Meera sedang berada di ruangan CEO saat ini, ia sedang menyerahkan hasil revisinya tadi siang. Di sana ada juga Zayn karena mereka baru saja selesai makan siang bersama di luar kantor.
“Coba Zayn, kamu yang cek revisinya!” perintah Varo kepada asisten pribadinya, Zayn.
“Sini, Meera. Berkasnya, bukan lo. Ga usah tegang gitu, gue ga gigit.” Meera kemudian menghampiri Zayn yang duduk di depan meja kerja Varo, memberikan berkas tersebut kepadanya.
“Udah betul, kok. Ya udah kasih lagi berkas yang harus disalin dan dicopy beberapa bundel, Var,” ucap Zayn sambil melirik ke arah Varo.
“Nih! Copy jadi lima belas bundle, sebelumnya salin dulu, baru dicetak. Buat di kertas ukuran A4, margin normal. Jangan lupa berkas ini harus selesai hari ini karena akan dipakai untuk rapat besok pagi. Ini satu lagi berkas buat siangnya, harus selesai hari ini juga!” Varo menyodorkan dua map berkas ke tangan Meera.
“Baik, Pak, akan saya kerjakan saat ini juga,” ucap Meera. Ia pun kemudian keluar ruangan dan menuju kursinya yang berada tak jauh dari ruangan Varo.
“Yaa Allah, semoga cepat selesai. Berarti sebelumnya harus kuketik dulu berkas ini,” ucapnya lirih saat ia sudah duduk di kursinya.
Ia pun membuka map tersebut, kemudian menepuk keningnya sendiri.
“Kok ga tanya mana yang buat pagi, mana yang buat siang, ya.” Kesal dengan diri sendiri ia pun menepuk keningnya lagi beberapa kali.
Tiba-tiba telepon di mejanya berdering, dengan segera ia angkat agar sang penelepon tak lama menunggu jawaban.
“Ya, halo,” ucapnya dengan suaranya yang lembut.
“Ehm, yang buat besok pagi di map hijau ada lima belas halaman. Yang buat besok siang di map merah ada sepuluh halaman. Ingat, yang map hijau di copy lima belas bundle. Jangan terbalik, ya, Meer,” ucap Varo dari seberang telepon.
“I-iya, Pak.” Suara di ujung telepon pun sudah putus. Ternyata telepon dimatikan sepihak oleh Varo.
Meera menghela napasnya dalam-dalam, kemudian ia hembuskan perlahan guna menenangkan dirinya. Tak tahu mengapa setiap berurusan dengan atasannya ini jantungnya selalu merasa tak karuan.
Seperti tadi pagi saat ia harus menghadapi Varo, dengan kuat ia mencengkeram pakaiannya sendiri guna menetralisir degup jantungnya. Ia hanya berharap hal itu tak diketahui baik oleh Varo ataupun Zayn.
Akhirnya dikerjakan tugasnya yang sudah menumpuk tadi, pertama ia salin lembar demi lembar berkas yang harus di copy dengan mengetiknya di komputer. Butuh waktu dua jam untuk Meera mengerjakannya, ia harus teliti dalam mengerjakan tak boleh kurang satu apa pun walau hanya satu titik.
Setelah dirasa semua sudah sesuai, ia pergi ke tempat di mana mesin copy berada. Ia mengcopy per lembar sebanyak lima belas buah, setelah itu tiap lembar ia satukan dengan copyannya. Selesai dengan itu ia kembali ke mejanya.
Dilihatnya jam di ruangannya, sudah menunjukkan waktu Ashar, kemudian ia bergegas ke Masjid yang ada rooftop gedung ini. Dua puluh menit ia meninggalkan ruangannya, saat itu pula Varo mencarinya namun tak kunjung ketemu.
“Biasanya ke mana dia?” tanyanya pada seorang uang dekat meja kerjanya dengan Meera.
“Shalat Ashar, Pak. Sebentar lagi juga dia selesai, sudah dua puluh menit yang lalu dia pergi ke atas,” ucap salah seorang pegawai yang ditanyai Varo.
“Di atas?” tanyanya lagi memastikan.
“Iya, Pak. Di masjid atas,” pegawai tersebut pun lebih meyakinkan Varo lagi. Varo yang sudah mengerti hanya menganggukkan kepalanya.
