Pintu rumah bertingkat dua terbuka. Dua perempuan keluar dengan pakaian rapi. Setelah sempat menikmati cemilan dan mengobrol santai. Giselle mengajak Embun pergi belanja bersama. Ajakan tiba-tiba tentu membuat Embun sedikit kaget. Ia segera meminta izin pada Adzriel.Kak Adriel, aku izin keluar sama Mama Giselle, ya… Pulangnya mungkin agak malam, mau titip sesuatu? —terkirim.Tidak lama centang dua berubah biru, disusul getaran pelan dari ponsel.Tidak ada. Berkabar saja kalau sudah mau pulang, biar saya jemput. —terbaca. Manik coklat mengerjap beberapa kali, agak kaget melihat balasannya. Embun tidak menyangka akan dijemput suami. Setelah setahun berumah tangga. Baru kali ini Adriel menjemputnya. Itu berarti setelah mengantar Mama Giselle, mereka akan semobil berdua. “Kenapa sih, senyam-senyum?” Giselle bertanya menggoda. Pipi wanita muda itu sontak bersemu. Malu, ketahuan salah tingkah. Embun segera menggeleng cepat. “Kak Riel cuma bilang, nanti kabarin kalau sudah mau pulang. Na
“Embun, bangun… kita sudah sampai.”“...”Mesin mobil dimatikan ketika tidak kunjung ada jawaban. Adzriel menoleh ke arah kursi penumpang di sampingnya. Embun masih terlelap. Ia mengulurkan tangan walau berhenti di udara. Agaknya ia sedikit ragu saat hendak menyentuh pundak sang istri. Sempat berpikir sejenak, Adzriel memutuskan keluar dari mobil, membuka gerbang lalu kembali masuk. Mobil kembali menyala, perlahan masuk ke dalam dan terparkir rapi di garasi. Laki-laki itu keluar dari mobil dan pergi menuju pintu depan, membuka kunci rumah. Lalu kembali ke garasi untuk membuka pintu mobil. Mata sehitam jelaga melihat istri lewat kaca mobil. Menyadari posisi Embun bersandar pada pintu mobil. Adzriel segera menyebrang, membuka pintu kemudi dan dari sana membenarkan posisi Embun. Barulah ia membuka pintu mobil dan menggendong Embun.Pintu kamar Embun terbuka perlahan. Keadaan kamar gelap, mengingat malam sudah larut begitu mereka sampai. Adzriel menatap sekitar kamar, menunggu agar matan
“Dipta, kamu lihat Adzriel?” tanya Zenata sambil mengetuk meja Dipta.Pemuda itu menoleh ke samping meja, lalu balik menatap Zenata. Ia mengangkat bahu, “barusan ada. Lagi sebat mungkin,” jawabnya lalu kembali fokus pada kerjaan. Zenata menghela nafas pendek. Matanya mencoba mencari keberadaan Adzriel. Merasa tidak akan menemukannya, akhirnya dia pergi. Wanita muda itu mencoba pergi ke taman belakang. Tidak banyak orang bersantai di sana. Kalaupun ada biasanya hanya sebentar, merokok satu-dua batang. Meski tidak yakin, mengingat Adzriel bukan perokok.Cukup mengejutkan saat Zenata ternyata menemukan Adzriel di sana. Bersandar pada dinding dengan rokok di sela-sela jari. Wanita muda itu terdiam sejenak, menikmati sosok pujaan memikat hati. Siapa sangka sisi nakal di usia matang tidak kalah jauh menggoda. “Heh! Nakal, ya… sudah berani merokok. Aku aduiin kamu ke Tante!” ancam Zenata sambil memukul pelan lengan Adzriel. Pemuda itu menghela nafas pendek, sontak mematikan rokok dan memb
“Tante Giselle?” Zenata memainkan aktingnya dengan baik. Berpura-pura kaget dengan pertemuan mereka yang tidak disengaja. Terlebih berhasil membuat situasi dimana Giselle tidak mungkin sekedar basa basi padanya. “Aduh, gara-gara tidak memperhatikan sekitar. Bajumu jadi kotor, mana kelihatan banget.” Giselle sejak tadi sudah mencoba membersihkan noda dengan sapu tangannya. “Tidak apa, Tante. Namanya juga tidak sengaja. Zenata juga salah tidak lihat, sibuk cari rak barang.” “Kamu ikut tante dulu, ya… kita beli baju ganti.” Giselle menahan lengan Zenata agar tidak pergi. “Tante maksa pokoknya, yah?” Gadis itu mengulum senyum, berhasil menyamarkan senyum liciknya. Ia mengangguk sebagai jawaban. Mengikuti langkah Giselle yang meninggalkan troli begitu saja. Prioritasnya saat ini adalah mencarikan pakaian ganti untuk Zenata. Tanpa menyadari bahwa dia telah jatuh ke dalam perangkap. Dua orang wanita berbeda usia memasuki salah satu butik. Giselle cepat mencari pakaian pengganti untuk
