"Jagalah diri sendiri mulai sekarang, Yu Ping. Aku menyayangimu!" kata Xin Ru lewat tatapan matanya.
Yu Ping yang mampu menangkap arti tatapan sang kakak, makin deraslah air mata membasahi pipinya.Bibirnya bergetar saat ia menyaksikan untuk terakhir kali, Xin Ru bergandengan tangan dengan salah seorang dari gerombolan pendekar berhati keji, melangkah meninggalkan desa Kuning dan tak pernah menoleh lagi ke belakang.Tak pernah terpikir oleh anak laki-laki yang masih berusia 12 tahun itu bahwa ayah akan terbunuh dan keluarga tercerai-berai dalam satu hari, yang lebih menyakitkan semua itu disebabkan oleh karena dirinya.Mungkin benar kata ibunya, ia benar-benar anak pembawa sial.Seandainya saja ia tak pernah berada dalam keluarga Wang Ji, tentu pria penuh kasih itu tak akan gugur dan kakak perempuan angkatnya juga tak akan dibawa pergi oleh manusia-manusia berhati iblis.Pendekar Pedang Pendek memutuskan untuk membawa Yu Ping meninggalkan desa Kuning karena sudah tak memungkinkan bagi bocah itu tetap berada di sana.Ia memanggul tubuh Yu Ping meninggalkan hutan dengan menggunakan ilmu sin-kang yang lumayan tinggi.Bertahun-tahun lalu ia merupakan salah satu murid perguruan Kun Lun, namun karena sifat mata keranjangnya yang bertentangan dengan aturan perguruan tentang tidak boleh berhubungan dengan wanita, membuatnya didepak dari sana.Pendekar yang sering dipanggil Paman Wu Qing oleh Yu Ping itu menyia-nyiakan kesempatan menjadi pendekar hebat.Pria itu jatuh dari pelukan wanita satu ke wanita lain dan berprofesi sebagai pencuri bayaran, sampai akhirnya ia hampir tewas karena kecerobohannya.Beruntung ia dipertemukan dengan Ching-Ching, primadona rumah bordil yang baik hati menyembunyikan dirinya di tempat maksiat itu.Dari seorang pendekar sampah dan playboy, pria itu berubah menjadi seorang yang lebih baik hingga bersahabat dengan bocah kecil bernama Yu Ping.Wu Qing melihat sosok Yu Ping berbeda dengan anak kebanyakan, tidak manja dan selalu tersenyum meski memikul pekerjaan berat yang diberikan ibu angkatnya. Tak pernah mengeluh atau menjelek-jelekkan orang lain meski diperlakukan tak adil.Ia yakin kelak Yu Ping akan menjadi pria tersohor atau pendekar hebat.Setelah berlari cukup jauh dan hari sudah menjelang malam, Pendekar Pedang Pendek memutuskan beristirahat di sebuah kuil yang sudah bobrok tak berpenghuni.Ia menurunkan tubuh Yu Ping dan melepaskan totokannya. Begitu lepas dari totokan dan mampu bergerak lagi, Yu Ping melayangkan pukulannya ke dada dan perut Wu Qing sambil menangis.“Paman Wu jahat!” pekik anak itu pilu, “Mengapa tak biarkan aku menolong ayah dan kakakku? Mengapa membawa aku ke sini?”Pukulan-pukulan Yu Ping sama sekali tak menyakiti Wu Qing, meski begitu tetap saja menyedihkan hati.Pria bertubuh sedang dan berkumis tipis itu berjongkok, memegangi lengan Yu Ping kuat-kuat hingga bocah itu tak bisa bergerak.“Kau kira ayahmu akan tetap hidup bila kau keluar menyerahkan diri? Mereka tetap saja akan membunuh seluruh keluargamu!” bentak Wu Qing.