Varo yang selama ini sudah menjabat CEO di perusahaan tersebut memang tahu kalau di atas ada masjid untuk orang-orang yang ingin beribadah masih di gedung yang sama, tapi dari lantai mereka bekerja bukankah ke atas lebih jauh?
Sedangkan di samping gedung perusahaan ini juga ada masjid yang sudah ada sejak dulu Papinya menjabat di perusahaan ini. Apa ada alasan lain yang membuat Meera melakukan hal tersebut. Pertanyaan itu terus saja berputar di otaknya, sambil ia berjalan kembali ke ruangannya ia pun belum menemukan jawabannya.
Ia hanya mengangkat kedua bahunya, kemudian duduk di kursi kebanggaannya. Ia menyibukkan diri dengan membaca berkas yang sudah direvisi oleh Meera tadi, mengusir pertanyaan yang masih bertengger si otaknya. Tiba-tiba Zayn yang tadinya sedang duduk di sofa kemudian berdiri hendak keluar dari ruangannya.
“Kemana?” tanyanya tanpa menoleh dari berkas di tangannya.
“Shalat,” jawabnya singkat.
“Di mana?” tanyanya lagi.
“Di atas, kenapa, sih?” kesal dengan sahabatnya Zayn pun balik bertanya.
“Ga apa,” cetus Varo masih serius dengan berkas di tangannya.
“Ga jelas, lo!” kesal Zayn, ia pun langsung keluar ruangan tersebut.
Ternyata saat Zayn sedang keluar ruangan Varo, di meja sekretaris ia berpapasan dengan Meera yang baru saja sampai. Zayn tersenyum kepada Meera, antara mereka berdua memang tak setegang jika Meera berhadapan dengan Varo.
“Udah selesai?” tanya Zayn saat berhenti sejenak menyapanya.
“Iya, Mas Zayn baru mau ke atas?” tanya Meera dengan menundukkan pandangannya.
“Iya, tadi Varo sibuk nanyain lo soalnya sama karyawan lain, jadi gue gantikan dia zoom meeting. Dia kan belum pernah lihat lo ninggalin meja jam segini.” Zayn melihat jam tangannya yang melingkar sempurna di pergelangan tangan kirinya.
“Aku ada salah revisi berkas lagi?” tanya Meera sangat hati-hati.
Zayn menggeleng, kemudian menoleh ke belakang. Ia melihat Varo sedang memperhatikan mereka dari jendela ruangannya.
“Udah sana balik kerja. Ingat lima belas bundel, jangan sampai kurang. Lebihkan satu buat jaga-jaga.” Zayn kemudian meninggalkan Meera menuju di masjid atas gedung.
“Huft, kirain ada salah lagi. Ya ampun kenapa cuma dengar namanya aja bikin hati ketar ketir ya,” ucap Meera lirih.
Meera kemudian duduk di kursinya dan kembali berdiri hendak meninggalkan mejanya, ia ingat bahwa Zayn mengatakan lebihkan satu untuk jaga-jaga. Maka dari itu sebelum semua kertas di bundel jadi satu ia berniat mengcopy satu salinan lagi untuk lebihannya.
Namun, baru dua langkah dari mejanya telepon di meja Meera berdering, seperti biasa dengan cepat ia mengangkatnya.
“Mau ke mana lagi kamu?” tanya Varo dari seberang telepon.
“Ke tempat mesin foto copy, Pak,” ucap Meera sedikit gugup karena baru mengangkat telepon tapi Varo sudah seperti memakinya.
“Bukannya sudah kamu copy semua masing-masing lima belas lembar? Mau copy apalagi?” tanya Varo dengan suara sedikit meninggi dari sebelumnya.
“Bu-bukan begitu, Pak. Tadi Pak Zayn bilang lebih baik dilebihkan satu bundel untuk jaga-jaga,” ucapnya terus terang. Dalam hatinya ia meminta maaf kepada Zayn telah membawa namanya di perdebatan antara dirinya dan Varo.
“Oh, gitu. Ya sudah,” ucap Varo datar kemudian langsung memutuskan panggilan secara sepihak.
“Kenapa, sih?” ucap Meera sambil menatap gagang telepon yang masih ada di tangannya kemudian ia mengangkat kedua bahunya.
Tanpa rasa curiga apa pun ia kembali melangkah menuju tempat mesin foto copy, mengcopy lembar demi lembar dengan sabar. Setelah selesai ia langsung kembali ke mejanya karena hari sudah sore dan ia belum mengerjakan satu berkas lagi.
