Seharian ini Adzriel tidak bisa fokus bekerja, sibuk memikirkan istrinya. Berhitung mengenai langkah mana yang harus ia ambil. Sejak awal Adzriel memberi batasan pada dirinya, untuk tidak mempedulikan Embun, tidak menunjukan perasaannya yang sebenarnya. Berharap kelak wanita itu menyerah, meminta cerai dan kembali mengejar cintanya yang kandas akibat keegoisan orang tua mereka. Namun mengapa kabar mengenai kembalinya Fidelio dan tawaran pekerjaan untuk Embun malah membuat hati Adzriel gundah. Seakan ia tidak terima jika mereka kembali berhubungan. Adzriel termenung beberapa saat, kemudian membalik-balik berkas ditangan lalu kembali terdiam. Melamun. Terus seperti itu sepanjang hari hingga waktunya makan siang. Dipta menepuk pundak, menyadarkan Adzriel dari lamunan. Teman semeja menatapnya khawatir, “eh … kenapa wajahmu? Pucat gitu, sakit?” “Hanya sakit kepala sedikit,” jawab Adzriel seraya mengeluarkan tas biru dengan stiker pinguin dari balik tas ranselnya. “Saya makan di kantor
Makan pagi hari ini sedikit terburu-buru, karena tumben sekali Adzriel bangun kesiangan. Pemuda itu sepertinya kelelahan hingga meski jam sudah menunjukan pukul tujuh kurang sepuluh. Ia belum juga keluar dari kamar utama, membuat Embun beberapa kali menoleh ke arah kamar dengan tatapan cemas. Setelah pukul tujuh tepat belum juga ada tanda-tanda Adzriel keluar, maka Embun mengetuk pintu. Satu kali tidak ada sahutan, dua hingga tiga kali pintu tetap bergeming. Embun akhirnya meraih gagang pintu, terkejut karena ternyata tidak dikunci. Wanita muda berusia dua puluh satu tahun itu masuk ke dalam pelan-pelan. Di atas petiduran dengan selimut abu-abu, terbaring Adzriel yang masih pulas tertidur.“Kak Riel, bangun… Kak, ini sudah jam tujuh pagi!” Embun duduk di tepi, menggoyangkan pundak suami, membangunkannya. “Kak Riel, sakit? Atau memang ambil cuti hari ini?” tanyanya kemudian usai menaruh punggung tangan di kening, memeriksa suhu tubuh Adzriel yang ternyata normal. Beberapa saat kemudi
Pertemuan pertama setelah kelulusan Elio berlangsung menyenangkan. Mereka berdua saling bertukar kabar, menceritakan kegiatan masing-masing dan sedikit ghibah selama tidak bertemu. Embun melahap kentang goreng sambil berkata, “Agatha baru saja dapat pekerjaan baru di daerah Serpong, cukup jauh. Tapi melihat dia cerita penuh semangat mengenai anak-anak yang sekolah di sana. Aku rasa dia sudah menemukan tempat kerja yang cocok.” “Turut senang mendengarnya. Kita semua tahu bagaimana Agatha menyukai anak-anak dan menggerakan badannya daripada berdiam diri.” Elio mengangguk-angguk, mencomot satu kentang dari piring di depan Embun. “Bagaimana kabar Merry? Dia masih berjuang mengejar cita-citanya sebagai fotografer?” sambungnya kemudian begitu mengingat salah satu sahabat Embun yang memiliki hobi serupa dengannya. Embun mengangguk-angguk, “masih dan dia kini menjadi seorang freelance fotografer di salah satu perusahaan terkenal. Aku lupa namanya,” jawabnya lalu menyeruput minuman favoritn
