Qi Yun belum pernah melihat wajah secantik gadis yang ada di hadapannya saat ini. Ia seperti tersihir oleh sepasang mata bulat berkilauan, sampai tiba-tiba gadis itu menjerit ketakutan dengan wajah memerah.
“KYAAA!” Qing Ning berbalik dan menutup matanya dengan satu tangan. Gadis itu tampak shock berat.“Ma … maaf … Nona, aku …”Belum selesai pemuda tampan itu berbicara, Qing Ning sudah berlari meninggalkannya begitu saja.“Eeh … bagaimana dengan bajuku?” Qi Yun berusaha memanggil tetapi gadis yang nyaris dikiranya dewi turun dari langit itu sudah menghilang.Sial! Bagaimana sekarang ia dapat meneruskan perjalanan ke perguruan Hoa San tanpa pakaian? Akhirnya Qi Yun memutuskan bersembunyi di semak-semak, menunggu gadis cantik yang membawa pakaiannya tadi kembali atau setidaknya seseorang yang bersedia meminjamkan pakaian untuk dikenakan.Yu Ping sedang menuruni gunung untuk mencari kayu bakar ketika berpapasan dengan Qing NMata pria tua itu terbelalak, dan mulutnya menganga lebar. Wajahnya bahkan terlihat sangat pucat. “I … ini tidak mungkin!” tubuh ketua Hoa San itu bergetar hebat. Kakinya mundur beberapa langkah ke belakang. “Ketua Wu, ada apa?” tetua Wang menatapnya heran. “Apakah Ketua mengenal pedang ini sebelumnya?” Wu Xian tak menjawab, hanya menggeleng dengan tatapan nanar. “Lihat ada sepucuk surat di balik pedang giok ini!” seru tetua Wang seraya mengulurkan tangan kanannya untuk meraih amplop yang tertindih pedang giok. Namun tanpa diduga, mendadak Wu Xian maju dan merampas amplop surat itu lebih dulu. Ketua Hoa San itu buru-buru membuka amplop dan mengeluarkan selembar surat yang ada di dalamnya. Air hujan tak dapat menghanyutkan batu besar, kebaikan tak dapat menghapus dosa berat. Bersiaplah menghadapi pengadilan akhir. Wu Xian meremas surat di tangannya, marah bercampur cemas. Mendadak pria tua itu memegangi dadanya yang terasa panas. Murid Pertama yang ada di dekatnya segera mema
"Tak disangka Jiang Nan muncul dan melindungi suaminya dengan tubuhnya sendiri. Pedang Giok di tanganku menembus tubuh mereka berdua tanpa dapat kutarik kembali." Yu Ping ternganga ngeri, tak menyangka begitu pilu masa lalu orang tua Qing Ning, ternyata orang tua nya tewas di tangan kakeknya sendiri. Tanpa sadar, secara refleks ia melepaskan tangannya dari bahu Wu Xian. “Ternyata rumor itu tidak benar, putriku masih hidup dan baru saja melahirkan. Aku telah membunuh anak dan menantuku serta menjadikan cucuku yatim piatu hanya karena dendam dan harga diri sebagai tetua dari aliran putih.” Wu Xian mengusap pipi dengan lengan bajunya, ia merasa sedikit lega telah menceritakan rahasia kelamnya pada seseorang. Seperti ada batu besar yang baru saja diangkat dari pundak yang telah dipikul dua puluh tahun lamanya. “Aku mengubur mereka berdua beserta pedang giok dalam satu lubang, dan aku menutup rahasia ini rapat-rapat. Tetapi hari ini seseo
"KYAAA!" “Hey … Nona Qing, tunggu!” Qi Yun sudah mengambil ancang-ancang untuk mengejar ketika gadis cantik yang siap kabur itu berbalik lagi menghadap ke arahnya dengan mata membulat. “Dari mana kau tahu namaku?” sergah Qing Ning, kedua tangan bertumpu pada pinggangnya yang ramping. “Sahabatmu, Yu Ping yang mengatakannya padaku!” Qi Yun tersenyum lembut. “Aku hanya ingin berterima kasih karena telah mengembalikan pakaianku yang dicuri melalui Saudara Yu Ping.” Mereka saling menatap dan tiba-tiba saja tak ada satu kata pun yang mampu keluar dari bibir keduanya, seolah sama-sama tersihir oleh pesona masing-masing. Qi Yun memiliki wajah tirus, alis mata hitam cukup tebal, mata setajam elang, dan hidung yang mancung. Rambutnya hitam panjang digelung sebagian keatas. Postur tubuhnya pun proporsional hingga ia tampak gagah.Sedangkan Qing Ning memiliki wajah cantik berbentuk hati, sorot mata yang lembut, dan bibir mungil. Tubu
“Maaf, aku datang terlambat!” Wu Xian muncul tepat pada waktunya. Kedatangannya seketika menenangkan tamu-tamu yang hadir. Karena sejak ia berpamitan mendadak dengan wajah pucat dan terlihat lemah setelah menerima kiriman pedang giok, hampir semua tamu mempertanyakan kondisi kesehatannya. Yu Ping sebenarnya mencemaskan kondisi sang Guru, meski sudah tak terlihat pucat namun dari langkah gurunya saja pemuda itu tahu bahwa beliau tidak sedang baik-baik saja. Ia berusaha mendekati Wu Xian namun pria tua itu memberi isyarat dengan matanya agar si murid kesayangan mundur dan menjauh darinya, Yu Ping pun terpaksa menurut. “Ketua Wu, kami sangat mengkhawatirkan Anda!” Ru Chen berdiri seraya memberi salam pada Wu Xian. “Aku tidak apa-apa, hanya kelelahan karena berlatih terlalu berat sebulan terakhir ini!” jawab ketua Hoa San beralasan. “Maaf bila saya lancang,” Liu Kang memberanikan diri ikut berdiri dan menangkupkan tan
