Sinar matahari pagi memancar indah, menghangatkan penghuni bumi sebelah utara. Di kaki pegunungan Qionglai yang memiliki pemandangan indah terutama di pagi hari, sudah banyak orang yang berlalu-lalang. Rata-rata dari mereka adalah pedagang, jasa ekspedisi, dan pengembara yang lewat dari Wenchuan menuju Sichuan atau sebaliknya. Namun hari itu sedikit berbeda, tak sedikit pria gagah perkasa dan bersenjata yang lewat di sepanjang jalan.Terlihat empat orang pemuda gagah memasuki sebuah kedai teh yang terletak di dataran berpasir. Di kedai itu sudah duduk seorang pemuda tampan berjubah putih menikmati tehnya dalam diam. Dari gerak-geriknya terlihat pemuda ini bukanlah pemuda sembarangan, terpelajar dan berilmu tinggi.Keempat pemuda yang baru masuk itu duduk berhadap-hadapan dan sesekali mencuri pandang ke arahnya. “Siapa pemuda itu, Kakak Pertama?” tanya seorang yang lebih muda, “Wajahnya asing tapi terlihat berilmu tinggi.” “Entahlah, mungkin dia juga salah satu peserta pertandinga
Gadis itu menusukkan pedangnya ke arah leher Qi Yun sambil berteriak nyaring, “Mampus!” Pemuda itu berkelit ke samping, menangkap pergelangan tangan lawannya. Si gadis berusaha melepaskan tangannya namun cengkeraman Qi Yun terlalu kuat, akhirnya ia memutar tubuh ke samping agar cengkeraman itu terlepas lalu melayangkan sebelah kakinya ke atas untuk memukul kepala Qi Yun. Pemuda itu sigap mengibaskan tangan dan menangkis serangan yang datang. Karena mulai kesal, dan malas meladeni, setelah beberapa jurus, Qi Yun segera mengakhiri serangan nona dari Iblis Darah itu dengan mengunci kedua tangannya ke belakang dan memaksanya berlutut. “Cepat berikan penawar racun untuk tuan-tuan ini atau wajah cantikmu akan kubuat cacat!” bentak Qi Yun. Gadis itu tertegun, wajahnya merona merah. Seorang pemuda yang sejak awal melihat tadi sudah ia kagumi kegagahan dan ketampanannya memanggil dirinya cantik.Bagai kerbau dicocok hidung, tanpa banyak protes, gadis itu menyerahkan penawar racun pada pe
“Aku Liu Heng, Pendekar Tapak Sakti yang terkenal di seluruh dunia!” kakek tua itu memperkenalkan diri dengan bangga seraya mendongakkan dagu dan membusungkan dada. Kakek itu tidak membual, dia benar adalah Liu Heng, mantan pendekar sejati sekaligus tetua Kun Lun yang sudah lama menghilang sejak dikabarkan hilang ingatan. “Bagaimana? Sudah siap berlutut di … huh?’ Liu Heng celingukan menyadari Yu Ping sudah menghilang saat pria tua itu menoleh ke arahnya. “Bocah Nakal, mau main petak umpet denganku ya?” Liu Heng bertepuk tangan girang. “Kalau tertangkap, kau harus jadi muridku … hahaha!” Sementara itu Yu Ping sudah melesat jauh menggunakan ilmu meringankan tubuhnya melarikan diri dari Liu Heng. Begitu tiba di depan pondok, Yu Ping berhenti, mengatur napas yang ngos-ngos-an. “Pertanda apa ini, bertemu kakek pencuri yang tiba-tiba minta aku menjadi muridnya?” Yu Ping berdialog dengan dirinya sendiri. Pendekar Tapak
