“Kak Riel,” Embun memanggil pelan. Adzriel sontak menoleh, balik badan meninggalkan Zenata. Ia menghampiri Embun, bertanya lembut. “kenapa, Bun? Kamu udahan istirahatnya?”Tatapan yang teduh seakan dia barusan tidak bermesraan dengan mantan kekasih. Embun mati-matian menahan air mata. Mencoba menenangkan diri dan bertanya. “Kamu lagi ngapain di sini berduaan sama Zenata?”Adzriel menoleh ke arah Zenata sebelum kembali ke Embun. Ia hendak memberitahu, menjelaskan. Sebelum disela lebih dulu oleh Zenata. “Lagi cuci piring, apa lagi?”Wanita cantik teman kuliah sang suami tersenyum simpul. Seakan memang tidak ada yang salah di antara mereka.“Aku gabung sama yang lain di depan, ya.” Zenata berujar lagi seraya menepuk bahu Adzirel. “Kalian buruan nyusul, masa tuan rumah ninggalin tamu lama-lama.”Adzriel mengangguk sebagai jawaban lalu menatap Embun. Wanita ini sejak tadi diam saja. Lebih tepatnya, Embun masih berusaha tenang. Dia kesal. Melihat suaminya biasa saja disentuh wanita lain.
Pukul sepuluh malam.Acara makan malam sederhana sampai di penghujung. Adzriel bersama Embun mengantar tamu ke depan teras rumah. Laras pulang bersama Brian, Dipta dan Zenata dengan kendaraan masing-masing.Embun lebih dulu masuk, hendak membersihkan ruang tengah. Sisa-sisa permainan dan makanan kecil berserakan di meja dan lantai. Sebelum pulang, Laras sudah menawarkan diri untuk bantu membersihkan. Namun ditolak oleh Embun. Tidak baik membiarkan tamu membantunya bersih-bersih. Wanita muda itu sibuk merapikan kartu-kartu. Menyusunnya sebelum masuk ke dalam kotak. Adzriel ada di belakang, baru saja datang setelah mengunci pintu depan. Ia turut membantu Embun membersihkan ruang tengah. Mengumpulkan sisa bungkusan makanan ringan serta gelas-gelas kotor. Tidak ada yang bicara, lengang menguasai. Setelah ruang tengah akhirnya bersih, barulah Adzriel menghampiri Embun. Gadis itu sudah hendak masuk ke kamar jika tidak ditahan tangannya. “Terima kasih untuk hari ini, maaf sudah merepotkan
“Terima kasih telah menyelamatkan saya dan keluarga saya. Terima kasih telah menjadi besan dan memberikan saya menantu sebaik Embun.”Ahmad dan Linda tersipu malu, berhasil dibuat salah tingkah. Mereka mengangkat gelas, bersulang. “Awalnya saya mengira kalau Adzriel akan menolak perjodohan. Anak itu terlalu fokus dengan karirnya.” Giselle kembali melanjutkan pembicaraan. Membahas tentang anak-anak mereka. “Saya sempat mengenalkannya dengan anak teman. Tapi baru juga pendahuluan, sudah ditolak,” sambung Giselle. Linda yang mengerti perasaan Giselle, tertawa pelan. “Begitu pula dengan Embun. Apalagi waktu itu kami bicara soal perjodohan waktu dia sedang persiapan skripsi. Wah! Sudah ditekuk wajahnya.”“Maka dari itu, kami cukup terkejut saat Adzriel setuju setelah melihat foto Embun.” Sebastian ikut menimpali. “Mungkin itu yang disebut dengan takdir. Embun juga seperti itu, dia langsung terima setelah lihat foto. Mungkin mereka berdua sama-sama merasa cocok.” Linda dan Sebastian me
12 tahun yang lalu…“Tinggal beberapa detik lagi, Tuan-Tuan! Semuanya tetap waspada!”“Lampu darurat! Sekarang!”“Tangkap dia!”“Inspektur ini hanya boneka!”“Apa?!”Di depan televisi tabung. Seorang anak usia sepuluh tahun menonton acara anak-anak dengan mata berbinar. Hampir jarang berkedip, seakan dia takut kehilangan tiap momen acara. Anak itu adalah Embun Kinanti. “Embun jangan dekat-dekat nontonnya!” Sang ibu berseru dari dapur, mengingatkan. “Iya, Mah!” tanpa memalingkan wajahnya, Embun tetap fokus menonton. Pemeran utama dari acara anak-anak yang Embun tonton adalah seorang remaja sekolah menengah pertama kelas dua. Remaja laki-laki berpakaian formal berwarna putih dengan jubah dan topi pesulap. Dia menggantikan sang ayah sekaligus mencari keberadaannya yang telah hilang selama 8 tahun. “Tuan dan Nyonya! Bocah Kaito berhasil kabur lagi!”“Hore! Bocah Kaito berhasil kabur! Keren sekali trik sulapnya!” Embun mengangkat kedua tangan sambil melompat girang. Gadis cilik segera
