusia lima tahun bernama Wang Zhi dan anak perempuan berusia tiga tahun bernama Xin Ru.Yan Li membenci Yu Ping sehingga selalu memperlakukannya tak adil, ia hanya bersikap baik bila ada suami di rumah.Tetapi saat Wang Ji pergi bekerja, Yu Ping selalu menerima pukulan demi pukulan dari sang ibu.Ia pun jarang diberi makan dan sering dibiarkan tidur di dekat kandang ayam, beralas jerami.Selain Wang Ji, kakak ke dua, Xin Ru juga sangat peduli pada Yu Ping.Kakak perempuannya itu selalu berbagi makanan bila ibu mereka tidak memberi anak yang malang itu makan.Sejak kecil, Yu Ping sudah diharuskan untuk membantu pekerjaan rumah tangga, bila berbuat kesalahan maka ia harus menerima tubuhnya dihajar menggunakan gagang sapu.Yan Li memiliki pekerjaan sampingan sebagai tukang cuci di beberapa rumah orang kaya di kota terdekat, termasuk rumah bordil.Yu Ping lah yang biasa ia suruh untuk mengantarkan pakaian bersih ke rumah para pelanggannya.Sungguh kasihan bocah itu, masih kecil tapi sudah dipaksa memikul beban berat.Namun ia tak pernah mengeluh, semua dilakukannya dengan senang hati.Bahkan ia berteman dengan Ching-Ching, primadona rumah bordil yang selalu baik padanya.Ching-Ching memiliki pelanggan seorang pemain seruling, orang-orang menjulukinya Pendekar Pedang Pendek karena memang dulunya ia seorang jago silat namun sudah lama menghilang dari dunia persilatan.Pendekar Pedang Pendek mengajarkan Yu Ping cara bermain seruling setiap mereka bertemu.Yu Ping kecil sangat senang dan mereka menjadi akrab.Waktu berlalu sangat cepat, hingga usia Yu Ping menginjak 12 tahun.Suatu hari ia melihat anak-anak seusianya mandi di sungai kecil tak jauh dari desa.Saat itu ia diminta mengambil air dari sungai oleh Yan Li, ibunya.Melihat anak-anak berendam dan bermain bersama, tebersit keinginan untuk ikut bermain bersama mereka. Ia meminta izin pada mereka apakah diperbolehkan bermain bersama.Setelah mendapat anggukan dari anak-anak itu, dengan penuh semangat ia membuka bajunya, bersiap untuk terjun ke air.Namun saat ia berbalik membelakangi anak-anak itu, mereka ketakutan melihat sisik di punggung Yu Ping.“Hiih … apa itu?” pekik yang seorang.“Itu sisik?” sambung yang lain, tak kalah kencangnya.“Dia siluman air!” terdengar teriakan beberapa anak. Mereka semua berhamburan keluar dari sungai dan berlari pulang ke rumah masing-masing, meninggalkan Yu Ping seorang diri.Yu Ping sangat sedih, niat untuk bermain hilang sudah.Ia kembali memakai pakaiannya, mengisi timba kayu dengan air lalu kembali pulang.Berita tentang anak siluman air memiliki sisik di punggung menyebar dengan cepat hingga sampai ke telinga raja Qi Xiang.Ia segera memanggil tujuh Malaikat Pencabut Nyawa dengan marah.“Kalian bilang putra Qi You sudah mati, tapi aku mendengar berita ada anak laki-laki bersisik di punggungnya. Hanya satu orang yang memiliki sisik seperti itu, dia adalah putra Qi You!" Qi Xiang menggebrak pegangan kursi singgasana berbentuk kepala naga dengan gusar.