“PAMAN!” Yu Ping menjerit sekuatnya. Namun yang dicari tak pernah muncul kembali, meski bocah malang itu berteriak memanggil namanya berulang kali.
“Yu Ping tak ingin berpisah dengan Paman, biar kita mencari perguruan dimana mereka juga bersedia menerima kita berdua,” Yu Ping menangis terisak. “Huhu … jangan tinggalkan aku, Paman Wu!”
Setelah hampir satu jam berlalu sia-sia, bocah itu sadar paman Wu Qing benar-benar telah meninggalkannya dan tak akan kembali lagi.
Ia mengusap air mata dengan lengan baju, berjanji pada diri sendiri bahwa ini merupakan air mata terakhirnya.
Akhirnya Yu Ping memutuskan untuk meneruskan langkahnya menuju perguruan Hoa San yang terletak di puncak bukit.
Begitu mencapai pintu gerbang perguruan, Yu Ping bertemu dengan dua orang pemuda bertubuh tegap sedang keluar dari sana.
“Hei Bocah, dari mana datangmu dan untuk apa kau kemari?” bentak seorang yang berwajah bulat begitu melihatnya.Belum lagi ia menjawab, pemuda satunya yang berkulit sawo matang menarik leher baju Yu Ping bagian belakang hingga kaki anak itu hampir tak berpijak ke tanah.“Pasti dia ini pencuri makanan di dapur kita yang selama ini berkeliaran, Kakak Pertama!” Pemuda berkulit sawo matang menyeringai sambil matanya memindai sosok Yu Ping dari atas ke bawah.“Benar, Adik Ketiga!” imbuh pemuda yang dipanggil Kakak pertama. “Mari kita bawa pada Guru!”Tanpa memberi kesempatan pada Yu Ping membela diri, kedua murid Hoa San itu menyeretnya masuk ke dalam gedung menuju aula.Di sana tiga tetua Hoa San sedang bercakap-cakap sambil menikmati teh. Mendengar keributan, mereka segera berdiri dan melihat murid Pertama dan Ketiga sedang menyeret anak laki-laki yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.“Apa yang terjadi, Murid Pertama?” tanya tetua Wang dengan mata menyelidik. Tetua Wang adalah wakil ketua Hoa San, berusia 40 tahun, bertubuh kurus dan berjenggot tipis.Meski begitu, ia adalah sosok yang disegani di Hoa San karena hampir semua ilmu peguruan Hoa San dikuasainya.“Guru Wang, kami sudah menemukan pencuri makanan yang selama ini berkeliaran!” setelah berkata demikian, pemuda berkulit sawo matang mencampakkan tubuh Yu Ping hingga jatuh tertelungkup di depan kaki tetua Wang.“Benarkah begitu?” Guru Wang memiringkan kepalanya. Yu Ping bangkit dan berlutut di depan Guru Wang.“Tidak benar, aku datang ingin menjadi murid!” Yu Ping berusaha menjelaskan, “Aku bukan pencuri!”“Ah, bohong!” bentak murid Pertama, “Kalau saja kami tidak memergokimu, kau pasti sudah mencuri lagi.”Yu Ping menggeleng kuat, ia menatap tetua Wang dengan pandangan memelas. “Tuan, percayalah padaku. Aku hanya ingin menjadi murid di sini.”“Murid? Ckk ckk, penampilan seperti pengemis ingin jadi murid Hoa san!” decih murid Pertama, “Kau lebih cocok berguru pada partai pengemis Kai Pang!”“Murid Pertama, tutup mulutmu!” bentakan tetua Wang berhasil membungkam mulut jahat murid Pertama.“Siapa namamu, Nak?” tanya tetua Wang.Yu Ping berpikir sejenak, lalu menjawab, “A Ping … namaku A Ping!”“A Ping, dari mana asalmu?” pertanyaan tetua Wang kali ini sangat sulit dijawab oleh Yu Ping. Semakin sedikit orang yang tahu asal-usulnya akan semakin baik.“Maaf aku lupa,” Yu Ping menjawab perlahan. “Sejak kecil tidak memiliki siapa-siapa hingga tak tahu asal -usulku.”Dalam hati ia meminta maaf pada Wang ji, ayah angkatnya. Ia terpaksa berbohong untuk menyembunyikan identitasnya.Setelah peristiwa penyerangan di desa Kuning yang merenggut nyawa ayah angkatnya, Yu Ping harus sangat berhati-hati karena banyak orang jahat mencari dan ingin membunuhnya.
