Layar ponsel kembali gelap usai sambungan telepon terputus, setelah satu jam terhubung. Embun menarik napas panjang, tersenyum tipis. Semangatnya naik setelah berbincang lama dengan mama mertua. Ucapan adalah doa, meskipun dalam bentuk kebohongan putih yang Embun katakan pada Giselle. Pernikahan yang dilandasi perjodohan bisa dianggap sebagai ujian pertama berumah tangga. Ada baiknya Embun mengubah mindset-nya. Menganggap misi membuka hati suaminya adalah rintangan pertama yang harus ia selesaikan. Demi hadiah cinta dan kesetiaan yang akan dia dapatkan nantinya. Belum sempat Embun menaruh ponsel di atas meja, layar kembali berkedip, tanda pesan masuk. Matanya mengerjap beberapa kali, terkejut melihat nama kontak si pengirim. Jari telunjuk bergerak cepat, mengetuk layar dan membaca pesan singkat. Hai pengantin baru. Cuma mau tanya saja, kapan siap terima projek lagi? Tidak usah freelance di tempatku, langsung jadi karyawan tetap saja, mau ya? —terbaca. Segaris senyum tipis merekah
Adzriel turun dari mobil dengan badan sempoyongan. Seragam kerja yang membalut tubuh atletisnya nampak kusut, semua kancing dilepas. Baju dalaman berwarna putih terlihat buram akibat basah oleh keringat. Wajah yang selalu datar dan dingin itu kali ini terlihat payah. Wajahnya merah padam, bibir pucat dan butir-butir sebesar biji jagung mengalir turun dari pelipis. Baru selangkah ia melangkah, tubuhnya ambruk ke lantai. Embun kaget bukan main melihat kondisi suaminya.“Kak Riel, bangun ka! Kamu kenapa, kak?” susah payah Embun membalik tubuh besar sang suami. Ia segera mengecek suhu tubuh dengan menyentuh kening. Panas. Suaminya ternyata sakit dan demamnya cukup tinggi. Embun berusaha membawa Adzriel masuk ke dalam rumah. Ia mati-matian membopong suami yang kesadarannya kian menipis.Tiga jam lamanya Adzriel tertidur sejak pulang kerja. Embun dengan telaten menggantikan baju suaminya dengan pakaian lebih nyaman. ia menyiapkan obat-obatan di atas nakas, juga kompresan penurun panas. Embu
Domisili kantor tempat Adzriel bekerja ada di Kecamatan Kebayoran Baru, Kota Jakarta Selatan. Mereka memiliki Jadwal Pelayanan dari hari senin - jumat. Adzriel merupakan salah satu personel muda sekaligus pengantin baru di bagiannya. karena itu ia kerap kali menjadi bahan ledekan rekan-rekan kerjanya, terlebih para senior. Adzriel adalah seorang pemuda tegas, pendiam dan pekerja keras. Teman-temannya bahkan kerap kali menjulukinya workaholic. Seperti sekarang ini, pundaknya harus ditepuk agar menariknya dari tumpukan pekerjaan. “Hei, kerja terus. Sudah jam makan siang ini,” Dipta, teman kerja yang duduk di sebelahnya memanggil. Adzriel sontak melihat ke arah jam dinding. Pukul 12.00 siang. Ia lantas melepas kacamata baca dan menaruhnya di saku seragam. Mereka biasa pergi makan di luar bersama. Beberapa teman yang lain sudah menghampiri meja Adzriel dan Dipta, menunggu. “Hari ini mau makan di mana?” seorang wanita muda bertanya. Dipta terlihat berpikir sejenak lalu menjawab, “baks
“Kira-kira kalau Embun kerja, Kak Riel keberatan tidak?”Denting sendok sontak berhenti saat pemiliknya menatap Embun. Wanita muda itu menelan ludah gugup, buru-buru menambahkan. “Uang bulanan dan uang jajan dari Kak Riel cukup. Embun ingin bekerja bukan karena merasa kurang, tetapi ingin lebih produktif. Rumah besar ini hanya kita berdua yang menempati, jadi jarang kotor. Embun banyak waktu senggangnya dan kebetulan belum ada pengalaman bekerja juga. Tahu sendiri, baru lulus langsung nikah sama Kak Riel.”“Mumpung masih muda, Embun ingin cari pengalaman. Kak Riel juga tidak perlu khawatir kalau Embun jadi lalai dengan kewajiban Embun sebagai seorang istri. Embun janji rumah bersih setiap Kak Riel pulang dan meja makan serta bekal selalu siap sedia. Bagaimana, Kak?” Embun bertanya harap-harap cemas.Lengang sejenak, Adzriel nampak berpikir. “Kamu mau kerja dimana?” tanya kemudian. Merasa mendapatkan lampu hijau, Embun menceritakan perihal tawaran kerja dari Elio. Matanya terlihat ber
