Acara makan malam hari ini cukup mengejutkan Adzriel. Istrinya memang bilang kalau dia memasak makanan seafood, kesukaannya. Tapi tidak ia sangka akan sebanyak ini. Mata hitamnya mencuri pandang ke arah Embun. Wanita muda itu tengah menyendok nasi putih panas ke piring untuk Adzriel. Setelah dilihat lagi, mata Embun sedikit merah seperti habis menangis. Tapi mengapa?“Kamu masak banyak sekali, ada kabar baik apa?” tanya Adzriel setelah berpikir keras. Mencocokan petunjuk dari banyaknya makanan di meja dengan Embun yang habis menangis. Tangan yang hendak menaruh piring di depan Adzriel sempat berhenti di udara. “Kak Riel peka banget, deh!” sebelum kembali menaruh piring dengan denting pelan. Embun nyengir lebar, mencoba memasang raut wajah antusias dan bahagia. “Aku baru dapat kabar dari Kak Elio, lusa Embun sudah masuk kerja!”“Oh,” Adzriel merespon pendek. Baginya itu kabar buruk. Lengang sejenak. Adzriel menyendok lauk dan makan tanpa bicara. Sementara kali ini giliran Embun yang
Lokasi agensi Elio terletak di daerah Jakarta Selatan. Tepatnya di Kecamatan Kebayoran Baru. Hari pertama kerja, Embun datang lebih cepat 30 menit. Ia berdiri di depan bangunan minimalis berdinding putih, berpagar hitam. Di sisi kanan dan kiri terdapat tembok pemisah berwarna abu-abu tua. Bagian atas tembok dihiasi tumbuhan merambat hingga memberi kesan segar. Bagian tengahnya terdapat plat kecil berwarna hitam mengkilat bertuliskan angka 12A. Usai memastikan dia tidak salah alamat, Embun melangkah menuju pos satpam kecil. Seorang pria paruh baya bertubuh tegap menyapa ramah. “Selamat pagi, Pak,” sapa Embun dengan senyum sopan. “Selamat pagi juga. Ada keperluan apa dan mau bertemu siapa?” satpam bertanya ramah.Embun hendak memberitahu bahwa ia ingin bertemu dengan Elio sebagai pegawai baru. Namun seseorang lebih dulu menyela. Suara tidak terlalu berat maupun terlalu tinggi. Pemuda yang menjadi alasan mengapa Embun berdiri di sini saat ini. “Kenalin Pak Mamat, karyawan baru. Namany
Hari pertama Embun bekerja tidak terlalu sibuk. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berkenalan dengan para pegawai Barran’s Studio. Selama itu pula, Elio tidak pergi dari sisinya yang sebenarnya cukup membuat Embun jengkel. Setiap kali ia mengobrol, maka Elio ikut menimpali, memujinya terang-terangan. Sesekali mengingatkan mereka untuk menjaga dan memperlakukan Embun dengan baik. Begitu pula saat makan siang bersama, saat semua orang berkumpul. Mereka duduk memanjang di meja makan tepat di tengah ruangan rekreasi.Bram adalah orang paling dekat dengan Elio. Terbukti dari dengan gamblangnya ia menegur Elio untuk berhenti mencampuri segala hal tentang Embun. “Diamlah! kami sudah paham, tidak perlu diulang seperti kaset kusut!” sentaknya usai Elio sekali lagi mengingatkan mereka untuk bersikap baik. “Kok ngegas? Berani sama atasan?!” Elio malah balik menyentak, memasang raut sangar. Embun sudah kepalang panik, mengira mereka ribut. Namun anehnya orang-orang hanya tertawa, memperh
Satu tahun pernikahan dilewati tanpa terasa. Hubungan suami istri muda ini tidak banyak berubah. Meski tidak ada pertengkaran, tidak ada pula kemesraan. Lebih mirip hubungan satu atap dimana saling bertegur sapa ketika bertemu. Meski begitu bukan berarti tidak ada usaha dari Embun. Dia paling semangat tanpa merasa lelah melakukan pendekatan. Berharap suami akan luluh walau nyatanya tidak. Adzriel tetap memasang garis batas antara dirinya dengan sang istri. Siang itu kebetulan Embun libur kerja. Ia menghabiskan waktunya dengan bersih-bersih lalu bersantai di ruang keluarga. Sampai suara bel mengusiknya. “Iya, sebentar!” serunya seraya berlari kecil menuju pintu depan. Embun membuka pintu, mendapati seorang wanita paruh baya menyapa hangat. Perempuan cantik meski usia sudah mendekati lima puluh tahun. Beliau adalah ibu mertua, ibu dari suaminya. Embun segera menyambut dengan pelukan manja. “Mama Gigi!” katanya manja.“Aduh, putri cantik mama. Gimana kabarnya, sayang?” Giselle mengec
