“Bocah Nakal, dimana kau bersembunyi? Guru datang mencarimu … hahaha!” terdengar tawa yang tak asing di telinga Yu Ping.
Murid-murid Hoa San menghadang kakek yang dijuluki Pendekar Sinting itu agar tak menyerbu ke dalam gedung.“Siapa kau ini, bertamu ke tempat kami dengan berteriak-teriak, sungguh tak tahu malu!” bentak murid Pertama seraya mengacungkan tongkatnya. Pria itu seperti tuli, tetap saja berteriak-teriak.“Maaf Paman, tetapi siapakah nama murid yang Paman cari itu?” tanya murid Keempat lebih sopan.Liu Heng berhenti berteriak, menengadah ke atas seraya mengetuk kening dengan telunjuknya.Ia berpikir keras mengingat nama pemuda yang pernah bertemu dengannya di kaki gunung waktu itu.Yu Ping yang bersembunyi di balik pilar hanya bisa berdoa semoga kakek itu tak mengingat namanya, dan doanya terkabul.“Aku hanya ingat namanya Bocah nakal!” Liu Heng akhirnya menjawab setelah bermenit-menit lamanya berpikir"Vampir penghisap darah akan datang malam ini, itu tadi lonceng peringatannya!" jawab si pemilik penginapan dengan tubuh gemetar. Sontak penjelasan pemilik tempat penginapan itu mengundang reaksi dari seluruh pengunjung. “Vampir? Omong kosong apa itu?” celetuk salah seorang dari anak buah Xue Yi, pengawal ekspedisi. “Sungguh saya tidak bohong!” si pemilik penginapan melanjutkan dengan serius. “ Setiap malam bulan purnama, manusia penghisap darah akan datang dan meminta satu nyawa. Korbannya selalu ditemukan mati kehabisan darah, itu sebabnya setiap lonceng berbunyi, kita harus memastikan untuk berada di rumah dan berjaga sepanjang malam.” “Sungguh tidak masuk di akal,” gumam Ru Chen, ketua perguruan Pedang Langit. “Tetapi kita juga tidak bisa bersikap sembrono,” timpal Xun Huan, ketua perguruan Bu Tong yang diikuti anggukan orang-orangnya. Qi Yun yang melihat kesempatan bagus untuk berkenalan dengan ketiga ketua perguruan dari dunia persilatan, bangkit berdiri seraya menangkupkan
Pria misterius itu mendongak ke arah langit-langit kamarnya sambil membentak nyaring, “Siapa di atas, hah?” Bayangan di atas atap bergerak menjauh dari lokasi. Manusia Kelelawar menggeram seperti seekor beruang mengamuk saat mengetahui dirinya telah diintai, ia menghentakkan kaki ke tanah dan melompat tinggi mendobrak genting yang ada di atasnya. BRAKK! Manusia Kelelawar menginjakkan kaki di atas genting, matanya memindai area sekitar. Langit malam sangat pekat, hanya cahaya bulan yang dapat ia andalkan untuk melihat. Pria mengenakan cape berwarna hitam itu mulai merapalkan mantra sambil memejamkan mata, kedua tangannya mengepal dengan jari telunjuk dan jari tengah mengacung. Ia menempelkan keempat jari itu bersilang di depan dada dengan bibir komat-kamit, lalu mengusap kelopak mata yang terpejam dengan jari-jarinya. Saat ia membuka mata, bola matanya berubah warna menjadi merah darah. Ternyata pria itu
Manusia Kelelawar terbang ke atas kepala Ru Chen lalu membalikkan tubuhnya dengan posisi kepala di bawah, bersiap menusukkan senjatanya ke ubun-ubun ketua Pedang Langit. Ru Chen hanya bisa pasrah, menunggu maut datang menjemput. Di saat-saat kritis, sesosok bayangan putih berkelebat melesat ke arah mereka. Setelah dekat, bayangan itu berputar lalu menendang dada Manusia Kelelawar yang masih dalam posisi melayang di atas tubuh Ru Chen. Sementara tangan kanannya menyentakkan pedang lentur di tangan ke arah dahan pohon yang berdiri tak jauh dari situ. Bilah pedang lentur itu membelit dahan pohon hingga mampu menahan tubuh pemiliknya agar tak terlempar ke dalam jurang. Namun tidak bagi Manusia Kelelawar, manusia berhati iblis itu tak menyangka akan datangnya serangan karena terlalu bernapsu untuk menghabisi nyawa Ru Chen dan menghisap habis darahnya. BUKK! Tendangan pertama di dada disusul tendangan kedua membuat t