“Lalu bagaimana kau bisa kemari dan tertarik menjadi murid kami?”
“Aku dengar perguruan Hoa San adalah perguruan yang hebat, jadi aku ingin belajar ilmu bela diri di sini agar kelak menjadi orang kuat untuk melindungi yang lemah!” jawab Yu Ping lancar dan berani.“Omong kosong, kau hanya ingin makan tidur gratis di sini!” sergah murid Ketiga.“Murid Ketiga, siapa yang suruh kau angkat bicara?” tegur tetua Wang gusar. Murid Ketiga terdiam dengan hati dongkol.“A Ping, aku tahu kau memiliki niat yang mulia,” kata tetua Wang, “Tapi maaf, kami tak dapat menerimamu.”Murid Pertama dan Ketiga nyaris berjingkrak kegirangan, di bibir mereka tersungging senyuman puas. Sementara Yu Ping terpukul mendengarnya, Hoa San adalah satu-satunya harapan bagi bocah kecil itu untuk tinggal. Ia tak memiliki pilihan apapun lagi.“Mengapa, Guru?”“Kami tidak mungkin menerima murid yang tidak jelas asal-usulnya, sebaiknya kau cari perguruan lain saja!” Setelah berkata-kata, tetua Wang berbalik berniat meninggalkan Yu Ping namun bocah itu memeluk kaki kirinya erat-erat.“Guru, berikanlah aku kesempatan! Aku janji akan belajar dengan baik dan menjadi murid yang dapat diandalkan!” Yu Ping memohon dengan wajah memelas.“Dasar anak tak tahu malu!” murid Pertama dan Ketiga menarik paksa lengan Yu Ping yang membelit kaki tetua Wang hingga pelukan itu terlepas.Tetua Wang menggeleng-gelengkan kepala sambil mengelus jenggot tipisnya lalu melanjutkan langkah meninggalkannya.“Guru, aku akan terus berlutut di tempat ini sampai Guru menerimaku!” kata Yu Ping lagi namun para tetua itu tak mengindahkannya.Murid Pertama dan Ketiga menyeret tubuh kecil nan kurus Yu Ping keluar, sesampai di depan pintu gerbang ia dilemparkan begitu saja seperti sampah.Yu Ping bangkit dan berlutut, ia sudah bertekad tak akan keluar dari Hoa San apapun yang terjadi.“Heh ... mau apa lagi kau, Bocah?” bentak murid Ketiga.“Aku tak akan pergi sebelum Guru menerimaku menjadi murid!” ucap Yu Ping berkeras.“Dasar bodoh! Silahkan saja, asal tahu, sampai kau matipun tak akan diterima di tempat ini!” kedua pemuda itu tertawa mengejek lalu menutup pintu gerbang di depan Yu Ping, meninggalkannya sendirian.Yu Ping terus berlutut, tak peduli panas terik matahari dan guyuran hujan deras menyiksanya bergantian.Saat lapar, ia mengambil dua biji manisan untuk mengisi perutnya yang keroncongan.
Di hari ketiga, tubuhnya sudah semakin lemah. bibirnya pucat membiru dan badannya menggigil. Ia merasa sudah hampir mati kelelahan juga kelaparan.Ia mengambil kantong manisan dalam sakunya dengan tangan gemetar. Ia merogoh ke dalam kantong kertas yang sudah lusuh, saat mengeluarkan isinya ternyata hanya tersisa dua buah manisan.Kalau ia makan semua, maka kenangan akan ayah dan kakak angkatnya sudah tak ada lagi.Akhirnya ia memilih memasukkan kembali manisan itu ke dalam kantong dan menyembunyikannya dalam saku baju.Tak lama Yu Ping mulai limbung, ia merasa tubuhnya seringan kapas dan siap terbang tinggi. Bocah malang itu jatuh terlentang di atas tanah, pandangan matanya mulai mengabur.
