Mentari sudah tumbang digantikan rembulan saat pintu kamar utama dibuka. Adzriel keluar dari kamar terlihat lebih segar, rambutnya agak basah tanda habis keramas. Ia memakai kaos polos dan celana training hitam. Embun yang berada di ruang keluarga sedang menonton, sontak berdiri. Ia menghampiri suaminya, senyuman manis terpatri di wajah.
“Kak Riel pasti lapar, Embun sudah siapkan makan malam kesukaan kamu.”
Mata sehitam jelaga menatap tajam, lalu melengos, “saya makan di luar.” katanya mengejutkan Embun.
“Tapi aku sudah masak loh, Kak. Sayang makanannya, nanti nangis lagi.” Embun berusaha membujuk, meski rayuannya lebih mirip kata-kata seorang ibu kepada anaknya. “Kata ibu, Kak Riel suka minum teh jahe selepas makan malam. Embun sudah siapkan seteko juga untuk temani Kak Riel bersantai di teras rumah.” selain suaranya yang lembut dan santun, Embun juga coba membujuknya dengan memegang lengan Adzriel.
Tapi baru sedetik ia menyentuh lengan, Adzriel segera menepis tangan Embun. Raut wajah pemuda itu mengeras, bersama sorot mata penuh kebencian. Embun tersentak, jantungnya terasa berhenti berdetak dan tubuhnya menegang. Tanpa sadar ia menurunkan pandangan, menunduk takut. Sama sekali tidak mengerti letak kesalahannya dimana, atau alasan mengapa pria di depannya ini begitu menaruh benci padanya.
“Saya bukan anak kecil, kamu tidak perlu mengurus saya.” suara berat bernada rendah itu terdengar menyeramkan di telinga Embun.
“Ta-tapi sudah tugas istri melayani suami. Embun memang seharusnya menyiapkan semua keperluanmu, Kak.” ucapnya sedikit terbata.
Adzriel mendengus kesal, membuat sang istri kembali tersentak. Ia memberikan lirikan tajam meski Embun tidak melihatnya. “Kalau tugasmu hanya melayani, saya bisa mempekerjakan asisten rumah tangga. Tidak perlu sampai menjadikanmu istriku. Lagi pula kita menikah karena dipaksa oleh orang tua kita. Untuk apa kamu masih berusaha menjadi istri yang baik?”
“Embun tidak terpaksa menikah denganmu, Kak.” sergahnya cepat. Matanya berkilat menahan goresan luka di hati. “Bukannya Kak Riel sudah tahu jawabannya? Saat Embun meminta Kakak bersikap lembut di malam pernikahan kita.”
Sejenak lengang saat dua pasang mata saling bersitatap. Adzriel memutuskan kontak mata dengan berpaling. “Saya tidak percaya, kita bahkan hanya bertemu satu kali saat perkenalan. Empat tahun dari mana? Omong kosong!” sinisnya sambil berlalu.
“Kak Riel!” panggilnya dengan suara serak.
Pemuda itu menghiraukan istrinya, ia melangkah menuju pintu depan. Saat sudah setengah membuka pintu, ia menoleh. “Segera pindah ke kamar sebelah, saya tidak mau sekamar denganmu. Jangan harap kejadian malam itu terulang lagi.”
Pintu ditutup dengan sedikit dibanting. Membuat rumah berlantai dua bergema. Embun menarik napas panjang, dadanya berdenyut nyeri. Ia tidak berbohong, seperti kata-katanya saat malam pertama. Relung hati milik Embun Kinanti sudah empat tahun lamanya menyimpan rasa pada sang suami. Setitik air mata jatuh tanpa bisa dicegah. Embun sontak menyeka pipi dengan punggung tangan. Menolak menangis.
Perasaan ini bukanlah cinta monyet. Meski Embun akui benih itu tertanam sejak pertama kali mereka bertemu. Namun kebun hati miliknya tidak sengaja tumbuh seperti bunga liar tanpa perawatan khusus. Melainkan memang dirawat sepenuh hati agar kelak mekar dengan indah.
“Kak Riel tidak tahu, sesulit apa aku menjaga hati ini setelah kau pergi.” Embun menyeka pipi, mencoba menghentikan hujan di wajahnya. Meski ia tahu memang seberat itu mencintai seorang diri, terluka saat perasaannya tidak terbalas. Namun wanita itu tidak bisa begitu saja melepas rasa yang ia simpan.