“Ini adalah serbuk obat ‘Pembebas Jiwa’ yang dapat membebaskan Guru Besar dari pengaruh sihir. Namun untuk menghilangkan kecurigaan A Ping, kau harus memberikan dalam dosis kecil pada Guru Besar setiap hari!” Murid Pertama bukanlah murid yang cerdas pikirannya, apalagi tetua Wang adalah gurunya sejak ia masih kecil. Ia yakin tetua Wang berkata benar, bahwa ketua Hoa San dalam pengaruh sihir dan harus diselamatkan. Meski begitu ia masih tampak ragu-ragu menerima tugas itu.“Guru Wang, apakah serbuk ini tidak memberikan efek samping pada Guru Besar?” tanya murid Pertama. Tiba-tiba wajah tetua Wang berubah, kulit mukanya memerah padam.“Kau pikir aku ingin membunuhnya, hah?” bentakan tetua Wang menciutkan nyali murid Pertama. “Maaf Guru, Murid tidak berani,” jawab murid Pertama cepat. “Murid hanya bertanya, karena Guru Besar sudah tua, tentunya minum obat tidak boleh sembarangan.” “Dasar Bodoh, jangan mencoba mengguruiku. Aku lebih tahu mana yang berbahaya dan mana yang tidak. Tugas
"Kita akan memaksa anak itu menemukan Seruling Sakti Sang Naga untuk kita!" tetua Cheng menyeringai. Namun tetua perguruan Kunlun itu masih melihat keragu-raguan di wajah mereka.Sepertinya sulit bagi para pendekar dunia persilatan yang hadir di tempat itu mempercayai kebenaran tentang adanya Seruling Sakti Sang Naga.“Kalian masih meragukan kebenaran tentang Seruling Sakti?” laki-laki yang sangat pandai berkata-kata itu terus berusaha meyakinkan para ketua perguruan di hadapannya."Coba bayangkan apa yang bisa kita lakukan untuk rakyat negeri ini dengan seruling sakti di tangan!" ujar tetua Cheng seraya menatap lawan bicaranya satu per satu."Kita dapat mengalahkan Tujuh Malaikat Pencabut Nyawa yang makin hari makin bertambah kejahatannya di negeri ini, yang sulit disentuh karena dalam perlindungan raja Qi Xiang."Hati keempat tokoh penting yang berdiri di depan tetua Cheng mulai tergerak. Mereka semua sudah mendengar tentang kekejian ketujuh pembunuh berdarah dingin yang kerap membua
Murid Pertama mengambil bungkusan kertas kecil dari balik saku lalu menuangkan isinya ke dalam mangkuk sup. Diaduknya sup itu perlahan agar obat yang ia bubuhkan tercampur rata. "Kelak Guru Besar akan berterima kasih padaku," murid Pertama menyeringai puas. Saat Yu Ping kembali ke dapur untuk mengantarkan sarapan pagi ke tempat pelatihan Wu Xian, murid Pertama sudah tak ada lagi di sana. Pemuda itu memanggil sang kakak seperguruan namun tak ada jawaban. Akhirnya ia mengangkat bahu lalu meraih nampan berisi sup dan nasi untuk gurunya. Ketika Yu Ping memasuki ruang pelatihan, nampak olehnya Wu Xian sedang duduk bersila di atas selembar tikar. Pria tua itu memejamkan mata, dengan ujung-ujung jari tangan kanan menyentuh lantai, sementara tangan kiri bertumpu di atas paha dengan telapak tangan menghadap keatas. Tak ingin mengganggu guru yang sangat dihormatinya, Yu Ping meletakkan nampan di atas meja batu tanpa suara. Ia berjingkat-jingkat agar suara langkah kakinya tidak mengganggu