Kalau dipikirkan kembali, sepertinya baru kali ini Adzriel melihat tawa lepas istrinya. Wanita muda itu selalu memasang senyum manis, terkesan kalem walau kadang bisa cerewet juga. Manik sehitam jelaga masih memperhatikan dari jauh, sengaja mematikan lampu mobil. Ia melihat bagaimana Elio menunggu Embun masuk ke dalam rumah sebelum pergi. Adzriel menghela napas perlahan, emosinya masih diatas permukaan. Sepuluh menit kemudian barulah mobil putih itu memasuki garasi rumah. Pintu mobil dibuka dan aroma masakan tercium samar-samar. Padahal wanita itu baru pulang sepuluh menit yang lalu, tetapi ia sudah sigap menyiapkan makan malam. Membuat hati Adzriel agaknya melunak sedikit. Ia melangkah masuk, tidak disambut oleh istrinya kali ini seperti sebelumnya. Mendengar suara pintu depan dibuka, Embun segera berlari kecil dari arah dapur. Ia masih mengenakan pakaian yang sama saat pergi menemui Elio lalu dilapisi celemek warna kuning lemon. Wanita itu mengikat rambutnya asal, sedikit berantak
Sane adalah seorang pencuri menyusahkan sejak sepak terjangnya dua tahun lalu. Muncul tiba-tiba bersama secarik kertas peringatan di salah satu toko perhiasan di Cempaka Mas, Jakarta Pusat. Semula tidak ada yang meladeni, menganggap hanya keusilan semata. Lagi pula maling mana yang memberitahu kapan dia beraksi? Sampai tiba-tiba perhiasan emas kuning 24 karat di leher patung yang berada di tengah-tengah toko menghilang. Seluruh staff panik, menyalakan alarm darurat, mengunci semua pintu masuk dan keluar. Kericuhan terjadi beberapa saat sebelum pelanggan diberi arahan untuk tenang dan mau membiarkan petugas keamanan memeriksa satu persatu barang bawaan. Nyatanya meski sudah dicari, perhiasan itu tetap tidak ditemukan, seakan lenyap. Pemeriksaan cctv juga tidak membawa hasil. Ada banyak pengunjung waktu itu, sebagian melihat-lihat, sebagian membeli. Begitu pula mereka yang mengelilingi patung tempat perhiasan kalung emas 24 karat dipajang. Tidak ada tanda-tanda atau gerakan aneh sa
Tepat dua minggu sejak pertemuan Embun dengan Elio. Sebuah pesan masuk berkedip di layar ponsel. Embun mengambil benda tipis yang tergeletak di atas meja ruang tengah. Menggeser layar lalu membaca pesan masuk dari Elio. Bun, semua persiapan sudah selesai. Kamu bisa mulai kerja lusa, tidak keberatan, kan? —terbaca.Senyuman lebar menghias wajah wanita berusia dua puluh satu tahun itu. Akhirnya setelah lama menanti, kabar baik dari Elio dia terima. Segera ibu jari mengetik pesan balasan. Tidak mungkin aku keberatan. Harusnya aku berterima kasih padamu atas kesempatan yang Kak Elio berikan! —terkirim.Sore ini menjadi menyenangkan usai mendapat kabar dari Elio. Wanita muda itu bahkan sudah menari-nari kecil, hatinya riang penuh semangat. Ini akan jadi kali pertama ia bekerja, mencari pengalaman setelah lulus kuliah. Tidak ingin menyia-nyiakan kegembiraan hanya dengan bergerak tak tentu. Embun segera masuk ke dalam kamar, berganti baju dan mengambil dompetnya. Ia akan pergi belanja, mem
Acara makan malam hari ini cukup mengejutkan Adzriel. Istrinya memang bilang kalau dia memasak makanan seafood, kesukaannya. Tapi tidak ia sangka akan sebanyak ini. Mata hitamnya mencuri pandang ke arah Embun. Wanita muda itu tengah menyendok nasi putih panas ke piring untuk Adzriel. Setelah dilihat lagi, mata Embun sedikit merah seperti habis menangis. Tapi mengapa?“Kamu masak banyak sekali, ada kabar baik apa?” tanya Adzriel setelah berpikir keras. Mencocokan petunjuk dari banyaknya makanan di meja dengan Embun yang habis menangis. Tangan yang hendak menaruh piring di depan Adzriel sempat berhenti di udara. “Kak Riel peka banget, deh!” sebelum kembali menaruh piring dengan denting pelan. Embun nyengir lebar, mencoba memasang raut wajah antusias dan bahagia. “Aku baru dapat kabar dari Kak Elio, lusa Embun sudah masuk kerja!”“Oh,” Adzriel merespon pendek. Baginya itu kabar buruk. Lengang sejenak. Adzriel menyendok lauk dan makan tanpa bicara. Sementara kali ini giliran Embun yang
