Share

BAB 5

“Hasbi, Hasbi Kairi Muammar. Bahkan kalian pernah satu kelas di kelas sebelas,” ucapan Meera membuat Varo tersentak.

Ia benar-benar terkejut dengan ucapan Meera baru saja, yang disebut namanya adalah seseorang yang dekat dengannya dulu. Mereka pernah dekat, sedekat jari telunjuk dengan jari tengah. Namun, karena satu hal mereka berselisih pendapat membuat keduanya menjauh.

Karena saat dululah, terbentuk Varo yang sekarang. Tak mempunyai banyak teman, tak percaya dengan persaudaraan lain tak sedarah hanya Zayn sahabat satu-satunya, dan lagi ia akan selalu curiga jika seseorang memiliki persahabatan dengan lawan jenis.

Sebenarnya ada kesempatan di mana Varo bisa menanyakan semua yang mengganjal hatinya saat itu, tapi ia menutup telinga dan matanya seakan tak mau mendengarkan penjelasan apa pun dan dari siapa pun. Hasbi yang sudah lebih dewasa  saat dulu sebenarnya menelan luka yang begitu pahit, sahabatnya tak lagi percaya dengannya hanya karena seorang wanita.

“Var, Varo,” panggil Meera membuatnya tersadar dari lamunan beberapa tahun silam.

“Eh, iya, Ra,” Varo yang terkejut pun menjadi gugup.

“Kenapa, kamu sakit?” tanya Meera, ia pun duduk di seberang Varo.

“Iya, kalau sakit bisa istirahat dulu di kamar Hasbi,” ucap Umma yang sudah berdiri hendak ke kamar bersama Abah.

“Ga, aku ... ga  kenapa-kenapa,”  kilahnya, ia masih menyembunyikan perasaannya yang sudah tak menentu karena bayangan masa silamnya.

“Kalau mau istirahat, Nak Varo bisa di kamar Hasbi, atau di kamar tamu juga boleh. Abah sama Umma tinggal dulu, ya. Ada agenda yang harus kami bicarakan,” ucap Abah seraya pamit pada Varo.

“Iya, Abah. Silakan,” Varo menunduk kemudian tersenyum kepada orang tua yang sangat di seganinya.

“Tapi ... kaya pucat,” ucap Meera  lagi sambil memperhatikan Varo yang sedang menyesap tehnya.

“Ga apa, kok. Oh iya, Kakak kamu itu, lagi di mana?” tanya Varo ingin tahu, karena ia merasa sudah siapa saat ini untuk mendengar penjelasan Hasbi dulu.

“Di Jogja, dia kuliah di sana dan bekerja di sana. Dulu semasa sekolah, tahu sahabat Kakak ga Var? Maaf aku ... hanya penasaran,” ragu-ragu Meera bertanya.

“Enggak, Ra. Kenapa?” Varo balik bertanya karena cukup penasaran juga sebenarnya.

“Bukan apa-apa, hanya aneh aja. Sejak Kakak ada masalah dengan sahabatnya itu, dia sedikit lebih banyak murung kemudian ga berapa lama dia seperti menghindar dengan setiap teman perempuannya. Jadilah dia yang sekarang, bergaul bukan dengan siapa saja, tapi hanya sesama laki-laki. Dia pun ga lagi memiliki seorang sahabat,” ucap Meera sambil menghembuskan napasnya.

“Bukannya, bagus kalau lebih banyak dengan laki-laki? Kan agama pun menganjurkan seperti itu.” Varo seperti semakin ingin tahu, ia pun mencoba menggali lebih dalam.

“Iya, bagus. Tapi aneh, dulu, kakak punya prinsip dengan siapa saja boleh berteman asal manfaat dan bisa menebar kebaikan. Tapi sekarang, hanya kepada sesama pria kakak bisa berteman, dengan perempuan hanya  membuat fitnah. Begitu katanya,” ucap Meera, membuat Varo terlejut dengan ucapan Meera.

“Fitnah? Maksudnya?” Varo sekarang benar-benar ingin mencari tahu, yang utama adalah tentang sahabatnya dulu.

“Iya, dia difitnah oleh perempuan yang mengaku sahabatnya di depan sahabat laki-lakinya. Alhasil, sahabat laki-lakinya menjauh, mereka ga seperti dulu lagi. Untuk cerita detailnya aku kurang paham, tapi secara garis besar, ya, seperti itulah kira-kira.” Meera mengangkat kedua bahunya, bingung juga dengan reaksi Varo.

Varo mulai mengerti sedikit, tapi, Si perempuan sampai memfitnah Hasbi? Apa iya? Perempuan itu, kekasih Varo beberapa tahun yang lalu, apa maksud Meera, kekasihnya dulu memfitnah Hasbi demi mendapatkan cintanya. Tapi kenapa seperti itu?

Sudahlah, itu sudah berlalu, lagi pula kekasihnya sudah pergi entah ke mana. Tunggu, kekasihnya sudah pergi tapi persahabatannya belum juga pulih. Ada yang salah memang dalam dirinya, Varo sudah tak dapat berpikir lagi. Sebaiknya ia pulang, pikirnya lagi.

“Hmm, Ra. Aku pulang, ya,” ucap Varo sambil membereskan bawaannya yang ada  di meja.

“Yakin, ga apa-apa?” tanya Meera memastikan.