“Lebih baik aku mati bersama mereka,” isak tangis Yu Ping menyayat hati.Wu Qing menghela napas berat, “Yu Ping, ayahmu rela mengorbankan nyawa untukmu. Masih tegakah kau ingin menyia-nyiakannya. Apakah kau ingat semua wejangan ayahmu sewaktu beliau hidup?”Yu Ping mengangguk, “Pria sejati tidak boleh menangis, harus kuat dalam menjalani jalan hidup.”“Kalau kau benar mengasihi ayahmu, jadilah seperti apa yang diminta mendiang ayah padamu!” nasihat Pendekar Pedang Pendek kali ini mengena di hati Yu Ping.Setelah Wu Qing melepaskan lengannya, bocah kecil berwajah tampan itu menghapus air mata dan berusaha meredakan isak tangisnya.Kini tangis tak lagi terdengar, hanya pundaknya yang masih naik-turun berusaha mengatur napas.“Anak pintar!” Wu Qing menepuk bahu Yu Ping.“Apa yang akan kita lakukan sekarang, Paman Wu?” tanya Yu Ping sambil menyeka pipinya yang basah dengan lengan baju.“Sekarang ini kau menjadi buronan kerajaan, tempat aman bagimu adalah perguruan Hoa San yang terletak di gunung Hoa San. Perguruan Hoa San adalah tempat terpencil, ketuanya melarang murid-muridnya berhubungan dengan dunia luar. Identitasmu akan aman di sana,” tutur Wu Qing panjang lebar.Yu Ping mengangguk-anggukkan kepala, lalu berkata sambil mengepalkan tangan, “Aku akan belajar ilmu silat agar kelak bisa membalaskan dendam ayah angkat!”Wu Qing tersenyum, “Untuk mengalahkan Tujuh Malaikat Pencabut Nyawa, dibutuhkan gabungan ilmu seluruh dunia persilatan.”“Sehebat itukah ilmu mereka, Paman?”“Ketujuh pendekar menggunakan racun untuk meningkatkan tenaga dalam, dan menguasai sebuah buku silat langka yang telah lama hilang dari dunia persilatan. Entah bagaimana mereka mendapatkannya, kini mereka menjadi para pendekar tak tertandingi hingga menyebut diri sendiri Malaikat Pencabut Nyawa.”“Apa gunanya menjadi pendekar hebat bila digunakan untuk kejahatan,” kata Yu Ping berapi-api.“Agar kelak ada pendekar berhati dewa yang jauh lebih hebat mengalahkan mereka semua!” Wu Qing mengarahkan telunjuknya ke dada murid kesayangannya. Dibalas dengan anggukan sang putra mahkota.“Sekarang kita beristirahat dulu, besok pagi-pagi sudah harus melanjutkan perjalanan!” kata Wu Qing seraya bangkit berdiri.Ia mengumpulkan beberapa kain kumal yang ditemukan di dalam kuil tua lalu digunakan sebagai alas tidur Yu Ping. Sementara ia sendiri tidur dengan posisi duduk, bersandar pada pilar.Tengah malam, Yu Ping terbangun karena mimpi buruk yang dialaminya.Ia bermimpi kakak perempuannya, Xin Ru berteriak minta tolong. Di belakang gadis itu berdiri Dewa Golok Hitam bersiap mengayunkan goloknya. Yu Ping berlari mendekat untuk menghalangi namun terlambat. Dewa Golok Hitam menebas punggung Xin Ru hingga kakak tercintanya ambruk bersimbah darah.Kakak, dimana Kakak berada? Aku sangat merindukanmu, air mata Yu Ping luruh kembali.Saat memegang perutnya yang terasa lapar, ia baru sadar ada sesuatu di balik baju sederhana bermodel kimono yang dikenakannya.Ia mengeluarkan benda tersebut, ternyata sebungkus manisan. Rupanya kakak Xin Ru yang memasukkan kantung manisan itu ke dalam kantong bajunya sebelum mereka berpisah.Ia menghitung jumlah manisan dalam