Hari ini Varo bekerja seperti biasanya, ia terlihat santai dan dingin, memang seperti itulah dia. Sedangkan Meera hari ini sedang sedikit bingung, karena sore nanti akan ada tamu yang ke rumahnya, dan ia harus hadir sore nanti. Ia tengah memikirkan alasan apa yang akan disampaikan oleh Varo nanti.
“Bismillah, dicoba dulu, deh,” ucap Meera saat ia mengangkat gagang telepon kantornya.
Meera memencet beberapa tombol pada telepon dan sedang menunggu panggilan tersambung. Tak perlu menunggu lama, orang di seberang mengangkat panggilan tersebut pada deringan pertama, membuat degup jantung Meera berpacu karena ia akan berhadapan dengan Varo untuk meminta izin pulang cepat sore nanti.
“Halo,” ucap Varo di seberang telepon.
“Maaf, Pak. Bisa nanti sore saya izin pulang cepat?” tanya Meera sambil ia memilin ujung pakaiannya.
“Ada perlu apa?” tanya Varo datar.
“Ada acara keluarga yang harus saya hadiri,” ucap Meera tanpa memberitahu lebih jelasnya.
“Baiklah, selesaikan pekerjaanmu sebelum pulang,” ucap Varo kemudian ia langsung menutup teleponnya secara sepihak.
“Yaa Allah, kebiasaan,” ucap Meera sambil menatap gagang telepon yang masih digenggamnya.
Zayn yang melihat ekspresi Meera sempat tertawa kecil, ia kemudian menghampiri Meera dan menanyakan pekerjaannya kemarin.
“Mana berkasnya Meer?” tanya Zayn saat sudah berada di depan meja Meera.
“Sebentar.” Meera langsung membuka lacinya, mencari berkas yang akan diberikan kepada Varo.
“Ini yang untuk pagi, dan ini yang untuk siang,” ucap Meera sambil tersenyum ramah.
“Terima kasih,” ucap Zayn sambil tersenyum dan langsung berlalu dari meja kerja Meera.
Zayn langsung memasuki ruangan Varo, menanyakan keberadaannya kemarin dan memberikan berkas yang diberikan oleh Meera tadi padanya.
“Kenapa lihatin kaya gitu? Ada yang salahkah?” tanya Zayn sambil melihat lagi pakaiannya.
“Bukan pakaian lo yang salah, tapi lo!” Varo pun menunjuk Zayn dengan telunjuknya sambil berkata dengan sinis.
“Gue? Kenapa gue?” tanya Zayn lagi sambil tersenyum menggoda Varo yang sudah hampir keluar taringnya.
“Ngapain coba senyum-senyum sama Meera? Biar apa?” kesal Varo lagi, ia pun sudah hampir berdiri dari duduknya.
“Calm down man, ga usah marah. Cuma senyum biasa aja gue. Itu pun karena dia senyum duluan, masa gue judesin. Gue ga kaya lo, Varo!” ucap Zayn sambil menepuk dada bidang Varo.
“Ah, sial lo!” kesal Varo, ia pun membanting penanya yang sedari tadi ia mainkan.
“Ini berkas yang nanti dipakai rapat, dan ini untuk siangnya,” ucap Zayn.
*******
Kini Varo dan Zayn sedang berada di ruang rapat, ini adalah rapat keduanya hari ini. Seperti janjinya, ia memperbolehkan Meera pulang cepat bila pekerjaannya sudah selesai. Ia pun hendak melihat apakah Meera sudah menyelesaikan pekerjaannya atau belum, karena jam sudah menunjukkan pukul empat sore.
“Zayn, lo gantiin gue dulu, ada yang mau gue cek.” Varo langsung berdiri dan pamit pada peserta rapat yang notabene adalah para pemegang saham.
“Maaf, rapat bisa dilanjutkan. Saya ada kepentingan mendadak. Rapat akan dipimpin oleh Zayn,” ucap Varo kemudian berlalu dari ruang rapat.
“Varo, Varo,” ucap Zayn sambil menggeleng. Baru kali ini dilihatnya Varo mulai tak profesional.
Varo kini sedang berlari menuju lift, memasukinya dan langsung memencet tombol panel yang ada di dekat pintu lift. Setelah menunggu ia pun sampai dan langsung keluar dari lift. Dengan setengah berlari ia menuju ruangannya, lebih tepatnya ke meja sekretaris.
“Ra,” panggil Varo saat jaraknya sudah hampir dekat, ia pun beristirahat sejenak.
“I-iya, Pak Varo,” jawab Meera saat mendongak melihat Varo yang sedang beristirahat karena napasnya tersengal-sengal akibat berlari.
“Kamu, jadi pulang cepat?” tanya Varo sambil berjalan mendekati Meera.
