Acara pernikahan yang dilangsungkan di daerah Jakarta Pusat berakhir baik. Setelah menginap satu hari di hotel. Dua keluarga yang kini resmi menjadi keluarga besar berkumpul di lobi. Linda dan suaminya Ahmad nampak serasi dengan baju batik berwarna coklat tua. Sementara orang tua Adzriel tampak lebih formal dikarenakan setelah ini mereka harus terbang ke luar kota.
Dua keluarga ini tengah mengobrol ringan sambil menunggu kedatangan Embun. Pengantin baru yang baru saja menikah kemarin siang. Orang pertama yang melihat kedatangan Embun adalah sang ayah mertua, Sebastian. Pria paruh baya berpostur tubuh tinggi tegap seperti putranya. Meski sudah berumur hampir lima puluh tahun, kerutan tanda penuaan di wajah nampak samar. Membuatnya sering dikira lebih muda sepuluh tahun.
“Selamat pagi menantu ayah,” sapa Sebastian ramah.
Embun membungkuk sedikit dan membalas sapaan ayah mertuanya. “Pagi juga, ayah. Ibu, Mama dan Papa yakin mau pulang sekarang? Tidak mau nunggu, Kak Adzriel?”
“Tidak usah. Anak itu kalau sudah dapat panggilan darurat bisa lama pulangnya.” Giselle, ibu dari Adzriel menjawab. Wajahnya terlihat sedih saat menyentuh pelan lengan menantunya. “Kamu yakin tidak mau pulang ke rumah orang tuamu dulu? Ibu tidak tega, masa pengantin baru pulang ke rumah sendirian.”
“Benar, Nak. Kamu ikut pulang ke rumah Mama saja dulu. Nanti tinggal telpon suamimu minta dijemput.” Linda ikut menambahkan.
Sebenarnya tawaran dari orang tuanya cukup menggoda. Namun dengan berat hati, Embun menolak. Ia ingin secepatnya pulang ke rumah miliknya dan Adzriel. Sudah tidak sabar ia mengurus rumah tersebut, mendekornya sesuai selera, kemudian membuatkan makan malam dan menunggu kepulangan sang suami. Memikirkannya saja sudah membuat hatinya bergetar gembira.
“Embun baik-baik saja, Mah, Bu. Ini juga bukan kemauan Kak Adzriel, namanya juga panggilan tugas.” demi menenangkan dua hati perempuan di depannya, Embun merangkul mereka dan memeluknya erat. “Mama, Ibu, Papa dan Ayah tidak usah khawatir. Kalian pulangnya hati-hati dan jangan lupa kabarin kalau sudah sampai di grup keluarga.”
Menyadari keputusan putri mereka sudah bulat. Linda dan Giselle hanya bisa membalas pelukan Embun dan mengusap punggungnya menguatkan. Embun melepas pelukannya, kali ini memberi kecupan singkat di pipi Ahmad dan mencium tangan ayah mertua.
“Jaga diri baik-baik, Nak. Kalau lagi masak jangan suka ditinggalin seperti kebiasaanmu di rumah.” Sekali lagi Linda mengingatkan. Rupanya wanita paruh baya itu belum sepenuhnya mempercayai putrinya mengurus rumah sendiri. “Atau Mama menginap saja di rumahmu? Temani kamu sampai suamimu pulang.”
“Ih, Mama mau ganggu malam pertama pengantin baru?” Embun malah meledek, walau kenyataannya malam indah itu telah dilalui semalam. “Embun bukan anak kecil lagi. Embun sekarang istrinya Kak Adriel. Embun juga tidak akan meninggalkan kompor menyala, janji!”
Setelah agak lama membujuk, akhirnya para orang tua luluh juga. Embun segera mengantar mereka ke depan pintu masuk lobi utama. Mobil pajero hitam sudah menunggu suami istri keluarga Adhva. Sementara di belakangnya mobil biru juga siap menjemput keluarga Embun. Mereka saling melambaikan tangan ke arah Embun ketika masing-masing kendaraan besi hendak melaju.