kantong itu, sepuluh biji. Dimakannya dua biji manisan untuk mengurangi rasa lapar, lalu sisanya ia masukkan kembali ke balik baju. Setelah itu barulah ia bisa kembali tidur sambil membayangkan wajah ayah dan kakak perempuan. Keesokan harinya, pagi-pagi benar, mereka berdua melanjutkan perjalanan menuju gunung Hoa San.Perjalanan itu memakan waktu sepuluh hari dengan berjalan kaki, beruntungnya mereka tak pernah bertemu dengan pasukan tentara atau salah satu dari Malaikat Pencabut Nyawa.Setelah tiba di kaki gunung Hoa San, Wu Qing berjongkok di depan Yu Ping agar bisa menatap mata anak itu. “Yu Ping, kita harus berpisah di sini. Kau harus naik sendiri menuju perguruan Hoa San dan memohonlah untuk menjadi murid di sana!”“Paman, aku tak mau berpisah dengan Paman!” rengek Yu Ping. Di dunia ini hanya tersisa paman Wu yang peduli padanya dan kini akan berpisah juga? Dewa sungguh tak adil, jerit hati Yu Ping.“Yu Ping, seluruh ketua dunia persilatan membenci Paman karena kesalahan di masa lalu. Kalau aku membawamu ke sana maka tak akan ada yang sudi menerima kita. Kau harus pergi ke sana tanpa Paman sekarang!” Wu Qing menjelaskan dengan tegar hati meski sedih bukan main.Yu Ping menangis lagi.“Yu Ping, ingatlah! Air mata adalah musuh pendekar sejati, jangan pernah menangis lag!” Wu Qing menyeka pipi bocah di depannya. Yu Ping mengangguk meski air matanya tetap mengalir turun.“Kelak bila kita berjodoh dipertemukan lagi, Paman ingin melihatmu sebagai pendekar terhebat di seluruh negeri!” Wu Qing tersenyum.Yu Ping mengangguk, “Setelah aku menjadi pendekar tanpa tanding, aku akan mencari Paman.”“Sekarang pergilah! Begitu kau berbalik, jangan pernah menoleh ke belakang lagi!” Wu Qing membalikkan tubuh kurus Yu Ping hingga bocah 12 tahun itu menghadap ke arah gunung.Yu Ping berjalan selangkah demi selangkah, kaki-kakinya seperti diikat dengan batu berton-ton beratnya. Ketika sudah beberapa langkah, ia lupa akan pesan sang paman.Bocah itu berbalik kembali, ingin memeluk pamannya dan mengatakan bahwa ia tak mau pergi ke Hoa San. Mereka bisa berdua saja, mempelajari ilmu silat di tempat lain tanpa harus berpisah.Namun saat berbalik, pamannya sudah menghilang entah ke mana.“PAMAN!” Yu Ping menjerit sekuatnya.“PAMAN!” Yu Ping menjerit sekuatnya. Namun yang dicari tak pernah muncul kembali, meski bocah malang itu berteriak memanggil namanya berulang kali. “Yu Ping tak ingin berpisah dengan Paman, biar kita mencari perguruan dimana mereka juga bersedia menerima kita berdua,” Yu Ping menangis terisak. “Huhu … jangan tinggalkan aku, Paman Wu!” Setelah hampir satu jam berlalu sia-sia, bocah itu sadar paman Wu Qing benar-benar telah meninggalkannya dan tak akan kembali lagi. Ia mengusap air mata dengan lengan baju, berjanji pada diri sendiri bahwa ini merupakan air mata terakhirnya. Akhirnya Yu Ping memutuskan untuk meneruskan langkahnya menuju perguruan Hoa San yang terletak di puncak bukit. Begitu mencapai pintu gerbang perguruan, Yu Ping bertemu dengan dua orang pemuda bertubuh tegap sedang keluar dari sana. “Hei Bocah, dari mana datangmu dan untuk apa kau kemari?” bentak seorang yang berwajah bulat begitu melihatnya. Belum lagi ia menjawab, pemuda satunya yang berkulit sawo matang mena