Qi Yun belum pernah melihat wajah secantik gadis yang ada di hadapannya saat ini. Ia seperti tersihir oleh sepasang mata bulat berkilauan, sampai tiba-tiba gadis itu menjerit ketakutan dengan wajah memerah. “KYAAA!” Qing Ning berbalik dan menutup matanya dengan satu tangan. Gadis itu tampak shock berat. “Ma … maaf … Nona, aku …” Belum selesai pemuda tampan itu berbicara, Qing Ning sudah berlari meninggalkannya begitu saja. “Eeh … bagaimana dengan bajuku?” Qi Yun berusaha memanggil tetapi gadis yang nyaris dikiranya dewi turun dari langit itu sudah menghilang. Sial! Bagaimana sekarang ia dapat meneruskan perjalanan ke perguruan Hoa San tanpa pakaian? Akhirnya Qi Yun memutuskan bersembunyi di semak-semak, menunggu gadis cantik yang membawa pakaiannya tadi kembali atau setidaknya seseorang yang bersedia meminjamkan pakaian untuk dikenakan. Yu Ping sedang menuruni gunung untuk mencari kayu bakar ketika berpapasan dengan Qing N
Mata pria tua itu terbelalak, dan mulutnya menganga lebar. Wajahnya bahkan terlihat sangat pucat. “I … ini tidak mungkin!” tubuh ketua Hoa San itu bergetar hebat. Kakinya mundur beberapa langkah ke belakang. “Ketua Wu, ada apa?” tetua Wang menatapnya heran. “Apakah Ketua mengenal pedang ini sebelumnya?” Wu Xian tak menjawab, hanya menggeleng dengan tatapan nanar. “Lihat ada sepucuk surat di balik pedang giok ini!” seru tetua Wang seraya mengulurkan tangan kanannya untuk meraih amplop yang tertindih pedang giok. Namun tanpa diduga, mendadak Wu Xian maju dan merampas amplop surat itu lebih dulu. Ketua Hoa San itu buru-buru membuka amplop dan mengeluarkan selembar surat yang ada di dalamnya. Air hujan tak dapat menghanyutkan batu besar, kebaikan tak dapat menghapus dosa berat. Bersiaplah menghadapi pengadilan akhir. Wu Xian meremas surat di tangannya, marah bercampur cemas. Mendadak pria tua itu memegangi dadanya yang terasa panas. Murid Pertama yang ada di dekatnya segera mema
Di puncak Gunung Kunlun yang menjulang tinggi, kabut tipis menyelimuti puncak-puncak batu yang tajam. Udara dingin pegunungan menerpa wajah dua sosok yang berdiri tegap di atas jembatan batu kuno. Yu Ping dan kakak angkatnya, Xin Ru, berdiri berdampingan, mata mereka menatap jauh ke dalam jurang yang dalam dan gelap di bawah.Yu Ping, mengenakan pakaian kerajaan dengan garis emas di sepanjang tepi kain sutra yang terjuntai hingga nyaris menyentuh tanah, menggenggam seruling emas di tangan, dan sebuah golok hitam diselipkan di belakang punggung. Di sampingnya, Xin Ru berdiri dengan postur waspada, matanya yang tajam menyapu sekeliling, siap menghadapi apapun yang mungkin terjadi."Kau yakin dia akan muncul?" tanya Xin Ru, suaranya nyaris berbisik.Yu Ping mengangguk pasti, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Aku yakin, karena dia adalah guruku.” Dengan gerakan perlahan, Yu Ping mengangkat seruling ke bibirnya. Ia menarik napas dalam, lalu mulai meniup. Nada-nada lembut mengalir d
Aula kerajaan Qi dipenuhi oleh kemegahan dan kemewahan. Dinding-dinding berukir emas berkilau di bawah cahaya ribuan lilin yang menerangi ruangan. Aroma dupa yang manis mengambang di udara, menciptakan suasana sakral yang teduh.Di tengah aula, Yu Ping berdiri tegap, mengenakan jubah kerajaan berlapis emas. Wajahnya tenang berwibawa, mencerminkan seorang yang berhati lembut namun juga tegas. Kasim Liu, berlutut di hadapannya, menyodorkan mahkota dan jubah emas kerajaan di atas bantal beludru merah.Dengan gerakan perlahan, Yu Ping mengambil mahkota itu dan meletakkannya di atas kepala. Jubah emas kemudian disampirkan di bahunya, melengkapi penampilannya sebagai seorang raja. Seketika itu juga, seluruh ruangan dipenuhi oleh suara gemerisik kain—para Jenderal dan Menteri berlutut, memberikan penghormatan kepada raja baru mereka.Di samping singgasana raja, dua wanita cantik duduk dengan anggun. Di sisi kiri, Sayana, dengan pakaian mewah dan perhiasan yang gemerlap, tersenyum anggun. Mat