Satu tahun yang singkat penuh arti. Sebelum beberapa tahun belakangan ini hati dan logika saling berperang. Lubuk terdalam ingin menjaga kebun bunganya, sementara akal sehat meminta agar dicabut hingga ke akar. Perang batin yang tidak berkesudahan hingga takdir turun membawa berita. Kenyataan bahwa kini ia menjadi istri Adzriel seakan bagai mimpi di siang bolong.
Masih jelas ingatan Embun ketika mereka bertemu lagi setelah sekian lama. Pertemuan antara dua keluarga demi membahas perjodohan. Di sebuah restoran masakan jawa, mereka duduk saling berhadap-hadapan. Obrolan para orang tua saat itu masuk telinga kanan keluar ke telinga kiri, alias tidak didengar. Netra gadis itu sudah terpaku pada Adzriel seutuhnya.
“Ternyata kita satu almamater, beda fakultas.” sampai suara pemuda itu menyadarkan Embun.
Rupanya pemuda itu tidak mengenal ataupun mengingatnya. Adzriel bahkan baru tahu kalau mereka pernah satu kampus. Embun tersenyum getir dan menelan pahit. Nyatanya selama satu tahun memang hanya dirinya yang jatuh cinta seorang diri. Pertemuan penuh kesan itu ternyata tidak cukup penting untuk diingat oleh sang pria. Meski begitu Embun mana mungkin melewatkan kesempatan ini.
Embun menepuk kedua pipi, menarik diri dari ingatan masa lalu. Kini perasaan sedih itu telah lenyap, berganti menjadi tekad. Ia akan berusaha mendapatkan hati suaminya. Tidak mengapa jika butuh waktu lama dan tenaga demi melunakan hati keras suaminya. Embun percaya bahwa kelak rumah tangga mereka akan manis pada waktunya dan bukankah lebih romantis jika menjalin cinta setelah menikah?
.
.
.
Continue…
Tepat pukul lima pagi, layar ponsel Embun berkedip beberapa kali. Alarm berbunyi nyaring. Membangunkan wanita berumur 21 tahun dari tidur nyenyaknya. ia segera beranjak duduk, butuh waktu sekitar lima menit sampai nyawanya terkumpul. Sejenak kemudian Embun menyibak selimut tebal dan beranjak dari petiduran. Ia membuka pintu kamar di samping kamar utama. Sesuai perintah dari suaminya beberapa hari lalu, mereka pisah ranjang. Meski begitu Embun menolak untuk tidak mengurus Adzriel.Sudah menjadi salah satu mimpinya, dapat melayani dan menyiapkan segala keperluan sang suami. Karena itulah Embun sudah memakai celemek dan menyiapkan bumbu dapur pagi-pagi. Ia berniat membuatkan makan pagi dan bekal untuk Adzriel. Meski kemampuan masaknya tidak sehebat istri-istri diluar sana. Setidaknya wanita itu percaya, dia tidak akan kalah jika menyangkut berapa besar cintanya untuk pak suami.Embun bergerak gesit, mengupas bawang putih dan merah. Memotong tomat, kentang kemudian mengiris daun bawang. I
Layar ponsel kembali gelap usai sambungan telepon terputus, setelah satu jam terhubung. Embun menarik napas panjang, tersenyum tipis. Semangatnya naik setelah berbincang lama dengan mama mertua. Ucapan adalah doa, meskipun dalam bentuk kebohongan putih yang Embun katakan pada Giselle. Pernikahan yang dilandasi perjodohan bisa dianggap sebagai ujian pertama berumah tangga. Ada baiknya Embun mengubah mindset-nya. Menganggap misi membuka hati suaminya adalah rintangan pertama yang harus ia selesaikan. Demi hadiah cinta dan kesetiaan yang akan dia dapatkan nantinya. Belum sempat Embun menaruh ponsel di atas meja, layar kembali berkedip, tanda pesan masuk. Matanya mengerjap beberapa kali, terkejut melihat nama kontak si pengirim. Jari telunjuk bergerak cepat, mengetuk layar dan membaca pesan singkat. Hai pengantin baru. Cuma mau tanya saja, kapan siap terima projek lagi? Tidak usah freelance di tempatku, langsung jadi karyawan tetap saja, mau ya? —terbaca. Segaris senyum tipis merekah
