Sane adalah seorang pencuri menyusahkan sejak sepak terjangnya dua tahun lalu. Muncul tiba-tiba bersama secarik kertas peringatan di salah satu toko perhiasan di Cempaka Mas, Jakarta Pusat. Semula tidak ada yang meladeni, menganggap hanya keusilan semata. Lagi pula maling mana yang memberitahu kapan dia beraksi? Sampai tiba-tiba perhiasan emas kuning 24 karat di leher patung yang berada di tengah-tengah toko menghilang. Seluruh staff panik, menyalakan alarm darurat, mengunci semua pintu masuk dan keluar. Kericuhan terjadi beberapa saat sebelum pelanggan diberi arahan untuk tenang dan mau membiarkan petugas keamanan memeriksa satu persatu barang bawaan. Nyatanya meski sudah dicari, perhiasan itu tetap tidak ditemukan, seakan lenyap. Pemeriksaan cctv juga tidak membawa hasil. Ada banyak pengunjung waktu itu, sebagian melihat-lihat, sebagian membeli. Begitu pula mereka yang mengelilingi patung tempat perhiasan kalung emas 24 karat dipajang. Tidak ada tanda-tanda atau gerakan aneh sa
Tepat dua minggu sejak pertemuan Embun dengan Elio. Sebuah pesan masuk berkedip di layar ponsel. Embun mengambil benda tipis yang tergeletak di atas meja ruang tengah. Menggeser layar lalu membaca pesan masuk dari Elio. Bun, semua persiapan sudah selesai. Kamu bisa mulai kerja lusa, tidak keberatan, kan? —terbaca.Senyuman lebar menghias wajah wanita berusia dua puluh satu tahun itu. Akhirnya setelah lama menanti, kabar baik dari Elio dia terima. Segera ibu jari mengetik pesan balasan. Tidak mungkin aku keberatan. Harusnya aku berterima kasih padamu atas kesempatan yang Kak Elio berikan! —terkirim.Sore ini menjadi menyenangkan usai mendapat kabar dari Elio. Wanita muda itu bahkan sudah menari-nari kecil, hatinya riang penuh semangat. Ini akan jadi kali pertama ia bekerja, mencari pengalaman setelah lulus kuliah. Tidak ingin menyia-nyiakan kegembiraan hanya dengan bergerak tak tentu. Embun segera masuk ke dalam kamar, berganti baju dan mengambil dompetnya. Ia akan pergi belanja, mem
Acara makan malam hari ini cukup mengejutkan Adzriel. Istrinya memang bilang kalau dia memasak makanan seafood, kesukaannya. Tapi tidak ia sangka akan sebanyak ini. Mata hitamnya mencuri pandang ke arah Embun. Wanita muda itu tengah menyendok nasi putih panas ke piring untuk Adzriel. Setelah dilihat lagi, mata Embun sedikit merah seperti habis menangis. Tapi mengapa?“Kamu masak banyak sekali, ada kabar baik apa?” tanya Adzriel setelah berpikir keras. Mencocokan petunjuk dari banyaknya makanan di meja dengan Embun yang habis menangis. Tangan yang hendak menaruh piring di depan Adzriel sempat berhenti di udara. “Kak Riel peka banget, deh!” sebelum kembali menaruh piring dengan denting pelan. Embun nyengir lebar, mencoba memasang raut wajah antusias dan bahagia. “Aku baru dapat kabar dari Kak Elio, lusa Embun sudah masuk kerja!”“Oh,” Adzriel merespon pendek. Baginya itu kabar buruk. Lengang sejenak. Adzriel menyendok lauk dan makan tanpa bicara. Sementara kali ini giliran Embun yang
Lokasi agensi Elio terletak di daerah Jakarta Selatan. Tepatnya di Kecamatan Kebayoran Baru. Hari pertama kerja, Embun datang lebih cepat 30 menit. Ia berdiri di depan bangunan minimalis berdinding putih, berpagar hitam. Di sisi kanan dan kiri terdapat tembok pemisah berwarna abu-abu tua. Bagian atas tembok dihiasi tumbuhan merambat hingga memberi kesan segar. Bagian tengahnya terdapat plat kecil berwarna hitam mengkilat bertuliskan angka 12A. Usai memastikan dia tidak salah alamat, Embun melangkah menuju pos satpam kecil. Seorang pria paruh baya bertubuh tegap menyapa ramah. “Selamat pagi, Pak,” sapa Embun dengan senyum sopan. “Selamat pagi juga. Ada keperluan apa dan mau bertemu siapa?” satpam bertanya ramah.Embun hendak memberitahu bahwa ia ingin bertemu dengan Elio sebagai pegawai baru. Namun seseorang lebih dulu menyela. Suara tidak terlalu berat maupun terlalu tinggi. Pemuda yang menjadi alasan mengapa Embun berdiri di sini saat ini. “Kenalin Pak Mamat, karyawan baru. Namany