Sebelum semua menjadi gelap, matanya menangkap bayangan wajah pria di atasnya.
“A … Ayah?”Sebelum semua menjadi gelap, matanya menangkap samar-samar wajah pria di atasnya. “A … Ayah?” bibir Yu Ping mengepak terbuka namun terlalu lemah untuk berkata-kata. Perlahan matanya menutup, ia ingin tertidur dan tak bangun lagi. *** Entah berapa lama tak sadarkan diri, Yu Ping kecil terbangun saat hari sudah gelap. Ia melihat sekeliling, menyadari bahwa dirinya sedang berada di dalam sebuah pondok bambu yang sederhana. Ia juga mengamati bajunya sudah berganti dengan baju berwarna putih bersih, siapa yang sudah begitu baik menolongnya?Ayah angkat sudah meninggal, kakak perempuan meninggalkannya, dan paman Wu Qing juga sudah pergi, Mungkinkah paman Wu Qing mengkhawatirkan dirinya lalu kembali menyelamatkannya? Saat mendengar suara orang memasak di luar pondok, Yu Ping seketika bersemangat. Tak salah lagi, orang yang telah menyelamatkannya pasti Wu Qing alias Pendekar Pedang Pendek. Saking senangnya, tanpa memedulikan bahwa tubuhnya masihlah sangat lemah, bocah itu meninggalkan t
“Apakah kau melihat saputangan hanyut di sekitar sungai ini?” tanya gadis itu padanya. Yu Ping tak mampu menjawab, ia takut begitu bibirnya terbuka, jantungnya ikut meloncat keluar karena berdetak terlalu kencang. Si makhluk cantik melambaikan tangan di depan mata Yu Ping, “Kau tidak apa-apa?” Yu Ping ingin menjawab namun lidahnya terasa kelu, hanya bibirnya saja yang mengepak terbuka seperti ikan mencari oksigen di permukaan air. “Oh kau gagu ya?” tatapan gadis itu berubah menjadi iba padanya. Mata Yu Ping membeliak, ia menggoyang-goyangkan kedua tangan. “Kau tidak melihat saputanganku, ya sudah tak apa-apa!” bibir si cantik tersenyum sangat manis. Saat gadis bergaun merah muda itu melambaikan tangan dan berbalik pergi, ia tak pernah menyadari telah membawa sekeping hati Yu Ping bersamanya. Yu Ping masih tak mempercayai bahwa ia bertemu dengan manusia bukannya hantu. Bahkan sesampainya di pondok, ia sibuk menjemur saputangan yang ditemukannya dan memandangi secarik kain terse
“Ingatlah bahwa kau harus menjadi pendekar nomor satu di dunia agar dapat membalaskan dendam kematian ayahmu, raja Qi You!" perintah Xian Lian dengan keras.“Qi Yun tak akan mengecewakan hati Ibu,” bocah laki-laki seumuran Yu Ping itu mengangguk tegas. Sebentar kemudian ia sudah berlatih jurus Pedang Bayangan kembali. Kali ini bocah tampan itu berfokus penuh pada pedang di tangannya. Saat berfokus itulah, gerakannya menjadi lebih cepat dari sebelumnya. Ia berputar ke sana kemari seperti sedang menari di bawah sinar bulan purnama. Kedua kakinya hampir tak menapak tanah saat melesat ke arah dinding batu, berpijak lalu berlari menapak dinding batu tersebut dengan kecepatan tinggi melawan gravitasi bumi. Setelah cukup tinggi, ia menghentakkan kedua kaki, melesat terbang seraya menggerak-gerakkan pedang di tangan sekaligus memutar tubuhnya hingga dari kejauhan tampak seperti bola bercahaya bergulung-gulung di atas tanah.
