Selesai shalat Varo langsung menuju keluar masjid, ia tak mau Meera menunggunya terlalu lama. Namun, saat sampai di depan mobilnya belum ada Meera di sana. Ia pun memutuskan untuk menunggu Meera sampai beberapa menit lagi.
Dua puluh menit Varo menunggu, akhirnya Meera memperlihatkan batang hidungnya lagi. Varo sempat menaikkan sebelah sudut bibirnya melihat Meera yang saat diperhatikan ternyata sangat anggun dengan hijab dan setelan pakaian kerjanya, tetap elegan dan ada inner beautynya yang keluar.
“Varo, kamu masih nunggu aku?” tanya Meera saat sudah berada dua langkah di depannya.
Varo hanya mengangguk karena ia tak sadar jika Meera sudah berada di depannya, ia sedang melamun tadi. Meera hanya tersenyum melihat Varo yang seperti salah tingkah karena ulahnya.
“Kita jalan lagi?” ucap Varo sambil berjalan menuju pintu kemudi.
“Ga usah, Varo. Aku pulang jalan kaki aja, sudah dekat.” Meera menunjuk sebuah gerbang kompleks perumahan yang ada pos jaga di kanan dan kirinya.
“Rumah kamu jauh ga dari sana, Ra? Boleh kan aku panggil kamu gitu aja?” tanya Varo saat melihat jarak antara gerbang kompleks dan masjid memang tak jauh.
“Dekat, kok. Kamu panggil aku apa aja yang buatmu nyaman, selama itu masih nama aku.” Meera kemudian melangkahkan kakinya menuju gerbang masjid.
“Loh, Ra, aku ga boleh antar kamu pulang?” teriak Varo karena Meera sudah beberapa langkah di depannya.
“Boleh, kok. Ikutin aku aja, selangkah di belakang aku,” jawab Meera dengan mengeraskan volume suaranya.
“Mobil aku?” tanya Varo tapi tak urung ia pun berjalan melangkah mengejar Meera setelah sebelumnya mengambil beberapa barang miliknya dari dalam mobil.
“Nanti titip jaga aja sama satpam kompleks. Soalnya kalau jam sembilan ga bisa keluar, palangnya ditutup,” jelas Meera, Varo pun mengangguk.
Setelah ucapan terakhir Meera mereka hanya saling diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Meera yang bingung dengan Varo yang ‘berubah’ menurutnya, sedangkan Varo berpikir apakah yang dilakukannya ini benar. Karena merasa bosan dengan keadaan Varo pun angkat bicara akhirnya.
“Masih jauh, Ra?” tanyanya saat Meera berhenti di sebuah rumah yang teduh, asri, dan nyaman.
“Sudah sampai. Ini rumahku,” ucap Meera sambil menunjuk ke arah rumah yang berada di belakangnya.
“Ini? Sepertinya nyaman banget, ya, Ra?” tanya Varo yang sebenarnya tak perlu jawaban.
“Ini, Umma yang tanam pepohonan, yang buat taman kecil dan kolam ikan, Abah.” Meera tersenyum menatap Varo yang tak berkedip melihat sekeliling rumah Meera yang sangat rindang, meski dalam keadaan malam hari.
“Ngedip, Var,” Meera terkekeh melihat tingkah atasannya yang kini sangat berbeda dengan saat di kantor.
“Aku ... kagum aja,” ucap Varo lirih.
“Bukannya, rumah kamu lebih mewah, lebih besar dan megah? Aku tahu Papi kamu pekerja keras, jadi pasti hunian kamu lebih nyaman.” Meera kemudian membuka pagar rumahnya dan mempersilakan Varo masuk.
“Assalamu’alaikum,” sapa Meera sambil mengetuk pintu dengan dua daun pintu berwarna cokelat tua tersebut.
“Wa’alaikumsalam,” jawab seorang wanita dari dalam rumah.