Usai memastikan kedua mobil telah hilang dari pandangan. Embun kembali memasuki hotel untuk bersiap-siap check out. Kamar inapnya berada di lantai empat. Kondisi kamar pagi ini sedikit berantakan terutama di bagian petiduran. Manik hitamnya melirik sekilas namun ingatan malam pertama membuat wajahnya memanas. Embun mengipas wajah sambil sesekali memegang pipi. Semburat merah muncul saat mengingat kembali sentuhan Adzriel di tubuhnya.
“Lupakan, Embun! Ini masih pagi, jangan mikirin hal tidak senonoh, deh!” gerutunya sendiri.
Matahari di luar sudah semakin terik saat akhirnya Embun selesai packing. Ia menarik satu koper besar berwarna putih dan menjinjing tas kain. Gadis itu kembali turun ke lobi hotel, membalas sapaan staff hotel sambil menuju ke arah pintu masuk. Di sana taksi sudah menunggunya. Dibantu pegawai laki-laki, Embun segera naik ke kursi penumpang di bagian belakang tanpa harus susah-susah menaruh barang bawaannya.
Setelah memberitahu alamat tujuan, Embun mengeluarkan ponsel. Ia mengetuk layar touchscreen dan membuka aplikasi hijau untuk mengirim pesan pada suaminya. Meski hubungan mereka berdua masih canggung. Ia tidak akan semudah itu menyerah untuk memenangkan hati pria bernama lengkap Adzriel Adhva Rafandra.
Kak Adzriel, ayah dan ibu sudah berangkat ke bandara. Mama dan papa juga sudah pulang ke rumah. Aku lagi dalam perjalanan pulang ke rumah kita. Kak Adzriel kira-kira kapan pulangnya? —terkirim.
Selesai mengirim pesan, Embun menaruh kembali ponselnya. Ia tidak menunggu jawaban. Embun tahu betul bahwa pesannya akan lama mendapatkan balasan—atau mungkin malah tidak dibalas.
.
.
.
Continue…
Kereta besi berwarna biru langit berhenti di sebuah rumah berlantai dua. Salah satu rumah di komplek perumahan cluster di daerah Jakarta Barat. Embun turun dari kursi penumpang, disusul supir taksi membantu menurunkan barang bawaan. Setelah bayar ongkos dan mengucapkan terima kasih, Embun menyeret koper memasuki halaman rumah. Rumah ini adalah hadiah pernikahan dari orang tua Adzriel. Betapa bersyukurnya gadis itu saat mendengarnya di acara lamaran waktu lalu.Menggunakan kunci cadangan, Embun membuka pintu depan. Ia melangkah masuk sambil menatap kagum desain rumah yang minimalis dan elegan. Siapa sangka gaya rumah ini sesuai seleranya yang menyukai tipe LDk. Walau bedanya ada beberapa sekat di antara dua area. Tetapi itu tidak mengurangi rasa senangnya dan malah semakin menyukai rumah barunya. Embun berjalan menuju kamar utama, letaknya ada di samping ruang tengah. Wanita itu membuka pintu, masuk dan segera membuka koper. Ia harus secepatnya selesai beres-beres, merapikan semua pak
Mentari sudah tumbang digantikan rembulan saat pintu kamar utama dibuka. Adzriel keluar dari kamar terlihat lebih segar, rambutnya agak basah tanda habis keramas. Ia memakai kaos polos dan celana training hitam. Embun yang berada di ruang keluarga sedang menonton, sontak berdiri. Ia menghampiri suaminya, senyuman manis terpatri di wajah.“Kak Riel pasti lapar, Embun sudah siapkan makan malam kesukaan kamu.”Mata sehitam jelaga menatap tajam, lalu melengos, “saya makan di luar.” katanya mengejutkan Embun. “Tapi aku sudah masak loh, Kak. Sayang makanannya, nanti nangis lagi.” Embun berusaha membujuk, meski rayuannya lebih mirip kata-kata seorang ibu kepada anaknya. “Kata ibu, Kak Riel suka minum teh jahe selepas makan malam. Embun sudah siapkan seteko juga untuk temani Kak Riel bersantai di teras rumah.” selain suaranya yang lembut dan santun, Embun juga coba membujuknya dengan memegang lengan Adzriel. Tapi baru sedetik ia menyentuh lengan, Adzriel segera menepis tangan Embun. Raut wa