Hari pertama Embun bekerja tidak terlalu sibuk. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berkenalan dengan para pegawai Barran’s Studio. Selama itu pula, Elio tidak pergi dari sisinya yang sebenarnya cukup membuat Embun jengkel. Setiap kali ia mengobrol, maka Elio ikut menimpali, memujinya terang-terangan. Sesekali mengingatkan mereka untuk menjaga dan memperlakukan Embun dengan baik. Begitu pula saat makan siang bersama, saat semua orang berkumpul. Mereka duduk memanjang di meja makan tepat di tengah ruangan rekreasi.Bram adalah orang paling dekat dengan Elio. Terbukti dari dengan gamblangnya ia menegur Elio untuk berhenti mencampuri segala hal tentang Embun. “Diamlah! kami sudah paham, tidak perlu diulang seperti kaset kusut!” sentaknya usai Elio sekali lagi mengingatkan mereka untuk bersikap baik. “Kok ngegas? Berani sama atasan?!” Elio malah balik menyentak, memasang raut sangar. Embun sudah kepalang panik, mengira mereka ribut. Namun anehnya orang-orang hanya tertawa, memperh
Satu tahun pernikahan dilewati tanpa terasa. Hubungan suami istri muda ini tidak banyak berubah. Meski tidak ada pertengkaran, tidak ada pula kemesraan. Lebih mirip hubungan satu atap dimana saling bertegur sapa ketika bertemu. Meski begitu bukan berarti tidak ada usaha dari Embun. Dia paling semangat tanpa merasa lelah melakukan pendekatan. Berharap suami akan luluh walau nyatanya tidak. Adzriel tetap memasang garis batas antara dirinya dengan sang istri. Siang itu kebetulan Embun libur kerja. Ia menghabiskan waktunya dengan bersih-bersih lalu bersantai di ruang keluarga. Sampai suara bel mengusiknya. “Iya, sebentar!” serunya seraya berlari kecil menuju pintu depan. Embun membuka pintu, mendapati seorang wanita paruh baya menyapa hangat. Perempuan cantik meski usia sudah mendekati lima puluh tahun. Beliau adalah ibu mertua, ibu dari suaminya. Embun segera menyambut dengan pelukan manja. “Mama Gigi!” katanya manja.“Aduh, putri cantik mama. Gimana kabarnya, sayang?” Giselle mengec
“Akhirnya bisa kumpul main arisan lagi,” Giselle menatap pintu masuk salah satu cafe di daerah Jakarta.Langit petang menjadi tanda bahwa dia datang lebih cepat. Begitulah sejak dulu, selalu menjadi orang tepat waktu. Bahkan suka lebih dulu sampai, agar tidak membuat yang lain menunggu.“Selamat datang,” salah seorang pegawai menyapa. Giselle membalas sapaan dengan senyum ramah. Ia memberitahu nomor meja yang sudah dipesan lebih dulu oleh teman arisannya. Pegawai wanita segera mengantarnya. Menuju salah satu meja dengan sofa abu-abu serta meja panjang. Selepas kepergian pegawai wanita, tidak sampai sepuluh menit. Dua wanita paruh baya datang menghampiri.“Halo, Madam! Lama tidak jumpa,” sapa Giselle seraya beranjak berdiri. Salah satunya menyahut senang, “aduh, aduh! Coba lihat siapa yang akhirnya datang… Jeng Gisel. Ya ampun, Jeng. Sudah lama tidak jumpa~”“Maaf, ya… Madam Retno. Saya baru bisa ikut kumpul lagi.” Giselle tersenyum malu usai balas mencium pipi pemilik acara. “Ini ad
Pintu rumah bertingkat dua terbuka. Dua perempuan keluar dengan pakaian rapi. Setelah sempat menikmati cemilan dan mengobrol santai. Giselle mengajak Embun pergi belanja bersama. Ajakan tiba-tiba tentu membuat Embun sedikit kaget. Ia segera meminta izin pada Adzriel.Kak Adriel, aku izin keluar sama Mama Giselle, ya… Pulangnya mungkin agak malam, mau titip sesuatu? —terkirim.Tidak lama centang dua berubah biru, disusul getaran pelan dari ponsel.Tidak ada. Berkabar saja kalau sudah mau pulang, biar saya jemput. —terbaca. Manik coklat mengerjap beberapa kali, agak kaget melihat balasannya. Embun tidak menyangka akan dijemput suami. Setelah setahun berumah tangga. Baru kali ini Adriel menjemputnya. Itu berarti setelah mengantar Mama Giselle, mereka akan semobil berdua. “Kenapa sih, senyam-senyum?” Giselle bertanya menggoda. Pipi wanita muda itu sontak bersemu. Malu, ketahuan salah tingkah. Embun segera menggeleng cepat. “Kak Riel cuma bilang, nanti kabarin kalau sudah mau pulang. Na