Adzriel turun dari mobil dengan badan sempoyongan. Seragam kerja yang membalut tubuh atletisnya nampak kusut, semua kancing dilepas. Baju dalaman berwarna putih terlihat buram akibat basah oleh keringat. Wajah yang selalu datar dan dingin itu kali ini terlihat payah. Wajahnya merah padam, bibir pucat dan butir-butir sebesar biji jagung mengalir turun dari pelipis. Baru selangkah ia melangkah, tubuhnya ambruk ke lantai. Embun kaget bukan main melihat kondisi suaminya.“Kak Riel, bangun ka! Kamu kenapa, kak?” susah payah Embun membalik tubuh besar sang suami. Ia segera mengecek suhu tubuh dengan menyentuh kening. Panas. Suaminya ternyata sakit dan demamnya cukup tinggi. Embun berusaha membawa Adzriel masuk ke dalam rumah. Ia mati-matian membopong suami yang kesadarannya kian menipis.Tiga jam lamanya Adzriel tertidur sejak pulang kerja. Embun dengan telaten menggantikan baju suaminya dengan pakaian lebih nyaman. ia menyiapkan obat-obatan di atas nakas, juga kompresan penurun panas. Embu
Domisili kantor tempat Adzriel bekerja ada di Kecamatan Kebayoran Baru, Kota Jakarta Selatan. Mereka memiliki Jadwal Pelayanan dari hari senin - jumat. Adzriel merupakan salah satu personel muda sekaligus pengantin baru di bagiannya. karena itu ia kerap kali menjadi bahan ledekan rekan-rekan kerjanya, terlebih para senior. Adzriel adalah seorang pemuda tegas, pendiam dan pekerja keras. Teman-temannya bahkan kerap kali menjulukinya workaholic. Seperti sekarang ini, pundaknya harus ditepuk agar menariknya dari tumpukan pekerjaan. “Hei, kerja terus. Sudah jam makan siang ini,” Dipta, teman kerja yang duduk di sebelahnya memanggil. Adzriel sontak melihat ke arah jam dinding. Pukul 12.00 siang. Ia lantas melepas kacamata baca dan menaruhnya di saku seragam. Mereka biasa pergi makan di luar bersama. Beberapa teman yang lain sudah menghampiri meja Adzriel dan Dipta, menunggu. “Hari ini mau makan di mana?” seorang wanita muda bertanya. Dipta terlihat berpikir sejenak lalu menjawab, “baks
“Kira-kira kalau Embun kerja, Kak Riel keberatan tidak?”Denting sendok sontak berhenti saat pemiliknya menatap Embun. Wanita muda itu menelan ludah gugup, buru-buru menambahkan. “Uang bulanan dan uang jajan dari Kak Riel cukup. Embun ingin bekerja bukan karena merasa kurang, tetapi ingin lebih produktif. Rumah besar ini hanya kita berdua yang menempati, jadi jarang kotor. Embun banyak waktu senggangnya dan kebetulan belum ada pengalaman bekerja juga. Tahu sendiri, baru lulus langsung nikah sama Kak Riel.”“Mumpung masih muda, Embun ingin cari pengalaman. Kak Riel juga tidak perlu khawatir kalau Embun jadi lalai dengan kewajiban Embun sebagai seorang istri. Embun janji rumah bersih setiap Kak Riel pulang dan meja makan serta bekal selalu siap sedia. Bagaimana, Kak?” Embun bertanya harap-harap cemas.Lengang sejenak, Adzriel nampak berpikir. “Kamu mau kerja dimana?” tanya kemudian. Merasa mendapatkan lampu hijau, Embun menceritakan perihal tawaran kerja dari Elio. Matanya terlihat ber
Seharian ini Adzriel tidak bisa fokus bekerja, sibuk memikirkan istrinya. Berhitung mengenai langkah mana yang harus ia ambil. Sejak awal Adzriel memberi batasan pada dirinya, untuk tidak mempedulikan Embun, tidak menunjukan perasaannya yang sebenarnya. Berharap kelak wanita itu menyerah, meminta cerai dan kembali mengejar cintanya yang kandas akibat keegoisan orang tua mereka. Namun mengapa kabar mengenai kembalinya Fidelio dan tawaran pekerjaan untuk Embun malah membuat hati Adzriel gundah. Seakan ia tidak terima jika mereka kembali berhubungan. Adzriel termenung beberapa saat, kemudian membalik-balik berkas ditangan lalu kembali terdiam. Melamun. Terus seperti itu sepanjang hari hingga waktunya makan siang. Dipta menepuk pundak, menyadarkan Adzriel dari lamunan. Teman semeja menatapnya khawatir, “eh … kenapa wajahmu? Pucat gitu, sakit?” “Hanya sakit kepala sedikit,” jawab Adzriel seraya mengeluarkan tas biru dengan stiker pinguin dari balik tas ranselnya. “Saya makan di kantor