Sebelum semua menjadi gelap, matanya menangkap samar-samar wajah pria di atasnya. “A … Ayah?” bibir Yu Ping mengepak terbuka namun terlalu lemah untuk berkata-kata. Perlahan matanya menutup, ia ingin tertidur dan tak bangun lagi. *** Entah berapa lama tak sadarkan diri, Yu Ping kecil terbangun saat hari sudah gelap. Ia melihat sekeliling, menyadari bahwa dirinya sedang berada di dalam sebuah pondok bambu yang sederhana. Ia juga mengamati bajunya sudah berganti dengan baju berwarna putih bersih, siapa yang sudah begitu baik menolongnya?Ayah angkat sudah meninggal, kakak perempuan meninggalkannya, dan paman Wu Qing juga sudah pergi, Mungkinkah paman Wu Qing mengkhawatirkan dirinya lalu kembali menyelamatkannya? Saat mendengar suara orang memasak di luar pondok, Yu Ping seketika bersemangat. Tak salah lagi, orang yang telah menyelamatkannya pasti Wu Qing alias Pendekar Pedang Pendek. Saking senangnya, tanpa memedulikan bahwa tubuhnya masihlah sangat lemah, bocah itu meninggalkan t
“Apakah kau melihat saputangan hanyut di sekitar sungai ini?” tanya gadis itu padanya. Yu Ping tak mampu menjawab, ia takut begitu bibirnya terbuka, jantungnya ikut meloncat keluar karena berdetak terlalu kencang. Si makhluk cantik melambaikan tangan di depan mata Yu Ping, “Kau tidak apa-apa?” Yu Ping ingin menjawab namun lidahnya terasa kelu, hanya bibirnya saja yang mengepak terbuka seperti ikan mencari oksigen di permukaan air. “Oh kau gagu ya?” tatapan gadis itu berubah menjadi iba padanya. Mata Yu Ping membeliak, ia menggoyang-goyangkan kedua tangan. “Kau tidak melihat saputanganku, ya sudah tak apa-apa!” bibir si cantik tersenyum sangat manis. Saat gadis bergaun merah muda itu melambaikan tangan dan berbalik pergi, ia tak pernah menyadari telah membawa sekeping hati Yu Ping bersamanya. Yu Ping masih tak mempercayai bahwa ia bertemu dengan manusia bukannya hantu. Bahkan sesampainya di pondok, ia sibuk menjemur saputangan yang ditemukannya dan memandangi secarik kain terse
“Ingatlah bahwa kau harus menjadi pendekar nomor satu di dunia agar dapat membalaskan dendam kematian ayahmu, raja Qi You!" perintah Xian Lian dengan keras.“Qi Yun tak akan mengecewakan hati Ibu,” bocah laki-laki seumuran Yu Ping itu mengangguk tegas. Sebentar kemudian ia sudah berlatih jurus Pedang Bayangan kembali. Kali ini bocah tampan itu berfokus penuh pada pedang di tangannya. Saat berfokus itulah, gerakannya menjadi lebih cepat dari sebelumnya. Ia berputar ke sana kemari seperti sedang menari di bawah sinar bulan purnama. Kedua kakinya hampir tak menapak tanah saat melesat ke arah dinding batu, berpijak lalu berlari menapak dinding batu tersebut dengan kecepatan tinggi melawan gravitasi bumi. Setelah cukup tinggi, ia menghentakkan kedua kaki, melesat terbang seraya menggerak-gerakkan pedang di tangan sekaligus memutar tubuhnya hingga dari kejauhan tampak seperti bola bercahaya bergulung-gulung di atas tanah.
