“Tante Giselle?” Zenata memainkan aktingnya dengan baik. Berpura-pura kaget dengan pertemuan mereka yang tidak disengaja. Terlebih berhasil membuat situasi dimana Giselle tidak mungkin sekedar basa basi padanya. “Aduh, gara-gara tidak memperhatikan sekitar. Bajumu jadi kotor, mana kelihatan banget.” Giselle sejak tadi sudah mencoba membersihkan noda dengan sapu tangannya. “Tidak apa, Tante. Namanya juga tidak sengaja. Zenata juga salah tidak lihat, sibuk cari rak barang.” “Kamu ikut tante dulu, ya… kita beli baju ganti.” Giselle menahan lengan Zenata agar tidak pergi. “Tante maksa pokoknya, yah?” Gadis itu mengulum senyum, berhasil menyamarkan senyum liciknya. Ia mengangguk sebagai jawaban. Mengikuti langkah Giselle yang meninggalkan troli begitu saja. Prioritasnya saat ini adalah mencarikan pakaian ganti untuk Zenata. Tanpa menyadari bahwa dia telah jatuh ke dalam perangkap. Dua orang wanita berbeda usia memasuki salah satu butik. Giselle cepat mencari pakaian pengganti untuk
Acara makan malamnya hari ini. Maaf mendadak sekali, kalau tidak keburu, biar saya beli makanan di luar —terbaca. Embun sontak beranjak berdiri usai membaca pesan. Tiga rekan kerja menatapnya heran. Jarinya bergerak cepat, memeriksa jam.Pukul dua siang. Setelah memastikan jam, Embun segera berhitung. Dia perlu sekitar 10-15 menit pergi ke supermarket terdekat di daerah kantor. 40-60 menit lagi untuk tiba di rumah. Setelah memastikan waktu duga yang diperlukan demi sampai selesai masak. Embun meringis pelan. Dia tidak punya banyak waktu. Embun segera pergi menuju ke lantai atas. Untunglah ruangan Fidelio saat ini lengang. Tidak ada orang lain selain dirinya. Wanita muda itu mengetuk pintu kaca. Setelah mendapat izin, ia segera masuk ke dalam. Fidelio tengah sibuk memilih projek ketika Embun datang. Ia menaruh berkas, menatap temannya. “Ada apa, Bun?” tanyanya.“Eh, begini El… maksudku, Pak Elio–” Embun tiba-tiba berubah gugup. Fidelio tertawa pelan, “masih saja kamu canggung beg
“Semua orang mengira Adzriel ini pendiam, tipe yang mudah disuruh-suruh. Padahal nyatanya tidak! Dia memang kalem, tapi kalau sudah menyangkut pekerjaan. Sudah seperti punya kepribadian lain,” Dipta sudah sejak tadi menjadikan Ketua Divisi mereka sebagai topik obrolan. “Dia langganan adu mulut dengan ketua tim sebelumnya. kalau sudah begitu, divisi kami ketar-ketir. Sibuk kerja supaya tidak kena getahnya.” Laras, perempuan yang duduk di samping Dipta menambahkan. Adzriel setengah tersenyum. Yang lain balas nyengir lebar, tidak merasa sungkan sedang menyerang atasan mereka. Karena mereka semua tahu kalau Adzriel tidak mempermasalahkan selama masih dalam batas kewajaran. Terlebih Dipta, meski pemuda itu kerap kali suka kelewat batas. “Bu Embun biasa kesibukannya apa, selama menunggu Pak Adzriel kerja?” Brian, pemuda paling muda di antara mereka bertanya basa-basi. Embun menaruh gelas setelah sempat meneguknya. Ia segera menjawab ramah, “Saya juga bekerja, sebagai make up artist.”“W
“Kak Riel,” Embun memanggil pelan. Adzriel sontak menoleh, balik badan meninggalkan Zenata. Ia menghampiri Embun, bertanya lembut. “kenapa, Bun? Kamu udahan istirahatnya?”Tatapan yang teduh seakan dia barusan tidak bermesraan dengan mantan kekasih. Embun mati-matian menahan air mata. Mencoba menenangkan diri dan bertanya. “Kamu lagi ngapain di sini berduaan sama Zenata?”Adzriel menoleh ke arah Zenata sebelum kembali ke Embun. Ia hendak memberitahu, menjelaskan. Sebelum disela lebih dulu oleh Zenata. “Lagi cuci piring, apa lagi?”Wanita cantik teman kuliah sang suami tersenyum simpul. Seakan memang tidak ada yang salah di antara mereka.“Aku gabung sama yang lain di depan, ya.” Zenata berujar lagi seraya menepuk bahu Adzirel. “Kalian buruan nyusul, masa tuan rumah ninggalin tamu lama-lama.”Adzriel mengangguk sebagai jawaban lalu menatap Embun. Wanita ini sejak tadi diam saja. Lebih tepatnya, Embun masih berusaha tenang. Dia kesal. Melihat suaminya biasa saja disentuh wanita lain.
