Kereta besi berwarna biru langit berhenti di sebuah rumah berlantai dua. Salah satu rumah di komplek perumahan cluster di daerah Jakarta Barat. Embun turun dari kursi penumpang, disusul supir taksi membantu menurunkan barang bawaan. Setelah bayar ongkos dan mengucapkan terima kasih, Embun menyeret koper memasuki halaman rumah. Rumah ini adalah hadiah pernikahan dari orang tua Adzriel. Betapa bersyukurnya gadis itu saat mendengarnya di acara lamaran waktu lalu.
Menggunakan kunci cadangan, Embun membuka pintu depan. Ia melangkah masuk sambil menatap kagum desain rumah yang minimalis dan elegan. Siapa sangka gaya rumah ini sesuai seleranya yang menyukai tipe LDk. Walau bedanya ada beberapa sekat di antara dua area. Tetapi itu tidak mengurangi rasa senangnya dan malah semakin menyukai rumah barunya.
Embun berjalan menuju kamar utama, letaknya ada di samping ruang tengah. Wanita itu membuka pintu, masuk dan segera membuka koper. Ia harus secepatnya selesai beres-beres, merapikan semua pakaiannya. Embun bergerak gesit, mulai sibuk memasukan baju di lemari. Ia juga membuka kardus berisikan pakaian Adzriel yang memang sudah dikirimkan ke sana jauh-jauh hari. Setelah selesai, Embun lanjut bersih-bersih rumah. Mulai dari menyapu, mengepel, memastikan tidak ada debu setitikpun.
Tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul empat sore. Embun sudah selesai bersih-bersih dan rumah juga tercium aroma citrus yang menyegarkan. Dilanjutkan dengan membersihkan diri, wanita itu berencana pergi ke supermarket terdekat untuk belanja kebutuhan dapur.
Embun mendorong kereta dorong di area sayur-sayuran. Ia membeli kebutuhan sayur menggunakan kartu yang ditinggalkan Adzriel di atas nakas kamar hotel. Sebuah note berwarna kuning dengan tulisan tangan suaminya. Pria itu memberitahu bahwa Embun bisa menggunakan kartu debit itu sesuka hati. Karena itu ia memakainya untuk belanja bulanan, mengisi kulkas di rumah. Supaya nanti ketika Adzriel pulang, lelaki itu akan memuji dirinya karena melihat rumah sudah bersih, dan makanan sudah siap di meja.
Selama berbelanja, sesekali Embun mengecek ponsel. Siapa tahu, ada pesan masuk dari Adzriel. Walau nyatanya meski sudah sampai di rumah dan selesai membuat makan malam, tidak kunjung ada balasan. Embun menaruh piring di meja makan, semua sudah siap disajikan. Wanita itu duduk dan mengeluarkan ponsel, berpikir sejenak sebelum memberanikan diri kembali mengirim pesan.
Ka Riel, kapan pulang? Embun sudah siapkan makanan kesukaan Kak Riel, Loh! —terkirim.
Satu jam berlalu menjadi dua jam. Masih tidak ada balasan maupun status terbaca. Sekali lagi Embun mengirim pesan.
Kak Riel sudah makan? Kalau belum, nanti kita makan sama-sama yah. Embun juga belum makan supaya bisa makan bareng Kak Riel, —terkirim.
Sekali lagi dua jam berlalu hingga jam di dinding menunjukan pukul sebelas malam. Sudah empat jam lebih Embun menunggu. Perutnya sudah berbunyi sejak tiga jam lalu, tetapi ia abaikan dan menahannya. Tepat pukul setengah dua belas, satu notif muncul di layar ponsel. Embun membuka ponsel dengan hati berdebar, gugup dan tegang. Saat nama Adzriel tertera di layar, senyuman manis merekah begitu saja.
Saya tidak pulang sampai tiga hari kedepan, —terbaca.