“Umma.” Meera meraih tangan ibunya kemudian mencium punggung tangannya.
“Umma, kenalkan ini atasan Meera di kantor. Namanya Varo,” ucap Meera lembut memperkenalkan Varo.
“Assalamu’alaikum, Nak.” Ibu Naina -Umma Nameera- kemudian menangkup kedua tangannya di depan wajahnya.
Varo pun mengikuti yang dilakukan oleh Ibu Naina, ia merasa asing dengan hal ini sebenarnya.
“Masuk dulu, Nak Varo.” Ibu Naina kemudian mempersilakan Varo masuk, dibukanya daun pintu lebar-lebar agar Varo ikut masuk bersama anaknya.
“Duduk, Varo,” ucap Meera saat mereka sudah sampai di ruang tamu. Varo pun kemudian duduk di salah satu kursi.
“Varo, mau minum apa?” tanya Meera yang masih berdiri hendak ke dapur, sedangkan Ibu Naina sudah duduk di sisi kursi yang lain.
“Ga usah repot-repot, Ra. Aku ....” ucapan Varo terpotong karena ada suara pria di ambang pintu memberi salam. Sedangkan Meera langsung berjalan ke dapur setelah melihat Pak Khalid datang.
“Assalamu’alaikum,” ucap seorang pria paruh baya saat akan memasuki rumahnya.
“Waalaikumsalam,” ucap mereka bertiga yang berada di dalam bersamaan.
“Wah, ada tamu, Umma.” Pak Khalid kemudian masuk dan duduk di sebelah istrinya.
“Iya, Abah. Laki-laki ini atasan Meera di kantor.” Umma menjelaskan seperti yang diberitahu oleh Meera tadi.
“Varo, Abah.” Varo kemudian mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Pak Khalid, demikian dengan Pak Khalid yang menerima uluran tangan Varo.
Mereka akhirnya bercengkerama bersama di ruang tamu. Umma dan Abah senantiasa bertanya kepada Varo mengenai keluarganya. Dan dari penjelasan Varo, Umma cukup mengenal daerah rumahnya karena sering di panggil sebagai penceramah di sana.
“Ada angin apa, ya, Nak Varo ke rumah kami?” tanya Pak Khalid, bingung sebenarnya karena baru kali ini ada atasan Meera yang bertandang ke rumah mereka.
“Tadi kami habis shalat Isya di masjid depan kompleks, Abah.” Meera yang baru datang dari dapur membawa sebuah nampan berisi tiga cangkir teh hangat untuk mereka bertiga.
“Terus, Umma suruh mampir sekalian kita makan malam, ya, Abah,” ucap Ibu Naina menimpali.
“Yuk, kita makan malam dulu,” ucap Pak Khalid seraya berdiri mengajak semua orang makan malam bersama.
“Tapi Pak ... saya pulang saja,” ucap Varo merasa tak enak karena baru pertama berkunjung sudah diajak makan malam.
“Orang yang datang ke rumah kami pantang pulang dalam keadaan lapar, Nak. Jadi kalau ada rezeki ga boleh ditolak,” ucap Pak Khalid membuat Varo mau tak mau menerima tawaran tersebut.
Akhirnya mereka bersama-sama menuju meja makan, Meera dan Bu Naina duduk bersebelahan, sedangkan Varo duduk di depan Bu Naina. Pak Khalid duduk di ujung meja makan, sebagai pimpinan keluarga.
Mereka kemudian bersama-sama menengadahkan tangan, mengucapkan dalam hati doa sebelum makan. Sedangkan Varo yang kurang paham memperhatikan sekelilingnya, dan saat tatapan matanya bertemu dengan Meera ia pun bertanya.
“Ngapain?” tanyanya tanpa suara.
“Doa,” ucap Meera tanpa suara juga dan menunjukkan tangannya yang sedang menengadah.
“Oh,” ucap Varo masih tanpa suara sambil tersenyum kikuk.
