“Ingatlah bahwa kau harus menjadi pendekar nomor satu di dunia agar dapat membalaskan dendam kematian ayahmu, raja Qi You!" perintah Xian Lian dengan keras.
“Qi Yun tak akan mengecewakan hati Ibu,” bocah laki-laki seumuran Yu Ping itu mengangguk tegas.Sebentar kemudian ia sudah berlatih jurus Pedang Bayangan kembali. Kali ini bocah tampan itu berfokus penuh pada pedang di tangannya.Saat berfokus itulah, gerakannya menjadi lebih cepat dari sebelumnya.Ia berputar ke sana kemari seperti sedang menari di bawah sinar bulan purnama.Kedua kakinya hampir tak menapak tanah saat melesat ke arah dinding batu, berpijak lalu berlari menapak dinding batu tersebut dengan kecepatan tinggi melawan gravitasi bumi.Setelah cukup tinggi, ia menghentakkan kedua kaki, melesat terbang seraya menggerak-gerakkan pedang di tangan sekaligus memutar tubuhnya hingga dari kejauhan tampak seperti bola bercahaya bergulung-gulung di atas tanah.<“Hiih … dia bersisik!” beberapa bergidik melihat punggung Yu Ping. “Siluman!” teriak yang lain. Wajah Yu Ping pucat, ia teringat dengan peristiwa di sungai lima tahun lalu dimana anak-anak sebayanya ketakutan dan memanggil dirinya siluman air. Gara-gara berita siuman air itu menyebar, desanya mengalami bencana besar. Kini murid-murid Hoa San sudah mengetahui tentang sisik di punggungnya juga, akankah Hoa San mengalami nasib yang sama dengan desa kelahirannya dulu? Tiba-tiba saja murid Pertama dan Ketiga membekuknya dari belakang, kedua tangan dikunci di belakang punggung. Kali ini Yu Ping tak melawan, ia membiarkan dirinya digiring ke aula gedung Hoa San. Murid Pertama dan Ketiga memegangi kedua bahunya, memaksanya berlutut. Lagi-lagi pemuda itu tak memberikan perlawanan meski sebenarnya tidak sulit mengalahkan mereka berdua. Tetua Wang muncul bersama dua tetua lain karena mendengar suara
Murid Ketiga memutuskan untuk mendekat dan mengintai dari lubang jendela. Tampak olehnya tetua Wang dan sosok misterius berdiri berhadap-hadapan, lilin dimatikan hingga ruangan menjadi gelap namun murid Ketiga masih dapat melihat siluet keduanya. “Memanggilku kemari ada berita penting apa?” tanya tamu misterius berbaju hitam. “Aku menemukan bocah dengan sisik emas, sepertinya dia bukan anak sembarangan,’ terang tetua Wang. “Bocah bersisik emas? Kalau benar, dia adalah buronan yang selama ini dicari-cari oleh raja Qi!” kata pria misterius di depan tetua Wang. Buronan? Murid Ketiga menutup mulut dengan kedua tangan, khawatir berteriak saking kagetnya. Jadi murid kesayangan ketua Hoa San itu seorang buronan? Hmm, kalau aku laporkan ke penegak hukum di kota maka aku akan mendapatkan uang banyak, tiba-tiba muncul niat jahat di kepala murid Ketiga. Bila Guru Besar mengetahui siapa murid kesayangan yang sebenarnya tentu dia akan m
“Sebuah pukulan tangan kosong ke batang leher dengan tenaga dalam yang sangat kuat tanpa ada bekas pukulan dan memar di kulit, hanya satu orang yang bisa melakukannya. Tidak lain Pendekar Tapak Sakti, Liu Heng dari perguruan Kun Lun!” Tiga tetua saling memandang tak percaya, sementara para murid terlihat bengong tak mengerti. “Tetapi hal itu tidak mungkin,” tetua Wang mendekati jenazah murid Ketiga dengan penasaran. “Apa yang membuat Ketua Wu berpikiran pelakunya Liu Heng?” “Aku tidak yakin pelakunya adalah Liu Heng, tetapi orang yang membunuh murid kita menggunakan jurus yang dimiliki oleh pendekar Tapak Sakti!” Wu Xian mengelus jenggotnya. “Setahuku, Liu Heng sudah berubah menjadi gila karena melakukan kesalahan saat mempelajari jurus tertinggi Tapak Dewa!” kata tetua Wang lagi. “Benar,” Wu Xian mengangguk. “Masalah ini sangat pelik, kita tak bisa sembarangan menuduh karena selama ini perguruan Kun Lun dan Hoa San tidak pernah ada masalah sedangkan Liu Heng adalah mantan tetua