Lokasi agensi Elio terletak di daerah Jakarta Selatan. Tepatnya di Kecamatan Kebayoran Baru. Hari pertama kerja, Embun datang lebih cepat 30 menit. Ia berdiri di depan bangunan minimalis berdinding putih, berpagar hitam. Di sisi kanan dan kiri terdapat tembok pemisah berwarna abu-abu tua. Bagian atas tembok dihiasi tumbuhan merambat hingga memberi kesan segar. Bagian tengahnya terdapat plat kecil berwarna hitam mengkilat bertuliskan angka 12A. Usai memastikan dia tidak salah alamat, Embun melangkah menuju pos satpam kecil. Seorang pria paruh baya bertubuh tegap menyapa ramah. “Selamat pagi, Pak,” sapa Embun dengan senyum sopan. “Selamat pagi juga. Ada keperluan apa dan mau bertemu siapa?” satpam bertanya ramah.Embun hendak memberitahu bahwa ia ingin bertemu dengan Elio sebagai pegawai baru. Namun seseorang lebih dulu menyela. Suara tidak terlalu berat maupun terlalu tinggi. Pemuda yang menjadi alasan mengapa Embun berdiri di sini saat ini. “Kenalin Pak Mamat, karyawan baru. Namany
Setiap melihat kalender, semakin Adzriel gugup. Sampai saat ini dia belum juga mendekati Embun. Melihatnya saat di kantin dan di taman selalu lebih dari cukup baginya. Sungguh, pemuda itu baru sadar betapa pengecutnya dia. “Tidak bisa! Aku harus dapat nomornya sebelum wisuda.” Adzriel memantapkan diri saat duduk sendiri di taman. Percobaan pertama dia lakukan di kantin. Meski banyaknya orang disana sedikit membuat ragu. Adzriel mencoba menguatkan diri. Sudah sepuluh menit sebelum bel istirahat dia menunggu. Ketika melihat kantin mulai ramai, mata sehitam jelaga menyisir sekitar. “Embun, mau makan siang apa?”Adzriel sontak mencari suara yang menyapa Embun. Ia menemukannya tidak jauh darinya. Sekitar tiga meja. Adzriel sontak berdiri, membuat kaget beberapa orang di sekitarnya. Ia menunduk pelan, meminta maaf.“Hei, kita bertemu lagi.” Adzriel bergumam pelan, mengulang kata seperti mantra.Langkah semakin dekat, degup jantung kian menderu. Adzriel merasa keringat dingin turun di pel
Ini sudah yang kedua kalinya, mata sehitam jelaga mengunci sosok seorang gadis.Embun Kinanti, nama penolongnya.Entah ini disebut beruntung atau apes. Adzriel baru mengetahui keberadaan Embun sangat terlambat. Tidak lama lagi dia akan wisuda. Belum lagi perbedaan tingkatan mereka. Tidak banyak waktu untuk mendekatinya. “Ini yang kamu minta, Riel.”Seorang pemuda bertindak mencurigakan. Memakai pakaian tertutup sambil celingak-celinguk. Sudah mirip pengedar narkoba. Bedanya barang yang sedang dia selundupkan berupa secarik kertas kecil. Adzriel menerimanya dengan kening berkerut. Agak heran dengan tingkah ajaib temannya. Padahal dia hanya meminta tolong sesuatu. Tapi tingkahnya sudah seperti informan paling berbahaya dan dicari.“Lepaskan topimu!” kata Adzriel jengkel. Ia menyambar topi yang menutupi kepala temannya. Pria bermata sipit itu kaget, sontak mengambil kembali topinya. “Eh! Jangan! Nanti ketahuan lagi kalau aku yang bocorin jadwal adik tingkat. Mau ditaruh dimana wajah