Embun sontak bersandar di punggung kursi, menghela napas kecewa. Ia menaruh ponsel sambil memasang wajah cemberut. Meski perutnya sudah lapar sejak tadi, napsu makannya hilang bersama pesan masuk dari Adzriel. Tapi jika tidak dimakan, mubazir juga. Alhasil ia beranjak mengambil piring dan nasi, kemudian makan seorang diri. Masakan yang dibuat sambil membayangkan senyum Adzriel begitu menyantap seharusnya lezat. Sayangnya ia harus susah payah menelan tiap sendok nasi di mulutnya.
Tiga hari berlalu dengan cepat sekaligus terasa lama. Akhirnya suara mobil masuk garasi rumah terdengar. Embun berlari dari arah dapur menuju teras, siap menyambut kedatangan suami. Kereta besi keluaran Jepang, Honda BRV putih terparkir rapi. Sedetik kemudian, Adzriel keluar dari mobil dengan wajah kusut dan kantung mata tebal. Sepertinya ia beberapa hari ini tidak tidur, lembur mungkin.
Embun yang khawatir dengan kondisi suaminya segera menghampiri. “Kak Adzriel mau langsung tidur, atau makan dulu? Embun bawain tas dan bajunya, yah.” katanya sambil mengulurkan tangan dan mengambil tas serta seragam di bahu Adzriel.
“Saya mau istirahat,” jawab Adzriel tanpa melihat wajah Embun. Ia berjalan memasuki rumah dan langsung pergi ke kamar utama dan menutup pintu.
Debaran jantung Embun kian bertalu, ia senang dapat melihat Adzriel. Setelah beberapa hari tidak bertemu, akhirnya ia bisa melakukan tugasnya sebagai istri. Embun segera menaruh pakaian kotor suaminya ke mesin cuci. Kemudian ia menyiapkan Air Humidifier Aroma terapi untuk diletakan di kamar. Berharap aroma terapinya mampu memberikan rasa rileks dan menghilangkan letih sang suami. Embun membuka pintu pelan-pelan, tidak ingin membangunkan Adzriel.
Sebelum ia menutup pintu, Embun kembali melihat sekali lagi wajah suaminya. Sedikit tidak tega melihat gurat lelah dan letih di wajah Adzriel. Mungkin menyajikan makan malam kesukaan Adzriel dan teh jahe akan membantu meningkatkan mood suaminya. Embun tersenyum tipis, segera menutup pintu kamar dan menuju dapur untuk masak.
.
.
.
Continue…
Mentari sudah tumbang digantikan rembulan saat pintu kamar utama dibuka. Adzriel keluar dari kamar terlihat lebih segar, rambutnya agak basah tanda habis keramas. Ia memakai kaos polos dan celana training hitam. Embun yang berada di ruang keluarga sedang menonton, sontak berdiri. Ia menghampiri suaminya, senyuman manis terpatri di wajah.“Kak Riel pasti lapar, Embun sudah siapkan makan malam kesukaan kamu.”Mata sehitam jelaga menatap tajam, lalu melengos, “saya makan di luar.” katanya mengejutkan Embun. “Tapi aku sudah masak loh, Kak. Sayang makanannya, nanti nangis lagi.” Embun berusaha membujuk, meski rayuannya lebih mirip kata-kata seorang ibu kepada anaknya. “Kata ibu, Kak Riel suka minum teh jahe selepas makan malam. Embun sudah siapkan seteko juga untuk temani Kak Riel bersantai di teras rumah.” selain suaranya yang lembut dan santun, Embun juga coba membujuknya dengan memegang lengan Adzriel. Tapi baru sedetik ia menyentuh lengan, Adzriel segera menepis tangan Embun. Raut wa