Makan pagi hari ini sedikit terburu-buru, karena tumben sekali Adzriel bangun kesiangan. Pemuda itu sepertinya kelelahan hingga meski jam sudah menunjukan pukul tujuh kurang sepuluh. Ia belum juga keluar dari kamar utama, membuat Embun beberapa kali menoleh ke arah kamar dengan tatapan cemas. Setelah pukul tujuh tepat belum juga ada tanda-tanda Adzriel keluar, maka Embun mengetuk pintu. Satu kali tidak ada sahutan, dua hingga tiga kali pintu tetap bergeming. Embun akhirnya meraih gagang pintu, terkejut karena ternyata tidak dikunci. Wanita muda berusia dua puluh satu tahun itu masuk ke dalam pelan-pelan. Di atas petiduran dengan selimut abu-abu, terbaring Adzriel yang masih pulas tertidur.“Kak Riel, bangun… Kak, ini sudah jam tujuh pagi!” Embun duduk di tepi, menggoyangkan pundak suami, membangunkannya. “Kak Riel, sakit? Atau memang ambil cuti hari ini?” tanyanya kemudian usai menaruh punggung tangan di kening, memeriksa suhu tubuh Adzriel yang ternyata normal. Beberapa saat kemudi
Pertemuan pertama setelah kelulusan Elio berlangsung menyenangkan. Mereka berdua saling bertukar kabar, menceritakan kegiatan masing-masing dan sedikit ghibah selama tidak bertemu. Embun melahap kentang goreng sambil berkata, “Agatha baru saja dapat pekerjaan baru di daerah Serpong, cukup jauh. Tapi melihat dia cerita penuh semangat mengenai anak-anak yang sekolah di sana. Aku rasa dia sudah menemukan tempat kerja yang cocok.” “Turut senang mendengarnya. Kita semua tahu bagaimana Agatha menyukai anak-anak dan menggerakan badannya daripada berdiam diri.” Elio mengangguk-angguk, mencomot satu kentang dari piring di depan Embun. “Bagaimana kabar Merry? Dia masih berjuang mengejar cita-citanya sebagai fotografer?” sambungnya kemudian begitu mengingat salah satu sahabat Embun yang memiliki hobi serupa dengannya. Embun mengangguk-angguk, “masih dan dia kini menjadi seorang freelance fotografer di salah satu perusahaan terkenal. Aku lupa namanya,” jawabnya lalu menyeruput minuman favoritn
Setiap melihat kalender, semakin Adzriel gugup. Sampai saat ini dia belum juga mendekati Embun. Melihatnya saat di kantin dan di taman selalu lebih dari cukup baginya. Sungguh, pemuda itu baru sadar betapa pengecutnya dia. “Tidak bisa! Aku harus dapat nomornya sebelum wisuda.” Adzriel memantapkan diri saat duduk sendiri di taman. Percobaan pertama dia lakukan di kantin. Meski banyaknya orang disana sedikit membuat ragu. Adzriel mencoba menguatkan diri. Sudah sepuluh menit sebelum bel istirahat dia menunggu. Ketika melihat kantin mulai ramai, mata sehitam jelaga menyisir sekitar. “Embun, mau makan siang apa?”Adzriel sontak mencari suara yang menyapa Embun. Ia menemukannya tidak jauh darinya. Sekitar tiga meja. Adzriel sontak berdiri, membuat kaget beberapa orang di sekitarnya. Ia menunduk pelan, meminta maaf.“Hei, kita bertemu lagi.” Adzriel bergumam pelan, mengulang kata seperti mantra.Langkah semakin dekat, degup jantung kian menderu. Adzriel merasa keringat dingin turun di pel
Ini sudah yang kedua kalinya, mata sehitam jelaga mengunci sosok seorang gadis.Embun Kinanti, nama penolongnya.Entah ini disebut beruntung atau apes. Adzriel baru mengetahui keberadaan Embun sangat terlambat. Tidak lama lagi dia akan wisuda. Belum lagi perbedaan tingkatan mereka. Tidak banyak waktu untuk mendekatinya. “Ini yang kamu minta, Riel.”Seorang pemuda bertindak mencurigakan. Memakai pakaian tertutup sambil celingak-celinguk. Sudah mirip pengedar narkoba. Bedanya barang yang sedang dia selundupkan berupa secarik kertas kecil. Adzriel menerimanya dengan kening berkerut. Agak heran dengan tingkah ajaib temannya. Padahal dia hanya meminta tolong sesuatu. Tapi tingkahnya sudah seperti informan paling berbahaya dan dicari.“Lepaskan topimu!” kata Adzriel jengkel. Ia menyambar topi yang menutupi kepala temannya. Pria bermata sipit itu kaget, sontak mengambil kembali topinya. “Eh! Jangan! Nanti ketahuan lagi kalau aku yang bocorin jadwal adik tingkat. Mau ditaruh dimana wajah