“Hiih … dia bersisik!” beberapa bergidik melihat punggung Yu Ping. “Siluman!” teriak yang lain. Wajah Yu Ping pucat, ia teringat dengan peristiwa di sungai lima tahun lalu dimana anak-anak sebayanya ketakutan dan memanggil dirinya siluman air. Gara-gara berita siuman air itu menyebar, desanya mengalami bencana besar. Kini murid-murid Hoa San sudah mengetahui tentang sisik di punggungnya juga, akankah Hoa San mengalami nasib yang sama dengan desa kelahirannya dulu? Tiba-tiba saja murid Pertama dan Ketiga membekuknya dari belakang, kedua tangan dikunci di belakang punggung. Kali ini Yu Ping tak melawan, ia membiarkan dirinya digiring ke aula gedung Hoa San. Murid Pertama dan Ketiga memegangi kedua bahunya, memaksanya berlutut. Lagi-lagi pemuda itu tak memberikan perlawanan meski sebenarnya tidak sulit mengalahkan mereka berdua. Tetua Wang muncul bersama dua tetua lain karena mendengar suara
Murid Ketiga memutuskan untuk mendekat dan mengintai dari lubang jendela. Tampak olehnya tetua Wang dan sosok misterius berdiri berhadap-hadapan, lilin dimatikan hingga ruangan menjadi gelap namun murid Ketiga masih dapat melihat siluet keduanya. “Memanggilku kemari ada berita penting apa?” tanya tamu misterius berbaju hitam. “Aku menemukan bocah dengan sisik emas, sepertinya dia bukan anak sembarangan,’ terang tetua Wang. “Bocah bersisik emas? Kalau benar, dia adalah buronan yang selama ini dicari-cari oleh raja Qi!” kata pria misterius di depan tetua Wang. Buronan? Murid Ketiga menutup mulut dengan kedua tangan, khawatir berteriak saking kagetnya. Jadi murid kesayangan ketua Hoa San itu seorang buronan? Hmm, kalau aku laporkan ke penegak hukum di kota maka aku akan mendapatkan uang banyak, tiba-tiba muncul niat jahat di kepala murid Ketiga. Bila Guru Besar mengetahui siapa murid kesayangan yang sebenarnya tentu dia akan m
“Sebuah pukulan tangan kosong ke batang leher dengan tenaga dalam yang sangat kuat tanpa ada bekas pukulan dan memar di kulit, hanya satu orang yang bisa melakukannya. Tidak lain Pendekar Tapak Sakti, Liu Heng dari perguruan Kun Lun!” Tiga tetua saling memandang tak percaya, sementara para murid terlihat bengong tak mengerti. “Tetapi hal itu tidak mungkin,” tetua Wang mendekati jenazah murid Ketiga dengan penasaran. “Apa yang membuat Ketua Wu berpikiran pelakunya Liu Heng?” “Aku tidak yakin pelakunya adalah Liu Heng, tetapi orang yang membunuh murid kita menggunakan jurus yang dimiliki oleh pendekar Tapak Sakti!” Wu Xian mengelus jenggotnya. “Setahuku, Liu Heng sudah berubah menjadi gila karena melakukan kesalahan saat mempelajari jurus tertinggi Tapak Dewa!” kata tetua Wang lagi. “Benar,” Wu Xian mengangguk. “Masalah ini sangat pelik, kita tak bisa sembarangan menuduh karena selama ini perguruan Kun Lun dan Hoa San tidak pernah ada masalah sedangkan Liu Heng adalah mantan tetua
Jantung Yu Ping berdebar kencang. Meski sudah lima tahun berlalu, ia masih saja terpesona melihat sosok yang hanya bisa menghiasi mimpi dan kini berada di sampingnya. Qing Ning. “Kakak Pertama, apakah tidak malu sebagai murid Hoa San merundung anak kecil?” bentak Qing Ning dengan kedua tangan menumpu pada pinggangnya yang ramping. Mata indahnya memelototi kelima pria di depannya dengan ekspresi marah, membuat hati mereka menciut. Bagaimana tidak, Qing Ning adalah cucu dari ketua Hoa San, Wu Xian. Ilmu silatnya pun tak dapat dianggap enteng. Selain sangat cantik, ia juga pandai ilmu pedang. Bukan hanya Yu Ping, hampir semua pemuda di perguruan Hoa San mengagumi kecantikan gadis itu. Matanya besar dan indah berkilauan serta memiliki daya tarik kuat bagi setiap orang yang memandang, namun sinar mata itu juga mengandung ketegasan dan kewibawaan yang sepertinya diturunkan oleh Wu Xian, sang kakek. Anak kecil? mata Yu Ping membulat mendengar dirinya dipanggil dengan sebutan anak ke