“Selamat datang di Toko Florist, jenis buket seperti apa yang diinginkan, Kak?”Mata sehitam jelaga melirik sekeliling. Aroma lembut dan wangi bunga memenuhi indra penciumannya. Adzriel mengerutkan kening, tidak tahu harus memilih apa.“Bisa rekomendasikan buket untuk permintaan maaf? Padukan dengan warna ungu dan putih.” Ucap Adzriel setelah terdiam.“Baik, mohon ditunggu Kak.”Adzriel mengangguk singkat, lantas duduk di kursi tunggu yang sudah disediakan. Semburat merah terlihat samar di telinga akibat menahan malu.Ia agak malu pada dirinya sendiri. Berbekal pengetahuan selama mengamati Embun setahun pernikahan. Hanya informasi kecil inilah yang dia ketahui.Tiga puluh menit kemudian.“Terima kasih telah menunggu. Ini buket pesanannya, Kak.”Sebuah buket berukuran sedang dengan paduan ungu dan putih sesuai permintaan siap dibawa. Adzriel menatap sejenak, ia tidak tahu banyak soal bunga.Seharusnya ini indah, bukan? Batinnya meragu. “Terima kasih, simpan saja kembaliannya.” Usai me
Keadaan Universitas saat malam hari cukup sepi. Mengingat jam memang sudah menunjukan pukul dua belas malam. Lampu-lampu taman sebagian dibiarkan padam. Begitu pula dengan pencahayaan di lorong kampus. Penjaga kampus hari ini ada dua orang yang berjaga. Satu duduk memantau CCTV di ruang kendali. Satu lagi melakukan patroli setiap beberapa jam. Memutari tiap sudut bangunan luas berlantai tiga. Satpam di ruang kendali mengawasi tiap layar komputer ditemani secangkir kopi hitam. Setiap beberapa menit sekali, layar akan berkedip. Memperlihatkan kondisi sekitar kampus secara bergantian. Sementara itu koleganya sudah sejak tadi berpatroli di lantai dua bagian barat.Pada kamera pengawas bernomor tiga yang menunjukan area taman kampus bagian belakang. Terdapat pergerakan cepat tepat ketika layar berkedip cepat. Sehingga luput dari mata pengawas penjaga malam itu. Embun menyelinap masuk ke dalam kampus. Melompati pagar setinggi satu meter dengan mudah. Saat ini ia memakai pakaian serba hit
Embun dan Merry sibuk mengatur strategi demi menjebak pelaku perundungan bersama teman-temannya. Matahari sudah tumbang ke sisi barat ketika selesai dan mereka keluar dari cafe.Sebelum mereka menjalankan rencana. Selama beberapa hari ini Embun sibuk berkeliling kampus. Berpura-pura mengerjakan tugas, membawa laptopnya ke setiap sudut kampus. Terkadang hanya duduk, menikmati makan siang sementara matanya mengawasi. Mencari titik-titik CCTV terpasang dan di mana yang tidak. Embun datang ke rumah Merry. Mengeluarkan sebuah kertas berisi denah kampus. Saking detailnya sudah seperti cetak biru asli milik kampus. Ini tentunya mengundang rasa penasaran Merry. “Kamu tidak perlu tahu, Mer. Fokus saja pada rencana kita,” itulah jawaban Embun ketika ditanya. Embun menunjuk salah satu titik, letaknya berada di belakang kampus. Tempatnya tidak ramai, Embun sudah memastikannya. Di sanalah mereka akan memasang perangkap. ***“Kau siap, Mer?” suara Embun terdengar pada earphone yang Merry kenaka
Saat itu Embun baru saja menjadi mahasiswa baru di Universitas yang ada di Jakarta. Tidak jauh dari rumah, sehingga cukup pulang pergi dengan transportasi umum. Tidak perlu nge-kost ataupun cari kontrakan tiga petak. Dengan begitu ia bisa sedikit menurunkan kekhawatiran orang tuanya.Selain itu, Embun sudah berjanji pada sang ibu.“Tidak ada party, tidak ada trik sulap, dan tidak ada segala jenis, macam, bentuk aksi hobimu itu.”Embun sontak buka mulut, hendak protes tidak terima. Sayangnya kalah cepat dari Linda. Wanita paruh baya itu segera menambahkan lagi, setengah mengancam. “Kalau kamu masih bandel juga, biar Mama buang semua peralatan hobimu itu!”“Eh, jangan atuh, Mah! Bun belinya penuh perjuangan itu, mana harus nabung setengah tahun…”Mama melengos tidak peduli, sambil bersedekap dada. Matanya mendelik tajam, “janji dulu!” katanya menuntut. “Iya Bun janji. Embun janji tidak banyak tingkah selama kuliah. Embun hiatus dari segala jenis kegiatan hobi dan fokus belajar. Sudah,
