Mentari sudah tumbang digantikan rembulan saat pintu kamar utama dibuka. Adzriel keluar dari kamar terlihat lebih segar, rambutnya agak basah tanda habis keramas. Ia memakai kaos polos dan celana training hitam. Embun yang berada di ruang keluarga sedang menonton, sontak berdiri. Ia menghampiri suaminya, senyuman manis terpatri di wajah.
“Kak Riel pasti lapar, Embun sudah siapkan makan malam kesukaan kamu.”
Mata sehitam jelaga menatap tajam, lalu melengos, “saya makan di luar.” katanya mengejutkan Embun.
“Tapi aku sudah masak loh, Kak. Sayang makanannya, nanti nangis lagi.” Embun berusaha membujuk, meski rayuannya lebih mirip kata-kata seorang ibu kepada anaknya. “Kata ibu, Kak Riel suka minum teh jahe selepas makan malam. Embun sudah siapkan seteko juga untuk temani Kak Riel bersantai di teras rumah.” selain suaranya yang lembut dan santun, Embun juga coba membujuknya dengan memegang lengan Adzriel.
Tapi baru sedetik ia menyentuh lengan, Adzriel segera menepis tangan Embun. Raut wajah pemuda itu mengeras, bersama sorot mata penuh kebencian. Embun tersentak, jantungnya terasa berhenti berdetak dan tubuhnya menegang. Tanpa sadar ia menurunkan pandangan, menunduk takut. Sama sekali tidak mengerti letak kesalahannya dimana, atau alasan mengapa pria di depannya ini begitu menaruh benci padanya.
“Saya bukan anak kecil, kamu tidak perlu mengurus saya.” suara berat bernada rendah itu terdengar menyeramkan di telinga Embun.
“Ta-tapi sudah tugas istri melayani suami. Embun memang seharusnya menyiapkan semua keperluanmu, Kak.” ucapnya sedikit terbata.
Adzriel mendengus kesal, membuat sang istri kembali tersentak. Ia memberikan lirikan tajam meski Embun tidak melihatnya. “Kalau tugasmu hanya melayani, saya bisa mempekerjakan asisten rumah tangga. Tidak perlu sampai menjadikanmu istriku. Lagi pula kita menikah karena dipaksa oleh orang tua kita. Untuk apa kamu masih berusaha menjadi istri yang baik?”
“Embun tidak terpaksa menikah denganmu, Kak.” sergahnya cepat. Matanya berkilat menahan goresan luka di hati. “Bukannya Kak Riel sudah tahu jawabannya? Saat Embun meminta Kakak bersikap lembut di malam pernikahan kita.”
Sejenak lengang saat dua pasang mata saling bersitatap. Adzriel memutuskan kontak mata dengan berpaling. “Saya tidak percaya, kita bahkan hanya bertemu satu kali saat perkenalan. Empat tahun dari mana? Omong kosong!” sinisnya sambil berlalu.
“Kak Riel!” panggilnya dengan suara serak.
Pemuda itu menghiraukan istrinya, ia melangkah menuju pintu depan. Saat sudah setengah membuka pintu, ia menoleh. “Segera pindah ke kamar sebelah, saya tidak mau sekamar denganmu. Jangan harap kejadian malam itu terulang lagi.”
Pintu ditutup dengan sedikit dibanting. Membuat rumah berlantai dua bergema. Embun menarik napas panjang, dadanya berdenyut nyeri. Ia tidak berbohong, seperti kata-katanya saat malam pertama. Relung hati milik Embun Kinanti sudah empat tahun lamanya menyimpan rasa pada sang suami. Setitik air mata jatuh tanpa bisa dicegah. Embun sontak menyeka pipi dengan punggung tangan. Menolak menangis.
Perasaan ini bukanlah cinta monyet. Meski Embun akui benih itu tertanam sejak pertama kali mereka bertemu. Namun kebun hati miliknya tidak sengaja tumbuh seperti bunga liar tanpa perawatan khusus. Melainkan memang dirawat sepenuh hati agar kelak mekar dengan indah.