“Akhirnya bisa kumpul main arisan lagi,” Giselle menatap pintu masuk salah satu cafe di daerah Jakarta.Langit petang menjadi tanda bahwa dia datang lebih cepat. Begitulah sejak dulu, selalu menjadi orang tepat waktu. Bahkan suka lebih dulu sampai, agar tidak membuat yang lain menunggu.“Selamat datang,” salah seorang pegawai menyapa. Giselle membalas sapaan dengan senyum ramah. Ia memberitahu nomor meja yang sudah dipesan lebih dulu oleh teman arisannya. Pegawai wanita segera mengantarnya. Menuju salah satu meja dengan sofa abu-abu serta meja panjang. Selepas kepergian pegawai wanita, tidak sampai sepuluh menit. Dua wanita paruh baya datang menghampiri.“Halo, Madam! Lama tidak jumpa,” sapa Giselle seraya beranjak berdiri. Salah satunya menyahut senang, “aduh, aduh! Coba lihat siapa yang akhirnya datang… Jeng Gisel. Ya ampun, Jeng. Sudah lama tidak jumpa~”“Maaf, ya… Madam Retno. Saya baru bisa ikut kumpul lagi.” Giselle tersenyum malu usai balas mencium pipi pemilik acara. “Ini ad
Pintu rumah bertingkat dua terbuka. Dua perempuan keluar dengan pakaian rapi. Setelah sempat menikmati cemilan dan mengobrol santai. Giselle mengajak Embun pergi belanja bersama. Ajakan tiba-tiba tentu membuat Embun sedikit kaget. Ia segera meminta izin pada Adzriel.Kak Adriel, aku izin keluar sama Mama Giselle, ya… Pulangnya mungkin agak malam, mau titip sesuatu? —terkirim.Tidak lama centang dua berubah biru, disusul getaran pelan dari ponsel.Tidak ada. Berkabar saja kalau sudah mau pulang, biar saya jemput. —terbaca. Manik coklat mengerjap beberapa kali, agak kaget melihat balasannya. Embun tidak menyangka akan dijemput suami. Setelah setahun berumah tangga. Baru kali ini Adriel menjemputnya. Itu berarti setelah mengantar Mama Giselle, mereka akan semobil berdua. “Kenapa sih, senyam-senyum?” Giselle bertanya menggoda. Pipi wanita muda itu sontak bersemu. Malu, ketahuan salah tingkah. Embun segera menggeleng cepat. “Kak Riel cuma bilang, nanti kabarin kalau sudah mau pulang. Na
“Embun, bangun… kita sudah sampai.”“...”Mesin mobil dimatikan ketika tidak kunjung ada jawaban. Adzriel menoleh ke arah kursi penumpang di sampingnya. Embun masih terlelap. Ia mengulurkan tangan walau berhenti di udara. Agaknya ia sedikit ragu saat hendak menyentuh pundak sang istri. Sempat berpikir sejenak, Adzriel memutuskan keluar dari mobil, membuka gerbang lalu kembali masuk. Mobil kembali menyala, perlahan masuk ke dalam dan terparkir rapi di garasi. Laki-laki itu keluar dari mobil dan pergi menuju pintu depan, membuka kunci rumah. Lalu kembali ke garasi untuk membuka pintu mobil. Mata sehitam jelaga melihat istri lewat kaca mobil. Menyadari posisi Embun bersandar pada pintu mobil. Adzriel segera menyebrang, membuka pintu kemudi dan dari sana membenarkan posisi Embun. Barulah ia membuka pintu mobil dan menggendong Embun.Pintu kamar Embun terbuka perlahan. Keadaan kamar gelap, mengingat malam sudah larut begitu mereka sampai. Adzriel menatap sekitar kamar, menunggu agar matan
“Dipta, kamu lihat Adzriel?” tanya Zenata sambil mengetuk meja Dipta.Pemuda itu menoleh ke samping meja, lalu balik menatap Zenata. Ia mengangkat bahu, “barusan ada. Lagi sebat mungkin,” jawabnya lalu kembali fokus pada kerjaan. Zenata menghela nafas pendek. Matanya mencoba mencari keberadaan Adzriel. Merasa tidak akan menemukannya, akhirnya dia pergi. Wanita muda itu mencoba pergi ke taman belakang. Tidak banyak orang bersantai di sana. Kalaupun ada biasanya hanya sebentar, merokok satu-dua batang. Meski tidak yakin, mengingat Adzriel bukan perokok.Cukup mengejutkan saat Zenata ternyata menemukan Adzriel di sana. Bersandar pada dinding dengan rokok di sela-sela jari. Wanita muda itu terdiam sejenak, menikmati sosok pujaan memikat hati. Siapa sangka sisi nakal di usia matang tidak kalah jauh menggoda. “Heh! Nakal, ya… sudah berani merokok. Aku aduiin kamu ke Tante!” ancam Zenata sambil memukul pelan lengan Adzriel. Pemuda itu menghela nafas pendek, sontak mematikan rokok dan memb