Varo kemudian berdoa, sesuai yang ia tahu, dia hanya sering lupa membacanya dulu saat akan makan dan itu masih berlaku sampai saat ini. Setelah selesai, Bu Naina mengambilkan makan untuk suaminya terlebih dahulu, kemudian untuk tamunya, setelah itu untuk dirinya. Terakhir Meera mengambil makannya sendiri.
Mereka memakan makan malam dengan khidmat, hanya sesekali bicara untuk mengenal tamunya lebih jauh. Dari perbincangannya dengan orang tua Meera ia pun bisa menyimpulkan bahwa Pak Khalid adalah orang yang cukup terpandang di lingkungannya, ia seorang Ustadz.
Bu Naina atau yang biasa dipanggil Umma adalah seorang pegiat keagamaan di lingkungan mereka. Bu Naina juga kerap mengisi ceramah sampai ke daerah rumah Varo, bila ada panggilan pengajian.
Nameera adalah anak kedua mereka, anak pertamanya bernama Hasbi. Sedang menekuni pendidikan di Jogja, ia pun sambil bekerja paruh waktu di sana.
Kini mereka sudah selesai makan malam, seperti biasa Umma dan Abah ke ruang televisi sedangkan Meera mencuci piring kotor bekas mereka makan. Varo pun mengikuti langkah Abah dan Umma. Sesampainya di sana, Varo pun ikut duduk bersama tuan rumah yang terkadang sesekali mengajaknya berbincang.
“Kalau Abah perhatikan, Varo sepertinya seumuran dengan Hasbi, ya, Umma.” Umma yang ditanyai Abah kemudian mendongakkan wajahnya, meneliti perawakan Varo.
“Iya, Abah. Mungkin hanya beda satu atau dua tahun lebih muda,” ucap Umma menimpali, Umma kemudian berdiri dan pergi ke ruang tamu untuk mengambil teh milik Abah juga Varo.
“Terima kasih, Umma,” ucap Varo saat Umma meletakkan teh miliknya di meja seraya menundukkan wajahnya.
“Varo memang setahun lebih muda dari Kak Hasbi, Bah. Mereka pun satu sekolah saat Menengah Atas,” ucap Meera karena ia pernah melihat biodata Varo saat pertama bekerja di sana sebagai sekretarisnya.
“Oh, ya? Memang nama Kakak kamu siapa, Ra?” tanya Varo penasaran.
“Hasbi, Hasbi Kairi Muammar. Bahkan kalian pernah satu kelas di kelas sebelas,” ucapan Meera membuat Varo tersentak.Ia benar-benar terkejut dengan ucapan Meera baru saja, yang disebut namanya adalah seseorang yang dekat dengannya dulu. Mereka pernah dekat, sedekat jari telunjuk dengan jari tengah. Namun, karena satu hal mereka berselisih pendapat membuat keduanya menjauh.Karena saat dululah, terbentuk Varo yang sekarang. Tak mempunyai banyak teman, tak percaya dengan persaudaraan lain tak sedarah hanya Zayn sahabat satu-satunya, dan lagi ia akan selalu curiga jika seseorang memiliki persahabatan dengan lawan jenis.Sebenarnya ada kesempatan di mana Varo bisa menanyakan semua yang mengganjal hatinya saat itu, tapi ia menutup telinga dan matanya seakan tak mau mendengarkan penjelasan apa pun dan dari siapa pun. Hasbi yang sudah lebih dewasa saat dulu sebenarnya menelan luka yang begitu pahit, sahabatnya