“Kak Riel tidak tahu, sesulit apa aku menjaga hati ini setelah kau pergi.” Embun menyeka pipi, mencoba menghentikan hujan di wajahnya. Meski ia tahu memang seberat itu mencintai seorang diri, terluka saat perasaannya tidak terbalas. Namun wanita itu tidak bisa begitu saja melepas rasa yang ia simpan.
Satu tahun yang singkat penuh arti. Sebelum beberapa tahun belakangan ini hati dan logika saling berperang. Lubuk terdalam ingin menjaga kebun bunganya, sementara akal sehat meminta agar dicabut hingga ke akar. Perang batin yang tidak berkesudahan hingga takdir turun membawa berita. Kenyataan bahwa kini ia menjadi istri Adzriel seakan bagai mimpi di siang bolong.
Masih jelas ingatan Embun ketika mereka bertemu lagi setelah sekian lama. Pertemuan antara dua keluarga demi membahas perjodohan. Di sebuah restoran masakan jawa, mereka duduk saling berhadap-hadapan. Obrolan para orang tua saat itu masuk telinga kanan keluar ke telinga kiri, alias tidak didengar. Netra gadis itu sudah terpaku pada Adzriel seutuhnya.
“Ternyata kita satu almamater, beda fakultas.” sampai suara pemuda itu menyadarkan Embun.
Rupanya pemuda itu tidak mengenal ataupun mengingatnya. Adzriel bahkan baru tahu kalau mereka pernah satu kampus. Embun tersenyum getir dan menelan pahit. Nyatanya selama satu tahun memang hanya dirinya yang jatuh cinta seorang diri. Pertemuan penuh kesan itu ternyata tidak cukup penting untuk diingat oleh sang pria. Meski begitu Embun mana mungkin melewatkan kesempatan ini.
Embun menepuk kedua pipi, menarik diri dari ingatan masa lalu. Kini perasaan sedih itu telah lenyap, berganti menjadi tekad. Ia akan berusaha mendapatkan hati suaminya. Tidak mengapa jika butuh waktu lama dan tenaga demi melunakan hati keras suaminya. Embun percaya bahwa kelak rumah tangga mereka akan manis pada waktunya dan bukankah lebih romantis jika menjalin cinta setelah menikah?
.
.
.
Continue…
Tepat pukul lima pagi, layar ponsel Embun berkedip beberapa kali. Alarm berbunyi nyaring. Membangunkan wanita berumur 21 tahun dari tidur nyenyaknya. ia segera beranjak duduk, butuh waktu sekitar lima menit sampai nyawanya terkumpul. Sejenak kemudian Embun menyibak selimut tebal dan beranjak dari petiduran. Ia membuka pintu kamar di samping kamar utama. Sesuai perintah dari suaminya beberapa hari lalu, mereka pisah ranjang. Meski begitu Embun menolak untuk tidak mengurus Adzriel.Sudah menjadi salah satu mimpinya, dapat melayani dan menyiapkan segala keperluan sang suami. Karena itulah Embun sudah memakai celemek dan menyiapkan bumbu dapur pagi-pagi. Ia berniat membuatkan makan pagi dan bekal untuk Adzriel. Meski kemampuan masaknya tidak sehebat istri-istri diluar sana. Setidaknya wanita itu percaya, dia tidak akan kalah jika menyangkut berapa besar cintanya untuk pak suami.Embun bergerak gesit, mengupas bawang putih dan merah. Memotong tomat, kentang kemudian mengiris daun bawang. I