“Selamat datang di Toko Florist, jenis buket seperti apa yang diinginkan, Kak?”Mata sehitam jelaga melirik sekeliling. Aroma lembut dan wangi bunga memenuhi indra penciumannya. Adzriel mengerutkan kening, tidak tahu harus memilih apa.“Bisa rekomendasikan buket untuk permintaan maaf? Padukan dengan warna ungu dan putih.” Ucap Adzriel setelah terdiam.“Baik, mohon ditunggu Kak.”Adzriel mengangguk singkat, lantas duduk di kursi tunggu yang sudah disediakan. Semburat merah terlihat samar di telinga akibat menahan malu.Ia agak malu pada dirinya sendiri. Berbekal pengetahuan selama mengamati Embun setahun pernikahan. Hanya informasi kecil inilah yang dia ketahui.Tiga puluh menit kemudian.“Terima kasih telah menunggu. Ini buket pesanannya, Kak.”Sebuah buket berukuran sedang dengan paduan ungu dan putih sesuai permintaan siap dibawa. Adzriel menatap sejenak, ia tidak tahu banyak soal bunga.Seharusnya ini indah, bukan? Batinnya meragu. “Terima kasih, simpan saja kembaliannya.” Usai me
Keadaan Universitas saat malam hari cukup sepi. Mengingat jam memang sudah menunjukan pukul dua belas malam. Lampu-lampu taman sebagian dibiarkan padam. Begitu pula dengan pencahayaan di lorong kampus. Penjaga kampus hari ini ada dua orang yang berjaga. Satu duduk memantau CCTV di ruang kendali. Satu lagi melakukan patroli setiap beberapa jam. Memutari tiap sudut bangunan luas berlantai tiga. Satpam di ruang kendali mengawasi tiap layar komputer ditemani secangkir kopi hitam. Setiap beberapa menit sekali, layar akan berkedip. Memperlihatkan kondisi sekitar kampus secara bergantian. Sementara itu koleganya sudah sejak tadi berpatroli di lantai dua bagian barat.Pada kamera pengawas bernomor tiga yang menunjukan area taman kampus bagian belakang. Terdapat pergerakan cepat tepat ketika layar berkedip cepat. Sehingga luput dari mata pengawas penjaga malam itu. Embun menyelinap masuk ke dalam kampus. Melompati pagar setinggi satu meter dengan mudah. Saat ini ia memakai pakaian serba hit
Embun dan Merry sibuk mengatur strategi demi menjebak pelaku perundungan bersama teman-temannya. Matahari sudah tumbang ke sisi barat ketika selesai dan mereka keluar dari cafe.Sebelum mereka menjalankan rencana. Selama beberapa hari ini Embun sibuk berkeliling kampus. Berpura-pura mengerjakan tugas, membawa laptopnya ke setiap sudut kampus. Terkadang hanya duduk, menikmati makan siang sementara matanya mengawasi. Mencari titik-titik CCTV terpasang dan di mana yang tidak. Embun datang ke rumah Merry. Mengeluarkan sebuah kertas berisi denah kampus. Saking detailnya sudah seperti cetak biru asli milik kampus. Ini tentunya mengundang rasa penasaran Merry. “Kamu tidak perlu tahu, Mer. Fokus saja pada rencana kita,” itulah jawaban Embun ketika ditanya. Embun menunjuk salah satu titik, letaknya berada di belakang kampus. Tempatnya tidak ramai, Embun sudah memastikannya. Di sanalah mereka akan memasang perangkap. ***“Kau siap, Mer?” suara Embun terdengar pada earphone yang Merry kenaka