"Selamat tinggal, Muridku!" bisik tetua Wang di telinga murid Pertama. Bersamaan dengan bisikan itu, ia mencabut pisaunya. Murid Pertama ambruk ke tanah dan menghembuskan napas terakhir dengan mata melotot. *** Hari semakin larut, sesi makan malam telah selesai. Tetapi beberapa ketua dari perguruan ternama masih berkumpul di aula, membicarakan tentang segala sesuatu yang sedang terjadi di dunia persilatan saat ini. Liu Kang, salah satu personil Empat Harimau dari Utara menceritakan tentang gerombolan Iblis Darah, yang mana gerombolan tersebut adalah gerombolan perampok darat paling meresahkan masyarakat. Biarawati Feng Huang dari Hoa Mei menceritakan tentang misteri hilangnya anak-anak perempuan yang konon menurut penduduk desa tempat ia singgah, gadis-gadis kecil tersebut diculik oleh sekte pemuja setan. Saat ia mencoba menyelidiki, tak ditemukan petunjuk apapun. Akhirnya ia memutuskan untuk meneruskan perjalanan menuju Ho
"DARAH HARUS DIGANTI DENGAN DARAH!" Di samping tulisan yang ditoreh dengan darah itu terdapat cap tangan darah. Wu Xian terkesiap, cap tangan darah adalah simbol khusus sekte Iblis Darah. Sekte di mana menantunya, Cao Bin berasal. Tiba-tiba sebilah pisau melesat dari luar jendela, melayang ke arahnya. Wu Xian melentingkan punggungnya ke belakang hingga pisau itu melewatinya dan menancap di dinding. Wu Xian berlari ke jendela dan melongok keluar. Sesosok bayangan hitam berdiri di atas genting, hanya beberapa detik. Detik berikutnya sosok tersebut melesat meninggalkannya. Pria tua itu berbalik menuju ke dinding, tempat perhentian pisau tadi. Ada selembar kertas terlipat ditancapkan di antara bilah pisau. Ia mencabut pisau itu dari dinding, mengambil lembaran kertas yang ada di sana dan membaca isinya. PERTAPAAN HOA SAN, SEKARANG!Setelah meremas dan membuang surat singkat itu, ketua Hoa San membawa senjatanya berupa tongkat kebutan, kemudian bergegas keluar menuju ke tempat pertapa
Kepala Wu Xian perlahan terkulai ke depan hingga dagu nyaris menyentuh dada, mata terpejam, denyut nadi pun berhenti. Ketua Hoa San itu telah wafat. Pada waktu yang bersamaan, Yu Ping dan dua teman seperjalanannya sudah tiba di kaki gunung berkat kemampuan meringankan tubuh mereka. Tiba-tiba Yu Ping melihat seekor burung gagak berbulu hitam pekat terbang merendah dan menabrak pohon pinus, hewan malang itu jatuh ke tanah dan mati seketika. Yu Ping tersentak kaget, nalurinya mengatakan sesuatu yang buruk sedang terjadi. Ia pun mulai gelisah, berniat ingin kembali ke perguruan. Namun ketika Qing Ning mendekat dan menatapnya dengan cemas, ia segera mengurungkan niatnya. "A Ping, kau tidak apa-apa?" Qing Ning menggenggam tangan Yu Ping erat-erat. "Kau ingin kita kembali?"Ia menyadari ada sesuatu dalam benak sahabatnya saat ini, dan pastilah sesuatu hal yang besar karena biasanya pemuda itu memiliki pembawaan yang santai dan tenang."Tidak apa-apa, mari teruskan perjalanan!" Yu Ping t
Malam terasa lebih pekat dari biasanya. Bulan perak di langit hanya menampakkan sebagian dari wujudnya, seperti ingin bersembunyi dari situasi yang mencekam. Seorang pemuda berjalan sendirian di tengah lorong sebuah kota kecil. Suasana sangat lengang, semua pintu dan jendela rumah di kiri kanan tertutup rapat. Hanya terdengar kentongan peronda yang berkeliling menjaga keamanan. Pemuda yang tak lain adalah Yu Ping menggenggam erat buntalan pakaian di tangannya, ia berencana pulang kembali ke Hoa San karena sangat mencemaskan keadaan Guru Wu Xian. Tiba-tiba ia melihat seseorang berbaju abu-abu dengan rambut digelung ke atas melintas di depan lorong. “Guru?’ Yu Ping mengucek mata, nyaris tak mempercayai penglihatannya barusan. Sungguh tidak mungkin, Guru Wu dalam kondisi terluka. Tidak mungkin baginya melakukan perjalanan jauh hingga sampai ke kota itu.Penasaran, si pemuda berlari ke ujung lorong. Orang itu berdiri di tengah gerbang kota, dengan punggung menghadap ke arahnya, seperti