Jantung Yu Ping berdebar kencang. Meski sudah lima tahun berlalu, ia masih saja terpesona melihat sosok yang hanya bisa menghiasi mimpi dan kini berada di sampingnya. Qing Ning. “Kakak Pertama, apakah tidak malu sebagai murid Hoa San merundung anak kecil?” bentak Qing Ning dengan kedua tangan menumpu pada pinggangnya yang ramping. Mata indahnya memelototi kelima pria di depannya dengan ekspresi marah, membuat hati mereka menciut. Bagaimana tidak, Qing Ning adalah cucu dari ketua Hoa San, Wu Xian. Ilmu silatnya pun tak dapat dianggap enteng. Selain sangat cantik, ia juga pandai ilmu pedang. Bukan hanya Yu Ping, hampir semua pemuda di perguruan Hoa San mengagumi kecantikan gadis itu. Matanya besar dan indah berkilauan serta memiliki daya tarik kuat bagi setiap orang yang memandang, namun sinar mata itu juga mengandung ketegasan dan kewibawaan yang sepertinya diturunkan oleh Wu Xian, sang kakek. Anak kecil? mata Yu Ping membulat mendengar dirinya dipanggil dengan sebutan anak ke
“Malam ini kau akan mati di tanganku, Wu Xian!” Pria berbaju dan berkedok serba hitam itu mendekati tempat tidur, mengangkat tangan kanannya dan mengerahkan tenaga dalam penuh. Tangan kiri meraih selimut dan menariknya dengan cepat, seraya siap memukulkan tangan kanan ke arah leher Wu Xian. Namun ia terkejut bukan main, ketika selimut tersibak ternyata hanya ada sebuah bantal di baliknya. Ia menoleh ke kanan kiri, mencari keberadaan sosok Wu Xian dalam kegelapan. Menyadari ada sepasang mata sedang mengawasinya, pria berkedok itu perlahan mendongak ke atas, ke langit-langit tempat tidur. Ternyata Wu Xian sedari tadi bersembunyi di langit-langit, dengan kedua tangan dan kedua kaki berpijak pada empat tiang tempat tidur. Begitu musuh menengadah ke atas, Wu Xian langsung melompat turun sambil menghujamkan tinjunya ke arah pria misterius di bawahnya. Sosok itu meloncat ke belakang guna menghindari serangan hingga tinju Wu Xian menghantam tempat tidur yang terbuat dari papan kayu.
Sinar matahari pagi memancar indah, menghangatkan penghuni bumi sebelah utara. Di kaki pegunungan Qionglai yang memiliki pemandangan indah terutama di pagi hari, sudah banyak orang yang berlalu-lalang. Rata-rata dari mereka adalah pedagang, jasa ekspedisi, dan pengembara yang lewat dari Wenchuan menuju Sichuan atau sebaliknya. Namun hari itu sedikit berbeda, tak sedikit pria gagah perkasa dan bersenjata yang lewat di sepanjang jalan.Terlihat empat orang pemuda gagah memasuki sebuah kedai teh yang terletak di dataran berpasir. Di kedai itu sudah duduk seorang pemuda tampan berjubah putih menikmati tehnya dalam diam. Dari gerak-geriknya terlihat pemuda ini bukanlah pemuda sembarangan, terpelajar dan berilmu tinggi.Keempat pemuda yang baru masuk itu duduk berhadap-hadapan dan sesekali mencuri pandang ke arahnya. “Siapa pemuda itu, Kakak Pertama?” tanya seorang yang lebih muda, “Wajahnya asing tapi terlihat berilmu tinggi.” “Entahlah, mungkin dia juga salah satu peserta pertandinga
