Makan pagi hari ini sedikit terburu-buru, karena tumben sekali Adzriel bangun kesiangan. Pemuda itu sepertinya kelelahan hingga meski jam sudah menunjukan pukul tujuh kurang sepuluh. Ia belum juga keluar dari kamar utama, membuat Embun beberapa kali menoleh ke arah kamar dengan tatapan cemas. Setelah pukul tujuh tepat belum juga ada tanda-tanda Adzriel keluar, maka Embun mengetuk pintu. Satu kali tidak ada sahutan, dua hingga tiga kali pintu tetap bergeming. Embun akhirnya meraih gagang pintu, terkejut karena ternyata tidak dikunci. Wanita muda berusia dua puluh satu tahun itu masuk ke dalam pelan-pelan. Di atas petiduran dengan selimut abu-abu, terbaring Adzriel yang masih pulas tertidur.“Kak Riel, bangun… Kak, ini sudah jam tujuh pagi!” Embun duduk di tepi, menggoyangkan pundak suami, membangunkannya. “Kak Riel, sakit? Atau memang ambil cuti hari ini?” tanyanya kemudian usai menaruh punggung tangan di kening, memeriksa suhu tubuh Adzriel yang ternyata normal. Beberapa saat kemudi
Pertemuan pertama setelah kelulusan Elio berlangsung menyenangkan. Mereka berdua saling bertukar kabar, menceritakan kegiatan masing-masing dan sedikit ghibah selama tidak bertemu. Embun melahap kentang goreng sambil berkata, “Agatha baru saja dapat pekerjaan baru di daerah Serpong, cukup jauh. Tapi melihat dia cerita penuh semangat mengenai anak-anak yang sekolah di sana. Aku rasa dia sudah menemukan tempat kerja yang cocok.” “Turut senang mendengarnya. Kita semua tahu bagaimana Agatha menyukai anak-anak dan menggerakan badannya daripada berdiam diri.” Elio mengangguk-angguk, mencomot satu kentang dari piring di depan Embun. “Bagaimana kabar Merry? Dia masih berjuang mengejar cita-citanya sebagai fotografer?” sambungnya kemudian begitu mengingat salah satu sahabat Embun yang memiliki hobi serupa dengannya. Embun mengangguk-angguk, “masih dan dia kini menjadi seorang freelance fotografer di salah satu perusahaan terkenal. Aku lupa namanya,” jawabnya lalu menyeruput minuman favoritn
Kalau dipikirkan kembali, sepertinya baru kali ini Adzriel melihat tawa lepas istrinya. Wanita muda itu selalu memasang senyum manis, terkesan kalem walau kadang bisa cerewet juga. Manik sehitam jelaga masih memperhatikan dari jauh, sengaja mematikan lampu mobil. Ia melihat bagaimana Elio menunggu Embun masuk ke dalam rumah sebelum pergi. Adzriel menghela napas perlahan, emosinya masih diatas permukaan. Sepuluh menit kemudian barulah mobil putih itu memasuki garasi rumah. Pintu mobil dibuka dan aroma masakan tercium samar-samar. Padahal wanita itu baru pulang sepuluh menit yang lalu, tetapi ia sudah sigap menyiapkan makan malam. Membuat hati Adzriel agaknya melunak sedikit. Ia melangkah masuk, tidak disambut oleh istrinya kali ini seperti sebelumnya. Mendengar suara pintu depan dibuka, Embun segera berlari kecil dari arah dapur. Ia masih mengenakan pakaian yang sama saat pergi menemui Elio lalu dilapisi celemek warna kuning lemon. Wanita itu mengikat rambutnya asal, sedikit berantak
Sane adalah seorang pencuri menyusahkan sejak sepak terjangnya dua tahun lalu. Muncul tiba-tiba bersama secarik kertas peringatan di salah satu toko perhiasan di Cempaka Mas, Jakarta Pusat. Semula tidak ada yang meladeni, menganggap hanya keusilan semata. Lagi pula maling mana yang memberitahu kapan dia beraksi? Sampai tiba-tiba perhiasan emas kuning 24 karat di leher patung yang berada di tengah-tengah toko menghilang. Seluruh staff panik, menyalakan alarm darurat, mengunci semua pintu masuk dan keluar. Kericuhan terjadi beberapa saat sebelum pelanggan diberi arahan untuk tenang dan mau membiarkan petugas keamanan memeriksa satu persatu barang bawaan. Nyatanya meski sudah dicari, perhiasan itu tetap tidak ditemukan, seakan lenyap. Pemeriksaan cctv juga tidak membawa hasil. Ada banyak pengunjung waktu itu, sebagian melihat-lihat, sebagian membeli. Begitu pula mereka yang mengelilingi patung tempat perhiasan kalung emas 24 karat dipajang. Tidak ada tanda-tanda atau gerakan aneh sa