Layar ponsel kembali gelap usai sambungan telepon terputus, setelah satu jam terhubung. Embun menarik napas panjang, tersenyum tipis. Semangatnya naik setelah berbincang lama dengan mama mertua. Ucapan adalah doa, meskipun dalam bentuk kebohongan putih yang Embun katakan pada Giselle. Pernikahan yang dilandasi perjodohan bisa dianggap sebagai ujian pertama berumah tangga. Ada baiknya Embun mengubah mindset-nya. Menganggap misi membuka hati suaminya adalah rintangan pertama yang harus ia selesaikan. Demi hadiah cinta dan kesetiaan yang akan dia dapatkan nantinya. Belum sempat Embun menaruh ponsel di atas meja, layar kembali berkedip, tanda pesan masuk. Matanya mengerjap beberapa kali, terkejut melihat nama kontak si pengirim. Jari telunjuk bergerak cepat, mengetuk layar dan membaca pesan singkat. Hai pengantin baru. Cuma mau tanya saja, kapan siap terima projek lagi? Tidak usah freelance di tempatku, langsung jadi karyawan tetap saja, mau ya? —terbaca. Segaris senyum tipis merekah
Adzriel turun dari mobil dengan badan sempoyongan. Seragam kerja yang membalut tubuh atletisnya nampak kusut, semua kancing dilepas. Baju dalaman berwarna putih terlihat buram akibat basah oleh keringat. Wajah yang selalu datar dan dingin itu kali ini terlihat payah. Wajahnya merah padam, bibir pucat dan butir-butir sebesar biji jagung mengalir turun dari pelipis. Baru selangkah ia melangkah, tubuhnya ambruk ke lantai. Embun kaget bukan main melihat kondisi suaminya.“Kak Riel, bangun ka! Kamu kenapa, kak?” susah payah Embun membalik tubuh besar sang suami. Ia segera mengecek suhu tubuh dengan menyentuh kening. Panas. Suaminya ternyata sakit dan demamnya cukup tinggi. Embun berusaha membawa Adzriel masuk ke dalam rumah. Ia mati-matian membopong suami yang kesadarannya kian menipis.Tiga jam lamanya Adzriel tertidur sejak pulang kerja. Embun dengan telaten menggantikan baju suaminya dengan pakaian lebih nyaman. ia menyiapkan obat-obatan di atas nakas, juga kompresan penurun panas. Embu
Domisili kantor tempat Adzriel bekerja ada di Kecamatan Kebayoran Baru, Kota Jakarta Selatan. Mereka memiliki Jadwal Pelayanan dari hari senin - jumat. Adzriel merupakan salah satu personel muda sekaligus pengantin baru di bagiannya. karena itu ia kerap kali menjadi bahan ledekan rekan-rekan kerjanya, terlebih para senior. Adzriel adalah seorang pemuda tegas, pendiam dan pekerja keras. Teman-temannya bahkan kerap kali menjulukinya workaholic. Seperti sekarang ini, pundaknya harus ditepuk agar menariknya dari tumpukan pekerjaan. “Hei, kerja terus. Sudah jam makan siang ini,” Dipta, teman kerja yang duduk di sebelahnya memanggil. Adzriel sontak melihat ke arah jam dinding. Pukul 12.00 siang. Ia lantas melepas kacamata baca dan menaruhnya di saku seragam. Mereka biasa pergi makan di luar bersama. Beberapa teman yang lain sudah menghampiri meja Adzriel dan Dipta, menunggu. “Hari ini mau makan di mana?” seorang wanita muda bertanya. Dipta terlihat berpikir sejenak lalu menjawab, “baks
“Kira-kira kalau Embun kerja, Kak Riel keberatan tidak?”Denting sendok sontak berhenti saat pemiliknya menatap Embun. Wanita muda itu menelan ludah gugup, buru-buru menambahkan. “Uang bulanan dan uang jajan dari Kak Riel cukup. Embun ingin bekerja bukan karena merasa kurang, tetapi ingin lebih produktif. Rumah besar ini hanya kita berdua yang menempati, jadi jarang kotor. Embun banyak waktu senggangnya dan kebetulan belum ada pengalaman bekerja juga. Tahu sendiri, baru lulus langsung nikah sama Kak Riel.”“Mumpung masih muda, Embun ingin cari pengalaman. Kak Riel juga tidak perlu khawatir kalau Embun jadi lalai dengan kewajiban Embun sebagai seorang istri. Embun janji rumah bersih setiap Kak Riel pulang dan meja makan serta bekal selalu siap sedia. Bagaimana, Kak?” Embun bertanya harap-harap cemas.Lengang sejenak, Adzriel nampak berpikir. “Kamu mau kerja dimana?” tanya kemudian. Merasa mendapatkan lampu hijau, Embun menceritakan perihal tawaran kerja dari Elio. Matanya terlihat ber
