"Selamat tinggal, Muridku!" bisik tetua Wang di telinga murid Pertama.
Bersamaan dengan bisikan itu, ia mencabut pisaunya. Murid Pertama ambruk ke tanah dan menghembuskan napas terakhir dengan mata melotot.***Hari semakin larut, sesi makan malam telah selesai. Tetapi beberapa ketua dari perguruan ternama masih berkumpul di aula, membicarakan tentang segala sesuatu yang sedang terjadi di dunia persilatan saat ini.Liu Kang, salah satu personil Empat Harimau dari Utara menceritakan tentang gerombolan Iblis Darah, yang mana gerombolan tersebut adalah gerombolan perampok darat paling meresahkan masyarakat.Biarawati Feng Huang dari Hoa Mei menceritakan tentang misteri hilangnya anak-anak perempuan yang konon menurut penduduk desa tempat ia singgah, gadis-gadis kecil tersebut diculik oleh sekte pemuja setan.Saat ia mencoba menyelidiki, tak ditemukan petunjuk apapun. Akhirnya ia memutuskan untuk meneruskan perjalanan menuju Ho"DARAH HARUS DIGANTI DENGAN DARAH!" Di samping tulisan yang ditoreh dengan darah itu terdapat cap tangan darah. Wu Xian terkesiap, cap tangan darah adalah simbol khusus sekte Iblis Darah. Sekte di mana menantunya, Cao Bin berasal. Tiba-tiba sebilah pisau melesat dari luar jendela, melayang ke arahnya. Wu Xian melentingkan punggungnya ke belakang hingga pisau itu melewatinya dan menancap di dinding. Wu Xian berlari ke jendela dan melongok keluar. Sesosok bayangan hitam berdiri di atas genting, hanya beberapa detik. Detik berikutnya sosok tersebut melesat meninggalkannya. Pria tua itu berbalik menuju ke dinding, tempat perhentian pisau tadi. Ada selembar kertas terlipat ditancapkan di antara bilah pisau. Ia mencabut pisau itu dari dinding, mengambil lembaran kertas yang ada di sana dan membaca isinya. PERTAPAAN HOA SAN, SEKARANG!Setelah meremas dan membuang surat singkat itu, ketua Hoa San membawa senjatanya berupa tongkat kebutan, kemudian bergegas keluar menuju ke tempat pertapa
Kepala Wu Xian perlahan terkulai ke depan hingga dagu nyaris menyentuh dada, mata terpejam, denyut nadi pun berhenti. Ketua Hoa San itu telah wafat. Pada waktu yang bersamaan, Yu Ping dan dua teman seperjalanannya sudah tiba di kaki gunung berkat kemampuan meringankan tubuh mereka. Tiba-tiba Yu Ping melihat seekor burung gagak berbulu hitam pekat terbang merendah dan menabrak pohon pinus, hewan malang itu jatuh ke tanah dan mati seketika. Yu Ping tersentak kaget, nalurinya mengatakan sesuatu yang buruk sedang terjadi. Ia pun mulai gelisah, berniat ingin kembali ke perguruan. Namun ketika Qing Ning mendekat dan menatapnya dengan cemas, ia segera mengurungkan niatnya. "A Ping, kau tidak apa-apa?" Qing Ning menggenggam tangan Yu Ping erat-erat. "Kau ingin kita kembali?"Ia menyadari ada sesuatu dalam benak sahabatnya saat ini, dan pastilah sesuatu hal yang besar karena biasanya pemuda itu memiliki pembawaan yang santai dan tenang."Tidak apa-apa, mari teruskan perjalanan!" Yu Ping t
Malam terasa lebih pekat dari biasanya. Bulan perak di langit hanya menampakkan sebagian dari wujudnya, seperti ingin bersembunyi dari situasi yang mencekam. Seorang pemuda berjalan sendirian di tengah lorong sebuah kota kecil. Suasana sangat lengang, semua pintu dan jendela rumah di kiri kanan tertutup rapat. Hanya terdengar kentongan peronda yang berkeliling menjaga keamanan. Pemuda yang tak lain adalah Yu Ping menggenggam erat buntalan pakaian di tangannya, ia berencana pulang kembali ke Hoa San karena sangat mencemaskan keadaan Guru Wu Xian. Tiba-tiba ia melihat seseorang berbaju abu-abu dengan rambut digelung ke atas melintas di depan lorong. “Guru?’ Yu Ping mengucek mata, nyaris tak mempercayai penglihatannya barusan. Sungguh tidak mungkin, Guru Wu dalam kondisi terluka. Tidak mungkin baginya melakukan perjalanan jauh hingga sampai ke kota itu.Penasaran, si pemuda berlari ke ujung lorong. Orang itu berdiri di tengah gerbang kota, dengan punggung menghadap ke arahnya, seperti