Acara makan malamnya hari ini. Maaf mendadak sekali, kalau tidak keburu, biar saya beli makanan di luar —terbaca. Embun sontak beranjak berdiri usai membaca pesan. Tiga rekan kerja menatapnya heran. Jarinya bergerak cepat, memeriksa jam.Pukul dua siang. Setelah memastikan jam, Embun segera berhitung. Dia perlu sekitar 10-15 menit pergi ke supermarket terdekat di daerah kantor. 40-60 menit lagi untuk tiba di rumah. Setelah memastikan waktu duga yang diperlukan demi sampai selesai masak. Embun meringis pelan. Dia tidak punya banyak waktu. Embun segera pergi menuju ke lantai atas. Untunglah ruangan Fidelio saat ini lengang. Tidak ada orang lain selain dirinya. Wanita muda itu mengetuk pintu kaca. Setelah mendapat izin, ia segera masuk ke dalam. Fidelio tengah sibuk memilih projek ketika Embun datang. Ia menaruh berkas, menatap temannya. “Ada apa, Bun?” tanyanya.“Eh, begini El… maksudku, Pak Elio–” Embun tiba-tiba berubah gugup. Fidelio tertawa pelan, “masih saja kamu canggung beg
“Semua orang mengira Adzriel ini pendiam, tipe yang mudah disuruh-suruh. Padahal nyatanya tidak! Dia memang kalem, tapi kalau sudah menyangkut pekerjaan. Sudah seperti punya kepribadian lain,” Dipta sudah sejak tadi menjadikan Ketua Divisi mereka sebagai topik obrolan. “Dia langganan adu mulut dengan ketua tim sebelumnya. kalau sudah begitu, divisi kami ketar-ketir. Sibuk kerja supaya tidak kena getahnya.” Laras, perempuan yang duduk di samping Dipta menambahkan. Adzriel setengah tersenyum. Yang lain balas nyengir lebar, tidak merasa sungkan sedang menyerang atasan mereka. Karena mereka semua tahu kalau Adzriel tidak mempermasalahkan selama masih dalam batas kewajaran. Terlebih Dipta, meski pemuda itu kerap kali suka kelewat batas. “Bu Embun biasa kesibukannya apa, selama menunggu Pak Adzriel kerja?” Brian, pemuda paling muda di antara mereka bertanya basa-basi. Embun menaruh gelas setelah sempat meneguknya. Ia segera menjawab ramah, “Saya juga bekerja, sebagai make up artist.”“W
“Kak Riel,” Embun memanggil pelan. Adzriel sontak menoleh, balik badan meninggalkan Zenata. Ia menghampiri Embun, bertanya lembut. “kenapa, Bun? Kamu udahan istirahatnya?”Tatapan yang teduh seakan dia barusan tidak bermesraan dengan mantan kekasih. Embun mati-matian menahan air mata. Mencoba menenangkan diri dan bertanya. “Kamu lagi ngapain di sini berduaan sama Zenata?”Adzriel menoleh ke arah Zenata sebelum kembali ke Embun. Ia hendak memberitahu, menjelaskan. Sebelum disela lebih dulu oleh Zenata. “Lagi cuci piring, apa lagi?”Wanita cantik teman kuliah sang suami tersenyum simpul. Seakan memang tidak ada yang salah di antara mereka.“Aku gabung sama yang lain di depan, ya.” Zenata berujar lagi seraya menepuk bahu Adzirel. “Kalian buruan nyusul, masa tuan rumah ninggalin tamu lama-lama.”Adzriel mengangguk sebagai jawaban lalu menatap Embun. Wanita ini sejak tadi diam saja. Lebih tepatnya, Embun masih berusaha tenang. Dia kesal. Melihat suaminya biasa saja disentuh wanita lain.
Pukul sepuluh malam.Acara makan malam sederhana sampai di penghujung. Adzriel bersama Embun mengantar tamu ke depan teras rumah. Laras pulang bersama Brian, Dipta dan Zenata dengan kendaraan masing-masing.Embun lebih dulu masuk, hendak membersihkan ruang tengah. Sisa-sisa permainan dan makanan kecil berserakan di meja dan lantai. Sebelum pulang, Laras sudah menawarkan diri untuk bantu membersihkan. Namun ditolak oleh Embun. Tidak baik membiarkan tamu membantunya bersih-bersih. Wanita muda itu sibuk merapikan kartu-kartu. Menyusunnya sebelum masuk ke dalam kotak. Adzriel ada di belakang, baru saja datang setelah mengunci pintu depan. Ia turut membantu Embun membersihkan ruang tengah. Mengumpulkan sisa bungkusan makanan ringan serta gelas-gelas kotor. Tidak ada yang bicara, lengang menguasai. Setelah ruang tengah akhirnya bersih, barulah Adzriel menghampiri Embun. Gadis itu sudah hendak masuk ke kamar jika tidak ditahan tangannya. “Terima kasih untuk hari ini, maaf sudah merepotkan