Ruangan itu bernuansa putih. Kursi kayu berkaki ramping sekitar dua puluh lima buah masing-masing diletakkan di sisi kanan dan kiri. Tanaman bunga hias yang dibuat dari rangkaian bunga mawar putih. Tersemat pada ujung kursi di kedua sisi membentuk pagar mini menuju altar. Langit-langit di tengah ruangan terbuat dari kaca dengan hiasan tanaman gantung. Aroma wewangian dari campuran melati dan kayu manis memenuhi ruangan.
Tidak lama satu persatu tamu undangan memasuki ruangan. Duduk memenuhi kursi hingga tidak tersisa. Siap menunggu pemilik acara memasuki ruangan dan menyatakan sumpah sehidup semati. Bising memecah hening, antusiasme para undangan menghadiri pernikahan sekaligus reuni dadakan terlihat.
Seorang pria muda dengan setelan hitam berdasi, maju ke depan. Ia membuka acara dengan perkenalan diri singkat, dilanjutkan kata-kata sambutan. Sebelum akhirnya meminta para tamu undangan untuk berdiri, menyambut kedatangan mempelai pria dan pengantin wanita.
Terdengar suara pintu berdaun dua terbuka. Menarik atensi tamu undangan menuju sepasang sejoli siap memasuki ruangan. Suara langkah kaki terdengar samar. Seorang gadis muda berambut hitam yang diikat tinggi dan membiarkan anak-anak rambut jatuh ditengkuk. Memasuki aula dengan gaun pengantin putih klasik dan sopan. Gaunnya benar-benar ketutup sama lace hingga payet-nya pun sampai menutupi kulit cantiknya. Satu-satunya bagian yang bisa ter-expose hanya punggungnya saja.
Semua orang berbisik satu sama lain. Setuju bahwa penampilan pengantin wanita bagai putri yang muncul dari buku dongeng.
Pemuda yang berada di sampingnya juga tidak kalah memukau. Meski umurnya sudah lewat dari dua puluh lima tahun. Wajahnya terlihat muda, seperti anak kuliahan semester tiga. Ia memakai setelan jas berwarna biru dongker mengkilap dengan dasi silver. Rahangnya tegas, mata sehitam jelaga dan sorot mata tajam. Sambil menggandeng tangan calon istrinya, ia melangkah.
Begitu pengantin tiba di ujung ruangan. Suasana kembali hening dan terasa sakral. Pria dengan setelan hitam yang berdiri di depan pasangan bahagia itu mulai bicara. Detik demi detik, menit demi menit tidak sebanding dengan gemuruh debaran jantung sang gadis. Wajahnya terlihat tegang, gugup, namun penuh suka cita.
“Saya nyatakan Adzriel Adhva Rafandra dan Embun Kinanti resmi menjadi sepasang suami istri!”
Sorak sorai para tamu undangan terdengar. Air mata kebahagiaan menetes dari tiga wanita paling bahagia hari ini. Embun menerima uluran tangan dari pria yang kini berganti status menjadi suami dengan senyum malu. Mereka berjalan pelan menuju orang tua mempelai pria lebih dulu. Barulah orang tua mempelai wanita. Melakukan acara cium tangan dan berlutut meminta restu.
Acara dilanjutkan dengan penerimaan ucapan selamat dari tamu undangan kepada pengantin baru dan keluarga. Beberapa kolega bisnis keluarga mempelai pria saling melempar canda. Beberapa saudara jauh dari mempelai wanita sibuk melepas rindu. Dan beberapa teman dekat dari pengantin baru juga membentuk dua kelompok.
“Selamat ya, Embun! Tidak disangka, kamu lebih dulu melepas lajang.” Salah satu teman perempuan memeluk pengantin wanita erat.
“Aku juga mana tahu, hidup memang penuh kejutan.” Embun tertawa pelan, matanya berbinar indah. Menunjukan betapa bahagianya ia hari ini. “Terima kasih kalian semua sudah mau datang!”
Tiga perempuan ikut tersenyum lebar. Mereka adalah teman dekat semasa sekolah sampai kuliah. Embun bahkan penuh bangga menyebut mereka sebagai sahabatnya.
“Selamat atas pernikahanmu, Adzriel.” Kali ini kolega dari mempelai pria memberi selamat.
“Terima kasih,” jawaban singkat itu mengundang tawa teman-temannya.