“Aku melihat sendiri anak itu terlempar ke jurang,” kilah Dewi Seribu Wajah membela diri.Ia yakin betul ibu dan anak itu seharusnya sudah mati. Bagaimana mungkin terlihat di desa Kuning?"Aku tidak mau tahu, temukan dan bunuh anak itu!" titah Qi Xiang dengan mata melotot.Ketujuh pendekar kejam membungkuk hormat seraya mengepalkan kedua tangan di atas kepala, "Siap laksanakan, Yang Mulia!""Aku tidak mau tahu, temukan dan bunuh anak itu!" titah Qi Xiang dengan mata melotot. Ketujuh pendekar kejam membungkuk hormat seraya mengepalkan kedua tangan di atas kepala, "Siap laksanakan, Yang Mulia!" Rencana penangkapan bocah bersisik di desa Kuning tersebar dari mulut seorang pengawal yang kebetulan mendengarkan, berlanjut ke mulut yang lain hingga tersebar dengan cepat di seluruh penduduk kota. Wang Ji, ayah angkat Yu Ping yang kebetulan mampir ke Kota Raja membeli manisan untuk anak-anaknya di pasar, tak sengaja ikut mendengarkan berita menakutkan itu. Tergopoh-gopoh, pria yang selalu mengenakan topi caping itu meninggalkan Kota Raja hingga lupa meminta uang kembalian manisan yang dibelinya. Wang Ji mendayung tongkangnya sekuat tenaga supaya ia segera tiba di tujuan. Setibanya di depan pintu gerbang rumahnya, Wang Ji mendapati Yu Ping sedang mencuci baju dibantu kakak perempuannya, Xin Ru. Melihat ayah mereka pulang, Yu Ping dan Xin Ru menyambut Wang Ji dengan senang.
“Kau ingin menyusul ayahmu ke neraka rupanya, Bocah Bodoh!” desis Dewa Golok Hitam, bersiap mengayunkan goloknya. Xin Ru yakin hidupnya akan segera berakhir, ia pun memejamkan mata dan membayangkan wajah ayahnya. Aku akan berkumpul lagi denganmu, Ayah! Satu, dua, tiga detik berlalu. Xin Ru tak juga merasakan apa-apa, ia mulai berpikir apakah mungkin tebasan golok itu luar biasa cepat hingga ia tak sempat merasakan sakit. Ia memeriksa leher dan dadanya dengan kedua tangan untuk memastikan apakah ia masih hidup, ternyata tubuhnya utuh. Gadis yang masih belia itu akhirnya memberanikan diri membuka mata perlahan. Di depannya seorang wanita bertubuh langsing dengan tinggi tak kurang dari 170 cm berdiri tegak menghadang si Pembunuh Keji. Xin Ru ingat wanita itu sebagai salah satu dari komplotan yang datang mengobrak-abrik desa Kuning, sungguh aneh bila berdiri membentenginya dari serangan golok rekannya sendiri. “Minggir, Mei Mei!” bentak Dewa Golok Hitam kesal. “Hitam, aku menyukai
"Jagalah diri sendiri mulai sekarang, Yu Ping. Aku menyayangimu!" kata Xin Ru lewat tatapan matanya. Yu Ping yang mampu menangkap arti tatapan sang kakak, makin deraslah air mata membasahi pipinya. Bibirnya bergetar saat ia menyaksikan untuk terakhir kali, Xin Ru bergandengan tangan dengan salah seorang dari gerombolan pendekar berhati keji, melangkah meninggalkan desa Kuning dan tak pernah menoleh lagi ke belakang. Tak pernah terpikir oleh anak laki-laki yang masih berusia 12 tahun itu bahwa ayah akan terbunuh dan keluarga tercerai-berai dalam satu hari, yang lebih menyakitkan semua itu disebabkan oleh karena dirinya. Mungkin benar kata ibunya, ia benar-benar anak pembawa sial. Seandainya saja ia tak pernah berada dalam keluarga Wang Ji, tentu pria penuh kasih itu tak akan gugur dan kakak perempuan angkatnya juga tak akan dibawa pergi oleh manusia-manusia berhati iblis. Pendekar Pedang Pendek memutuskan untuk membawa Yu
“PAMAN!” Yu Ping menjerit sekuatnya. Namun yang dicari tak pernah muncul kembali, meski bocah malang itu berteriak memanggil namanya berulang kali. “Yu Ping tak ingin berpisah dengan Paman, biar kita mencari perguruan dimana mereka juga bersedia menerima kita berdua,” Yu Ping menangis terisak. “Huhu … jangan tinggalkan aku, Paman Wu!” Setelah hampir satu jam berlalu sia-sia, bocah itu sadar paman Wu Qing benar-benar telah meninggalkannya dan tak akan kembali lagi. Ia mengusap air mata dengan lengan baju, berjanji pada diri sendiri bahwa ini merupakan air mata terakhirnya. Akhirnya Yu Ping memutuskan untuk meneruskan langkahnya menuju perguruan Hoa San yang terletak di puncak bukit. Begitu mencapai pintu gerbang perguruan, Yu Ping bertemu dengan dua orang pemuda bertubuh tegap sedang keluar dari sana. “Hei Bocah, dari mana datangmu dan untuk apa kau kemari?” bentak seorang yang berwajah bulat begitu melihatnya. Belum lagi ia menjawab, pemuda satunya yang berkulit sawo matang mena