Mentari bersinar cerah di atas Kota Xianfeng, cahayanya memantul dari atap-atap bangunan. Udara dipenuhi oleh semangat dan kegembiraan yang menggelora, seiring dengan persiapan pelantikan Yu Ping sebagai raja baru Negeri Qi.Hiruk pikuk keramaian terdengar dari setiap sudut kota, sementara di dalam istana, para pelayan berlarian kesana-kemari, sibuk dengan persiapan acara yang akan berlangsung selama tujuh hari tujuh malam.Di aula utama istana, Kepala Pelayan, seorang pria paruh baya dengan wajah serius namun berwibawa, tampak kewalahan menerima bingkisan hadiah yang terus berdatangan. Utusan dari berbagai negeri jiran dan perwakilan sekte-sekte aliran putih dari seluruh penjuru negeri silih berganti memasuki ruangan, membawa persembahan untuk raja baru mereka."Yang Mulia pasti akan sangat senang melihat sem
Suasana suram menyelimuti pemakaman keluarga kerajaan. Angin semilir membelai dedaunan pohon-pohon tua yang mengelilingi area sakral itu. Di tengah keheningan, sosok Yu Ping berlutut di depan sebuah makam yang masih baru. Tangannya gemetar memegang beberapa batang hio yang telah dinyalakan, asapnya mengepul tipis ke udara. Dengan hati-hati, ia menancapkan hio-hio tersebut ke dalam hiolo -tempat dupa yang terbuat dari logam berukir indah- yang terletak tepat di depan batu nisan ibunya, Xian Lian.Yu Ping menatap lekat nama yang terukir di batu nisan itu. Matanya yang berkaca-kaca menyiratkan kesedihan mendalam. Ia menghela napas berat sebelum berbisik lirih, suaranya nyaris terbawa angin."Ibu," ucap si pemuda dengan nada bergetar, "sekian lama aku mendambakan pertemuan dengan orang tua kandungku. Tapi mengapa, ketika akhirnya kita dipertemukan, waktu begitu kejam membatasi kebersamaan kita?"Jemarinya perlahan menelusuri ukiran nama ibunya di batu nisan. "Qi Yun sungguh beruntung,"
Kedua pendekar muda itu berhadapan di udara, aura mereka yang bertolak belakang - keemasan milik Yu Ping dan kegelapan milik Qi Yun - bertabrakan, menciptakan gelombang energi yang membuat udara bergetar."Qi Yun," balas Yu Ping, suaranya tenang namun penuh ketegasan. "Hentikan semua ini! Terlalu banyak nyawa yang telah melayang."Qi Yun tertawa sinis. "Hentikan? Tidak akan! Hari ini, salah satu dari kita akan mati!"Bersamaan dengan itu Qi Yun mengayunkan goloknya, menciptakan gelombang energi hitam yang melesat ke arah Yu Ping. Yu Ping dengan sigap mengeluarkan seruling saktinya, bersiap menghadapi pertarungan yang akan menentukan nasib kerajaan Qi.Di bawah, pasukan kedua belah pihak menghentikan pertempuran sejenak, mata mereka tertuju ke langit di mana dua sosok pemimpin mereka akan bertarung hingga titik darah penghabisan. Mereka tahu, hasil pertarungan ini akan menentukan tidak hanya nasib mereka, tapi juga masa depan seluruh kerajaan.Langit di atas Xianfeng menjadi arena perta