“Iya, Pak. Pekerjaan saya kebetulan sudah selesai.” Meera masih memperhatikan Varo yang kian dekat dengannya.
“Boleh, saya antar?” tanya Varo tiba-tiba membuat Meera terkejut.
“T-Tapi, Bapak masih ada rapat,” ucap Meera, ia sebenarnya tak enak hati jika Varo mengantarnya, apa kata karyawan lain nanti.
“Ga apa, udah di handle sama Zayn. Bagaimana, boleh?” tanya Varo lagi sambil menatap manik hitam Meera lekat-lekat.
“Terserah, Bapak,” ucap Meera sambil buru-buru ia mengalihkan pandangannya.
“Kenapa?” tanya Varo bingung melihat sikap Meera baru saja.
“Ga apa, Pak. Saya sudah siap, apa Bapak benar mau mengantar?” tanya Meera lagi memastikan ucapan Varo benar.
“Iya, sebentar.” Varo berjalan mendekat ke meja Meer. Ia mengambil gagang telepon di meja Meera, memencet nomor yang di tuju kemudian menunggu panggilan tersambung.
“Gue antar Meera dulu, kalau sudah selesai, lo kasih tau gue hasilnya, ya. Makasih, Zayn.” Varo langaung meletakkan gagang telepon tanpa menunggu jawaban dari Zayn.
“Ayo,” ajak Varo, ia pun melangkah terlebih dulu. Meera hanya mengangguk dan menyusul Varo, mereka berjalan tanpa beriringan, Meera berada satu langkah di belakang Varo.
Mereka berjalan menuju lift, sementara menunggu lift terbuka keduanya tetap saling diam. Saat pintu lift terbuka, Varo mempersilakan Meera masuk lebih dulu, ia berdiri di paling belakang, sedangkan Varo di depannya.
“Langsung basement aja, ya,” ucapnya pada Meera yang berada di belakangnya.
Meera hanya mengangguk, tetapi Varo masih bisa melihatnya dari pantulan pintu lift di depannya.
“Kamu kenapa, Ra? Sakit?” tanya Varo, ada kekhawatiran yang tersirat dari pertanyaannya.
“Ga apa, Pak,” ucap Meera, sesaat kemudian ia pun menutup mulutnya dengan telapak tangan.
“Maaf, Varo,” ucap Meera lagi masih menutup mulutnya. Ada senyum tersungging di bibir Varo mendengar ucapan Meera.
“Ga usah takut sama aku, Ra. Aku udah jinak,” ucap Varo sambil melihat Meera di pantulan pintu lift.
“Iya, aku tahu, kok,” ucap Meera lagi. Ia sedikit mencengkeram tas sandang yang dipegangnya, rasanya sangat canggung di dalam satu lift dengan Varo.
“Memang ada acara apa sampai harus pulang cepat, Ra?” tanya Varo penuh selidik, matanya pun ia picingkan demi melihat gerak gerik Meera dari pantulan pintu lift.
“Ada laki-laki yang akan ta’aruf denganku, Var,” ucap Meera lirih.
Varo menajamkan pendengarannya, kemudian bertanya sekali lagi, “Apa?”
“Ada yang akan ta’aruf denganku, Varo,” ucap Meera sebiasa mungkin, walaupun kali ini degup jantungnya bekerja berkali-kali lipat karena Varo tengah menatapnya setelah ia menjawab pertanyaan Varo baru saja.
Meera pun makin mendekatkan badannya ke dinding lift karena merasa terintimidasi dengan tatapan tajam Varo.
“Itu ... semacam perkenalan sebelum menikah,” ucap Meera lagi seolah menjawab pertanyaan dalam benak Varo yang ia layangkan lewat tatapannya.
“What? Menikah?” batin Varo menjerit, ia benar-benar merasa kehilangan dunianya.
“Tapi belum tentu menikah juga. Bisa saja batal seandainya salah satu pihak ada yang kurang cocok,” ucap Meera lagi terbata, merasa terintimidasi dengan tatapan Varo.
“Ya, Pak Varo,” ucap Meera -panggilan akrabnya- dengan gugup di telepon yang menghubungkannya dengan sang CEO, karena baru beberapa menit yang lalu ia dipanggil dan kembali dengan tangan gemetar juga lutut yang lemas, sekarang ia sudah menerima panggilan kedua. Nameera anak perempuan satu-satunya di keluarga yang terbilang sangat mematuhi aturan agama. Di usianya yang masih muda ia sudah lulus S1 di Kanada dengan beasiswa. Anak kedua yang mantap berhijab sejak Sekolah Dasar ini dikenal memang pantang menyerah, lembut dalam menyerukan kebaikan dan sangat ramah pada siapa pun. “Permisi, Bapak panggil saya?” tanyanya saat ia sudah sampai di ruang CEO, asisten pribadi CEO yang sedang duduk di sofa tersebut hanya menggelengkan kepalanya, ia tak tahu apa lagi yang akan diperbuat atasan sekaligus sahabatnya tersebut. “Iya, kamu bisa kerja ga, sih?” tanya Varo yang merupakan CEO perusahaan tempat Nameera bekerja dari kursi kebesarannya.