Sebelum semua menjadi gelap, matanya menangkap samar-samar wajah pria di atasnya. “A … Ayah?” bibir Yu Ping mengepak terbuka namun terlalu lemah untuk berkata-kata. Perlahan matanya menutup, ia ingin tertidur dan tak bangun lagi. *** Entah berapa lama tak sadarkan diri, Yu Ping kecil terbangun saat hari sudah gelap. Ia melihat sekeliling, menyadari bahwa dirinya sedang berada di dalam sebuah pondok bambu yang sederhana. Ia juga mengamati bajunya sudah berganti dengan baju berwarna putih bersih, siapa yang sudah begitu baik menolongnya?Ayah angkat sudah meninggal, kakak perempuan meninggalkannya, dan paman Wu Qing juga sudah pergi, Mungkinkah paman Wu Qing mengkhawatirkan dirinya lalu kembali menyelamatkannya? Saat mendengar suara orang memasak di luar pondok, Yu Ping seketika bersemangat. Tak salah lagi, orang yang telah menyelamatkannya pasti Wu Qing alias Pendekar Pedang Pendek. Saking senangnya, tanpa memedulikan bahwa tubuhnya masihlah sangat lemah, bocah itu meninggalkan t
“Apakah kau melihat saputangan hanyut di sekitar sungai ini?” tanya gadis itu padanya. Yu Ping tak mampu menjawab, ia takut begitu bibirnya terbuka, jantungnya ikut meloncat keluar karena berdetak terlalu kencang. Si makhluk cantik melambaikan tangan di depan mata Yu Ping, “Kau tidak apa-apa?” Yu Ping ingin menjawab namun lidahnya terasa kelu, hanya bibirnya saja yang mengepak terbuka seperti ikan mencari oksigen di permukaan air. “Oh kau gagu ya?” tatapan gadis itu berubah menjadi iba padanya. Mata Yu Ping membeliak, ia menggoyang-goyangkan kedua tangan. “Kau tidak melihat saputanganku, ya sudah tak apa-apa!” bibir si cantik tersenyum sangat manis. Saat gadis bergaun merah muda itu melambaikan tangan dan berbalik pergi, ia tak pernah menyadari telah membawa sekeping hati Yu Ping bersamanya. Yu Ping masih tak mempercayai bahwa ia bertemu dengan manusia bukannya hantu. Bahkan sesampainya di pondok, ia sibuk menjemur saputangan yang ditemukannya dan memandangi secarik kain terse
“Ingatlah bahwa kau harus menjadi pendekar nomor satu di dunia agar dapat membalaskan dendam kematian ayahmu, raja Qi You!" perintah Xian Lian dengan keras.“Qi Yun tak akan mengecewakan hati Ibu,” bocah laki-laki seumuran Yu Ping itu mengangguk tegas. Sebentar kemudian ia sudah berlatih jurus Pedang Bayangan kembali. Kali ini bocah tampan itu berfokus penuh pada pedang di tangannya. Saat berfokus itulah, gerakannya menjadi lebih cepat dari sebelumnya. Ia berputar ke sana kemari seperti sedang menari di bawah sinar bulan purnama. Kedua kakinya hampir tak menapak tanah saat melesat ke arah dinding batu, berpijak lalu berlari menapak dinding batu tersebut dengan kecepatan tinggi melawan gravitasi bumi. Setelah cukup tinggi, ia menghentakkan kedua kaki, melesat terbang seraya menggerak-gerakkan pedang di tangan sekaligus memutar tubuhnya hingga dari kejauhan tampak seperti bola bercahaya bergulung-gulung di atas tanah.