“Malam ini kau akan mati di tanganku, Wu Xian!” Pria berbaju dan berkedok serba hitam itu mendekati tempat tidur, mengangkat tangan kanannya dan mengerahkan tenaga dalam penuh. Tangan kiri meraih selimut dan menariknya dengan cepat, seraya siap memukulkan tangan kanan ke arah leher Wu Xian. Namun ia terkejut bukan main, ketika selimut tersibak ternyata hanya ada sebuah bantal di baliknya. Ia menoleh ke kanan kiri, mencari keberadaan sosok Wu Xian dalam kegelapan. Menyadari ada sepasang mata sedang mengawasinya, pria berkedok itu perlahan mendongak ke atas, ke langit-langit tempat tidur. Ternyata Wu Xian sedari tadi bersembunyi di langit-langit, dengan kedua tangan dan kedua kaki berpijak pada empat tiang tempat tidur. Begitu musuh menengadah ke atas, Wu Xian langsung melompat turun sambil menghujamkan tinjunya ke arah pria misterius di bawahnya. Sosok itu meloncat ke belakang guna menghindari serangan hingga tinju Wu Xian menghantam tempat tidur yang terbuat dari papan kayu.
Di puncak Gunung Kunlun yang menjulang tinggi, kabut tipis menyelimuti puncak-puncak batu yang tajam. Udara dingin pegunungan menerpa wajah dua sosok yang berdiri tegap di atas jembatan batu kuno. Yu Ping dan kakak angkatnya, Xin Ru, berdiri berdampingan, mata mereka menatap jauh ke dalam jurang yang dalam dan gelap di bawah.Yu Ping, mengenakan pakaian kerajaan dengan garis emas di sepanjang tepi kain sutra yang terjuntai hingga nyaris menyentuh tanah, menggenggam seruling emas di tangan, dan sebuah golok hitam diselipkan di belakang punggung. Di sampingnya, Xin Ru berdiri dengan postur waspada, matanya yang tajam menyapu sekeliling, siap menghadapi apapun yang mungkin terjadi."Kau yakin dia akan muncul?" tanya Xin Ru, suaranya nyaris berbisik.Yu Ping mengangguk pasti, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Aku yakin, karena dia adalah guruku.” Dengan gerakan perlahan, Yu Ping mengangkat seruling ke bibirnya. Ia menarik napas dalam, lalu mulai meniup. Nada-nada lembut mengalir d
Aula kerajaan Qi dipenuhi oleh kemegahan dan kemewahan. Dinding-dinding berukir emas berkilau di bawah cahaya ribuan lilin yang menerangi ruangan. Aroma dupa yang manis mengambang di udara, menciptakan suasana sakral yang teduh.Di tengah aula, Yu Ping berdiri tegap, mengenakan jubah kerajaan berlapis emas. Wajahnya tenang berwibawa, mencerminkan seorang yang berhati lembut namun juga tegas. Kasim Liu, berlutut di hadapannya, menyodorkan mahkota dan jubah emas kerajaan di atas bantal beludru merah.Dengan gerakan perlahan, Yu Ping mengambil mahkota itu dan meletakkannya di atas kepala. Jubah emas kemudian disampirkan di bahunya, melengkapi penampilannya sebagai seorang raja. Seketika itu juga, seluruh ruangan dipenuhi oleh suara gemerisik kain—para Jenderal dan Menteri berlutut, memberikan penghormatan kepada raja baru mereka.Di samping singgasana raja, dua wanita cantik duduk dengan anggun. Di sisi kiri, Sayana, dengan pakaian mewah dan perhiasan yang gemerlap, tersenyum anggun. Mat