Seharian ini Adzriel tidak bisa fokus bekerja, sibuk memikirkan istrinya. Berhitung mengenai langkah mana yang harus ia ambil. Sejak awal Adzriel memberi batasan pada dirinya, untuk tidak mempedulikan Embun, tidak menunjukan perasaannya yang sebenarnya. Berharap kelak wanita itu menyerah, meminta cerai dan kembali mengejar cintanya yang kandas akibat keegoisan orang tua mereka. Namun mengapa kabar mengenai kembalinya Fidelio dan tawaran pekerjaan untuk Embun malah membuat hati Adzriel gundah. Seakan ia tidak terima jika mereka kembali berhubungan. Adzriel termenung beberapa saat, kemudian membalik-balik berkas ditangan lalu kembali terdiam. Melamun. Terus seperti itu sepanjang hari hingga waktunya makan siang. Dipta menepuk pundak, menyadarkan Adzriel dari lamunan. Teman semeja menatapnya khawatir, “eh … kenapa wajahmu? Pucat gitu, sakit?” “Hanya sakit kepala sedikit,” jawab Adzriel seraya mengeluarkan tas biru dengan stiker pinguin dari balik tas ranselnya. “Saya makan di kantor
Makan pagi hari ini sedikit terburu-buru, karena tumben sekali Adzriel bangun kesiangan. Pemuda itu sepertinya kelelahan hingga meski jam sudah menunjukan pukul tujuh kurang sepuluh. Ia belum juga keluar dari kamar utama, membuat Embun beberapa kali menoleh ke arah kamar dengan tatapan cemas. Setelah pukul tujuh tepat belum juga ada tanda-tanda Adzriel keluar, maka Embun mengetuk pintu. Satu kali tidak ada sahutan, dua hingga tiga kali pintu tetap bergeming. Embun akhirnya meraih gagang pintu, terkejut karena ternyata tidak dikunci. Wanita muda berusia dua puluh satu tahun itu masuk ke dalam pelan-pelan. Di atas petiduran dengan selimut abu-abu, terbaring Adzriel yang masih pulas tertidur.“Kak Riel, bangun… Kak, ini sudah jam tujuh pagi!” Embun duduk di tepi, menggoyangkan pundak suami, membangunkannya. “Kak Riel, sakit? Atau memang ambil cuti hari ini?” tanyanya kemudian usai menaruh punggung tangan di kening, memeriksa suhu tubuh Adzriel yang ternyata normal. Beberapa saat kemudi
Pertemuan pertama setelah kelulusan Elio berlangsung menyenangkan. Mereka berdua saling bertukar kabar, menceritakan kegiatan masing-masing dan sedikit ghibah selama tidak bertemu. Embun melahap kentang goreng sambil berkata, “Agatha baru saja dapat pekerjaan baru di daerah Serpong, cukup jauh. Tapi melihat dia cerita penuh semangat mengenai anak-anak yang sekolah di sana. Aku rasa dia sudah menemukan tempat kerja yang cocok.” “Turut senang mendengarnya. Kita semua tahu bagaimana Agatha menyukai anak-anak dan menggerakan badannya daripada berdiam diri.” Elio mengangguk-angguk, mencomot satu kentang dari piring di depan Embun. “Bagaimana kabar Merry? Dia masih berjuang mengejar cita-citanya sebagai fotografer?” sambungnya kemudian begitu mengingat salah satu sahabat Embun yang memiliki hobi serupa dengannya. Embun mengangguk-angguk, “masih dan dia kini menjadi seorang freelance fotografer di salah satu perusahaan terkenal. Aku lupa namanya,” jawabnya lalu menyeruput minuman favoritn
Kalau dipikirkan kembali, sepertinya baru kali ini Adzriel melihat tawa lepas istrinya. Wanita muda itu selalu memasang senyum manis, terkesan kalem walau kadang bisa cerewet juga. Manik sehitam jelaga masih memperhatikan dari jauh, sengaja mematikan lampu mobil. Ia melihat bagaimana Elio menunggu Embun masuk ke dalam rumah sebelum pergi. Adzriel menghela napas perlahan, emosinya masih diatas permukaan. Sepuluh menit kemudian barulah mobil putih itu memasuki garasi rumah. Pintu mobil dibuka dan aroma masakan tercium samar-samar. Padahal wanita itu baru pulang sepuluh menit yang lalu, tetapi ia sudah sigap menyiapkan makan malam. Membuat hati Adzriel agaknya melunak sedikit. Ia melangkah masuk, tidak disambut oleh istrinya kali ini seperti sebelumnya. Mendengar suara pintu depan dibuka, Embun segera berlari kecil dari arah dapur. Ia masih mengenakan pakaian yang sama saat pergi menemui Elio lalu dilapisi celemek warna kuning lemon. Wanita itu mengikat rambutnya asal, sedikit berantak