Tepat pukul lima pagi, layar ponsel Embun berkedip beberapa kali. Alarm berbunyi nyaring. Membangunkan wanita berumur 21 tahun dari tidur nyenyaknya. ia segera beranjak duduk, butuh waktu sekitar lima menit sampai nyawanya terkumpul. Sejenak kemudian Embun menyibak selimut tebal dan beranjak dari petiduran. Ia membuka pintu kamar di samping kamar utama. Sesuai perintah dari suaminya beberapa hari lalu, mereka pisah ranjang. Meski begitu Embun menolak untuk tidak mengurus Adzriel.Sudah menjadi salah satu mimpinya, dapat melayani dan menyiapkan segala keperluan sang suami. Karena itulah Embun sudah memakai celemek dan menyiapkan bumbu dapur pagi-pagi. Ia berniat membuatkan makan pagi dan bekal untuk Adzriel. Meski kemampuan masaknya tidak sehebat istri-istri diluar sana. Setidaknya wanita itu percaya, dia tidak akan kalah jika menyangkut berapa besar cintanya untuk pak suami.Embun bergerak gesit, mengupas bawang putih dan merah. Memotong tomat, kentang kemudian mengiris daun bawang. I
Layar ponsel kembali gelap usai sambungan telepon terputus, setelah satu jam terhubung. Embun menarik napas panjang, tersenyum tipis. Semangatnya naik setelah berbincang lama dengan mama mertua. Ucapan adalah doa, meskipun dalam bentuk kebohongan putih yang Embun katakan pada Giselle. Pernikahan yang dilandasi perjodohan bisa dianggap sebagai ujian pertama berumah tangga. Ada baiknya Embun mengubah mindset-nya. Menganggap misi membuka hati suaminya adalah rintangan pertama yang harus ia selesaikan. Demi hadiah cinta dan kesetiaan yang akan dia dapatkan nantinya. Belum sempat Embun menaruh ponsel di atas meja, layar kembali berkedip, tanda pesan masuk. Matanya mengerjap beberapa kali, terkejut melihat nama kontak si pengirim. Jari telunjuk bergerak cepat, mengetuk layar dan membaca pesan singkat. Hai pengantin baru. Cuma mau tanya saja, kapan siap terima projek lagi? Tidak usah freelance di tempatku, langsung jadi karyawan tetap saja, mau ya? —terbaca. Segaris senyum tipis merekah
Adzriel turun dari mobil dengan badan sempoyongan. Seragam kerja yang membalut tubuh atletisnya nampak kusut, semua kancing dilepas. Baju dalaman berwarna putih terlihat buram akibat basah oleh keringat. Wajah yang selalu datar dan dingin itu kali ini terlihat payah. Wajahnya merah padam, bibir pucat dan butir-butir sebesar biji jagung mengalir turun dari pelipis. Baru selangkah ia melangkah, tubuhnya ambruk ke lantai. Embun kaget bukan main melihat kondisi suaminya.“Kak Riel, bangun ka! Kamu kenapa, kak?” susah payah Embun membalik tubuh besar sang suami. Ia segera mengecek suhu tubuh dengan menyentuh kening. Panas. Suaminya ternyata sakit dan demamnya cukup tinggi. Embun berusaha membawa Adzriel masuk ke dalam rumah. Ia mati-matian membopong suami yang kesadarannya kian menipis.Tiga jam lamanya Adzriel tertidur sejak pulang kerja. Embun dengan telaten menggantikan baju suaminya dengan pakaian lebih nyaman. ia menyiapkan obat-obatan di atas nakas, juga kompresan penurun panas. Embu
Domisili kantor tempat Adzriel bekerja ada di Kecamatan Kebayoran Baru, Kota Jakarta Selatan. Mereka memiliki Jadwal Pelayanan dari hari senin - jumat. Adzriel merupakan salah satu personel muda sekaligus pengantin baru di bagiannya. karena itu ia kerap kali menjadi bahan ledekan rekan-rekan kerjanya, terlebih para senior. Adzriel adalah seorang pemuda tegas, pendiam dan pekerja keras. Teman-temannya bahkan kerap kali menjulukinya workaholic. Seperti sekarang ini, pundaknya harus ditepuk agar menariknya dari tumpukan pekerjaan. “Hei, kerja terus. Sudah jam makan siang ini,” Dipta, teman kerja yang duduk di sebelahnya memanggil. Adzriel sontak melihat ke arah jam dinding. Pukul 12.00 siang. Ia lantas melepas kacamata baca dan menaruhnya di saku seragam. Mereka biasa pergi makan di luar bersama. Beberapa teman yang lain sudah menghampiri meja Adzriel dan Dipta, menunggu. “Hari ini mau makan di mana?” seorang wanita muda bertanya. Dipta terlihat berpikir sejenak lalu menjawab, “baks