Gadis itu menusukkan pedangnya ke arah leher Qi Yun sambil berteriak nyaring, “Mampus!” Pemuda itu berkelit ke samping, menangkap pergelangan tangan lawannya. Si gadis berusaha melepaskan tangannya namun cengkeraman Qi Yun terlalu kuat, akhirnya ia memutar tubuh ke samping agar cengkeraman itu terlepas lalu melayangkan sebelah kakinya ke atas untuk memukul kepala Qi Yun. Pemuda itu sigap mengibaskan tangan dan menangkis serangan yang datang. Karena mulai kesal, dan malas meladeni, setelah beberapa jurus, Qi Yun segera mengakhiri serangan nona dari Iblis Darah itu dengan mengunci kedua tangannya ke belakang dan memaksanya berlutut. “Cepat berikan penawar racun untuk tuan-tuan ini atau wajah cantikmu akan kubuat cacat!” bentak Qi Yun. Gadis itu tertegun, wajahnya merona merah. Seorang pemuda yang sejak awal melihat tadi sudah ia kagumi kegagahan dan ketampanannya memanggil dirinya cantik.Bagai kerbau dicocok hidung, tanpa banyak protes, gadis itu menyerahkan penawar racun pada pe
“Aku Liu Heng, Pendekar Tapak Sakti yang terkenal di seluruh dunia!” kakek tua itu memperkenalkan diri dengan bangga seraya mendongakkan dagu dan membusungkan dada. Kakek itu tidak membual, dia benar adalah Liu Heng, mantan pendekar sejati sekaligus tetua Kun Lun yang sudah lama menghilang sejak dikabarkan hilang ingatan. “Bagaimana? Sudah siap berlutut di … huh?’ Liu Heng celingukan menyadari Yu Ping sudah menghilang saat pria tua itu menoleh ke arahnya. “Bocah Nakal, mau main petak umpet denganku ya?” Liu Heng bertepuk tangan girang. “Kalau tertangkap, kau harus jadi muridku … hahaha!” Sementara itu Yu Ping sudah melesat jauh menggunakan ilmu meringankan tubuhnya melarikan diri dari Liu Heng. Begitu tiba di depan pondok, Yu Ping berhenti, mengatur napas yang ngos-ngos-an. “Pertanda apa ini, bertemu kakek pencuri yang tiba-tiba minta aku menjadi muridnya?” Yu Ping berdialog dengan dirinya sendiri. Pendekar Tapak
Di puncak Gunung Kunlun yang menjulang tinggi, kabut tipis menyelimuti puncak-puncak batu yang tajam. Udara dingin pegunungan menerpa wajah dua sosok yang berdiri tegap di atas jembatan batu kuno. Yu Ping dan kakak angkatnya, Xin Ru, berdiri berdampingan, mata mereka menatap jauh ke dalam jurang yang dalam dan gelap di bawah.Yu Ping, mengenakan pakaian kerajaan dengan garis emas di sepanjang tepi kain sutra yang terjuntai hingga nyaris menyentuh tanah, menggenggam seruling emas di tangan, dan sebuah golok hitam diselipkan di belakang punggung. Di sampingnya, Xin Ru berdiri dengan postur waspada, matanya yang tajam menyapu sekeliling, siap menghadapi apapun yang mungkin terjadi."Kau yakin dia akan muncul?" tanya Xin Ru, suaranya nyaris berbisik.Yu Ping mengangguk pasti, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Aku yakin, karena dia adalah guruku.” Dengan gerakan perlahan, Yu Ping mengangkat seruling ke bibirnya. Ia menarik napas dalam, lalu mulai meniup. Nada-nada lembut mengalir d
Aula kerajaan Qi dipenuhi oleh kemegahan dan kemewahan. Dinding-dinding berukir emas berkilau di bawah cahaya ribuan lilin yang menerangi ruangan. Aroma dupa yang manis mengambang di udara, menciptakan suasana sakral yang teduh.Di tengah aula, Yu Ping berdiri tegap, mengenakan jubah kerajaan berlapis emas. Wajahnya tenang berwibawa, mencerminkan seorang yang berhati lembut namun juga tegas. Kasim Liu, berlutut di hadapannya, menyodorkan mahkota dan jubah emas kerajaan di atas bantal beludru merah.Dengan gerakan perlahan, Yu Ping mengambil mahkota itu dan meletakkannya di atas kepala. Jubah emas kemudian disampirkan di bahunya, melengkapi penampilannya sebagai seorang raja. Seketika itu juga, seluruh ruangan dipenuhi oleh suara gemerisik kain—para Jenderal dan Menteri berlutut, memberikan penghormatan kepada raja baru mereka.Di samping singgasana raja, dua wanita cantik duduk dengan anggun. Di sisi kiri, Sayana, dengan pakaian mewah dan perhiasan yang gemerlap, tersenyum anggun. Mat