Saat itu Embun baru saja menjadi mahasiswa baru di Universitas yang ada di Jakarta. Tidak jauh dari rumah, sehingga cukup pulang pergi dengan transportasi umum. Tidak perlu nge-kost ataupun cari kontrakan tiga petak. Dengan begitu ia bisa sedikit menurunkan kekhawatiran orang tuanya.Selain itu, Embun sudah berjanji pada sang ibu.“Tidak ada party, tidak ada trik sulap, dan tidak ada segala jenis, macam, bentuk aksi hobimu itu.”Embun sontak buka mulut, hendak protes tidak terima. Sayangnya kalah cepat dari Linda. Wanita paruh baya itu segera menambahkan lagi, setengah mengancam. “Kalau kamu masih bandel juga, biar Mama buang semua peralatan hobimu itu!”“Eh, jangan atuh, Mah! Bun belinya penuh perjuangan itu, mana harus nabung setengah tahun…”Mama melengos tidak peduli, sambil bersedekap dada. Matanya mendelik tajam, “janji dulu!” katanya menuntut. “Iya Bun janji. Embun janji tidak banyak tingkah selama kuliah. Embun hiatus dari segala jenis kegiatan hobi dan fokus belajar. Sudah,
“Oh, terus kenapa istrimu masih tidak percaya? Mungkin dia sengaja bikin ribut demi merusak hubungan pernikahan kalian.”Adzriel mengepalkan tangan, agak terguncang. Salah satu kecemasannya selama ini adalah ketika Embun mulai bergerak. Mencari cara demi mengakhiri pernikahan yang dilandasi perjodohan.Dari awal pernikahan ini, Adzriel telah bertekad. Tidak akan menyiram bunga di hati, supaya tidak terus tumbuh. Meski begitu, rasa cintanya ini serupa tanaman kaktus. Tidak butuh air setiap waktu atau setiap hari. Kena cipratan tidak sengaja saja sudah cukup.Meski ia rela melepaskan Embun, saat ini Adzriel menginginkan wanita itu berada disisinya. Kemarahan sang istri pada Zenata merupakan bentuk rasa cemburu. Perasaan tidak asing yang dia rasakan saat melihat Embun bersama Fidelio.Perasaan ini karena Embun penting baginya. Jadi, bolehkah Adzriel berpikir kemarahan sang istri karena ada dia di sudut hati Embun?“Terima kasih, Zenata.” Adzriel sontak berdiri dari duduknya, mengejutkan
Suasana di kantor sejak beberapa hari ini terasa tegang. Lebih tepatnya hanya divisi Adzriel. Para anggota tim kerap kali saling pandang, Mereka seperti sedang berjalan di atas permukaan tipis.Brian merapikan berkas, berdiri dari tempatnya. Ia hendak menghampiri meja Adzriel. Matanya sesekali melihat teman kerjanya. Seakan meminta dukungan karena dia ragu-ragu. Dipta mengibas tangan, menyuruhnya maju. “Permisi… Pak Adzriel,” ucap Brian hati-hati. Atasan sekaligus koleganya tidak melihat ke arahnya. Sibuk mengecek berkas di tangan. Brian menaruh dokumen yang sempat diminta di atas meja. Adzriel segera menerima, membacanya cepat lalu berujar. “Ini ada yang kurang,” suara Adzriel datar dan kalem. Seperti biasanya sehingga Brian agak bernapas lega. “Saya masih menunggu jawaban dari divisi terkait, Pak. Mereka bilang butuh dua hari–”BRAK!Brian seketika kicep begitu Adzriel membanting dokumen. Teman-teman kerjanya juga melihat ke arah mereka. Mata jelaga menatap Brian yang menelan lu
BREAKING NEWSKemunculan Sena, Pencuri Misterius Berhasil Kabur Lagi!Suara dari televisi yang menampilkan acara berita terdengar. Di ruang tamu, Ahmad duduk menonton. Raut wajahnya terlihat cemas sambil mencuri pandang ke arah putrinya. Embun duduk tidak jauh darinya, sibuk mengerjakan tugas. Putri mereka telah tumbuh besar menjadi gadis yang cantik, ceria dan menyenangkan. Hanya saja meski sudah menginjak bangku kuliah. Minat Embun terhadap trik sulap dan teknik menyamar masihlah kuat. “Dia disana, tangkap!!” Seruan dari anggota kepolisian dari televisi terdengar.“Astaga, tubuhnya hilang!”“Lagi-lagi polisi gagal menangkap Sena serta kehilangan kalung pertama!”Dari sudut mata Ahmad, pria paruh baya itu melihat sesuatu di tangan putrinya. Embun sedang mengerjakan tugas kuliahnya. Menggunakan contoh di tangan, sebuah kalung permata indah serupa dengan yang diberitakan. Ahmad sontak menelan ludah gugup. “Bun…”“Kenapa, Pah?”“Cakep sekali kalungnya, Embun beli dimana?”“Oh ini? Em