Di atas benteng kokoh, di kotaraja Xianfeng, Qi Yun berdiri tegak, jubah perang yang berat dan berkilauan menambah kegagahannya. Matanya yang tajam menatap ke kejauhan, menanti kedatangan musuh yang ia tahu pasti akan tiba.Berita kekalahan para Jenderal Perang dan pasukannya telah sampai ke telinganya, dibawa oleh prajurit-prajurit yang berhasil meloloskan diri dari pertempuran.Suasana di atas benteng sunyi senyap, hanya deru napas para pasukan yang merasa tegang memecah keheningan. Mereka telah mendengar desas-desus tentang kesaktian Yu Ping, dan ketakutan mulai merayapi hati mereka. Namun, di bawah tatapan dingin Qi Yun, tak seorang pun berani menunjukkan keraguan."Pasukan siap, Pangeran!" lapor seorang perwira. "Pemanah, infanteri, dan pelontar batu telah mengambil posisi."Qi Yun mengangguk singkat, matanya tak lepas memandang langit. Tak lama kemudian, apa yang ditunggunya muncul. Dari kejauhan, terlihat pasukan Yu Ping yang mulai mendekat. Mereka berhenti agak jauh dari bent
Asap pertempuran mengepul di berbagai sudut kota, menandai jejak perjuangan pasukan Yu Ping dalam perjalanan mereka menuju Xianfeng. Satu demi satu, pertempuran dimenangkan oleh Yu Ping dan pasukannya. Namun, kemenangan demi kemenangan ini tidak membuat Yu Ping lengah. Sebaliknya, instingnya sebagai strategi perang mulai menangkap pola yang mencurigakan.Yu Ping berdiri di atas bukit kecil, memandang ke arah kota yang masih diselimuti asap pertempuran. Matanya yang tajam menyipit, menganalisis situasi dengan cermat. Perlahan, sebuah kesimpulan terbentuk di benaknya."Dia ingin pasukan kita kelelahan saat tiba di Xianfeng," gumam Yu Ping, lebih kepada dirinya sendiri. Nada suaranya lebih kepada kekaguman namun juga mengandung kejengkelan. "Dasar licik!"Panglima Sung yang berdiri di sampingnya, menangkap gumaman itu. Dengan wajah serius, ia bertanya, "Apa yang harus kita lakukan, Jenderal Yu Ping?" Suaranya penuh hormat dan kesiapan. "Kami siap melakukan apapun perintahmu!"Yu Ping ter
Pemandangan itu menyadarkan Qi Xiang akan kenyataan yang mengerikan: ia benar-benar berhadapan dengan Raja Iblis. Ketakutan yang luar biasa mencengkeram hatinya, membuatnya gemetar hebat."B-baik," ujar Qi Xiang terbata-bata, keringat dingin membasahi dahinya. "Akan kulakukan apapun yang kau mau asal bunuh Yu Ping dan antek-anteknya untukku."Sebuah senyum tipis tersungging di bibir Qi Yun. "Bagus," ujarnya, suaranya dingin dan tanpa emosi. "Sekarang lakukan sesuatu untukku! Bebaskan ibuku dari penjara, obati luka-lukanya dan biarkan ia menempati kamar ratu.""A-apa?" Qi Xiang terkejut, tidak menyangka permintaan semacam ini akan datang dari Qi Yun."Kau merampas itu darinya," desis Qi Yun, matanya berkilat-kilat penuh ancaman. "Aku akan mengembalikan martabatnya seperti semula!"Qi Xiang, yang kini tak lebih dari boneka di tangan Qi Yun, tak berkutik. Ia hanya bisa mengangguk pasrah, menyadari bahwa hidupnya kini bergantung pada keinginan pemuda di hadapannya ini."Baik ... baik …,"
Di dalam penjara bawah tanah istana yang lembab dan dingin, suara rintihan tertahan memecah keheningan. Seorang wanita, dengan rambut kusut dan pakaian compang-camping, terikat dengan kedua tangan terentang di atas sebuah papan kayu yang kasar. Wajahnya yang cantik kini penuh dengan luka dan lebam, hasil dari penyiksaan brutal yang baru saja ia alami.Ma Yin, dengan senyum puas tersungging di bibirnya, berdiri di hadapan wanita itu. Cambuk di tangannya masih basah oleh darah."Yang Mulia Ratu," ujarnya dengan nada mengejek, "ternyata Anda sungguh tangguh ... sudah dicambuk dan dihajar berulang kali tetapi masih berdiri tegak!"Xian Lian, mantan Ratu yang kini diperlakukan bagai penjahat kelas berat, hanya diam. Kepalanya tertunduk, seolah tak lagi memiliki kekuatan untuk mengangkatnya.Ma Yin melangkah mendekat, suara sepatunya bergema di dinding-dinding sel. "Seandainya Anda mau bekerja sama, tentu hal ini tak akan sampai terjadi."Tangan kanan Raja itu kini berada tepat di depan Xia