BREAKING NEWSKemunculan Sena, Pencuri Misterius Berhasil Kabur Lagi!Suara dari televisi yang menampilkan acara berita terdengar. Di ruang tamu, Ahmad duduk menonton. Raut wajahnya terlihat cemas sambil mencuri pandang ke arah putrinya. Embun duduk tidak jauh darinya, sibuk mengerjakan tugas. Putri mereka telah tumbuh besar menjadi gadis yang cantik, ceria dan menyenangkan. Hanya saja meski sudah menginjak bangku kuliah. Minat Embun terhadap trik sulap dan teknik menyamar masihlah kuat. “Dia disana, tangkap!!” Seruan dari anggota kepolisian dari televisi terdengar.“Astaga, tubuhnya hilang!”“Lagi-lagi polisi gagal menangkap Sena serta kehilangan kalung pertama!”Dari sudut mata Ahmad, pria paruh baya itu melihat sesuatu di tangan putrinya. Embun sedang mengerjakan tugas kuliahnya. Menggunakan contoh di tangan, sebuah kalung permata indah serupa dengan yang diberitakan. Ahmad sontak menelan ludah gugup. “Bun…”“Kenapa, Pah?”“Cakep sekali kalungnya, Embun beli dimana?”“Oh ini? Em
Suasana di kantor sejak beberapa hari ini terasa tegang. Lebih tepatnya hanya divisi Adzriel. Para anggota tim kerap kali saling pandang, Mereka seperti sedang berjalan di atas permukaan tipis.Brian merapikan berkas, berdiri dari tempatnya. Ia hendak menghampiri meja Adzriel. Matanya sesekali melihat teman kerjanya. Seakan meminta dukungan karena dia ragu-ragu. Dipta mengibas tangan, menyuruhnya maju. “Permisi… Pak Adzriel,” ucap Brian hati-hati. Atasan sekaligus koleganya tidak melihat ke arahnya. Sibuk mengecek berkas di tangan. Brian menaruh dokumen yang sempat diminta di atas meja. Adzriel segera menerima, membacanya cepat lalu berujar. “Ini ada yang kurang,” suara Adzriel datar dan kalem. Seperti biasanya sehingga Brian agak bernapas lega. “Saya masih menunggu jawaban dari divisi terkait, Pak. Mereka bilang butuh dua hari–”BRAK!Brian seketika kicep begitu Adzriel membanting dokumen. Teman-teman kerjanya juga melihat ke arah mereka. Mata jelaga menatap Brian yang menelan lu
“Oh, terus kenapa istrimu masih tidak percaya? Mungkin dia sengaja bikin ribut demi merusak hubungan pernikahan kalian.”Adzriel mengepalkan tangan, agak terguncang. Salah satu kecemasannya selama ini adalah ketika Embun mulai bergerak. Mencari cara demi mengakhiri pernikahan yang dilandasi perjodohan.Dari awal pernikahan ini, Adzriel telah bertekad. Tidak akan menyiram bunga di hati, supaya tidak terus tumbuh. Meski begitu, rasa cintanya ini serupa tanaman kaktus. Tidak butuh air setiap waktu atau setiap hari. Kena cipratan tidak sengaja saja sudah cukup.Meski ia rela melepaskan Embun, saat ini Adzriel menginginkan wanita itu berada disisinya. Kemarahan sang istri pada Zenata merupakan bentuk rasa cemburu. Perasaan tidak asing yang dia rasakan saat melihat Embun bersama Fidelio.Perasaan ini karena Embun penting baginya. Jadi, bolehkah Adzriel berpikir kemarahan sang istri karena ada dia di sudut hati Embun?“Terima kasih, Zenata.” Adzriel sontak berdiri dari duduknya, mengejutkan
Saat itu Embun baru saja menjadi mahasiswa baru di Universitas yang ada di Jakarta. Tidak jauh dari rumah, sehingga cukup pulang pergi dengan transportasi umum. Tidak perlu nge-kost ataupun cari kontrakan tiga petak. Dengan begitu ia bisa sedikit menurunkan kekhawatiran orang tuanya.Selain itu, Embun sudah berjanji pada sang ibu.“Tidak ada party, tidak ada trik sulap, dan tidak ada segala jenis, macam, bentuk aksi hobimu itu.”Embun sontak buka mulut, hendak protes tidak terima. Sayangnya kalah cepat dari Linda. Wanita paruh baya itu segera menambahkan lagi, setengah mengancam. “Kalau kamu masih bandel juga, biar Mama buang semua peralatan hobimu itu!”“Eh, jangan atuh, Mah! Bun belinya penuh perjuangan itu, mana harus nabung setengah tahun…”Mama melengos tidak peduli, sambil bersedekap dada. Matanya mendelik tajam, “janji dulu!” katanya menuntut. “Iya Bun janji. Embun janji tidak banyak tingkah selama kuliah. Embun hiatus dari segala jenis kegiatan hobi dan fokus belajar. Sudah,