Hari itu juga Yu Ping menerima seragam baru sebagai murid perguruan Hoa San, rasa bangga menyelimuti hatinya. Ia bertanya-tanya dalam hati mengapa Guru melakukan itu semua kepadanya. “Sebentar lagi akan ada pertandingan mencari ketua dunia persilatan dan pendekar nomor satu,” kata Wu Xian setelah acara pengangkatan Yu Ping sebagai murid Hoa San selesai. Para tetua dan murid mendengarkan dengan penuh perhatian. “Aku akan bertapa untuk menyempurnakan ilmuku sampai hari pertandingan tiba. Selama aku tidak berada di sini, jaga persaudaraan di antara kalian, dan saling melindungi!” “Baik, Guru!” para murid membungkuk hormat. Wu Xian menghela napas panjang, ia tahu mereka tak sepenuh hati mendengarkan nasihatnya. “Yu Ping, antarkan aku ke tempat pertapaan!” Wu Xian menoleh pada murid yang paling dikasihinya. Yu Ping mengangguk cepat, segera mengikuti gurunya meninggalkan aula menuju pertapaan yang letaknya be
“Bocah Nakal, dimana kau bersembunyi? Guru datang mencarimu … hahaha!” terdengar tawa yang tak asing di telinga Yu Ping. Murid-murid Hoa San menghadang kakek yang dijuluki Pendekar Sinting itu agar tak menyerbu ke dalam gedung. “Siapa kau ini, bertamu ke tempat kami dengan berteriak-teriak, sungguh tak tahu malu!” bentak murid Pertama seraya mengacungkan tongkatnya. Pria itu seperti tuli, tetap saja berteriak-teriak. “Maaf Paman, tetapi siapakah nama murid yang Paman cari itu?” tanya murid Keempat lebih sopan. Liu Heng berhenti berteriak, menengadah ke atas seraya mengetuk kening dengan telunjuknya. Ia berpikir keras mengingat nama pemuda yang pernah bertemu dengannya di kaki gunung waktu itu. Yu Ping yang bersembunyi di balik pilar hanya bisa berdoa semoga kakek itu tak mengingat namanya, dan doanya terkabul. “Aku hanya ingat namanya Bocah nakal!” Liu Heng akhirnya menjawab setelah bermenit-menit lamanya berpikir
"Vampir penghisap darah akan datang malam ini, itu tadi lonceng peringatannya!" jawab si pemilik penginapan dengan tubuh gemetar. Sontak penjelasan pemilik tempat penginapan itu mengundang reaksi dari seluruh pengunjung. “Vampir? Omong kosong apa itu?” celetuk salah seorang dari anak buah Xue Yi, pengawal ekspedisi. “Sungguh saya tidak bohong!” si pemilik penginapan melanjutkan dengan serius. “ Setiap malam bulan purnama, manusia penghisap darah akan datang dan meminta satu nyawa. Korbannya selalu ditemukan mati kehabisan darah, itu sebabnya setiap lonceng berbunyi, kita harus memastikan untuk berada di rumah dan berjaga sepanjang malam.” “Sungguh tidak masuk di akal,” gumam Ru Chen, ketua perguruan Pedang Langit. “Tetapi kita juga tidak bisa bersikap sembrono,” timpal Xun Huan, ketua perguruan Bu Tong yang diikuti anggukan orang-orangnya. Qi Yun yang melihat kesempatan bagus untuk berkenalan dengan ketiga ketua perguruan dari dunia persilatan, bangkit berdiri seraya menangkupkan
Pria misterius itu mendongak ke arah langit-langit kamarnya sambil membentak nyaring, “Siapa di atas, hah?” Bayangan di atas atap bergerak menjauh dari lokasi. Manusia Kelelawar menggeram seperti seekor beruang mengamuk saat mengetahui dirinya telah diintai, ia menghentakkan kaki ke tanah dan melompat tinggi mendobrak genting yang ada di atasnya. BRAKK! Manusia Kelelawar menginjakkan kaki di atas genting, matanya memindai area sekitar. Langit malam sangat pekat, hanya cahaya bulan yang dapat ia andalkan untuk melihat. Pria mengenakan cape berwarna hitam itu mulai merapalkan mantra sambil memejamkan mata, kedua tangannya mengepal dengan jari telunjuk dan jari tengah mengacung. Ia menempelkan keempat jari itu bersilang di depan dada dengan bibir komat-kamit, lalu mengusap kelopak mata yang terpejam dengan jari-jarinya. Saat ia membuka mata, bola matanya berubah warna menjadi merah darah. Ternyata pria itu