“Hiih … dia bersisik!” beberapa bergidik melihat punggung Yu Ping. “Siluman!” teriak yang lain. Wajah Yu Ping pucat, ia teringat dengan peristiwa di sungai lima tahun lalu dimana anak-anak sebayanya ketakutan dan memanggil dirinya siluman air. Gara-gara berita siuman air itu menyebar, desanya mengalami bencana besar. Kini murid-murid Hoa San sudah mengetahui tentang sisik di punggungnya juga, akankah Hoa San mengalami nasib yang sama dengan desa kelahirannya dulu? Tiba-tiba saja murid Pertama dan Ketiga membekuknya dari belakang, kedua tangan dikunci di belakang punggung. Kali ini Yu Ping tak melawan, ia membiarkan dirinya digiring ke aula gedung Hoa San. Murid Pertama dan Ketiga memegangi kedua bahunya, memaksanya berlutut. Lagi-lagi pemuda itu tak memberikan perlawanan meski sebenarnya tidak sulit mengalahkan mereka berdua. Tetua Wang muncul bersama dua tetua lain karena mendengar suara
Di puncak Gunung Kunlun yang menjulang tinggi, kabut tipis menyelimuti puncak-puncak batu yang tajam. Udara dingin pegunungan menerpa wajah dua sosok yang berdiri tegap di atas jembatan batu kuno. Yu Ping dan kakak angkatnya, Xin Ru, berdiri berdampingan, mata mereka menatap jauh ke dalam jurang yang dalam dan gelap di bawah.Yu Ping, mengenakan pakaian kerajaan dengan garis emas di sepanjang tepi kain sutra yang terjuntai hingga nyaris menyentuh tanah, menggenggam seruling emas di tangan, dan sebuah golok hitam diselipkan di belakang punggung. Di sampingnya, Xin Ru berdiri dengan postur waspada, matanya yang tajam menyapu sekeliling, siap menghadapi apapun yang mungkin terjadi."Kau yakin dia akan muncul?" tanya Xin Ru, suaranya nyaris berbisik.Yu Ping mengangguk pasti, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Aku yakin, karena dia adalah guruku.” Dengan gerakan perlahan, Yu Ping mengangkat seruling ke bibirnya. Ia menarik napas dalam, lalu mulai meniup. Nada-nada lembut mengalir d
Aula kerajaan Qi dipenuhi oleh kemegahan dan kemewahan. Dinding-dinding berukir emas berkilau di bawah cahaya ribuan lilin yang menerangi ruangan. Aroma dupa yang manis mengambang di udara, menciptakan suasana sakral yang teduh.Di tengah aula, Yu Ping berdiri tegap, mengenakan jubah kerajaan berlapis emas. Wajahnya tenang berwibawa, mencerminkan seorang yang berhati lembut namun juga tegas. Kasim Liu, berlutut di hadapannya, menyodorkan mahkota dan jubah emas kerajaan di atas bantal beludru merah.Dengan gerakan perlahan, Yu Ping mengambil mahkota itu dan meletakkannya di atas kepala. Jubah emas kemudian disampirkan di bahunya, melengkapi penampilannya sebagai seorang raja. Seketika itu juga, seluruh ruangan dipenuhi oleh suara gemerisik kain—para Jenderal dan Menteri berlutut, memberikan penghormatan kepada raja baru mereka.Di samping singgasana raja, dua wanita cantik duduk dengan anggun. Di sisi kiri, Sayana, dengan pakaian mewah dan perhiasan yang gemerlap, tersenyum anggun. Mat