“Kira-kira kalau Embun kerja, Kak Riel keberatan tidak?”Denting sendok sontak berhenti saat pemiliknya menatap Embun. Wanita muda itu menelan ludah gugup, buru-buru menambahkan. “Uang bulanan dan uang jajan dari Kak Riel cukup. Embun ingin bekerja bukan karena merasa kurang, tetapi ingin lebih produktif. Rumah besar ini hanya kita berdua yang menempati, jadi jarang kotor. Embun banyak waktu senggangnya dan kebetulan belum ada pengalaman bekerja juga. Tahu sendiri, baru lulus langsung nikah sama Kak Riel.”“Mumpung masih muda, Embun ingin cari pengalaman. Kak Riel juga tidak perlu khawatir kalau Embun jadi lalai dengan kewajiban Embun sebagai seorang istri. Embun janji rumah bersih setiap Kak Riel pulang dan meja makan serta bekal selalu siap sedia. Bagaimana, Kak?” Embun bertanya harap-harap cemas.Lengang sejenak, Adzriel nampak berpikir. “Kamu mau kerja dimana?” tanya kemudian. Merasa mendapatkan lampu hijau, Embun menceritakan perihal tawaran kerja dari Elio. Matanya terlihat ber
Seharian ini Adzriel tidak bisa fokus bekerja, sibuk memikirkan istrinya. Berhitung mengenai langkah mana yang harus ia ambil. Sejak awal Adzriel memberi batasan pada dirinya, untuk tidak mempedulikan Embun, tidak menunjukan perasaannya yang sebenarnya. Berharap kelak wanita itu menyerah, meminta cerai dan kembali mengejar cintanya yang kandas akibat keegoisan orang tua mereka. Namun mengapa kabar mengenai kembalinya Fidelio dan tawaran pekerjaan untuk Embun malah membuat hati Adzriel gundah. Seakan ia tidak terima jika mereka kembali berhubungan. Adzriel termenung beberapa saat, kemudian membalik-balik berkas ditangan lalu kembali terdiam. Melamun. Terus seperti itu sepanjang hari hingga waktunya makan siang. Dipta menepuk pundak, menyadarkan Adzriel dari lamunan. Teman semeja menatapnya khawatir, “eh … kenapa wajahmu? Pucat gitu, sakit?” “Hanya sakit kepala sedikit,” jawab Adzriel seraya mengeluarkan tas biru dengan stiker pinguin dari balik tas ranselnya. “Saya makan di kantor
Makan pagi hari ini sedikit terburu-buru, karena tumben sekali Adzriel bangun kesiangan. Pemuda itu sepertinya kelelahan hingga meski jam sudah menunjukan pukul tujuh kurang sepuluh. Ia belum juga keluar dari kamar utama, membuat Embun beberapa kali menoleh ke arah kamar dengan tatapan cemas. Setelah pukul tujuh tepat belum juga ada tanda-tanda Adzriel keluar, maka Embun mengetuk pintu. Satu kali tidak ada sahutan, dua hingga tiga kali pintu tetap bergeming. Embun akhirnya meraih gagang pintu, terkejut karena ternyata tidak dikunci. Wanita muda berusia dua puluh satu tahun itu masuk ke dalam pelan-pelan. Di atas petiduran dengan selimut abu-abu, terbaring Adzriel yang masih pulas tertidur.“Kak Riel, bangun… Kak, ini sudah jam tujuh pagi!” Embun duduk di tepi, menggoyangkan pundak suami, membangunkannya. “Kak Riel, sakit? Atau memang ambil cuti hari ini?” tanyanya kemudian usai menaruh punggung tangan di kening, memeriksa suhu tubuh Adzriel yang ternyata normal. Beberapa saat kemudi