Hari pertama Embun bekerja tidak terlalu sibuk. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berkenalan dengan para pegawai Barran’s Studio. Selama itu pula, Elio tidak pergi dari sisinya yang sebenarnya cukup membuat Embun jengkel. Setiap kali ia mengobrol, maka Elio ikut menimpali, memujinya terang-terangan. Sesekali mengingatkan mereka untuk menjaga dan memperlakukan Embun dengan baik. Begitu pula saat makan siang bersama, saat semua orang berkumpul. Mereka duduk memanjang di meja makan tepat di tengah ruangan rekreasi.Bram adalah orang paling dekat dengan Elio. Terbukti dari dengan gamblangnya ia menegur Elio untuk berhenti mencampuri segala hal tentang Embun. “Diamlah! kami sudah paham, tidak perlu diulang seperti kaset kusut!” sentaknya usai Elio sekali lagi mengingatkan mereka untuk bersikap baik. “Kok ngegas? Berani sama atasan?!” Elio malah balik menyentak, memasang raut sangar. Embun sudah kepalang panik, mengira mereka ribut. Namun anehnya orang-orang hanya tertawa, memperh
Satu tahun pernikahan dilewati tanpa terasa. Hubungan suami istri muda ini tidak banyak berubah. Meski tidak ada pertengkaran, tidak ada pula kemesraan. Lebih mirip hubungan satu atap dimana saling bertegur sapa ketika bertemu. Meski begitu bukan berarti tidak ada usaha dari Embun. Dia paling semangat tanpa merasa lelah melakukan pendekatan. Berharap suami akan luluh walau nyatanya tidak. Adzriel tetap memasang garis batas antara dirinya dengan sang istri. Siang itu kebetulan Embun libur kerja. Ia menghabiskan waktunya dengan bersih-bersih lalu bersantai di ruang keluarga. Sampai suara bel mengusiknya. “Iya, sebentar!” serunya seraya berlari kecil menuju pintu depan. Embun membuka pintu, mendapati seorang wanita paruh baya menyapa hangat. Perempuan cantik meski usia sudah mendekati lima puluh tahun. Beliau adalah ibu mertua, ibu dari suaminya. Embun segera menyambut dengan pelukan manja. “Mama Gigi!” katanya manja.“Aduh, putri cantik mama. Gimana kabarnya, sayang?” Giselle mengec
“Akhirnya bisa kumpul main arisan lagi,” Giselle menatap pintu masuk salah satu cafe di daerah Jakarta.Langit petang menjadi tanda bahwa dia datang lebih cepat. Begitulah sejak dulu, selalu menjadi orang tepat waktu. Bahkan suka lebih dulu sampai, agar tidak membuat yang lain menunggu.“Selamat datang,” salah seorang pegawai menyapa. Giselle membalas sapaan dengan senyum ramah. Ia memberitahu nomor meja yang sudah dipesan lebih dulu oleh teman arisannya. Pegawai wanita segera mengantarnya. Menuju salah satu meja dengan sofa abu-abu serta meja panjang. Selepas kepergian pegawai wanita, tidak sampai sepuluh menit. Dua wanita paruh baya datang menghampiri.“Halo, Madam! Lama tidak jumpa,” sapa Giselle seraya beranjak berdiri. Salah satunya menyahut senang, “aduh, aduh! Coba lihat siapa yang akhirnya datang… Jeng Gisel. Ya ampun, Jeng. Sudah lama tidak jumpa~”“Maaf, ya… Madam Retno. Saya baru bisa ikut kumpul lagi.” Giselle tersenyum malu usai balas mencium pipi pemilik acara. “Ini ad