“Yakin. Menurut kamu, kalau ada orang yang salah sama kita, tapi kita terlalu kesal dengan apa yang orang bilang tentangnya, bagaimana?” tanya Varo tiba-tiba membuat Meera bingung, tapi tak urung pertanyaan itu pun ia jawab.

“Cari tahu dulu, apa salah sebenarnya. Jangan karena kita menulikan telinga, sampai menutup kebenaran sesungguhnya. Selalu tenang menghadapi apa pun, jangan lupa memohon petunjuk Allah,” ucap Meera, cukup membuka mata dan hati Varo.

 “Ajarkan aku lebih dekat dengannya, Ra,” ucapan Varo pun meluncur begitu saja, namun dengan cepat ia berucap, “kalau kamu ga berkenan, ga apa.”

Varo berdiri, kemudian mengambil kunci mobilnya yang tertinggal tetapi saat ia sedang menunduk mengambil kunci mobilnya, “Aku akan ajarkan sebisaku,” pandangan Varo langsung lurus menatap Meera yang ada di depannya.

“Mulailah dengan hal kecil di keseharian kamu, Varo,” ucap Meera datar, wajahnya tampak serius.

“Seperti?” tanya Varo menuntut jawaban yang lebih.

“Kamu coba pikirkan, hal kecil apa yang menuntun kamu pada kebaikan. Kamu pasti bisa,” ucap Meera seraya tersenyum.

“Doakan aku, ya, Ra.” Varo menegakkan badannya, kemudian berjalan menuju pintu, ia akan benar-benar pulang sekarang.

Meera mengikuti langkah Varo menuju pintu, kemudian mereka ke teras dan menuju gerbang. Itulah batas mereka saat ini.

“Kamu masuk aja,” ucap Varo, Meera pun mengangguk kemudian masuk ke dalam gerbang rumahnya.

Varo kemudian menutup dan mengunci gerbang tersebut, tersenyum, lalu berkata, “Terima kasih buat hari ini.”

“Sama-sama,” ucap Meera kemudian menundukkan pandangannya.

“Semoga kamu adalah yang aku semogakan, Ra,” batin Varo.

“Aku pulang dulu, Ra.” Varo kemudian mundur beberapa langkah.

“Assalamu’alaikum,” ucap Meera mendapati tamunya sudah menjauh namun tak kunjung mengucapkan salam.

“Waalaikumsalam,” ucap Varo kemudian membalikkan badannya dan berjalan menuju mobilnya yang di parkir di halaman masjid.

“Ya ampun, Varo,” ucap Meera, ia pun menggelengkan kepalanya.

Sedangkan di jalan, “Loh, kok, gue yang jawab salam. Kan harusnya Meera.” Varo menepuk keningnya sendiri, merasa konyol dengan tindakannya tadi.

“Untung di depan Meera, coba kalau di depan Abah, maluuu.” Varo semakin sering menepuk keningnya merasa tindakannya tadi sangat memalukan.

Varo sudah sampai di halaman parkir masjid, ia pun melihat mobilnya masih ada di sana. Dibukanya pintu mobil, kemudian ia masuk ke dalamnya. Dinyalakan mesin, Varo pun mulai mengendarai mobilnya, saat ia sampai di gerbang masjid dilihatnya di sana ada seorang pria memakai sarung dan baju koko lengkap dengan pecinya berdiri setelah melihat Varo masuk ke dalam mobil dan mengendarainya.

Dengan cepat Varo membuka pintu mobil dan memanggil orang tersebut, “Mas, Mas....”

“Iya, Mas, ada apa?” tanya pria yang dilihat Varo tadi.

“Masnya jagain mobil saya, ya?” Varo balik bertanya, membuat pria tadi tersenyum.

“Iya, saya lihat Mas pergi sama Mbak Meera tadi. Sepertinya akan lama, karena jam setengah sembilan biasanya palang akan di tutup. Maka dari itu, saya sambil mengaji duduk di sini, tampaknya mobil Mas mahal kalau sampai hilang saya merasa ga amanah aja,” ucap pria tadi seraya tersenyum.

“Terima kasih, ya. Ga dijaga pun ga apa, Mas. Itu hanya titipan Allah,” ucap Varo merendah.

Varo kemudian mengeluarkan dompetnya dan memberikan pria tadi beberapa lembar uang ratusan ribu. Namun, dengan sopan pria tadi menolaknya karena merasa apa yang dilakukannya adalah hal tak seberapa.

“Buat Mas, kalau ga mau boleh disedekahkan yang penting diterima dulu,” ucap Varo sambil meletakkan uang di telapak tangan pria tadi dan mengepalkan tangan pria tersebut.

“Makasih, loh, Mas.” Pria tadi tersenyum kemudian menundukkan kepalanya dan pamit dari hadapan Varo.

Varo memperhatikan pria tadi, dari dandanannya Varo bisa menebak bahwa ia adalah pengurus masjid. Saat Varo menoleh lagi ke arah pria tadi yang belum terlalu jauh darinya, ia tercengang. Pria tadi memasukkan beberapa lembar uang yang diberikan Varo kepadanya ke kotak amal masjid, dan menyisakan selembar uang saja untuknya. Varo tersenyum, kemudian menggelengkan kepalanya.

Akhirnya setelah pria tadi sudah tak lagi terlihat Varo memutuskan melanjutkan perjalanan, pulang menuju rumahnya.   

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status