“Hiih … dia bersisik!” beberapa bergidik melihat punggung Yu Ping. “Siluman!” teriak yang lain. Wajah Yu Ping pucat, ia teringat dengan peristiwa di sungai lima tahun lalu dimana anak-anak sebayanya ketakutan dan memanggil dirinya siluman air. Gara-gara berita siuman air itu menyebar, desanya mengalami bencana besar. Kini murid-murid Hoa San sudah mengetahui tentang sisik di punggungnya juga, akankah Hoa San mengalami nasib yang sama dengan desa kelahirannya dulu? Tiba-tiba saja murid Pertama dan Ketiga membekuknya dari belakang, kedua tangan dikunci di belakang punggung. Kali ini Yu Ping tak melawan, ia membiarkan dirinya digiring ke aula gedung Hoa San. Murid Pertama dan Ketiga memegangi kedua bahunya, memaksanya berlutut. Lagi-lagi pemuda itu tak memberikan perlawanan meski sebenarnya tidak sulit mengalahkan mereka berdua. Tetua Wang muncul bersama dua tetua lain karena mendengar suara
Murid Ketiga memutuskan untuk mendekat dan mengintai dari lubang jendela. Tampak olehnya tetua Wang dan sosok misterius berdiri berhadap-hadapan, lilin dimatikan hingga ruangan menjadi gelap namun murid Ketiga masih dapat melihat siluet keduanya. “Memanggilku kemari ada berita penting apa?” tanya tamu misterius berbaju hitam. “Aku menemukan bocah dengan sisik emas, sepertinya dia bukan anak sembarangan,’ terang tetua Wang. “Bocah bersisik emas? Kalau benar, dia adalah buronan yang selama ini dicari-cari oleh raja Qi!” kata pria misterius di depan tetua Wang. Buronan? Murid Ketiga menutup mulut dengan kedua tangan, khawatir berteriak saking kagetnya. Jadi murid kesayangan ketua Hoa San itu seorang buronan? Hmm, kalau aku laporkan ke penegak hukum di kota maka aku akan mendapatkan uang banyak, tiba-tiba muncul niat jahat di kepala murid Ketiga. Bila Guru Besar mengetahui siapa murid kesayangan yang sebenarnya tentu dia akan m
“Sebuah pukulan tangan kosong ke batang leher dengan tenaga dalam yang sangat kuat tanpa ada bekas pukulan dan memar di kulit, hanya satu orang yang bisa melakukannya. Tidak lain Pendekar Tapak Sakti, Liu Heng dari perguruan Kun Lun!” Tiga tetua saling memandang tak percaya, sementara para murid terlihat bengong tak mengerti. “Tetapi hal itu tidak mungkin,” tetua Wang mendekati jenazah murid Ketiga dengan penasaran. “Apa yang membuat Ketua Wu berpikiran pelakunya Liu Heng?” “Aku tidak yakin pelakunya adalah Liu Heng, tetapi orang yang membunuh murid kita menggunakan jurus yang dimiliki oleh pendekar Tapak Sakti!” Wu Xian mengelus jenggotnya. “Setahuku, Liu Heng sudah berubah menjadi gila karena melakukan kesalahan saat mempelajari jurus tertinggi Tapak Dewa!” kata tetua Wang lagi. “Benar,” Wu Xian mengangguk. “Masalah ini sangat pelik, kita tak bisa sembarangan menuduh karena selama ini perguruan Kun Lun dan Hoa San tidak pernah ada masalah sedangkan Liu Heng adalah mantan tetua