Manusia Kelelawar terbang ke atas kepala Ru Chen lalu membalikkan tubuhnya dengan posisi kepala di bawah, bersiap menusukkan senjatanya ke ubun-ubun ketua Pedang Langit. Ru Chen hanya bisa pasrah, menunggu maut datang menjemput. Di saat-saat kritis, sesosok bayangan putih berkelebat melesat ke arah mereka. Setelah dekat, bayangan itu berputar lalu menendang dada Manusia Kelelawar yang masih dalam posisi melayang di atas tubuh Ru Chen. Sementara tangan kanannya menyentakkan pedang lentur di tangan ke arah dahan pohon yang berdiri tak jauh dari situ. Bilah pedang lentur itu membelit dahan pohon hingga mampu menahan tubuh pemiliknya agar tak terlempar ke dalam jurang. Namun tidak bagi Manusia Kelelawar, manusia berhati iblis itu tak menyangka akan datangnya serangan karena terlalu bernapsu untuk menghabisi nyawa Ru Chen dan menghisap habis darahnya. BUKK! Tendangan pertama di dada disusul tendangan kedua membuat t
Di puncak Gunung Kunlun yang menjulang tinggi, kabut tipis menyelimuti puncak-puncak batu yang tajam. Udara dingin pegunungan menerpa wajah dua sosok yang berdiri tegap di atas jembatan batu kuno. Yu Ping dan kakak angkatnya, Xin Ru, berdiri berdampingan, mata mereka menatap jauh ke dalam jurang yang dalam dan gelap di bawah.Yu Ping, mengenakan pakaian kerajaan dengan garis emas di sepanjang tepi kain sutra yang terjuntai hingga nyaris menyentuh tanah, menggenggam seruling emas di tangan, dan sebuah golok hitam diselipkan di belakang punggung. Di sampingnya, Xin Ru berdiri dengan postur waspada, matanya yang tajam menyapu sekeliling, siap menghadapi apapun yang mungkin terjadi."Kau yakin dia akan muncul?" tanya Xin Ru, suaranya nyaris berbisik.Yu Ping mengangguk pasti, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Aku yakin, karena dia adalah guruku.” Dengan gerakan perlahan, Yu Ping mengangkat seruling ke bibirnya. Ia menarik napas dalam, lalu mulai meniup. Nada-nada lembut mengalir d
Aula kerajaan Qi dipenuhi oleh kemegahan dan kemewahan. Dinding-dinding berukir emas berkilau di bawah cahaya ribuan lilin yang menerangi ruangan. Aroma dupa yang manis mengambang di udara, menciptakan suasana sakral yang teduh.Di tengah aula, Yu Ping berdiri tegap, mengenakan jubah kerajaan berlapis emas. Wajahnya tenang berwibawa, mencerminkan seorang yang berhati lembut namun juga tegas. Kasim Liu, berlutut di hadapannya, menyodorkan mahkota dan jubah emas kerajaan di atas bantal beludru merah.Dengan gerakan perlahan, Yu Ping mengambil mahkota itu dan meletakkannya di atas kepala. Jubah emas kemudian disampirkan di bahunya, melengkapi penampilannya sebagai seorang raja. Seketika itu juga, seluruh ruangan dipenuhi oleh suara gemerisik kain—para Jenderal dan Menteri berlutut, memberikan penghormatan kepada raja baru mereka.Di samping singgasana raja, dua wanita cantik duduk dengan anggun. Di sisi kiri, Sayana, dengan pakaian mewah dan perhiasan yang gemerlap, tersenyum anggun. Mat