Pukul sepuluh malam.Acara makan malam sederhana sampai di penghujung. Adzriel bersama Embun mengantar tamu ke depan teras rumah. Laras pulang bersama Brian, Dipta dan Zenata dengan kendaraan masing-masing.Embun lebih dulu masuk, hendak membersihkan ruang tengah. Sisa-sisa permainan dan makanan kecil berserakan di meja dan lantai. Sebelum pulang, Laras sudah menawarkan diri untuk bantu membersihkan. Namun ditolak oleh Embun. Tidak baik membiarkan tamu membantunya bersih-bersih. Wanita muda itu sibuk merapikan kartu-kartu. Menyusunnya sebelum masuk ke dalam kotak. Adzriel ada di belakang, baru saja datang setelah mengunci pintu depan. Ia turut membantu Embun membersihkan ruang tengah. Mengumpulkan sisa bungkusan makanan ringan serta gelas-gelas kotor. Tidak ada yang bicara, lengang menguasai. Setelah ruang tengah akhirnya bersih, barulah Adzriel menghampiri Embun. Gadis itu sudah hendak masuk ke kamar jika tidak ditahan tangannya. “Terima kasih untuk hari ini, maaf sudah merepotkan
“Terima kasih telah menyelamatkan saya dan keluarga saya. Terima kasih telah menjadi besan dan memberikan saya menantu sebaik Embun.”Ahmad dan Linda tersipu malu, berhasil dibuat salah tingkah. Mereka mengangkat gelas, bersulang. “Awalnya saya mengira kalau Adzriel akan menolak perjodohan. Anak itu terlalu fokus dengan karirnya.” Giselle kembali melanjutkan pembicaraan. Membahas tentang anak-anak mereka. “Saya sempat mengenalkannya dengan anak teman. Tapi baru juga pendahuluan, sudah ditolak,” sambung Giselle. Linda yang mengerti perasaan Giselle, tertawa pelan. “Begitu pula dengan Embun. Apalagi waktu itu kami bicara soal perjodohan waktu dia sedang persiapan skripsi. Wah! Sudah ditekuk wajahnya.”“Maka dari itu, kami cukup terkejut saat Adzriel setuju setelah melihat foto Embun.” Sebastian ikut menimpali. “Mungkin itu yang disebut dengan takdir. Embun juga seperti itu, dia langsung terima setelah lihat foto. Mungkin mereka berdua sama-sama merasa cocok.” Linda dan Sebastian me
12 tahun yang lalu…“Tinggal beberapa detik lagi, Tuan-Tuan! Semuanya tetap waspada!”“Lampu darurat! Sekarang!”“Tangkap dia!”“Inspektur ini hanya boneka!”“Apa?!”Di depan televisi tabung. Seorang anak usia sepuluh tahun menonton acara anak-anak dengan mata berbinar. Hampir jarang berkedip, seakan dia takut kehilangan tiap momen acara. Anak itu adalah Embun Kinanti. “Embun jangan dekat-dekat nontonnya!” Sang ibu berseru dari dapur, mengingatkan. “Iya, Mah!” tanpa memalingkan wajahnya, Embun tetap fokus menonton. Pemeran utama dari acara anak-anak yang Embun tonton adalah seorang remaja sekolah menengah pertama kelas dua. Remaja laki-laki berpakaian formal berwarna putih dengan jubah dan topi pesulap. Dia menggantikan sang ayah sekaligus mencari keberadaannya yang telah hilang selama 8 tahun. “Tuan dan Nyonya! Bocah Kaito berhasil kabur lagi!”“Hore! Bocah Kaito berhasil kabur! Keren sekali trik sulapnya!” Embun mengangkat kedua tangan sambil melompat girang. Gadis cilik segera
BREAKING NEWSKemunculan Sena, Pencuri Misterius Berhasil Kabur Lagi!Suara dari televisi yang menampilkan acara berita terdengar. Di ruang tamu, Ahmad duduk menonton. Raut wajahnya terlihat cemas sambil mencuri pandang ke arah putrinya. Embun duduk tidak jauh darinya, sibuk mengerjakan tugas. Putri mereka telah tumbuh besar menjadi gadis yang cantik, ceria dan menyenangkan. Hanya saja meski sudah menginjak bangku kuliah. Minat Embun terhadap trik sulap dan teknik menyamar masihlah kuat. “Dia disana, tangkap!!” Seruan dari anggota kepolisian dari televisi terdengar.“Astaga, tubuhnya hilang!”“Lagi-lagi polisi gagal menangkap Sena serta kehilangan kalung pertama!”Dari sudut mata Ahmad, pria paruh baya itu melihat sesuatu di tangan putrinya. Embun sedang mengerjakan tugas kuliahnya. Menggunakan contoh di tangan, sebuah kalung permata indah serupa dengan yang diberitakan. Ahmad sontak menelan ludah gugup. “Bun…”“Kenapa, Pah?”“Cakep sekali kalungnya, Embun beli dimana?”“Oh ini? Em