Jantung Yu Ping berdebar kencang. Meski sudah lima tahun berlalu, ia masih saja terpesona melihat sosok yang hanya bisa menghiasi mimpi dan kini berada di sampingnya. Qing Ning. “Kakak Pertama, apakah tidak malu sebagai murid Hoa San merundung anak kecil?” bentak Qing Ning dengan kedua tangan menumpu pada pinggangnya yang ramping. Mata indahnya memelototi kelima pria di depannya dengan ekspresi marah, membuat hati mereka menciut. Bagaimana tidak, Qing Ning adalah cucu dari ketua Hoa San, Wu Xian. Ilmu silatnya pun tak dapat dianggap enteng. Selain sangat cantik, ia juga pandai ilmu pedang. Bukan hanya Yu Ping, hampir semua pemuda di perguruan Hoa San mengagumi kecantikan gadis itu. Matanya besar dan indah berkilauan serta memiliki daya tarik kuat bagi setiap orang yang memandang, namun sinar mata itu juga mengandung ketegasan dan kewibawaan yang sepertinya diturunkan oleh Wu Xian, sang kakek. Anak kecil? mata Yu Ping membulat mendengar dirinya dipanggil dengan sebutan anak ke
Di puncak Gunung Kunlun yang menjulang tinggi, kabut tipis menyelimuti puncak-puncak batu yang tajam. Udara dingin pegunungan menerpa wajah dua sosok yang berdiri tegap di atas jembatan batu kuno. Yu Ping dan kakak angkatnya, Xin Ru, berdiri berdampingan, mata mereka menatap jauh ke dalam jurang yang dalam dan gelap di bawah.Yu Ping, mengenakan pakaian kerajaan dengan garis emas di sepanjang tepi kain sutra yang terjuntai hingga nyaris menyentuh tanah, menggenggam seruling emas di tangan, dan sebuah golok hitam diselipkan di belakang punggung. Di sampingnya, Xin Ru berdiri dengan postur waspada, matanya yang tajam menyapu sekeliling, siap menghadapi apapun yang mungkin terjadi."Kau yakin dia akan muncul?" tanya Xin Ru, suaranya nyaris berbisik.Yu Ping mengangguk pasti, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Aku yakin, karena dia adalah guruku.” Dengan gerakan perlahan, Yu Ping mengangkat seruling ke bibirnya. Ia menarik napas dalam, lalu mulai meniup. Nada-nada lembut mengalir d
Aula kerajaan Qi dipenuhi oleh kemegahan dan kemewahan. Dinding-dinding berukir emas berkilau di bawah cahaya ribuan lilin yang menerangi ruangan. Aroma dupa yang manis mengambang di udara, menciptakan suasana sakral yang teduh.Di tengah aula, Yu Ping berdiri tegap, mengenakan jubah kerajaan berlapis emas. Wajahnya tenang berwibawa, mencerminkan seorang yang berhati lembut namun juga tegas. Kasim Liu, berlutut di hadapannya, menyodorkan mahkota dan jubah emas kerajaan di atas bantal beludru merah.Dengan gerakan perlahan, Yu Ping mengambil mahkota itu dan meletakkannya di atas kepala. Jubah emas kemudian disampirkan di bahunya, melengkapi penampilannya sebagai seorang raja. Seketika itu juga, seluruh ruangan dipenuhi oleh suara gemerisik kain—para Jenderal dan Menteri berlutut, memberikan penghormatan kepada raja baru mereka.Di samping singgasana raja, dua wanita cantik duduk dengan anggun. Di sisi kiri, Sayana, dengan pakaian mewah dan perhiasan yang gemerlap, tersenyum anggun. Mat
Mentari bersinar cerah di atas Kota Xianfeng, cahayanya memantul dari atap-atap bangunan. Udara dipenuhi oleh semangat dan kegembiraan yang menggelora, seiring dengan persiapan pelantikan Yu Ping sebagai raja baru Negeri Qi.Hiruk pikuk keramaian terdengar dari setiap sudut kota, sementara di dalam istana, para pelayan berlarian kesana-kemari, sibuk dengan persiapan acara yang akan berlangsung selama tujuh hari tujuh malam.Di aula utama istana, Kepala Pelayan, seorang pria paruh baya dengan wajah serius namun berwibawa, tampak kewalahan menerima bingkisan hadiah yang terus berdatangan. Utusan dari berbagai negeri jiran dan perwakilan sekte-sekte aliran putih dari seluruh penjuru negeri silih berganti memasuki ruangan, membawa persembahan untuk raja baru mereka."Yang Mulia pasti akan sangat senang melihat sem