“Cobalah untuk tersenyum dihari bahagia ini. Meski harus menarik otot kaku wajahmu itu!” Teman yang lain menegur sambil bercanda dan menepuk punggung sang pemuda.
“Hm,” kali ini Adzriel hanya bergumam sebagai jawaban.
Ketika malam tiba, mereka pindah tempat menuju private dinner di lantai paling atas. Berlokasikan di sentral ibukota, hotel bernuansa elegan ini juga menawarkan plataran indah pada lantai teratas. Tak hanya menampilkan kota Jakarta yang menawan, setiap sudut teras juga memberikan kesan nyaman. Venue ini cocok untuk mengadakan dinner party usai acara utama tadi siang.
Saat bulan purnama tepat berada di atas kepala. Acara makan malam telah lama usai dan mereka sudah terlelap di kamar hotel masing-masing. Terkecuali sepasang sejoli yang masih berstatus pengantin baru. Di dalam kamar hotel dengan jendela besar menampilan pemandangan city light. Embun duduk berhadapan dengan Adzriel. Ditemani cemilan manis beserta segelas anggur merah.
Ada perbedaan suasana saat ini ketimbang tadi siang. Di tengah-tengah mereka berdua seakan terdapat sekat tidak kasat mata. Memberikan jarak pada Embun dan Adzriel seperti orang asing.
Adzriel menaruh gelas wine, lalu menatap lurus pada Embun. “Sekali lagi saya ingatkan, bahwa saya menikahimu karena terpaksa.”
.
.
.
Continue…
Perkataan itu tidak salah. Embun mengingat jelas kata-kata Adzriel saat mereka pertama bertemu. Hanya saja tidak seharusnya dalam situasi saat ini —atau mungkin memang inilah saat yang tepat— untuk pria itu mengingatkan. Agar Embun tidak terlena pada kebahagiaan semu. “Kita menikah karena dijodohkan, bukan karena cinta.” Embun tidak segera menjawab, ia malah mengisi kembali gelas wine miliknya. Setelah menuangkannya hingga penuh dan membawa gelas itu tepat di ujung bibir. Ia menikmati aroma manis dari anggur merah sambil diam-diam memperhatikan ekspresi Adzriel. Mata sehitam jelaga tertuju pada gelas ditangan sang gadis. “Jangan berlebihan,” katanya pada akhirnya. Tidak menggubris peringatan suaminya, Embun menegak wine hingga tandas dalam sekali minum. Ia bahkan membiarkan cairan merah pekat jatuh di sela bibir. Turun mengikuti lekuk wajah hingga ke leher dan berakhir masuk di antara dua gunung kembarnya. Adzirel memalingkan wajah, merasa melakukan kesalahan karena tidak bisa men
Embun Kinanti adalah seorang perempuan muda dewasa yang tengah sibuk dengan persiapan sidang. Sebagai mahasiswa tingkat akhir, tidak ada lagi waktu bermain-main. Ia bahkan harus menginap di rumah teman dan begadang demi skripsi. Sudah tiga hari gadis itu tidak pulang ke rumah, tidak mandi dan tidak ganti baju. Semua penderitaan dilalui demi lembaran-lembaran kertas sialan, penentu kelulusan. Sungguh muak rasanya harus menghabiskan hari dengan ribuan kata ditemani sebungkus roti warung dan kopi sasetan.Jika dulu Embun kerap kali pergi makan di luar. Maka saat ini, gadis berumur dua puluh satu tahun itu merindukan masakan sang bunda.Saat akhirnya ia bisa pulang ke rumah. Langit sudah berada di ujung cakrawala, menarik diri bersama lembayung senja. Embun turun dari ojek motor di depan salah satu rumah yang ada di perumahan cluster. Ia memberikan helm pada abang ojek, lalu menyeret kakinya menuju rumah bercat putih kemudian membuka pintu lebar-lebar. “Mama, Pah! Embun pulang!” Suaranya
Suasana makan malam yang semula menyenangkan, kini berubah canggung. Dikarenakan putri semata wayang Pak Ahmad dan Bu Linda menolak dijodohkan. Bukan tanpa sebab mengapa Embun seperti itu. Mengingat memang sudah bukan zamannya lagi. memaksa anak untuk menikah sesuai pilihan orang tua. Hatinya tengah mendambakan seorang pemuda yang ia kenal sejak semester awal. “Embun boleh menolak?” sekali lagi ia bertanya dengan nada pelan. Pertanyaan itu tidak langsung dijawab. Linda dan Ahmad justru saling tatap seakan melakukan telepati. Memikirkan bagaimana putri mereka setuju dan memahami bahwa ini demi kebaikannya sendiri. Wanita paruh baya itu menaruh sendok dan meraih tangan Embun untuk diusap. Kebiasaan sang ibu ketika hendak menjelaskan sesuatu agar putrinya mengerti. “Nak, kami tahu kalau kamu sudah cukup dewasa untuk memilih pasangan hidupmu. Mama sama papa cuma jadi perantara, mengenalkan. Setidaknya temui, kenalan dulu, siapa tahu cocok. Kalau tidak, ya sudah… belum jodoh namanya.