Pintu rumah bertingkat dua terbuka. Dua perempuan keluar dengan pakaian rapi. Setelah sempat menikmati cemilan dan mengobrol santai. Giselle mengajak Embun pergi belanja bersama. Ajakan tiba-tiba tentu membuat Embun sedikit kaget. Ia segera meminta izin pada Adzriel.Kak Adriel, aku izin keluar sama Mama Giselle, ya… Pulangnya mungkin agak malam, mau titip sesuatu? —terkirim.Tidak lama centang dua berubah biru, disusul getaran pelan dari ponsel.Tidak ada. Berkabar saja kalau sudah mau pulang, biar saya jemput. —terbaca. Manik coklat mengerjap beberapa kali, agak kaget melihat balasannya. Embun tidak menyangka akan dijemput suami. Setelah setahun berumah tangga. Baru kali ini Adriel menjemputnya. Itu berarti setelah mengantar Mama Giselle, mereka akan semobil berdua. “Kenapa sih, senyam-senyum?” Giselle bertanya menggoda. Pipi wanita muda itu sontak bersemu. Malu, ketahuan salah tingkah. Embun segera menggeleng cepat. “Kak Riel cuma bilang, nanti kabarin kalau sudah mau pulang. Na
“Embun, bangun… kita sudah sampai.”“...”Mesin mobil dimatikan ketika tidak kunjung ada jawaban. Adzriel menoleh ke arah kursi penumpang di sampingnya. Embun masih terlelap. Ia mengulurkan tangan walau berhenti di udara. Agaknya ia sedikit ragu saat hendak menyentuh pundak sang istri. Sempat berpikir sejenak, Adzriel memutuskan keluar dari mobil, membuka gerbang lalu kembali masuk. Mobil kembali menyala, perlahan masuk ke dalam dan terparkir rapi di garasi. Laki-laki itu keluar dari mobil dan pergi menuju pintu depan, membuka kunci rumah. Lalu kembali ke garasi untuk membuka pintu mobil. Mata sehitam jelaga melihat istri lewat kaca mobil. Menyadari posisi Embun bersandar pada pintu mobil. Adzriel segera menyebrang, membuka pintu kemudi dan dari sana membenarkan posisi Embun. Barulah ia membuka pintu mobil dan menggendong Embun.Pintu kamar Embun terbuka perlahan. Keadaan kamar gelap, mengingat malam sudah larut begitu mereka sampai. Adzriel menatap sekitar kamar, menunggu agar matan
“Dipta, kamu lihat Adzriel?” tanya Zenata sambil mengetuk meja Dipta.Pemuda itu menoleh ke samping meja, lalu balik menatap Zenata. Ia mengangkat bahu, “barusan ada. Lagi sebat mungkin,” jawabnya lalu kembali fokus pada kerjaan. Zenata menghela nafas pendek. Matanya mencoba mencari keberadaan Adzriel. Merasa tidak akan menemukannya, akhirnya dia pergi. Wanita muda itu mencoba pergi ke taman belakang. Tidak banyak orang bersantai di sana. Kalaupun ada biasanya hanya sebentar, merokok satu-dua batang. Meski tidak yakin, mengingat Adzriel bukan perokok.Cukup mengejutkan saat Zenata ternyata menemukan Adzriel di sana. Bersandar pada dinding dengan rokok di sela-sela jari. Wanita muda itu terdiam sejenak, menikmati sosok pujaan memikat hati. Siapa sangka sisi nakal di usia matang tidak kalah jauh menggoda. “Heh! Nakal, ya… sudah berani merokok. Aku aduiin kamu ke Tante!” ancam Zenata sambil memukul pelan lengan Adzriel. Pemuda itu menghela nafas pendek, sontak mematikan rokok dan memb
“Tante Giselle?” Zenata memainkan aktingnya dengan baik. Berpura-pura kaget dengan pertemuan mereka yang tidak disengaja. Terlebih berhasil membuat situasi dimana Giselle tidak mungkin sekedar basa basi padanya. “Aduh, gara-gara tidak memperhatikan sekitar. Bajumu jadi kotor, mana kelihatan banget.” Giselle sejak tadi sudah mencoba membersihkan noda dengan sapu tangannya. “Tidak apa, Tante. Namanya juga tidak sengaja. Zenata juga salah tidak lihat, sibuk cari rak barang.” “Kamu ikut tante dulu, ya… kita beli baju ganti.” Giselle menahan lengan Zenata agar tidak pergi. “Tante maksa pokoknya, yah?” Gadis itu mengulum senyum, berhasil menyamarkan senyum liciknya. Ia mengangguk sebagai jawaban. Mengikuti langkah Giselle yang meninggalkan troli begitu saja. Prioritasnya saat ini adalah mencarikan pakaian ganti untuk Zenata. Tanpa menyadari bahwa dia telah jatuh ke dalam perangkap. Dua orang wanita berbeda usia memasuki salah satu butik. Giselle cepat mencari pakaian pengganti untuk