Yu Ping sudah berjalan sejauh sepuluh langkah ketika suara serak Qing Ning menghentikannya "Aku mencintaimu, Yu Ping!" Dunia serasa berhenti berputar, jantung pemuda tampan itu pun seperti berhenti berdetak. Kata-kata ‘Aku mencintaimu’ adalah kata-kata yang selalu diimpikannya, namun tidak di saat seperti ini. Yu Ping tak mungkin berbalik dan mengatakan kata-kata serupa, yang sebenarnya sudah dipendamnya sejak delapan tahun lalu. Ia harus berfokus pada keselamatan Wu Xian, pria yang telah membesarkan dan mendidiknya, karena nalurinya mengatakan nyawa sang Guru dalam bahaya. Tidak mungkin juga membawa Qing Ning pulang ke Hoa San, karena akan membahayakan nyawa gadis itu dan tentu saja melanggar perintah gurunya.“Maaf, aku tidak layak menerima cintamu!” jawab Yu Ping sedingin. “Carilah pria yang bisa mencintaimu dengan tulus, karena bukan aku orangnya!” “Yu Ping, kalau kau tetap memilih pergi, kita tak akan pernah bertemu lagi!” teriak Qing Ning . "Aku akan membencimu selamanya!"
"Akui dulu perbuatanmu baru kupertimbangkan apakah kau boleh melihat almarhum Ketua Wu!" Tetua Wang menyeringai kejam.“Tetapi aku tidak mungkin mengakui apa yang tidak kulakukan!” Yu Ping nyaris berteriak. Di saat seperti ini ia teringat akan Qing Ning. Gadis itu biasanya akan selalu membela dirinya, tetapi kini ia seorang diri.“Tetua Wang,” Liu Kang maju karena merasa tak tega melihat Yu Ping disudutkan. “Aku kira pemuda ini tidak berbohong, kalau dia pembunuh mengapa pula harus balik ke tempat ini?”Alis Tetua Wang meninggi, beraninya pendekar muda yang ilmunya tidak seberapa mencampuri urusan dalam Hoa San. “Tuan Liu, mohon maaf tetapi Anda bukanlah murid Perguruan Hoa San. Sedangkan Aku adalah tetua di sini yang lebih tahu bagaimana sifat murid-muridku!” lalu wakil ketua Hoa San itu menunjuk ke arah Yu Ping yang masih berlutut.“Murid Kami yang satu ini terkenal sangat licik, penuh tipu muslihat. Bila Anda belum mengenalnya tentu akan berasumsi dia anak yang baik, tetapi seben
HOEKK! Yu Ping memuntahkan darah segar ke tanah. Ia mendongak menatap Tetua Wang yang menatapnya balik dengan senyum penuh kemenangan. Ingatannya langsung melayang pada teh yang disuguhkan oleh Tetua Cheng. Teh itu pasti beracun, tebak Yu Ping. Ia masih ingat penjelasan Murid Pertama bahwa Tetua Wang yang menyuruhnya memberikan serbuk Pembebas Jiwa pada Guru Wu. Kini Tetua Wang juga melakukan hal yang sama padanya, tetapi untuk apa wakil ketua Hoa San meracuninya? Apakah hanya untuk menutupi kejahatannya sendiri dengan membunuh semua saksi mata? “Guru Wang … hukk-hukk-hukk!” Yu Ping menutup mulutnya saat terbatuk-batuk, Darah mengalir dari sela-sela jarinya. Tetua Wang dan Tetua Cheng saling menatap dan mengangguk. Sekaranglah saatnya, Tetua Wang terbang melesat dan berhenti di belakang Yu Ping yang masih dalam kondisi berlutut. Yu Ping yang mengetahui adanya bahaya segera memutar tubuh dan menangkis pukulan yang diarahkan