Tepat dua minggu sejak pertemuan Embun dengan Elio. Sebuah pesan masuk berkedip di layar ponsel. Embun mengambil benda tipis yang tergeletak di atas meja ruang tengah. Menggeser layar lalu membaca pesan masuk dari Elio. Bun, semua persiapan sudah selesai. Kamu bisa mulai kerja lusa, tidak keberatan, kan? —terbaca.Senyuman lebar menghias wajah wanita berusia dua puluh satu tahun itu. Akhirnya setelah lama menanti, kabar baik dari Elio dia terima. Segera ibu jari mengetik pesan balasan. Tidak mungkin aku keberatan. Harusnya aku berterima kasih padamu atas kesempatan yang Kak Elio berikan! —terkirim.Sore ini menjadi menyenangkan usai mendapat kabar dari Elio. Wanita muda itu bahkan sudah menari-nari kecil, hatinya riang penuh semangat. Ini akan jadi kali pertama ia bekerja, mencari pengalaman setelah lulus kuliah. Tidak ingin menyia-nyiakan kegembiraan hanya dengan bergerak tak tentu. Embun segera masuk ke dalam kamar, berganti baju dan mengambil dompetnya. Ia akan pergi belanja, mem
Acara makan malam hari ini cukup mengejutkan Adzriel. Istrinya memang bilang kalau dia memasak makanan seafood, kesukaannya. Tapi tidak ia sangka akan sebanyak ini. Mata hitamnya mencuri pandang ke arah Embun. Wanita muda itu tengah menyendok nasi putih panas ke piring untuk Adzriel. Setelah dilihat lagi, mata Embun sedikit merah seperti habis menangis. Tapi mengapa?“Kamu masak banyak sekali, ada kabar baik apa?” tanya Adzriel setelah berpikir keras. Mencocokan petunjuk dari banyaknya makanan di meja dengan Embun yang habis menangis. Tangan yang hendak menaruh piring di depan Adzriel sempat berhenti di udara. “Kak Riel peka banget, deh!” sebelum kembali menaruh piring dengan denting pelan. Embun nyengir lebar, mencoba memasang raut wajah antusias dan bahagia. “Aku baru dapat kabar dari Kak Elio, lusa Embun sudah masuk kerja!”“Oh,” Adzriel merespon pendek. Baginya itu kabar buruk. Lengang sejenak. Adzriel menyendok lauk dan makan tanpa bicara. Sementara kali ini giliran Embun yang
Lokasi agensi Elio terletak di daerah Jakarta Selatan. Tepatnya di Kecamatan Kebayoran Baru. Hari pertama kerja, Embun datang lebih cepat 30 menit. Ia berdiri di depan bangunan minimalis berdinding putih, berpagar hitam. Di sisi kanan dan kiri terdapat tembok pemisah berwarna abu-abu tua. Bagian atas tembok dihiasi tumbuhan merambat hingga memberi kesan segar. Bagian tengahnya terdapat plat kecil berwarna hitam mengkilat bertuliskan angka 12A. Usai memastikan dia tidak salah alamat, Embun melangkah menuju pos satpam kecil. Seorang pria paruh baya bertubuh tegap menyapa ramah. “Selamat pagi, Pak,” sapa Embun dengan senyum sopan. “Selamat pagi juga. Ada keperluan apa dan mau bertemu siapa?” satpam bertanya ramah.Embun hendak memberitahu bahwa ia ingin bertemu dengan Elio sebagai pegawai baru. Namun seseorang lebih dulu menyela. Suara tidak terlalu berat maupun terlalu tinggi. Pemuda yang menjadi alasan mengapa Embun berdiri di sini saat ini. “Kenalin Pak Mamat, karyawan baru. Namany
Hari pertama Embun bekerja tidak terlalu sibuk. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berkenalan dengan para pegawai Barran’s Studio. Selama itu pula, Elio tidak pergi dari sisinya yang sebenarnya cukup membuat Embun jengkel. Setiap kali ia mengobrol, maka Elio ikut menimpali, memujinya terang-terangan. Sesekali mengingatkan mereka untuk menjaga dan memperlakukan Embun dengan baik. Begitu pula saat makan siang bersama, saat semua orang berkumpul. Mereka duduk memanjang di meja makan tepat di tengah ruangan rekreasi.Bram adalah orang paling dekat dengan Elio. Terbukti dari dengan gamblangnya ia menegur Elio untuk berhenti mencampuri segala hal tentang Embun. “Diamlah! kami sudah paham, tidak perlu diulang seperti kaset kusut!” sentaknya usai Elio sekali lagi mengingatkan mereka untuk bersikap baik. “Kok ngegas? Berani sama atasan?!” Elio malah balik menyentak, memasang raut sangar. Embun sudah kepalang panik, mengira mereka ribut. Namun anehnya orang-orang hanya tertawa, memperh