Acara pernikahan yang dilangsungkan di daerah Jakarta Pusat berakhir baik. Setelah menginap satu hari di hotel. Dua keluarga yang kini resmi menjadi keluarga besar berkumpul di lobi. Linda dan suaminya Ahmad nampak serasi dengan baju batik berwarna coklat tua. Sementara orang tua Adzriel tampak lebih formal dikarenakan setelah ini mereka harus terbang ke luar kota.Dua keluarga ini tengah mengobrol ringan sambil menunggu kedatangan Embun. Pengantin baru yang baru saja menikah kemarin siang. Orang pertama yang melihat kedatangan Embun adalah sang ayah mertua, Sebastian. Pria paruh baya berpostur tubuh tinggi tegap seperti putranya. Meski sudah berumur hampir lima puluh tahun, kerutan tanda penuaan di wajah nampak samar. Membuatnya sering dikira lebih muda sepuluh tahun. “Selamat pagi menantu ayah,” sapa Sebastian ramah. Embun membungkuk sedikit dan membalas sapaan ayah mertuanya. “Pagi juga, ayah. Ibu, Mama dan Papa yakin mau pulang sekarang? Tidak mau nunggu, Kak Adzriel?”“Tidak us
Kereta besi berwarna biru langit berhenti di sebuah rumah berlantai dua. Salah satu rumah di komplek perumahan cluster di daerah Jakarta Barat. Embun turun dari kursi penumpang, disusul supir taksi membantu menurunkan barang bawaan. Setelah bayar ongkos dan mengucapkan terima kasih, Embun menyeret koper memasuki halaman rumah. Rumah ini adalah hadiah pernikahan dari orang tua Adzriel. Betapa bersyukurnya gadis itu saat mendengarnya di acara lamaran waktu lalu.Menggunakan kunci cadangan, Embun membuka pintu depan. Ia melangkah masuk sambil menatap kagum desain rumah yang minimalis dan elegan. Siapa sangka gaya rumah ini sesuai seleranya yang menyukai tipe LDk. Walau bedanya ada beberapa sekat di antara dua area. Tetapi itu tidak mengurangi rasa senangnya dan malah semakin menyukai rumah barunya. Embun berjalan menuju kamar utama, letaknya ada di samping ruang tengah. Wanita itu membuka pintu, masuk dan segera membuka koper. Ia harus secepatnya selesai beres-beres, merapikan semua pak
Mentari sudah tumbang digantikan rembulan saat pintu kamar utama dibuka. Adzriel keluar dari kamar terlihat lebih segar, rambutnya agak basah tanda habis keramas. Ia memakai kaos polos dan celana training hitam. Embun yang berada di ruang keluarga sedang menonton, sontak berdiri. Ia menghampiri suaminya, senyuman manis terpatri di wajah.“Kak Riel pasti lapar, Embun sudah siapkan makan malam kesukaan kamu.”Mata sehitam jelaga menatap tajam, lalu melengos, “saya makan di luar.” katanya mengejutkan Embun. “Tapi aku sudah masak loh, Kak. Sayang makanannya, nanti nangis lagi.” Embun berusaha membujuk, meski rayuannya lebih mirip kata-kata seorang ibu kepada anaknya. “Kata ibu, Kak Riel suka minum teh jahe selepas makan malam. Embun sudah siapkan seteko juga untuk temani Kak Riel bersantai di teras rumah.” selain suaranya yang lembut dan santun, Embun juga coba membujuknya dengan memegang lengan Adzriel. Tapi baru sedetik ia menyentuh lengan, Adzriel segera menepis tangan Embun. Raut wa