“Oh, terus kenapa istrimu masih tidak percaya? Mungkin dia sengaja bikin ribut demi merusak hubungan pernikahan kalian.”Adzriel mengepalkan tangan, agak terguncang. Salah satu kecemasannya selama ini adalah ketika Embun mulai bergerak. Mencari cara demi mengakhiri pernikahan yang dilandasi perjodohan.Dari awal pernikahan ini, Adzriel telah bertekad. Tidak akan menyiram bunga di hati, supaya tidak terus tumbuh. Meski begitu, rasa cintanya ini serupa tanaman kaktus. Tidak butuh air setiap waktu atau setiap hari. Kena cipratan tidak sengaja saja sudah cukup.Meski ia rela melepaskan Embun, saat ini Adzriel menginginkan wanita itu berada disisinya. Kemarahan sang istri pada Zenata merupakan bentuk rasa cemburu. Perasaan tidak asing yang dia rasakan saat melihat Embun bersama Fidelio.Perasaan ini karena Embun penting baginya. Jadi, bolehkah Adzriel berpikir kemarahan sang istri karena ada dia di sudut hati Embun?“Terima kasih, Zenata.” Adzriel sontak berdiri dari duduknya, mengejutkan
Suasana di kantor sejak beberapa hari ini terasa tegang. Lebih tepatnya hanya divisi Adzriel. Para anggota tim kerap kali saling pandang, Mereka seperti sedang berjalan di atas permukaan tipis.Brian merapikan berkas, berdiri dari tempatnya. Ia hendak menghampiri meja Adzriel. Matanya sesekali melihat teman kerjanya. Seakan meminta dukungan karena dia ragu-ragu. Dipta mengibas tangan, menyuruhnya maju. “Permisi… Pak Adzriel,” ucap Brian hati-hati. Atasan sekaligus koleganya tidak melihat ke arahnya. Sibuk mengecek berkas di tangan. Brian menaruh dokumen yang sempat diminta di atas meja. Adzriel segera menerima, membacanya cepat lalu berujar. “Ini ada yang kurang,” suara Adzriel datar dan kalem. Seperti biasanya sehingga Brian agak bernapas lega. “Saya masih menunggu jawaban dari divisi terkait, Pak. Mereka bilang butuh dua hari–”BRAK!Brian seketika kicep begitu Adzriel membanting dokumen. Teman-teman kerjanya juga melihat ke arah mereka. Mata jelaga menatap Brian yang menelan lu
BREAKING NEWSKemunculan Sena, Pencuri Misterius Berhasil Kabur Lagi!Suara dari televisi yang menampilkan acara berita terdengar. Di ruang tamu, Ahmad duduk menonton. Raut wajahnya terlihat cemas sambil mencuri pandang ke arah putrinya. Embun duduk tidak jauh darinya, sibuk mengerjakan tugas. Putri mereka telah tumbuh besar menjadi gadis yang cantik, ceria dan menyenangkan. Hanya saja meski sudah menginjak bangku kuliah. Minat Embun terhadap trik sulap dan teknik menyamar masihlah kuat. “Dia disana, tangkap!!” Seruan dari anggota kepolisian dari televisi terdengar.“Astaga, tubuhnya hilang!”“Lagi-lagi polisi gagal menangkap Sena serta kehilangan kalung pertama!”Dari sudut mata Ahmad, pria paruh baya itu melihat sesuatu di tangan putrinya. Embun sedang mengerjakan tugas kuliahnya. Menggunakan contoh di tangan, sebuah kalung permata indah serupa dengan yang diberitakan. Ahmad sontak menelan ludah gugup. “Bun…”“Kenapa, Pah?”“Cakep sekali kalungnya, Embun beli dimana?”“Oh ini? Em