Siang itu di kota Luzhi, terlihat banyak orang beraktifitas di luar rumah. Kota Luzhi merupakan kota yang dialiri beberapa sungai, menjadikan kota tersebut memiliki keunikan dan keindahan tersendiri. Qing Ning yang singgah di kota Luzhi terkagum-kagum dengan keindahannya. Berusaha mengurai kesedihan akan kenangan tentang Yu Ping, gadis cantik itu memutuskan untuk berjalan-jalan menghibur diri. Tanpa ia sadari, seorang pemuda tampan berbaju putih mengikutinya terus dari belakang. Pemuda yang tak lain adalah Qi Yun tak pernah meninggalkan gadis itu sesuai janjinya pada Yu Ping dan dirinya sendiri. Setelah lelah berjalan cukup jauh, Qing Ning memutuskan untuk makan di sebuah rumah makan. Karena lantai satu penuh, ia diantarkan ke lantai dua oleh pelayan rumah makan. Beruntung gadis itu mendapat meja di dekat balkon, hingga ia bisa melihat keramaian kota dari atas. “Indah sekali!” dari bibir mungil Qing Ning meluncur pujian tak henti akan keindahan kota yang sedang ia datangi itu. “B
Ia berlari memanggul tubuh rampingl Qing Ning menuju ke sebuah rumah kosong di mana tuannya, Yu Jin telah menunggu kedatangan calon mangsanya. Rumah kosong tersebut terletak di pinggir kota, agak jauh dari rumah penduduk, sehingga bila Yu Jin berbuat sekehendak hati, tak akan ada yang mendengarnya. Yu Jin berjalan hilir mudik di ruang tamu yang berukuran 6x6 meter persegi dengan tak sabar. Perut tambunnya bergerak-gerak saat ia berjalan kesana-kemari. A Wen berlari masuk dari pintu depan yang masih terbuka lebar. “Aduh, mengapa kau lama sekali? Apakah kau berhasil membawa wanita yang kuinginkan?” cecar si pengusaha kaya raya bernapsu hingga air liurnya menyembur ke wajah A Wen. Tangan kanan A Wen terpaksa menyeka pipinya yang terkena hujan liur majikannyamenggunakan lengan bajunya. “Sabar, Tuan Yu!” jawab A Wen seraya menurunkan selimut yang dipanggulnya sedari tadi ke lantai. “Di balik selimut ini ada gadis yang Tuan ingin
Di puncak Gunung Kunlun yang menjulang tinggi, kabut tipis menyelimuti puncak-puncak batu yang tajam. Udara dingin pegunungan menerpa wajah dua sosok yang berdiri tegap di atas jembatan batu kuno. Yu Ping dan kakak angkatnya, Xin Ru, berdiri berdampingan, mata mereka menatap jauh ke dalam jurang yang dalam dan gelap di bawah.Yu Ping, mengenakan pakaian kerajaan dengan garis emas di sepanjang tepi kain sutra yang terjuntai hingga nyaris menyentuh tanah, menggenggam seruling emas di tangan, dan sebuah golok hitam diselipkan di belakang punggung. Di sampingnya, Xin Ru berdiri dengan postur waspada, matanya yang tajam menyapu sekeliling, siap menghadapi apapun yang mungkin terjadi."Kau yakin dia akan muncul?" tanya Xin Ru, suaranya nyaris berbisik.Yu Ping mengangguk pasti, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Aku yakin, karena dia adalah guruku.” Dengan gerakan perlahan, Yu Ping mengangkat seruling ke bibirnya. Ia menarik napas dalam, lalu mulai meniup. Nada-nada lembut mengalir d
Aula kerajaan Qi dipenuhi oleh kemegahan dan kemewahan. Dinding-dinding berukir emas berkilau di bawah cahaya ribuan lilin yang menerangi ruangan. Aroma dupa yang manis mengambang di udara, menciptakan suasana sakral yang teduh.Di tengah aula, Yu Ping berdiri tegap, mengenakan jubah kerajaan berlapis emas. Wajahnya tenang berwibawa, mencerminkan seorang yang berhati lembut namun juga tegas. Kasim Liu, berlutut di hadapannya, menyodorkan mahkota dan jubah emas kerajaan di atas bantal beludru merah.Dengan gerakan perlahan, Yu Ping mengambil mahkota itu dan meletakkannya di atas kepala. Jubah emas kemudian disampirkan di bahunya, melengkapi penampilannya sebagai seorang raja. Seketika itu juga, seluruh ruangan dipenuhi oleh suara gemerisik kain—para Jenderal dan Menteri berlutut, memberikan penghormatan kepada raja baru mereka.Di samping singgasana raja, dua wanita cantik duduk dengan anggun. Di sisi kiri, Sayana, dengan pakaian mewah dan perhiasan yang gemerlap, tersenyum anggun. Mat