Suasana suram menyelimuti pemakaman keluarga kerajaan. Angin semilir membelai dedaunan pohon-pohon tua yang mengelilingi area sakral itu. Di tengah keheningan, sosok Yu Ping berlutut di depan sebuah makam yang masih baru. Tangannya gemetar memegang beberapa batang hio yang telah dinyalakan, asapnya mengepul tipis ke udara. Dengan hati-hati, ia menancapkan hio-hio tersebut ke dalam hiolo -tempat dupa yang terbuat dari logam berukir indah- yang terletak tepat di depan batu nisan ibunya, Xian Lian.Yu Ping menatap lekat nama yang terukir di batu nisan itu. Matanya yang berkaca-kaca menyiratkan kesedihan mendalam. Ia menghela napas berat sebelum berbisik lirih, suaranya nyaris terbawa angin."Ibu," ucap si pemuda dengan nada bergetar, "sekian lama aku mendambakan pertemuan dengan orang tua kandungku. Tapi mengapa, ketika akhirnya kita dipertemukan, waktu begitu kejam membatasi kebersamaan kita?"Jemarinya perlahan menelusuri ukiran nama ibunya di batu nisan. "Qi Yun sungguh beruntung,"
Kedua pendekar muda itu berhadapan di udara, aura mereka yang bertolak belakang - keemasan milik Yu Ping dan kegelapan milik Qi Yun - bertabrakan, menciptakan gelombang energi yang membuat udara bergetar."Qi Yun," balas Yu Ping, suaranya tenang namun penuh ketegasan. "Hentikan semua ini! Terlalu banyak nyawa yang telah melayang."Qi Yun tertawa sinis. "Hentikan? Tidak akan! Hari ini, salah satu dari kita akan mati!"Bersamaan dengan itu Qi Yun mengayunkan goloknya, menciptakan gelombang energi hitam yang melesat ke arah Yu Ping. Yu Ping dengan sigap mengeluarkan seruling saktinya, bersiap menghadapi pertarungan yang akan menentukan nasib kerajaan Qi.Di bawah, pasukan kedua belah pihak menghentikan pertempuran sejenak, mata mereka tertuju ke langit di mana dua sosok pemimpin mereka akan bertarung hingga titik darah penghabisan. Mereka tahu, hasil pertarungan ini akan menentukan tidak hanya nasib mereka, tapi juga masa depan seluruh kerajaan.Langit di atas Xianfeng menjadi arena perta
Di atas benteng kokoh, di kotaraja Xianfeng, Qi Yun berdiri tegak, jubah perang yang berat dan berkilauan menambah kegagahannya. Matanya yang tajam menatap ke kejauhan, menanti kedatangan musuh yang ia tahu pasti akan tiba.Berita kekalahan para Jenderal Perang dan pasukannya telah sampai ke telinganya, dibawa oleh prajurit-prajurit yang berhasil meloloskan diri dari pertempuran.Suasana di atas benteng sunyi senyap, hanya deru napas para pasukan yang merasa tegang memecah keheningan. Mereka telah mendengar desas-desus tentang kesaktian Yu Ping, dan ketakutan mulai merayapi hati mereka. Namun, di bawah tatapan dingin Qi Yun, tak seorang pun berani menunjukkan keraguan."Pasukan siap, Pangeran!" lapor seorang perwira. "Pemanah, infanteri, dan pelontar batu telah mengambil posisi."Qi Yun mengangguk singkat, matanya tak lepas memandang langit. Tak lama kemudian, apa yang ditunggunya muncul. Dari kejauhan, terlihat pasukan Yu Ping yang mulai mendekat. Mereka berhenti agak jauh dari bent