Tepat pukul lima pagi, layar ponsel Embun berkedip beberapa kali. Alarm berbunyi nyaring. Membangunkan wanita berumur 21 tahun dari tidur nyenyaknya. ia segera beranjak duduk, butuh waktu sekitar lima menit sampai nyawanya terkumpul. Sejenak kemudian Embun menyibak selimut tebal dan beranjak dari petiduran. Ia membuka pintu kamar di samping kamar utama. Sesuai perintah dari suaminya beberapa hari lalu, mereka pisah ranjang. Meski begitu Embun menolak untuk tidak mengurus Adzriel.Sudah menjadi salah satu mimpinya, dapat melayani dan menyiapkan segala keperluan sang suami. Karena itulah Embun sudah memakai celemek dan menyiapkan bumbu dapur pagi-pagi. Ia berniat membuatkan makan pagi dan bekal untuk Adzriel. Meski kemampuan masaknya tidak sehebat istri-istri diluar sana. Setidaknya wanita itu percaya, dia tidak akan kalah jika menyangkut berapa besar cintanya untuk pak suami.Embun bergerak gesit, mengupas bawang putih dan merah. Memotong tomat, kentang kemudian mengiris daun bawang. I
Layar ponsel kembali gelap usai sambungan telepon terputus, setelah satu jam terhubung. Embun menarik napas panjang, tersenyum tipis. Semangatnya naik setelah berbincang lama dengan mama mertua. Ucapan adalah doa, meskipun dalam bentuk kebohongan putih yang Embun katakan pada Giselle. Pernikahan yang dilandasi perjodohan bisa dianggap sebagai ujian pertama berumah tangga. Ada baiknya Embun mengubah mindset-nya. Menganggap misi membuka hati suaminya adalah rintangan pertama yang harus ia selesaikan. Demi hadiah cinta dan kesetiaan yang akan dia dapatkan nantinya. Belum sempat Embun menaruh ponsel di atas meja, layar kembali berkedip, tanda pesan masuk. Matanya mengerjap beberapa kali, terkejut melihat nama kontak si pengirim. Jari telunjuk bergerak cepat, mengetuk layar dan membaca pesan singkat. Hai pengantin baru. Cuma mau tanya saja, kapan siap terima projek lagi? Tidak usah freelance di tempatku, langsung jadi karyawan tetap saja, mau ya? —terbaca. Segaris senyum tipis merekah
Setiap melihat kalender, semakin Adzriel gugup. Sampai saat ini dia belum juga mendekati Embun. Melihatnya saat di kantin dan di taman selalu lebih dari cukup baginya. Sungguh, pemuda itu baru sadar betapa pengecutnya dia. “Tidak bisa! Aku harus dapat nomornya sebelum wisuda.” Adzriel memantapkan diri saat duduk sendiri di taman. Percobaan pertama dia lakukan di kantin. Meski banyaknya orang disana sedikit membuat ragu. Adzriel mencoba menguatkan diri. Sudah sepuluh menit sebelum bel istirahat dia menunggu. Ketika melihat kantin mulai ramai, mata sehitam jelaga menyisir sekitar. “Embun, mau makan siang apa?”Adzriel sontak mencari suara yang menyapa Embun. Ia menemukannya tidak jauh darinya. Sekitar tiga meja. Adzriel sontak berdiri, membuat kaget beberapa orang di sekitarnya. Ia menunduk pelan, meminta maaf.“Hei, kita bertemu lagi.” Adzriel bergumam pelan, mengulang kata seperti mantra.Langkah semakin dekat, degup jantung kian menderu. Adzriel merasa keringat dingin turun di pel
Ini sudah yang kedua kalinya, mata sehitam jelaga mengunci sosok seorang gadis.Embun Kinanti, nama penolongnya.Entah ini disebut beruntung atau apes. Adzriel baru mengetahui keberadaan Embun sangat terlambat. Tidak lama lagi dia akan wisuda. Belum lagi perbedaan tingkatan mereka. Tidak banyak waktu untuk mendekatinya. “Ini yang kamu minta, Riel.”Seorang pemuda bertindak mencurigakan. Memakai pakaian tertutup sambil celingak-celinguk. Sudah mirip pengedar narkoba. Bedanya barang yang sedang dia selundupkan berupa secarik kertas kecil. Adzriel menerimanya dengan kening berkerut. Agak heran dengan tingkah ajaib temannya. Padahal dia hanya meminta tolong sesuatu. Tapi tingkahnya sudah seperti informan paling berbahaya dan dicari.“Lepaskan topimu!” kata Adzriel jengkel. Ia menyambar topi yang menutupi kepala temannya. Pria bermata sipit itu kaget, sontak mengambil kembali topinya. “Eh! Jangan! Nanti ketahuan lagi kalau aku yang bocorin jadwal adik tingkat. Mau ditaruh dimana wajah