Tepat pukul lima pagi, layar ponsel Embun berkedip beberapa kali. Alarm berbunyi nyaring. Membangunkan wanita berumur 21 tahun dari tidur nyenyaknya. ia segera beranjak duduk, butuh waktu sekitar lima menit sampai nyawanya terkumpul. Sejenak kemudian Embun menyibak selimut tebal dan beranjak dari petiduran. Ia membuka pintu kamar di samping kamar utama. Sesuai perintah dari suaminya beberapa hari lalu, mereka pisah ranjang. Meski begitu Embun menolak untuk tidak mengurus Adzriel.Sudah menjadi salah satu mimpinya, dapat melayani dan menyiapkan segala keperluan sang suami. Karena itulah Embun sudah memakai celemek dan menyiapkan bumbu dapur pagi-pagi. Ia berniat membuatkan makan pagi dan bekal untuk Adzriel. Meski kemampuan masaknya tidak sehebat istri-istri diluar sana. Setidaknya wanita itu percaya, dia tidak akan kalah jika menyangkut berapa besar cintanya untuk pak suami.Embun bergerak gesit, mengupas bawang putih dan merah. Memotong tomat, kentang kemudian mengiris daun bawang. I
Layar ponsel kembali gelap usai sambungan telepon terputus, setelah satu jam terhubung. Embun menarik napas panjang, tersenyum tipis. Semangatnya naik setelah berbincang lama dengan mama mertua. Ucapan adalah doa, meskipun dalam bentuk kebohongan putih yang Embun katakan pada Giselle. Pernikahan yang dilandasi perjodohan bisa dianggap sebagai ujian pertama berumah tangga. Ada baiknya Embun mengubah mindset-nya. Menganggap misi membuka hati suaminya adalah rintangan pertama yang harus ia selesaikan. Demi hadiah cinta dan kesetiaan yang akan dia dapatkan nantinya. Belum sempat Embun menaruh ponsel di atas meja, layar kembali berkedip, tanda pesan masuk. Matanya mengerjap beberapa kali, terkejut melihat nama kontak si pengirim. Jari telunjuk bergerak cepat, mengetuk layar dan membaca pesan singkat. Hai pengantin baru. Cuma mau tanya saja, kapan siap terima projek lagi? Tidak usah freelance di tempatku, langsung jadi karyawan tetap saja, mau ya? —terbaca. Segaris senyum tipis merekah
Adzriel turun dari mobil dengan badan sempoyongan. Seragam kerja yang membalut tubuh atletisnya nampak kusut, semua kancing dilepas. Baju dalaman berwarna putih terlihat buram akibat basah oleh keringat. Wajah yang selalu datar dan dingin itu kali ini terlihat payah. Wajahnya merah padam, bibir pucat dan butir-butir sebesar biji jagung mengalir turun dari pelipis. Baru selangkah ia melangkah, tubuhnya ambruk ke lantai. Embun kaget bukan main melihat kondisi suaminya.“Kak Riel, bangun ka! Kamu kenapa, kak?” susah payah Embun membalik tubuh besar sang suami. Ia segera mengecek suhu tubuh dengan menyentuh kening. Panas. Suaminya ternyata sakit dan demamnya cukup tinggi. Embun berusaha membawa Adzriel masuk ke dalam rumah. Ia mati-matian membopong suami yang kesadarannya kian menipis.Tiga jam lamanya Adzriel tertidur sejak pulang kerja. Embun dengan telaten menggantikan baju suaminya dengan pakaian lebih nyaman. ia menyiapkan obat-obatan di atas nakas, juga kompresan penurun panas. Embu