Mentari bersinar cerah di atas Kota Xianfeng, cahayanya memantul dari atap-atap bangunan. Udara dipenuhi oleh semangat dan kegembiraan yang menggelora, seiring dengan persiapan pelantikan Yu Ping sebagai raja baru Negeri Qi.Hiruk pikuk keramaian terdengar dari setiap sudut kota, sementara di dalam istana, para pelayan berlarian kesana-kemari, sibuk dengan persiapan acara yang akan berlangsung selama tujuh hari tujuh malam.Di aula utama istana, Kepala Pelayan, seorang pria paruh baya dengan wajah serius namun berwibawa, tampak kewalahan menerima bingkisan hadiah yang terus berdatangan. Utusan dari berbagai negeri jiran dan perwakilan sekte-sekte aliran putih dari seluruh penjuru negeri silih berganti memasuki ruangan, membawa persembahan untuk raja baru mereka."Yang Mulia pasti akan sangat senang melihat sem
Suasana suram menyelimuti pemakaman keluarga kerajaan. Angin semilir membelai dedaunan pohon-pohon tua yang mengelilingi area sakral itu. Di tengah keheningan, sosok Yu Ping berlutut di depan sebuah makam yang masih baru. Tangannya gemetar memegang beberapa batang hio yang telah dinyalakan, asapnya mengepul tipis ke udara. Dengan hati-hati, ia menancapkan hio-hio tersebut ke dalam hiolo -tempat dupa yang terbuat dari logam berukir indah- yang terletak tepat di depan batu nisan ibunya, Xian Lian.Yu Ping menatap lekat nama yang terukir di batu nisan itu. Matanya yang berkaca-kaca menyiratkan kesedihan mendalam. Ia menghela napas berat sebelum berbisik lirih, suaranya nyaris terbawa angin."Ibu," ucap si pemuda dengan nada bergetar, "sekian lama aku mendambakan pertemuan dengan orang tua kandungku. Tapi mengapa, ketika akhirnya kita dipertemukan, waktu begitu kejam membatasi kebersamaan kita?"Jemarinya perlahan menelusuri ukiran nama ibunya di batu nisan. "Qi Yun sungguh beruntung,"
Kedua pendekar muda itu berhadapan di udara, aura mereka yang bertolak belakang - keemasan milik Yu Ping dan kegelapan milik Qi Yun - bertabrakan, menciptakan gelombang energi yang membuat udara bergetar."Qi Yun," balas Yu Ping, suaranya tenang namun penuh ketegasan. "Hentikan semua ini! Terlalu banyak nyawa yang telah melayang."Qi Yun tertawa sinis. "Hentikan? Tidak akan! Hari ini, salah satu dari kita akan mati!"Bersamaan dengan itu Qi Yun mengayunkan goloknya, menciptakan gelombang energi hitam yang melesat ke arah Yu Ping. Yu Ping dengan sigap mengeluarkan seruling saktinya, bersiap menghadapi pertarungan yang akan menentukan nasib kerajaan Qi.Di bawah, pasukan kedua belah pihak menghentikan pertempuran sejenak, mata mereka tertuju ke langit di mana dua sosok pemimpin mereka akan bertarung hingga titik darah penghabisan. Mereka tahu, hasil pertarungan ini akan menentukan tidak hanya nasib mereka, tapi juga masa depan seluruh kerajaan.Langit di atas Xianfeng menjadi arena perta