Mentari bersinar cerah di atas Kota Xianfeng, cahayanya memantul dari atap-atap bangunan. Udara dipenuhi oleh semangat dan kegembiraan yang menggelora, seiring dengan persiapan pelantikan Yu Ping sebagai raja baru Negeri Qi.Hiruk pikuk keramaian terdengar dari setiap sudut kota, sementara di dalam istana, para pelayan berlarian kesana-kemari, sibuk dengan persiapan acara yang akan berlangsung selama tujuh hari tujuh malam.Di aula utama istana, Kepala Pelayan, seorang pria paruh baya dengan wajah serius namun berwibawa, tampak kewalahan menerima bingkisan hadiah yang terus berdatangan. Utusan dari berbagai negeri jiran dan perwakilan sekte-sekte aliran putih dari seluruh penjuru negeri silih berganti memasuki ruangan, membawa persembahan untuk raja baru mereka."Yang Mulia pasti akan sangat senang melihat sem
Suasana suram menyelimuti pemakaman keluarga kerajaan. Angin semilir membelai dedaunan pohon-pohon tua yang mengelilingi area sakral itu. Di tengah keheningan, sosok Yu Ping berlutut di depan sebuah makam yang masih baru. Tangannya gemetar memegang beberapa batang hio yang telah dinyalakan, asapnya mengepul tipis ke udara. Dengan hati-hati, ia menancapkan hio-hio tersebut ke dalam hiolo -tempat dupa yang terbuat dari logam berukir indah- yang terletak tepat di depan batu nisan ibunya, Xian Lian.Yu Ping menatap lekat nama yang terukir di batu nisan itu. Matanya yang berkaca-kaca menyiratkan kesedihan mendalam. Ia menghela napas berat sebelum berbisik lirih, suaranya nyaris terbawa angin."Ibu," ucap si pemuda dengan nada bergetar, "sekian lama aku mendambakan pertemuan dengan orang tua kandungku. Tapi mengapa, ketika akhirnya kita dipertemukan, waktu begitu kejam membatasi kebersamaan kita?"Jemarinya perlahan menelusuri ukiran nama ibunya di batu nisan. "Qi Yun sungguh beruntung,"
Kedua pendekar muda itu berhadapan di udara, aura mereka yang bertolak belakang - keemasan milik Yu Ping dan kegelapan milik Qi Yun - bertabrakan, menciptakan gelombang energi yang membuat udara bergetar."Qi Yun," balas Yu Ping, suaranya tenang namun penuh ketegasan. "Hentikan semua ini! Terlalu banyak nyawa yang telah melayang."Qi Yun tertawa sinis. "Hentikan? Tidak akan! Hari ini, salah satu dari kita akan mati!"Bersamaan dengan itu Qi Yun mengayunkan goloknya, menciptakan gelombang energi hitam yang melesat ke arah Yu Ping. Yu Ping dengan sigap mengeluarkan seruling saktinya, bersiap menghadapi pertarungan yang akan menentukan nasib kerajaan Qi.Di bawah, pasukan kedua belah pihak menghentikan pertempuran sejenak, mata mereka tertuju ke langit di mana dua sosok pemimpin mereka akan bertarung hingga titik darah penghabisan. Mereka tahu, hasil pertarungan ini akan menentukan tidak hanya nasib mereka, tapi juga masa depan seluruh kerajaan.Langit di atas Xianfeng menjadi arena perta