Domisili kantor tempat Adzriel bekerja ada di Kecamatan Kebayoran Baru, Kota Jakarta Selatan. Mereka memiliki Jadwal Pelayanan dari hari senin - jumat. Adzriel merupakan salah satu personel muda sekaligus pengantin baru di bagiannya. karena itu ia kerap kali menjadi bahan ledekan rekan-rekan kerjanya, terlebih para senior. Adzriel adalah seorang pemuda tegas, pendiam dan pekerja keras. Teman-temannya bahkan kerap kali menjulukinya workaholic. Seperti sekarang ini, pundaknya harus ditepuk agar menariknya dari tumpukan pekerjaan. “Hei, kerja terus. Sudah jam makan siang ini,” Dipta, teman kerja yang duduk di sebelahnya memanggil. Adzriel sontak melihat ke arah jam dinding. Pukul 12.00 siang. Ia lantas melepas kacamata baca dan menaruhnya di saku seragam. Mereka biasa pergi makan di luar bersama. Beberapa teman yang lain sudah menghampiri meja Adzriel dan Dipta, menunggu. “Hari ini mau makan di mana?” seorang wanita muda bertanya. Dipta terlihat berpikir sejenak lalu menjawab, “baks
“Kira-kira kalau Embun kerja, Kak Riel keberatan tidak?”Denting sendok sontak berhenti saat pemiliknya menatap Embun. Wanita muda itu menelan ludah gugup, buru-buru menambahkan. “Uang bulanan dan uang jajan dari Kak Riel cukup. Embun ingin bekerja bukan karena merasa kurang, tetapi ingin lebih produktif. Rumah besar ini hanya kita berdua yang menempati, jadi jarang kotor. Embun banyak waktu senggangnya dan kebetulan belum ada pengalaman bekerja juga. Tahu sendiri, baru lulus langsung nikah sama Kak Riel.”“Mumpung masih muda, Embun ingin cari pengalaman. Kak Riel juga tidak perlu khawatir kalau Embun jadi lalai dengan kewajiban Embun sebagai seorang istri. Embun janji rumah bersih setiap Kak Riel pulang dan meja makan serta bekal selalu siap sedia. Bagaimana, Kak?” Embun bertanya harap-harap cemas.Lengang sejenak, Adzriel nampak berpikir. “Kamu mau kerja dimana?” tanya kemudian. Merasa mendapatkan lampu hijau, Embun menceritakan perihal tawaran kerja dari Elio. Matanya terlihat ber
Seharian ini Adzriel tidak bisa fokus bekerja, sibuk memikirkan istrinya. Berhitung mengenai langkah mana yang harus ia ambil. Sejak awal Adzriel memberi batasan pada dirinya, untuk tidak mempedulikan Embun, tidak menunjukan perasaannya yang sebenarnya. Berharap kelak wanita itu menyerah, meminta cerai dan kembali mengejar cintanya yang kandas akibat keegoisan orang tua mereka. Namun mengapa kabar mengenai kembalinya Fidelio dan tawaran pekerjaan untuk Embun malah membuat hati Adzriel gundah. Seakan ia tidak terima jika mereka kembali berhubungan. Adzriel termenung beberapa saat, kemudian membalik-balik berkas ditangan lalu kembali terdiam. Melamun. Terus seperti itu sepanjang hari hingga waktunya makan siang. Dipta menepuk pundak, menyadarkan Adzriel dari lamunan. Teman semeja menatapnya khawatir, “eh … kenapa wajahmu? Pucat gitu, sakit?” “Hanya sakit kepala sedikit,” jawab Adzriel seraya mengeluarkan tas biru dengan stiker pinguin dari balik tas ranselnya. “Saya makan di kantor