“Selamat datang di Toko Florist, jenis buket seperti apa yang diinginkan, Kak?”Mata sehitam jelaga melirik sekeliling. Aroma lembut dan wangi bunga memenuhi indra penciumannya. Adzriel mengerutkan kening, tidak tahu harus memilih apa.“Bisa rekomendasikan buket untuk permintaan maaf? Padukan dengan warna ungu dan putih.” Ucap Adzriel setelah terdiam.“Baik, mohon ditunggu Kak.”Adzriel mengangguk singkat, lantas duduk di kursi tunggu yang sudah disediakan. Semburat merah terlihat samar di telinga akibat menahan malu.Ia agak malu pada dirinya sendiri. Berbekal pengetahuan selama mengamati Embun setahun pernikahan. Hanya informasi kecil inilah yang dia ketahui.Tiga puluh menit kemudian.“Terima kasih telah menunggu. Ini buket pesanannya, Kak.”Sebuah buket berukuran sedang dengan paduan ungu dan putih sesuai permintaan siap dibawa. Adzriel menatap sejenak, ia tidak tahu banyak soal bunga.Seharusnya ini indah, bukan? Batinnya meragu. “Terima kasih, simpan saja kembaliannya.” Usai me
Keadaan Universitas saat malam hari cukup sepi. Mengingat jam memang sudah menunjukan pukul dua belas malam. Lampu-lampu taman sebagian dibiarkan padam. Begitu pula dengan pencahayaan di lorong kampus. Penjaga kampus hari ini ada dua orang yang berjaga. Satu duduk memantau CCTV di ruang kendali. Satu lagi melakukan patroli setiap beberapa jam. Memutari tiap sudut bangunan luas berlantai tiga. Satpam di ruang kendali mengawasi tiap layar komputer ditemani secangkir kopi hitam. Setiap beberapa menit sekali, layar akan berkedip. Memperlihatkan kondisi sekitar kampus secara bergantian. Sementara itu koleganya sudah sejak tadi berpatroli di lantai dua bagian barat.Pada kamera pengawas bernomor tiga yang menunjukan area taman kampus bagian belakang. Terdapat pergerakan cepat tepat ketika layar berkedip cepat. Sehingga luput dari mata pengawas penjaga malam itu. Embun menyelinap masuk ke dalam kampus. Melompati pagar setinggi satu meter dengan mudah. Saat ini ia memakai pakaian serba hit
Embun dan Merry sibuk mengatur strategi demi menjebak pelaku perundungan bersama teman-temannya. Matahari sudah tumbang ke sisi barat ketika selesai dan mereka keluar dari cafe.Sebelum mereka menjalankan rencana. Selama beberapa hari ini Embun sibuk berkeliling kampus. Berpura-pura mengerjakan tugas, membawa laptopnya ke setiap sudut kampus. Terkadang hanya duduk, menikmati makan siang sementara matanya mengawasi. Mencari titik-titik CCTV terpasang dan di mana yang tidak. Embun datang ke rumah Merry. Mengeluarkan sebuah kertas berisi denah kampus. Saking detailnya sudah seperti cetak biru asli milik kampus. Ini tentunya mengundang rasa penasaran Merry. “Kamu tidak perlu tahu, Mer. Fokus saja pada rencana kita,” itulah jawaban Embun ketika ditanya. Embun menunjuk salah satu titik, letaknya berada di belakang kampus. Tempatnya tidak ramai, Embun sudah memastikannya. Di sanalah mereka akan memasang perangkap. ***“Kau siap, Mer?” suara Embun terdengar pada earphone yang Merry kenaka