Mentari bersinar cerah di atas Kota Xianfeng, cahayanya memantul dari atap-atap bangunan. Udara dipenuhi oleh semangat dan kegembiraan yang menggelora, seiring dengan persiapan pelantikan Yu Ping sebagai raja baru Negeri Qi.Hiruk pikuk keramaian terdengar dari setiap sudut kota, sementara di dalam istana, para pelayan berlarian kesana-kemari, sibuk dengan persiapan acara yang akan berlangsung selama tujuh hari tujuh malam.Di aula utama istana, Kepala Pelayan, seorang pria paruh baya dengan wajah serius namun berwibawa, tampak kewalahan menerima bingkisan hadiah yang terus berdatangan. Utusan dari berbagai negeri jiran dan perwakilan sekte-sekte aliran putih dari seluruh penjuru negeri silih berganti memasuki ruangan, membawa persembahan untuk raja baru mereka."Yang Mulia pasti akan sangat senang melihat sem
Suasana suram menyelimuti pemakaman keluarga kerajaan. Angin semilir membelai dedaunan pohon-pohon tua yang mengelilingi area sakral itu. Di tengah keheningan, sosok Yu Ping berlutut di depan sebuah makam yang masih baru. Tangannya gemetar memegang beberapa batang hio yang telah dinyalakan, asapnya mengepul tipis ke udara. Dengan hati-hati, ia menancapkan hio-hio tersebut ke dalam hiolo -tempat dupa yang terbuat dari logam berukir indah- yang terletak tepat di depan batu nisan ibunya, Xian Lian.Yu Ping menatap lekat nama yang terukir di batu nisan itu. Matanya yang berkaca-kaca menyiratkan kesedihan mendalam. Ia menghela napas berat sebelum berbisik lirih, suaranya nyaris terbawa angin."Ibu," ucap si pemuda dengan nada bergetar, "sekian lama aku mendambakan pertemuan dengan orang tua kandungku. Tapi mengapa, ketika akhirnya kita dipertemukan, waktu begitu kejam membatasi kebersamaan kita?"Jemarinya perlahan menelusuri ukiran nama ibunya di batu nisan. "Qi Yun sungguh beruntung,"
Kedua pendekar muda itu berhadapan di udara, aura mereka yang bertolak belakang - keemasan milik Yu Ping dan kegelapan milik Qi Yun - bertabrakan, menciptakan gelombang energi yang membuat udara bergetar."Qi Yun," balas Yu Ping, suaranya tenang namun penuh ketegasan. "Hentikan semua ini! Terlalu banyak nyawa yang telah melayang."Qi Yun tertawa sinis. "Hentikan? Tidak akan! Hari ini, salah satu dari kita akan mati!"Bersamaan dengan itu Qi Yun mengayunkan goloknya, menciptakan gelombang energi hitam yang melesat ke arah Yu Ping. Yu Ping dengan sigap mengeluarkan seruling saktinya, bersiap menghadapi pertarungan yang akan menentukan nasib kerajaan Qi.Di bawah, pasukan kedua belah pihak menghentikan pertempuran sejenak, mata mereka tertuju ke langit di mana dua sosok pemimpin mereka akan bertarung hingga titik darah penghabisan. Mereka tahu, hasil pertarungan ini akan menentukan tidak hanya nasib mereka, tapi juga masa depan seluruh kerajaan.Langit di atas Xianfeng menjadi arena perta
Di atas benteng kokoh, di kotaraja Xianfeng, Qi Yun berdiri tegak, jubah perang yang berat dan berkilauan menambah kegagahannya. Matanya yang tajam menatap ke kejauhan, menanti kedatangan musuh yang ia tahu pasti akan tiba.Berita kekalahan para Jenderal Perang dan pasukannya telah sampai ke telinganya, dibawa oleh prajurit-prajurit yang berhasil meloloskan diri dari pertempuran.Suasana di atas benteng sunyi senyap, hanya deru napas para pasukan yang merasa tegang memecah keheningan. Mereka telah mendengar desas-desus tentang kesaktian Yu Ping, dan ketakutan mulai merayapi hati mereka. Namun, di bawah tatapan dingin Qi Yun, tak seorang pun berani menunjukkan keraguan."Pasukan siap, Pangeran!" lapor seorang perwira. "Pemanah, infanteri, dan pelontar batu telah mengambil posisi."Qi Yun mengangguk singkat, matanya tak lepas memandang langit. Tak lama kemudian, apa yang ditunggunya muncul. Dari kejauhan, terlihat pasukan Yu Ping yang mulai mendekat. Mereka berhenti agak jauh dari bent