Meera sedang berada di ruangan CEO saat ini, ia sedang menyerahkan hasil revisinya tadi siang. Di sana ada juga Zayn karena mereka baru saja selesai makan siang bersama di luar kantor.“Coba Zayn, kamu yang cek revisinya!” perintah Varo kepada asisten pribadinya, Zayn.“Sini, Meera. Berkasnya, bukan lo. Ga usah tegang gitu, gue ga gigit.” Meera kemudian menghampiri Zayn yang duduk di depan meja kerja Varo, memberikan berkas tersebut kepadanya.“Udah betul, kok. Ya udah kasih lagi berkas yang harus disalin dan dicopy beberapa bundel, Var,” ucap Zayn sambil melirik ke arah Varo.“Nih! Copy jadi lima belas bundle, sebelumnya salin dulu, baru dicetak. Buat di kertas ukuran A4, margin normal. Jangan lupa berkas ini harus selesai hari ini karena akan dipakai untuk rapat besok pagi. Ini satu lagi berkas buat siangnya, harus selesai hari ini juga!” Varo m
Akhirnya sampai lewat jam pulang kerja karyawan, Meera masih mengetik berkas yang diminta oleh Varo untuk meeting besok siang. Jam sudah menunjukkan pukul enam sore saat Meera selesai mengetik.Dengan segera ia merapikan mejanya, menyusun berkas yang tujuh belas bundel dan satu bundel lagi di map hijau dan biru. Semua ia masukkan di laci meja kerjanya, ia kunci kemudian kuncinya ia letakkan di laci panjang satunya.Meera memang seperti itu, terbiasa mengunci lacinya jika ada berkas penting yang digunakan untuk meeting atau yang hanya sekedar dititipkan padanya. Varo sudah pulang sejak tiga puluh menit yang lalu, maka di ruangan ini tinggallah Meera.Selesai dengan meja kerjanya, Meera merapikan barang bawaannya. Ponsel, dompet, dan beberapa barang penting ia cek lagi. Setelah dirasa cukup ia pun turun dari lantai lima. Menaiki lift dan keluar di lantai dasar.Meera tak langsung pulang, ia terlebih da
Selesai shalat Varo langsung menuju keluar masjid, ia tak mau Meera menunggunya terlalu lama. Namun, saat sampai di depan mobilnya belum ada Meera di sana. Ia pun memutuskan untuk menunggu Meera sampai beberapa menit lagi.Dua puluh menit Varo menunggu, akhirnya Meera memperlihatkan batang hidungnya lagi. Varo sempat menaikkan sebelah sudut bibirnya melihat Meera yang saat diperhatikan ternyata sangat anggun dengan hijab dan setelan pakaian kerjanya, tetap elegan dan ada inner beautynya yang keluar.“Varo, kamu masih nunggu aku?” tanya Meera saat sudah berada dua langkah di depannya.Varo hanya mengangguk karena ia tak sadar jika Meera sudah berada di depannya, ia sedang melamun tadi. Meera hanya tersenyum melihat Varo yang seperti salah tingkah karena ulahnya.“Kita jalan lagi?” ucap Varo sambil berjalan menuju pintu kemudi.“Ga usah, Varo. Aku pula
“Hasbi, Hasbi Kairi Muammar. Bahkan kalian pernah satu kelas di kelas sebelas,” ucapan Meera membuat Varo tersentak.Ia benar-benar terkejut dengan ucapan Meera baru saja, yang disebut namanya adalah seseorang yang dekat dengannya dulu. Mereka pernah dekat, sedekat jari telunjuk dengan jari tengah. Namun, karena satu hal mereka berselisih pendapat membuat keduanya menjauh.Karena saat dululah, terbentuk Varo yang sekarang. Tak mempunyai banyak teman, tak percaya dengan persaudaraan lain tak sedarah hanya Zayn sahabat satu-satunya, dan lagi ia akan selalu curiga jika seseorang memiliki persahabatan dengan lawan jenis.Sebenarnya ada kesempatan di mana Varo bisa menanyakan semua yang mengganjal hatinya saat itu, tapi ia menutup telinga dan matanya seakan tak mau mendengarkan penjelasan apa pun dan dari siapa pun. Hasbi yang sudah lebih dewasa saat dulu sebenarnya menelan luka yang begitu pahit, sahabatnya