Mentari bersinar cerah di atas Kota Xianfeng, cahayanya memantul dari atap-atap bangunan. Udara dipenuhi oleh semangat dan kegembiraan yang menggelora, seiring dengan persiapan pelantikan Yu Ping sebagai raja baru Negeri Qi.Hiruk pikuk keramaian terdengar dari setiap sudut kota, sementara di dalam istana, para pelayan berlarian kesana-kemari, sibuk dengan persiapan acara yang akan berlangsung selama tujuh hari tujuh malam.Di aula utama istana, Kepala Pelayan, seorang pria paruh baya dengan wajah serius namun berwibawa, tampak kewalahan menerima bingkisan hadiah yang terus berdatangan. Utusan dari berbagai negeri jiran dan perwakilan sekte-sekte aliran putih dari seluruh penjuru negeri silih berganti memasuki ruangan, membawa persembahan untuk raja baru mereka."Yang Mulia pasti akan sangat senang melihat sem
Suasana suram menyelimuti pemakaman keluarga kerajaan. Angin semilir membelai dedaunan pohon-pohon tua yang mengelilingi area sakral itu. Di tengah keheningan, sosok Yu Ping berlutut di depan sebuah makam yang masih baru. Tangannya gemetar memegang beberapa batang hio yang telah dinyalakan, asapnya mengepul tipis ke udara. Dengan hati-hati, ia menancapkan hio-hio tersebut ke dalam hiolo -tempat dupa yang terbuat dari logam berukir indah- yang terletak tepat di depan batu nisan ibunya, Xian Lian.Yu Ping menatap lekat nama yang terukir di batu nisan itu. Matanya yang berkaca-kaca menyiratkan kesedihan mendalam. Ia menghela napas berat sebelum berbisik lirih, suaranya nyaris terbawa angin."Ibu," ucap si pemuda dengan nada bergetar, "sekian lama aku mendambakan pertemuan dengan orang tua kandungku. Tapi mengapa, ketika akhirnya kita dipertemukan, waktu begitu kejam membatasi kebersamaan kita?"Jemarinya perlahan menelusuri ukiran nama ibunya di batu nisan. "Qi Yun sungguh beruntung,"
Kedua pendekar muda itu berhadapan di udara, aura mereka yang bertolak belakang - keemasan milik Yu Ping dan kegelapan milik Qi Yun - bertabrakan, menciptakan gelombang energi yang membuat udara bergetar."Qi Yun," balas Yu Ping, suaranya tenang namun penuh ketegasan. "Hentikan semua ini! Terlalu banyak nyawa yang telah melayang."Qi Yun tertawa sinis. "Hentikan? Tidak akan! Hari ini, salah satu dari kita akan mati!"Bersamaan dengan itu Qi Yun mengayunkan goloknya, menciptakan gelombang energi hitam yang melesat ke arah Yu Ping. Yu Ping dengan sigap mengeluarkan seruling saktinya, bersiap menghadapi pertarungan yang akan menentukan nasib kerajaan Qi.Di bawah, pasukan kedua belah pihak menghentikan pertempuran sejenak, mata mereka tertuju ke langit di mana dua sosok pemimpin mereka akan bertarung hingga titik darah penghabisan. Mereka tahu, hasil pertarungan ini akan menentukan tidak hanya nasib mereka, tapi juga masa depan seluruh kerajaan.Langit di atas Xianfeng menjadi arena perta
Di atas benteng kokoh, di kotaraja Xianfeng, Qi Yun berdiri tegak, jubah perang yang berat dan berkilauan menambah kegagahannya. Matanya yang tajam menatap ke kejauhan, menanti kedatangan musuh yang ia tahu pasti akan tiba.Berita kekalahan para Jenderal Perang dan pasukannya telah sampai ke telinganya, dibawa oleh prajurit-prajurit yang berhasil meloloskan diri dari pertempuran.Suasana di atas benteng sunyi senyap, hanya deru napas para pasukan yang merasa tegang memecah keheningan. Mereka telah mendengar desas-desus tentang kesaktian Yu Ping, dan ketakutan mulai merayapi hati mereka. Namun, di bawah tatapan dingin Qi Yun, tak seorang pun berani menunjukkan keraguan."Pasukan siap, Pangeran!" lapor seorang perwira. "Pemanah, infanteri, dan pelontar batu telah mengambil posisi."Qi Yun mengangguk singkat, matanya tak lepas memandang langit. Tak lama kemudian, apa yang ditunggunya muncul. Dari kejauhan, terlihat pasukan Yu Ping yang mulai mendekat. Mereka berhenti agak jauh dari bent