Seharian ini Adzriel tidak bisa fokus bekerja, sibuk memikirkan istrinya. Berhitung mengenai langkah mana yang harus ia ambil. Sejak awal Adzriel memberi batasan pada dirinya, untuk tidak mempedulikan Embun, tidak menunjukan perasaannya yang sebenarnya. Berharap kelak wanita itu menyerah, meminta cerai dan kembali mengejar cintanya yang kandas akibat keegoisan orang tua mereka. Namun mengapa kabar mengenai kembalinya Fidelio dan tawaran pekerjaan untuk Embun malah membuat hati Adzriel gundah. Seakan ia tidak terima jika mereka kembali berhubungan. Adzriel termenung beberapa saat, kemudian membalik-balik berkas ditangan lalu kembali terdiam. Melamun. Terus seperti itu sepanjang hari hingga waktunya makan siang. Dipta menepuk pundak, menyadarkan Adzriel dari lamunan. Teman semeja menatapnya khawatir, “eh … kenapa wajahmu? Pucat gitu, sakit?” “Hanya sakit kepala sedikit,” jawab Adzriel seraya mengeluarkan tas biru dengan stiker pinguin dari balik tas ranselnya. “Saya makan di kantor
Makan pagi hari ini sedikit terburu-buru, karena tumben sekali Adzriel bangun kesiangan. Pemuda itu sepertinya kelelahan hingga meski jam sudah menunjukan pukul tujuh kurang sepuluh. Ia belum juga keluar dari kamar utama, membuat Embun beberapa kali menoleh ke arah kamar dengan tatapan cemas. Setelah pukul tujuh tepat belum juga ada tanda-tanda Adzriel keluar, maka Embun mengetuk pintu. Satu kali tidak ada sahutan, dua hingga tiga kali pintu tetap bergeming. Embun akhirnya meraih gagang pintu, terkejut karena ternyata tidak dikunci. Wanita muda berusia dua puluh satu tahun itu masuk ke dalam pelan-pelan. Di atas petiduran dengan selimut abu-abu, terbaring Adzriel yang masih pulas tertidur.“Kak Riel, bangun… Kak, ini sudah jam tujuh pagi!” Embun duduk di tepi, menggoyangkan pundak suami, membangunkannya. “Kak Riel, sakit? Atau memang ambil cuti hari ini?” tanyanya kemudian usai menaruh punggung tangan di kening, memeriksa suhu tubuh Adzriel yang ternyata normal. Beberapa saat kemudi
Pertemuan pertama setelah kelulusan Elio berlangsung menyenangkan. Mereka berdua saling bertukar kabar, menceritakan kegiatan masing-masing dan sedikit ghibah selama tidak bertemu. Embun melahap kentang goreng sambil berkata, “Agatha baru saja dapat pekerjaan baru di daerah Serpong, cukup jauh. Tapi melihat dia cerita penuh semangat mengenai anak-anak yang sekolah di sana. Aku rasa dia sudah menemukan tempat kerja yang cocok.” “Turut senang mendengarnya. Kita semua tahu bagaimana Agatha menyukai anak-anak dan menggerakan badannya daripada berdiam diri.” Elio mengangguk-angguk, mencomot satu kentang dari piring di depan Embun. “Bagaimana kabar Merry? Dia masih berjuang mengejar cita-citanya sebagai fotografer?” sambungnya kemudian begitu mengingat salah satu sahabat Embun yang memiliki hobi serupa dengannya. Embun mengangguk-angguk, “masih dan dia kini menjadi seorang freelance fotografer di salah satu perusahaan terkenal. Aku lupa namanya,” jawabnya lalu menyeruput minuman favoritn