Mentari bersinar cerah di atas Kota Xianfeng, cahayanya memantul dari atap-atap bangunan. Udara dipenuhi oleh semangat dan kegembiraan yang menggelora, seiring dengan persiapan pelantikan Yu Ping sebagai raja baru Negeri Qi.Hiruk pikuk keramaian terdengar dari setiap sudut kota, sementara di dalam istana, para pelayan berlarian kesana-kemari, sibuk dengan persiapan acara yang akan berlangsung selama tujuh hari tujuh malam.Di aula utama istana, Kepala Pelayan, seorang pria paruh baya dengan wajah serius namun berwibawa, tampak kewalahan menerima bingkisan hadiah yang terus berdatangan. Utusan dari berbagai negeri jiran dan perwakilan sekte-sekte aliran putih dari seluruh penjuru negeri silih berganti memasuki ruangan, membawa persembahan untuk raja baru mereka."Yang Mulia pasti akan sangat senang melihat sem
Suasana suram menyelimuti pemakaman keluarga kerajaan. Angin semilir membelai dedaunan pohon-pohon tua yang mengelilingi area sakral itu. Di tengah keheningan, sosok Yu Ping berlutut di depan sebuah makam yang masih baru. Tangannya gemetar memegang beberapa batang hio yang telah dinyalakan, asapnya mengepul tipis ke udara. Dengan hati-hati, ia menancapkan hio-hio tersebut ke dalam hiolo -tempat dupa yang terbuat dari logam berukir indah- yang terletak tepat di depan batu nisan ibunya, Xian Lian.Yu Ping menatap lekat nama yang terukir di batu nisan itu. Matanya yang berkaca-kaca menyiratkan kesedihan mendalam. Ia menghela napas berat sebelum berbisik lirih, suaranya nyaris terbawa angin."Ibu," ucap si pemuda dengan nada bergetar, "sekian lama aku mendambakan pertemuan dengan orang tua kandungku. Tapi mengapa, ketika akhirnya kita dipertemukan, waktu begitu kejam membatasi kebersamaan kita?"Jemarinya perlahan menelusuri ukiran nama ibunya di batu nisan. "Qi Yun sungguh beruntung,"
Kedua pendekar muda itu berhadapan di udara, aura mereka yang bertolak belakang - keemasan milik Yu Ping dan kegelapan milik Qi Yun - bertabrakan, menciptakan gelombang energi yang membuat udara bergetar."Qi Yun," balas Yu Ping, suaranya tenang namun penuh ketegasan. "Hentikan semua ini! Terlalu banyak nyawa yang telah melayang."Qi Yun tertawa sinis. "Hentikan? Tidak akan! Hari ini, salah satu dari kita akan mati!"Bersamaan dengan itu Qi Yun mengayunkan goloknya, menciptakan gelombang energi hitam yang melesat ke arah Yu Ping. Yu Ping dengan sigap mengeluarkan seruling saktinya, bersiap menghadapi pertarungan yang akan menentukan nasib kerajaan Qi.Di bawah, pasukan kedua belah pihak menghentikan pertempuran sejenak, mata mereka tertuju ke langit di mana dua sosok pemimpin mereka akan bertarung hingga titik darah penghabisan. Mereka tahu, hasil pertarungan ini akan menentukan tidak hanya nasib mereka, tapi juga masa depan seluruh kerajaan.Langit di atas Xianfeng menjadi arena perta
Di atas benteng kokoh, di kotaraja Xianfeng, Qi Yun berdiri tegak, jubah perang yang berat dan berkilauan menambah kegagahannya. Matanya yang tajam menatap ke kejauhan, menanti kedatangan musuh yang ia tahu pasti akan tiba.Berita kekalahan para Jenderal Perang dan pasukannya telah sampai ke telinganya, dibawa oleh prajurit-prajurit yang berhasil meloloskan diri dari pertempuran.Suasana di atas benteng sunyi senyap, hanya deru napas para pasukan yang merasa tegang memecah keheningan. Mereka telah mendengar desas-desus tentang kesaktian Yu Ping, dan ketakutan mulai merayapi hati mereka. Namun, di bawah tatapan dingin Qi Yun, tak seorang pun berani menunjukkan keraguan."Pasukan siap, Pangeran!" lapor seorang perwira. "Pemanah, infanteri, dan pelontar batu telah mengambil posisi."Qi Yun mengangguk singkat, matanya tak lepas memandang langit. Tak lama kemudian, apa yang ditunggunya muncul. Dari kejauhan, terlihat pasukan Yu Ping yang mulai mendekat. Mereka berhenti agak jauh dari bent