Acara makan malamnya hari ini. Maaf mendadak sekali, kalau tidak keburu, biar saya beli makanan di luar —terbaca. Embun sontak beranjak berdiri usai membaca pesan. Tiga rekan kerja menatapnya heran. Jarinya bergerak cepat, memeriksa jam.Pukul dua siang. Setelah memastikan jam, Embun segera berhitung. Dia perlu sekitar 10-15 menit pergi ke supermarket terdekat di daerah kantor. 40-60 menit lagi untuk tiba di rumah. Setelah memastikan waktu duga yang diperlukan demi sampai selesai masak. Embun meringis pelan. Dia tidak punya banyak waktu. Embun segera pergi menuju ke lantai atas. Untunglah ruangan Fidelio saat ini lengang. Tidak ada orang lain selain dirinya. Wanita muda itu mengetuk pintu kaca. Setelah mendapat izin, ia segera masuk ke dalam. Fidelio tengah sibuk memilih projek ketika Embun datang. Ia menaruh berkas, menatap temannya. “Ada apa, Bun?” tanyanya.“Eh, begini El… maksudku, Pak Elio–” Embun tiba-tiba berubah gugup. Fidelio tertawa pelan, “masih saja kamu canggung beg
Setiap melihat kalender, semakin Adzriel gugup. Sampai saat ini dia belum juga mendekati Embun. Melihatnya saat di kantin dan di taman selalu lebih dari cukup baginya. Sungguh, pemuda itu baru sadar betapa pengecutnya dia. “Tidak bisa! Aku harus dapat nomornya sebelum wisuda.” Adzriel memantapkan diri saat duduk sendiri di taman. Percobaan pertama dia lakukan di kantin. Meski banyaknya orang disana sedikit membuat ragu. Adzriel mencoba menguatkan diri. Sudah sepuluh menit sebelum bel istirahat dia menunggu. Ketika melihat kantin mulai ramai, mata sehitam jelaga menyisir sekitar. “Embun, mau makan siang apa?”Adzriel sontak mencari suara yang menyapa Embun. Ia menemukannya tidak jauh darinya. Sekitar tiga meja. Adzriel sontak berdiri, membuat kaget beberapa orang di sekitarnya. Ia menunduk pelan, meminta maaf.“Hei, kita bertemu lagi.” Adzriel bergumam pelan, mengulang kata seperti mantra.Langkah semakin dekat, degup jantung kian menderu. Adzriel merasa keringat dingin turun di pel
Ini sudah yang kedua kalinya, mata sehitam jelaga mengunci sosok seorang gadis.Embun Kinanti, nama penolongnya.Entah ini disebut beruntung atau apes. Adzriel baru mengetahui keberadaan Embun sangat terlambat. Tidak lama lagi dia akan wisuda. Belum lagi perbedaan tingkatan mereka. Tidak banyak waktu untuk mendekatinya. “Ini yang kamu minta, Riel.”Seorang pemuda bertindak mencurigakan. Memakai pakaian tertutup sambil celingak-celinguk. Sudah mirip pengedar narkoba. Bedanya barang yang sedang dia selundupkan berupa secarik kertas kecil. Adzriel menerimanya dengan kening berkerut. Agak heran dengan tingkah ajaib temannya. Padahal dia hanya meminta tolong sesuatu. Tapi tingkahnya sudah seperti informan paling berbahaya dan dicari.“Lepaskan topimu!” kata Adzriel jengkel. Ia menyambar topi yang menutupi kepala temannya. Pria bermata sipit itu kaget, sontak mengambil kembali topinya. “Eh! Jangan! Nanti ketahuan lagi kalau aku yang bocorin jadwal adik tingkat. Mau ditaruh dimana wajah