Asap pertempuran mengepul di berbagai sudut kota, menandai jejak perjuangan pasukan Yu Ping dalam perjalanan mereka menuju Xianfeng. Satu demi satu, pertempuran dimenangkan oleh Yu Ping dan pasukannya. Namun, kemenangan demi kemenangan ini tidak membuat Yu Ping lengah. Sebaliknya, instingnya sebagai strategi perang mulai menangkap pola yang mencurigakan.Yu Ping berdiri di atas bukit kecil, memandang ke arah kota yang masih diselimuti asap pertempuran. Matanya yang tajam menyipit, menganalisis situasi dengan cermat. Perlahan, sebuah kesimpulan terbentuk di benaknya."Dia ingin pasukan kita kelelahan saat tiba di Xianfeng," gumam Yu Ping, lebih kepada dirinya sendiri. Nada suaranya lebih kepada kekaguman namun juga mengandung kejengkelan. "Dasar licik!"Panglima Sung yang berdiri di sampingnya, menangkap gumaman itu. Dengan wajah serius, ia bertanya, "Apa yang harus kita lakukan, Jenderal Yu Ping?" Suaranya penuh hormat dan kesiapan. "Kami siap melakukan apapun perintahmu!"Yu Ping ter
Pemandangan itu menyadarkan Qi Xiang akan kenyataan yang mengerikan: ia benar-benar berhadapan dengan Raja Iblis. Ketakutan yang luar biasa mencengkeram hatinya, membuatnya gemetar hebat."B-baik," ujar Qi Xiang terbata-bata, keringat dingin membasahi dahinya. "Akan kulakukan apapun yang kau mau asal bunuh Yu Ping dan antek-anteknya untukku."Sebuah senyum tipis tersungging di bibir Qi Yun. "Bagus," ujarnya, suaranya dingin dan tanpa emosi. "Sekarang lakukan sesuatu untukku! Bebaskan ibuku dari penjara, obati luka-lukanya dan biarkan ia menempati kamar ratu.""A-apa?" Qi Xiang terkejut, tidak menyangka permintaan semacam ini akan datang dari Qi Yun."Kau merampas itu darinya," desis Qi Yun, matanya berkilat-kilat penuh ancaman. "Aku akan mengembalikan martabatnya seperti semula!"Qi Xiang, yang kini tak lebih dari boneka di tangan Qi Yun, tak berkutik. Ia hanya bisa mengangguk pasrah, menyadari bahwa hidupnya kini bergantung pada keinginan pemuda di hadapannya ini."Baik ... baik …,"
Di dalam penjara bawah tanah istana yang lembab dan dingin, suara rintihan tertahan memecah keheningan. Seorang wanita, dengan rambut kusut dan pakaian compang-camping, terikat dengan kedua tangan terentang di atas sebuah papan kayu yang kasar. Wajahnya yang cantik kini penuh dengan luka dan lebam, hasil dari penyiksaan brutal yang baru saja ia alami.Ma Yin, dengan senyum puas tersungging di bibirnya, berdiri di hadapan wanita itu. Cambuk di tangannya masih basah oleh darah."Yang Mulia Ratu," ujarnya dengan nada mengejek, "ternyata Anda sungguh tangguh ... sudah dicambuk dan dihajar berulang kali tetapi masih berdiri tegak!"Xian Lian, mantan Ratu yang kini diperlakukan bagai penjahat kelas berat, hanya diam. Kepalanya tertunduk, seolah tak lagi memiliki kekuatan untuk mengangkatnya.Ma Yin melangkah mendekat, suara sepatunya bergema di dinding-dinding sel. "Seandainya Anda mau bekerja sama, tentu hal ini tak akan sampai terjadi."Tangan kanan Raja itu kini berada tepat di depan Xia