Asap pertempuran mengepul di berbagai sudut kota, menandai jejak perjuangan pasukan Yu Ping dalam perjalanan mereka menuju Xianfeng. Satu demi satu, pertempuran dimenangkan oleh Yu Ping dan pasukannya. Namun, kemenangan demi kemenangan ini tidak membuat Yu Ping lengah. Sebaliknya, instingnya sebagai strategi perang mulai menangkap pola yang mencurigakan.Yu Ping berdiri di atas bukit kecil, memandang ke arah kota yang masih diselimuti asap pertempuran. Matanya yang tajam menyipit, menganalisis situasi dengan cermat. Perlahan, sebuah kesimpulan terbentuk di benaknya."Dia ingin pasukan kita kelelahan saat tiba di Xianfeng," gumam Yu Ping, lebih kepada dirinya sendiri. Nada suaranya lebih kepada kekaguman namun juga mengandung kejengkelan. "Dasar licik!"Panglima Sung yang berdiri di sampingnya, menangkap gumaman itu. Dengan wajah serius, ia bertanya, "Apa yang harus kita lakukan, Jenderal Yu Ping?" Suaranya penuh hormat dan kesiapan. "Kami siap melakukan apapun perintahmu!"Yu Ping ter
Pemandangan itu menyadarkan Qi Xiang akan kenyataan yang mengerikan: ia benar-benar berhadapan dengan Raja Iblis. Ketakutan yang luar biasa mencengkeram hatinya, membuatnya gemetar hebat."B-baik," ujar Qi Xiang terbata-bata, keringat dingin membasahi dahinya. "Akan kulakukan apapun yang kau mau asal bunuh Yu Ping dan antek-anteknya untukku."Sebuah senyum tipis tersungging di bibir Qi Yun. "Bagus," ujarnya, suaranya dingin dan tanpa emosi. "Sekarang lakukan sesuatu untukku! Bebaskan ibuku dari penjara, obati luka-lukanya dan biarkan ia menempati kamar ratu.""A-apa?" Qi Xiang terkejut, tidak menyangka permintaan semacam ini akan datang dari Qi Yun."Kau merampas itu darinya," desis Qi Yun, matanya berkilat-kilat penuh ancaman. "Aku akan mengembalikan martabatnya seperti semula!"Qi Xiang, yang kini tak lebih dari boneka di tangan Qi Yun, tak berkutik. Ia hanya bisa mengangguk pasrah, menyadari bahwa hidupnya kini bergantung pada keinginan pemuda di hadapannya ini."Baik ... baik …,"
Di dalam penjara bawah tanah istana yang lembab dan dingin, suara rintihan tertahan memecah keheningan. Seorang wanita, dengan rambut kusut dan pakaian compang-camping, terikat dengan kedua tangan terentang di atas sebuah papan kayu yang kasar. Wajahnya yang cantik kini penuh dengan luka dan lebam, hasil dari penyiksaan brutal yang baru saja ia alami.Ma Yin, dengan senyum puas tersungging di bibirnya, berdiri di hadapan wanita itu. Cambuk di tangannya masih basah oleh darah."Yang Mulia Ratu," ujarnya dengan nada mengejek, "ternyata Anda sungguh tangguh ... sudah dicambuk dan dihajar berulang kali tetapi masih berdiri tegak!"Xian Lian, mantan Ratu yang kini diperlakukan bagai penjahat kelas berat, hanya diam. Kepalanya tertunduk, seolah tak lagi memiliki kekuatan untuk mengangkatnya.Ma Yin melangkah mendekat, suara sepatunya bergema di dinding-dinding sel. "Seandainya Anda mau bekerja sama, tentu hal ini tak akan sampai terjadi."Tangan kanan Raja itu kini berada tepat di depan Xia