Saat itu Embun baru saja menjadi mahasiswa baru di Universitas yang ada di Jakarta. Tidak jauh dari rumah, sehingga cukup pulang pergi dengan transportasi umum. Tidak perlu nge-kost ataupun cari kontrakan tiga petak. Dengan begitu ia bisa sedikit menurunkan kekhawatiran orang tuanya.Selain itu, Embun sudah berjanji pada sang ibu.“Tidak ada party, tidak ada trik sulap, dan tidak ada segala jenis, macam, bentuk aksi hobimu itu.”Embun sontak buka mulut, hendak protes tidak terima. Sayangnya kalah cepat dari Linda. Wanita paruh baya itu segera menambahkan lagi, setengah mengancam. “Kalau kamu masih bandel juga, biar Mama buang semua peralatan hobimu itu!”“Eh, jangan atuh, Mah! Bun belinya penuh perjuangan itu, mana harus nabung setengah tahun…”Mama melengos tidak peduli, sambil bersedekap dada. Matanya mendelik tajam, “janji dulu!” katanya menuntut. “Iya Bun janji. Embun janji tidak banyak tingkah selama kuliah. Embun hiatus dari segala jenis kegiatan hobi dan fokus belajar. Sudah,
“Oh, terus kenapa istrimu masih tidak percaya? Mungkin dia sengaja bikin ribut demi merusak hubungan pernikahan kalian.”Adzriel mengepalkan tangan, agak terguncang. Salah satu kecemasannya selama ini adalah ketika Embun mulai bergerak. Mencari cara demi mengakhiri pernikahan yang dilandasi perjodohan.Dari awal pernikahan ini, Adzriel telah bertekad. Tidak akan menyiram bunga di hati, supaya tidak terus tumbuh. Meski begitu, rasa cintanya ini serupa tanaman kaktus. Tidak butuh air setiap waktu atau setiap hari. Kena cipratan tidak sengaja saja sudah cukup.Meski ia rela melepaskan Embun, saat ini Adzriel menginginkan wanita itu berada disisinya. Kemarahan sang istri pada Zenata merupakan bentuk rasa cemburu. Perasaan tidak asing yang dia rasakan saat melihat Embun bersama Fidelio.Perasaan ini karena Embun penting baginya. Jadi, bolehkah Adzriel berpikir kemarahan sang istri karena ada dia di sudut hati Embun?“Terima kasih, Zenata.” Adzriel sontak berdiri dari duduknya, mengejutkan
Suasana di kantor sejak beberapa hari ini terasa tegang. Lebih tepatnya hanya divisi Adzriel. Para anggota tim kerap kali saling pandang, Mereka seperti sedang berjalan di atas permukaan tipis.Brian merapikan berkas, berdiri dari tempatnya. Ia hendak menghampiri meja Adzriel. Matanya sesekali melihat teman kerjanya. Seakan meminta dukungan karena dia ragu-ragu. Dipta mengibas tangan, menyuruhnya maju. “Permisi… Pak Adzriel,” ucap Brian hati-hati. Atasan sekaligus koleganya tidak melihat ke arahnya. Sibuk mengecek berkas di tangan. Brian menaruh dokumen yang sempat diminta di atas meja. Adzriel segera menerima, membacanya cepat lalu berujar. “Ini ada yang kurang,” suara Adzriel datar dan kalem. Seperti biasanya sehingga Brian agak bernapas lega. “Saya masih menunggu jawaban dari divisi terkait, Pak. Mereka bilang butuh dua hari–”BRAK!Brian seketika kicep begitu Adzriel membanting dokumen. Teman-teman kerjanya juga melihat ke arah mereka. Mata jelaga menatap Brian yang menelan lu
BREAKING NEWSKemunculan Sena, Pencuri Misterius Berhasil Kabur Lagi!Suara dari televisi yang menampilkan acara berita terdengar. Di ruang tamu, Ahmad duduk menonton. Raut wajahnya terlihat cemas sambil mencuri pandang ke arah putrinya. Embun duduk tidak jauh darinya, sibuk mengerjakan tugas. Putri mereka telah tumbuh besar menjadi gadis yang cantik, ceria dan menyenangkan. Hanya saja meski sudah menginjak bangku kuliah. Minat Embun terhadap trik sulap dan teknik menyamar masihlah kuat. “Dia disana, tangkap!!” Seruan dari anggota kepolisian dari televisi terdengar.“Astaga, tubuhnya hilang!”“Lagi-lagi polisi gagal menangkap Sena serta kehilangan kalung pertama!”Dari sudut mata Ahmad, pria paruh baya itu melihat sesuatu di tangan putrinya. Embun sedang mengerjakan tugas kuliahnya. Menggunakan contoh di tangan, sebuah kalung permata indah serupa dengan yang diberitakan. Ahmad sontak menelan ludah gugup. “Bun…”“Kenapa, Pah?”“Cakep sekali kalungnya, Embun beli dimana?”“Oh ini? Em