Di atas benteng kokoh, di kotaraja Xianfeng, Qi Yun berdiri tegak, jubah perang yang berat dan berkilauan menambah kegagahannya. Matanya yang tajam menatap ke kejauhan, menanti kedatangan musuh yang ia tahu pasti akan tiba.Berita kekalahan para Jenderal Perang dan pasukannya telah sampai ke telinganya, dibawa oleh prajurit-prajurit yang berhasil meloloskan diri dari pertempuran.Suasana di atas benteng sunyi senyap, hanya deru napas para pasukan yang merasa tegang memecah keheningan. Mereka telah mendengar desas-desus tentang kesaktian Yu Ping, dan ketakutan mulai merayapi hati mereka. Namun, di bawah tatapan dingin Qi Yun, tak seorang pun berani menunjukkan keraguan."Pasukan siap, Pangeran!" lapor seorang perwira. "Pemanah, infanteri, dan pelontar batu telah mengambil posisi."Qi Yun mengangguk singkat, matanya tak lepas memandang langit. Tak lama kemudian, apa yang ditunggunya muncul. Dari kejauhan, terlihat pasukan Yu Ping yang mulai mendekat. Mereka berhenti agak jauh dari bent
Asap pertempuran mengepul di berbagai sudut kota, menandai jejak perjuangan pasukan Yu Ping dalam perjalanan mereka menuju Xianfeng. Satu demi satu, pertempuran dimenangkan oleh Yu Ping dan pasukannya. Namun, kemenangan demi kemenangan ini tidak membuat Yu Ping lengah. Sebaliknya, instingnya sebagai strategi perang mulai menangkap pola yang mencurigakan.Yu Ping berdiri di atas bukit kecil, memandang ke arah kota yang masih diselimuti asap pertempuran. Matanya yang tajam menyipit, menganalisis situasi dengan cermat. Perlahan, sebuah kesimpulan terbentuk di benaknya."Dia ingin pasukan kita kelelahan saat tiba di Xianfeng," gumam Yu Ping, lebih kepada dirinya sendiri. Nada suaranya lebih kepada kekaguman namun juga mengandung kejengkelan. "Dasar licik!"Panglima Sung yang berdiri di sampingnya, menangkap gumaman itu. Dengan wajah serius, ia bertanya, "Apa yang harus kita lakukan, Jenderal Yu Ping?" Suaranya penuh hormat dan kesiapan. "Kami siap melakukan apapun perintahmu!"Yu Ping ter
Pemandangan itu menyadarkan Qi Xiang akan kenyataan yang mengerikan: ia benar-benar berhadapan dengan Raja Iblis. Ketakutan yang luar biasa mencengkeram hatinya, membuatnya gemetar hebat."B-baik," ujar Qi Xiang terbata-bata, keringat dingin membasahi dahinya. "Akan kulakukan apapun yang kau mau asal bunuh Yu Ping dan antek-anteknya untukku."Sebuah senyum tipis tersungging di bibir Qi Yun. "Bagus," ujarnya, suaranya dingin dan tanpa emosi. "Sekarang lakukan sesuatu untukku! Bebaskan ibuku dari penjara, obati luka-lukanya dan biarkan ia menempati kamar ratu.""A-apa?" Qi Xiang terkejut, tidak menyangka permintaan semacam ini akan datang dari Qi Yun."Kau merampas itu darinya," desis Qi Yun, matanya berkilat-kilat penuh ancaman. "Aku akan mengembalikan martabatnya seperti semula!"Qi Xiang, yang kini tak lebih dari boneka di tangan Qi Yun, tak berkutik. Ia hanya bisa mengangguk pasrah, menyadari bahwa hidupnya kini bergantung pada keinginan pemuda di hadapannya ini."Baik ... baik …,"
Di dalam penjara bawah tanah istana yang lembab dan dingin, suara rintihan tertahan memecah keheningan. Seorang wanita, dengan rambut kusut dan pakaian compang-camping, terikat dengan kedua tangan terentang di atas sebuah papan kayu yang kasar. Wajahnya yang cantik kini penuh dengan luka dan lebam, hasil dari penyiksaan brutal yang baru saja ia alami.Ma Yin, dengan senyum puas tersungging di bibirnya, berdiri di hadapan wanita itu. Cambuk di tangannya masih basah oleh darah."Yang Mulia Ratu," ujarnya dengan nada mengejek, "ternyata Anda sungguh tangguh ... sudah dicambuk dan dihajar berulang kali tetapi masih berdiri tegak!"Xian Lian, mantan Ratu yang kini diperlakukan bagai penjahat kelas berat, hanya diam. Kepalanya tertunduk, seolah tak lagi memiliki kekuatan untuk mengangkatnya.Ma Yin melangkah mendekat, suara sepatunya bergema di dinding-dinding sel. "Seandainya Anda mau bekerja sama, tentu hal ini tak akan sampai terjadi."Tangan kanan Raja itu kini berada tepat di depan Xia