“Selamat datang di Toko Florist, jenis buket seperti apa yang diinginkan, Kak?”Mata sehitam jelaga melirik sekeliling. Aroma lembut dan wangi bunga memenuhi indra penciumannya. Adzriel mengerutkan kening, tidak tahu harus memilih apa.“Bisa rekomendasikan buket untuk permintaan maaf? Padukan dengan warna ungu dan putih.” Ucap Adzriel setelah terdiam.“Baik, mohon ditunggu Kak.”Adzriel mengangguk singkat, lantas duduk di kursi tunggu yang sudah disediakan. Semburat merah terlihat samar di telinga akibat menahan malu.Ia agak malu pada dirinya sendiri. Berbekal pengetahuan selama mengamati Embun setahun pernikahan. Hanya informasi kecil inilah yang dia ketahui.Tiga puluh menit kemudian.“Terima kasih telah menunggu. Ini buket pesanannya, Kak.”Sebuah buket berukuran sedang dengan paduan ungu dan putih sesuai permintaan siap dibawa. Adzriel menatap sejenak, ia tidak tahu banyak soal bunga.Seharusnya ini indah, bukan? Batinnya meragu. “Terima kasih, simpan saja kembaliannya.” Usai me
Keadaan Universitas saat malam hari cukup sepi. Mengingat jam memang sudah menunjukan pukul dua belas malam. Lampu-lampu taman sebagian dibiarkan padam. Begitu pula dengan pencahayaan di lorong kampus. Penjaga kampus hari ini ada dua orang yang berjaga. Satu duduk memantau CCTV di ruang kendali. Satu lagi melakukan patroli setiap beberapa jam. Memutari tiap sudut bangunan luas berlantai tiga. Satpam di ruang kendali mengawasi tiap layar komputer ditemani secangkir kopi hitam. Setiap beberapa menit sekali, layar akan berkedip. Memperlihatkan kondisi sekitar kampus secara bergantian. Sementara itu koleganya sudah sejak tadi berpatroli di lantai dua bagian barat.Pada kamera pengawas bernomor tiga yang menunjukan area taman kampus bagian belakang. Terdapat pergerakan cepat tepat ketika layar berkedip cepat. Sehingga luput dari mata pengawas penjaga malam itu. Embun menyelinap masuk ke dalam kampus. Melompati pagar setinggi satu meter dengan mudah. Saat ini ia memakai pakaian serba hit
Embun dan Merry sibuk mengatur strategi demi menjebak pelaku perundungan bersama teman-temannya. Matahari sudah tumbang ke sisi barat ketika selesai dan mereka keluar dari cafe.Sebelum mereka menjalankan rencana. Selama beberapa hari ini Embun sibuk berkeliling kampus. Berpura-pura mengerjakan tugas, membawa laptopnya ke setiap sudut kampus. Terkadang hanya duduk, menikmati makan siang sementara matanya mengawasi. Mencari titik-titik CCTV terpasang dan di mana yang tidak. Embun datang ke rumah Merry. Mengeluarkan sebuah kertas berisi denah kampus. Saking detailnya sudah seperti cetak biru asli milik kampus. Ini tentunya mengundang rasa penasaran Merry. “Kamu tidak perlu tahu, Mer. Fokus saja pada rencana kita,” itulah jawaban Embun ketika ditanya. Embun menunjuk salah satu titik, letaknya berada di belakang kampus. Tempatnya tidak ramai, Embun sudah memastikannya. Di sanalah mereka akan memasang perangkap. ***“Kau siap, Mer?” suara Embun terdengar pada earphone yang Merry kenaka
Saat itu Embun baru saja menjadi mahasiswa baru di Universitas yang ada di Jakarta. Tidak jauh dari rumah, sehingga cukup pulang pergi dengan transportasi umum. Tidak perlu nge-kost ataupun cari kontrakan tiga petak. Dengan begitu ia bisa sedikit menurunkan kekhawatiran orang tuanya.Selain itu, Embun sudah berjanji pada sang ibu.“Tidak ada party, tidak ada trik sulap, dan tidak ada segala jenis, macam, bentuk aksi hobimu itu.”Embun sontak buka mulut, hendak protes tidak terima. Sayangnya kalah cepat dari Linda. Wanita paruh baya itu segera menambahkan lagi, setengah mengancam. “Kalau kamu masih bandel juga, biar Mama buang semua peralatan hobimu itu!”“Eh, jangan atuh, Mah! Bun belinya penuh perjuangan itu, mana harus nabung setengah tahun…”Mama melengos tidak peduli, sambil bersedekap dada. Matanya mendelik tajam, “janji dulu!” katanya menuntut. “Iya Bun janji. Embun janji tidak banyak tingkah selama kuliah. Embun hiatus dari segala jenis kegiatan hobi dan fokus belajar. Sudah,