Hari ini Varo bekerja seperti biasanya, ia terlihat santai dan dingin, memang seperti itulah dia. Sedangkan Meera hari ini sedang sedikit bingung, karena sore nanti akan ada tamu yang ke rumahnya, dan ia harus hadir sore nanti. Ia tengah memikirkan alasan apa yang akan disampaikan oleh Varo nanti.“Bismillah, dicoba dulu, deh,” ucap Meera saat ia mengangkat gagang telepon kantornya.Meera memencet beberapa tombol pada telepon dan sedang menunggu panggilan tersambung. Tak perlu menunggu lama, orang di seberang mengangkat panggilan tersebut pada deringan pertama, membuat degup jantung Meera berpacu karena ia akan berhadapan dengan Varo untuk meminta izin pulang cepat sore nanti.“Halo,” ucap Varo di seberang telepon.“Maaf, Pak. Bisa nanti sore saya izin pulang cepat?” tanya Meera sambil ia memilin ujung pakaiannya.“Ada perlu a
“Ya, Pak Varo,” ucap Meera -panggilan akrabnya- dengan gugup di telepon yang menghubungkannya dengan sang CEO, karena baru beberapa menit yang lalu ia dipanggil dan kembali dengan tangan gemetar juga lutut yang lemas, sekarang ia sudah menerima panggilan kedua. Nameera anak perempuan satu-satunya di keluarga yang terbilang sangat mematuhi aturan agama. Di usianya yang masih muda ia sudah lulus S1 di Kanada dengan beasiswa. Anak kedua yang mantap berhijab sejak Sekolah Dasar ini dikenal memang pantang menyerah, lembut dalam menyerukan kebaikan dan sangat ramah pada siapa pun. “Permisi, Bapak panggil saya?” tanyanya saat ia sudah sampai di ruang CEO, asisten pribadi CEO yang sedang duduk di sofa tersebut hanya menggelengkan kepalanya, ia tak tahu apa lagi yang akan diperbuat atasan sekaligus sahabatnya tersebut. “Iya, kamu bisa kerja ga, sih?” tanya Varo yang merupakan CEO perusahaan tempat Nameera bekerja dari kursi kebesarannya.
Meera sedang berada di ruangan CEO saat ini, ia sedang menyerahkan hasil revisinya tadi siang. Di sana ada juga Zayn karena mereka baru saja selesai makan siang bersama di luar kantor.“Coba Zayn, kamu yang cek revisinya!” perintah Varo kepada asisten pribadinya, Zayn.“Sini, Meera. Berkasnya, bukan lo. Ga usah tegang gitu, gue ga gigit.” Meera kemudian menghampiri Zayn yang duduk di depan meja kerja Varo, memberikan berkas tersebut kepadanya.“Udah betul, kok. Ya udah kasih lagi berkas yang harus disalin dan dicopy beberapa bundel, Var,” ucap Zayn sambil melirik ke arah Varo.“Nih! Copy jadi lima belas bundle, sebelumnya salin dulu, baru dicetak. Buat di kertas ukuran A4, margin normal. Jangan lupa berkas ini harus selesai hari ini karena akan dipakai untuk rapat besok pagi. Ini satu lagi berkas buat siangnya, harus selesai hari ini juga!” Varo m
Akhirnya sampai lewat jam pulang kerja karyawan, Meera masih mengetik berkas yang diminta oleh Varo untuk meeting besok siang. Jam sudah menunjukkan pukul enam sore saat Meera selesai mengetik.Dengan segera ia merapikan mejanya, menyusun berkas yang tujuh belas bundel dan satu bundel lagi di map hijau dan biru. Semua ia masukkan di laci meja kerjanya, ia kunci kemudian kuncinya ia letakkan di laci panjang satunya.Meera memang seperti itu, terbiasa mengunci lacinya jika ada berkas penting yang digunakan untuk meeting atau yang hanya sekedar dititipkan padanya. Varo sudah pulang sejak tiga puluh menit yang lalu, maka di ruangan ini tinggallah Meera.Selesai dengan meja kerjanya, Meera merapikan barang bawaannya. Ponsel, dompet, dan beberapa barang penting ia cek lagi. Setelah dirasa cukup ia pun turun dari lantai lima. Menaiki lift dan keluar di lantai dasar.Meera tak langsung pulang, ia terlebih da