Asap pertempuran mengepul di berbagai sudut kota, menandai jejak perjuangan pasukan Yu Ping dalam perjalanan mereka menuju Xianfeng. Satu demi satu, pertempuran dimenangkan oleh Yu Ping dan pasukannya. Namun, kemenangan demi kemenangan ini tidak membuat Yu Ping lengah. Sebaliknya, instingnya sebagai strategi perang mulai menangkap pola yang mencurigakan.Yu Ping berdiri di atas bukit kecil, memandang ke arah kota yang masih diselimuti asap pertempuran. Matanya yang tajam menyipit, menganalisis situasi dengan cermat. Perlahan, sebuah kesimpulan terbentuk di benaknya."Dia ingin pasukan kita kelelahan saat tiba di Xianfeng," gumam Yu Ping, lebih kepada dirinya sendiri. Nada suaranya lebih kepada kekaguman namun juga mengandung kejengkelan. "Dasar licik!"Panglima Sung yang berdiri di sampingnya, menangkap gumaman itu. Dengan wajah serius, ia bertanya, "Apa yang harus kita lakukan, Jenderal Yu Ping?" Suaranya penuh hormat dan kesiapan. "Kami siap melakukan apapun perintahmu!"Yu Ping ter
Pemandangan itu menyadarkan Qi Xiang akan kenyataan yang mengerikan: ia benar-benar berhadapan dengan Raja Iblis. Ketakutan yang luar biasa mencengkeram hatinya, membuatnya gemetar hebat."B-baik," ujar Qi Xiang terbata-bata, keringat dingin membasahi dahinya. "Akan kulakukan apapun yang kau mau asal bunuh Yu Ping dan antek-anteknya untukku."Sebuah senyum tipis tersungging di bibir Qi Yun. "Bagus," ujarnya, suaranya dingin dan tanpa emosi. "Sekarang lakukan sesuatu untukku! Bebaskan ibuku dari penjara, obati luka-lukanya dan biarkan ia menempati kamar ratu.""A-apa?" Qi Xiang terkejut, tidak menyangka permintaan semacam ini akan datang dari Qi Yun."Kau merampas itu darinya," desis Qi Yun, matanya berkilat-kilat penuh ancaman. "Aku akan mengembalikan martabatnya seperti semula!"Qi Xiang, yang kini tak lebih dari boneka di tangan Qi Yun, tak berkutik. Ia hanya bisa mengangguk pasrah, menyadari bahwa hidupnya kini bergantung pada keinginan pemuda di hadapannya ini."Baik ... baik …,"
Di dalam penjara bawah tanah istana yang lembab dan dingin, suara rintihan tertahan memecah keheningan. Seorang wanita, dengan rambut kusut dan pakaian compang-camping, terikat dengan kedua tangan terentang di atas sebuah papan kayu yang kasar. Wajahnya yang cantik kini penuh dengan luka dan lebam, hasil dari penyiksaan brutal yang baru saja ia alami.Ma Yin, dengan senyum puas tersungging di bibirnya, berdiri di hadapan wanita itu. Cambuk di tangannya masih basah oleh darah."Yang Mulia Ratu," ujarnya dengan nada mengejek, "ternyata Anda sungguh tangguh ... sudah dicambuk dan dihajar berulang kali tetapi masih berdiri tegak!"Xian Lian, mantan Ratu yang kini diperlakukan bagai penjahat kelas berat, hanya diam. Kepalanya tertunduk, seolah tak lagi memiliki kekuatan untuk mengangkatnya.Ma Yin melangkah mendekat, suara sepatunya bergema di dinding-dinding sel. "Seandainya Anda mau bekerja sama, tentu hal ini tak akan sampai terjadi."Tangan kanan Raja itu kini berada tepat di depan Xia