Di atas benteng kokoh, di kotaraja Xianfeng, Qi Yun berdiri tegak, jubah perang yang berat dan berkilauan menambah kegagahannya. Matanya yang tajam menatap ke kejauhan, menanti kedatangan musuh yang ia tahu pasti akan tiba.Berita kekalahan para Jenderal Perang dan pasukannya telah sampai ke telinganya, dibawa oleh prajurit-prajurit yang berhasil meloloskan diri dari pertempuran.Suasana di atas benteng sunyi senyap, hanya deru napas para pasukan yang merasa tegang memecah keheningan. Mereka telah mendengar desas-desus tentang kesaktian Yu Ping, dan ketakutan mulai merayapi hati mereka. Namun, di bawah tatapan dingin Qi Yun, tak seorang pun berani menunjukkan keraguan."Pasukan siap, Pangeran!" lapor seorang perwira. "Pemanah, infanteri, dan pelontar batu telah mengambil posisi."Qi Yun mengangguk singkat, matanya tak lepas memandang langit. Tak lama kemudian, apa yang ditunggunya muncul. Dari kejauhan, terlihat pasukan Yu Ping yang mulai mendekat. Mereka berhenti agak jauh dari bent
Asap pertempuran mengepul di berbagai sudut kota, menandai jejak perjuangan pasukan Yu Ping dalam perjalanan mereka menuju Xianfeng. Satu demi satu, pertempuran dimenangkan oleh Yu Ping dan pasukannya. Namun, kemenangan demi kemenangan ini tidak membuat Yu Ping lengah. Sebaliknya, instingnya sebagai strategi perang mulai menangkap pola yang mencurigakan.Yu Ping berdiri di atas bukit kecil, memandang ke arah kota yang masih diselimuti asap pertempuran. Matanya yang tajam menyipit, menganalisis situasi dengan cermat. Perlahan, sebuah kesimpulan terbentuk di benaknya."Dia ingin pasukan kita kelelahan saat tiba di Xianfeng," gumam Yu Ping, lebih kepada dirinya sendiri. Nada suaranya lebih kepada kekaguman namun juga mengandung kejengkelan. "Dasar licik!"Panglima Sung yang berdiri di sampingnya, menangkap gumaman itu. Dengan wajah serius, ia bertanya, "Apa yang harus kita lakukan, Jenderal Yu Ping?" Suaranya penuh hormat dan kesiapan. "Kami siap melakukan apapun perintahmu!"Yu Ping ter
Pemandangan itu menyadarkan Qi Xiang akan kenyataan yang mengerikan: ia benar-benar berhadapan dengan Raja Iblis. Ketakutan yang luar biasa mencengkeram hatinya, membuatnya gemetar hebat."B-baik," ujar Qi Xiang terbata-bata, keringat dingin membasahi dahinya. "Akan kulakukan apapun yang kau mau asal bunuh Yu Ping dan antek-anteknya untukku."Sebuah senyum tipis tersungging di bibir Qi Yun. "Bagus," ujarnya, suaranya dingin dan tanpa emosi. "Sekarang lakukan sesuatu untukku! Bebaskan ibuku dari penjara, obati luka-lukanya dan biarkan ia menempati kamar ratu.""A-apa?" Qi Xiang terkejut, tidak menyangka permintaan semacam ini akan datang dari Qi Yun."Kau merampas itu darinya," desis Qi Yun, matanya berkilat-kilat penuh ancaman. "Aku akan mengembalikan martabatnya seperti semula!"Qi Xiang, yang kini tak lebih dari boneka di tangan Qi Yun, tak berkutik. Ia hanya bisa mengangguk pasrah, menyadari bahwa hidupnya kini bergantung pada keinginan pemuda di hadapannya ini."Baik ... baik …,"
Di dalam penjara bawah tanah istana yang lembab dan dingin, suara rintihan tertahan memecah keheningan. Seorang wanita, dengan rambut kusut dan pakaian compang-camping, terikat dengan kedua tangan terentang di atas sebuah papan kayu yang kasar. Wajahnya yang cantik kini penuh dengan luka dan lebam, hasil dari penyiksaan brutal yang baru saja ia alami.Ma Yin, dengan senyum puas tersungging di bibirnya, berdiri di hadapan wanita itu. Cambuk di tangannya masih basah oleh darah."Yang Mulia Ratu," ujarnya dengan nada mengejek, "ternyata Anda sungguh tangguh ... sudah dicambuk dan dihajar berulang kali tetapi masih berdiri tegak!"Xian Lian, mantan Ratu yang kini diperlakukan bagai penjahat kelas berat, hanya diam. Kepalanya tertunduk, seolah tak lagi memiliki kekuatan untuk mengangkatnya.Ma Yin melangkah mendekat, suara sepatunya bergema di dinding-dinding sel. "Seandainya Anda mau bekerja sama, tentu hal ini tak akan sampai terjadi."Tangan kanan Raja itu kini berada tepat di depan Xia