“Oh, terus kenapa istrimu masih tidak percaya? Mungkin dia sengaja bikin ribut demi merusak hubungan pernikahan kalian.”Adzriel mengepalkan tangan, agak terguncang. Salah satu kecemasannya selama ini adalah ketika Embun mulai bergerak. Mencari cara demi mengakhiri pernikahan yang dilandasi perjodohan.Dari awal pernikahan ini, Adzriel telah bertekad. Tidak akan menyiram bunga di hati, supaya tidak terus tumbuh. Meski begitu, rasa cintanya ini serupa tanaman kaktus. Tidak butuh air setiap waktu atau setiap hari. Kena cipratan tidak sengaja saja sudah cukup.Meski ia rela melepaskan Embun, saat ini Adzriel menginginkan wanita itu berada disisinya. Kemarahan sang istri pada Zenata merupakan bentuk rasa cemburu. Perasaan tidak asing yang dia rasakan saat melihat Embun bersama Fidelio.Perasaan ini karena Embun penting baginya. Jadi, bolehkah Adzriel berpikir kemarahan sang istri karena ada dia di sudut hati Embun?“Terima kasih, Zenata.” Adzriel sontak berdiri dari duduknya, mengejutkan
Suasana di kantor sejak beberapa hari ini terasa tegang. Lebih tepatnya hanya divisi Adzriel. Para anggota tim kerap kali saling pandang, Mereka seperti sedang berjalan di atas permukaan tipis.Brian merapikan berkas, berdiri dari tempatnya. Ia hendak menghampiri meja Adzriel. Matanya sesekali melihat teman kerjanya. Seakan meminta dukungan karena dia ragu-ragu. Dipta mengibas tangan, menyuruhnya maju. “Permisi… Pak Adzriel,” ucap Brian hati-hati. Atasan sekaligus koleganya tidak melihat ke arahnya. Sibuk mengecek berkas di tangan. Brian menaruh dokumen yang sempat diminta di atas meja. Adzriel segera menerima, membacanya cepat lalu berujar. “Ini ada yang kurang,” suara Adzriel datar dan kalem. Seperti biasanya sehingga Brian agak bernapas lega. “Saya masih menunggu jawaban dari divisi terkait, Pak. Mereka bilang butuh dua hari–”BRAK!Brian seketika kicep begitu Adzriel membanting dokumen. Teman-teman kerjanya juga melihat ke arah mereka. Mata jelaga menatap Brian yang menelan lu
BREAKING NEWSKemunculan Sena, Pencuri Misterius Berhasil Kabur Lagi!Suara dari televisi yang menampilkan acara berita terdengar. Di ruang tamu, Ahmad duduk menonton. Raut wajahnya terlihat cemas sambil mencuri pandang ke arah putrinya. Embun duduk tidak jauh darinya, sibuk mengerjakan tugas. Putri mereka telah tumbuh besar menjadi gadis yang cantik, ceria dan menyenangkan. Hanya saja meski sudah menginjak bangku kuliah. Minat Embun terhadap trik sulap dan teknik menyamar masihlah kuat. “Dia disana, tangkap!!” Seruan dari anggota kepolisian dari televisi terdengar.“Astaga, tubuhnya hilang!”“Lagi-lagi polisi gagal menangkap Sena serta kehilangan kalung pertama!”Dari sudut mata Ahmad, pria paruh baya itu melihat sesuatu di tangan putrinya. Embun sedang mengerjakan tugas kuliahnya. Menggunakan contoh di tangan, sebuah kalung permata indah serupa dengan yang diberitakan. Ahmad sontak menelan ludah gugup. “Bun…”“Kenapa, Pah?”“Cakep sekali kalungnya, Embun beli dimana?”“Oh ini? Em