Asap pertempuran mengepul di berbagai sudut kota, menandai jejak perjuangan pasukan Yu Ping dalam perjalanan mereka menuju Xianfeng. Satu demi satu, pertempuran dimenangkan oleh Yu Ping dan pasukannya. Namun, kemenangan demi kemenangan ini tidak membuat Yu Ping lengah. Sebaliknya, instingnya sebagai strategi perang mulai menangkap pola yang mencurigakan.Yu Ping berdiri di atas bukit kecil, memandang ke arah kota yang masih diselimuti asap pertempuran. Matanya yang tajam menyipit, menganalisis situasi dengan cermat. Perlahan, sebuah kesimpulan terbentuk di benaknya."Dia ingin pasukan kita kelelahan saat tiba di Xianfeng," gumam Yu Ping, lebih kepada dirinya sendiri. Nada suaranya lebih kepada kekaguman namun juga mengandung kejengkelan. "Dasar licik!"Panglima Sung yang berdiri di sampingnya, menangkap gumaman itu. Dengan wajah serius, ia bertanya, "Apa yang harus kita lakukan, Jenderal Yu Ping?" Suaranya penuh hormat dan kesiapan. "Kami siap melakukan apapun perintahmu!"Yu Ping ter
Pemandangan itu menyadarkan Qi Xiang akan kenyataan yang mengerikan: ia benar-benar berhadapan dengan Raja Iblis. Ketakutan yang luar biasa mencengkeram hatinya, membuatnya gemetar hebat."B-baik," ujar Qi Xiang terbata-bata, keringat dingin membasahi dahinya. "Akan kulakukan apapun yang kau mau asal bunuh Yu Ping dan antek-anteknya untukku."Sebuah senyum tipis tersungging di bibir Qi Yun. "Bagus," ujarnya, suaranya dingin dan tanpa emosi. "Sekarang lakukan sesuatu untukku! Bebaskan ibuku dari penjara, obati luka-lukanya dan biarkan ia menempati kamar ratu.""A-apa?" Qi Xiang terkejut, tidak menyangka permintaan semacam ini akan datang dari Qi Yun."Kau merampas itu darinya," desis Qi Yun, matanya berkilat-kilat penuh ancaman. "Aku akan mengembalikan martabatnya seperti semula!"Qi Xiang, yang kini tak lebih dari boneka di tangan Qi Yun, tak berkutik. Ia hanya bisa mengangguk pasrah, menyadari bahwa hidupnya kini bergantung pada keinginan pemuda di hadapannya ini."Baik ... baik …,"
Di dalam penjara bawah tanah istana yang lembab dan dingin, suara rintihan tertahan memecah keheningan. Seorang wanita, dengan rambut kusut dan pakaian compang-camping, terikat dengan kedua tangan terentang di atas sebuah papan kayu yang kasar. Wajahnya yang cantik kini penuh dengan luka dan lebam, hasil dari penyiksaan brutal yang baru saja ia alami.Ma Yin, dengan senyum puas tersungging di bibirnya, berdiri di hadapan wanita itu. Cambuk di tangannya masih basah oleh darah."Yang Mulia Ratu," ujarnya dengan nada mengejek, "ternyata Anda sungguh tangguh ... sudah dicambuk dan dihajar berulang kali tetapi masih berdiri tegak!"Xian Lian, mantan Ratu yang kini diperlakukan bagai penjahat kelas berat, hanya diam. Kepalanya tertunduk, seolah tak lagi memiliki kekuatan untuk mengangkatnya.Ma Yin melangkah mendekat, suara sepatunya bergema di dinding-dinding sel. "Seandainya Anda mau bekerja sama, tentu hal ini tak akan sampai terjadi."Tangan kanan Raja itu kini berada tepat di depan Xia