Sesampainya di meja kerja Meera segera merapikan berkas yang tadi di copy, diambilnya setiap tumpukkan satu lembar, dan saat sudah lengkap sebanyak lima belas halaman kembali ia ulangi lagi. Begitu terus ia lakukan sampai ada tujuh belas bundel di tangannya.
“Alhamdulillah, selesai. Tinggal satu berkas lagi sepuluh halaman.” Diliriknya jam dinding di ruangannya sudah menunjukkan pukul empat lebih tiga puluh menit.
“Astaghfirullah, mana cukup waktunya buat ketik sepuluh halaman. Belum lagi dicek per kata dan tanda bacanya,” ucap Meera yang sadar tak punya banyak waktu lagi, padahal ia harus pergi kajian malam ini di masjid daerah sebelah.
Akhirnya mau tak mau Meera melembur, ia ingat perkataan Varo bahwa berkas ini untuk meeting siangnya dan harus selesai hari ini juga.
Akhirnya sampai lewat jam pulang kerja karyawan, Meera masih mengetik berkas yang diminta oleh Varo untuk meeting besok siang. Jam sudah menunjukkan pukul enam sore saat Meera selesai mengetik.Dengan segera ia merapikan mejanya, menyusun berkas yang tujuh belas bundel dan satu bundel lagi di map hijau dan biru. Semua ia masukkan di laci meja kerjanya, ia kunci kemudian kuncinya ia letakkan di laci panjang satunya.Meera memang seperti itu, terbiasa mengunci lacinya jika ada berkas penting yang digunakan untuk meeting atau yang hanya sekedar dititipkan padanya. Varo sudah pulang sejak tiga puluh menit yang lalu, maka di ruangan ini tinggallah Meera.Selesai dengan meja kerjanya, Meera merapikan barang bawaannya. Ponsel, dompet, dan beberapa barang penting ia cek lagi. Setelah dirasa cukup ia pun turun dari lantai lima. Menaiki lift dan keluar di lantai dasar.Meera tak langsung pulang, ia terlebih da
Selesai shalat Varo langsung menuju keluar masjid, ia tak mau Meera menunggunya terlalu lama. Namun, saat sampai di depan mobilnya belum ada Meera di sana. Ia pun memutuskan untuk menunggu Meera sampai beberapa menit lagi.Dua puluh menit Varo menunggu, akhirnya Meera memperlihatkan batang hidungnya lagi. Varo sempat menaikkan sebelah sudut bibirnya melihat Meera yang saat diperhatikan ternyata sangat anggun dengan hijab dan setelan pakaian kerjanya, tetap elegan dan ada inner beautynya yang keluar.“Varo, kamu masih nunggu aku?” tanya Meera saat sudah berada dua langkah di depannya.Varo hanya mengangguk karena ia tak sadar jika Meera sudah berada di depannya, ia sedang melamun tadi. Meera hanya tersenyum melihat Varo yang seperti salah tingkah karena ulahnya.“Kita jalan lagi?” ucap Varo sambil berjalan menuju pintu kemudi.“Ga usah, Varo. Aku pula
“Hasbi, Hasbi Kairi Muammar. Bahkan kalian pernah satu kelas di kelas sebelas,” ucapan Meera membuat Varo tersentak.Ia benar-benar terkejut dengan ucapan Meera baru saja, yang disebut namanya adalah seseorang yang dekat dengannya dulu. Mereka pernah dekat, sedekat jari telunjuk dengan jari tengah. Namun, karena satu hal mereka berselisih pendapat membuat keduanya menjauh.Karena saat dululah, terbentuk Varo yang sekarang. Tak mempunyai banyak teman, tak percaya dengan persaudaraan lain tak sedarah hanya Zayn sahabat satu-satunya, dan lagi ia akan selalu curiga jika seseorang memiliki persahabatan dengan lawan jenis.Sebenarnya ada kesempatan di mana Varo bisa menanyakan semua yang mengganjal hatinya saat itu, tapi ia menutup telinga dan matanya seakan tak mau mendengarkan penjelasan apa pun dan dari siapa pun. Hasbi yang sudah lebih dewasa saat dulu sebenarnya menelan luka yang begitu pahit, sahabatnya
Hari ini Varo bekerja seperti biasanya, ia terlihat santai dan dingin, memang seperti itulah dia. Sedangkan Meera hari ini sedang sedikit bingung, karena sore nanti akan ada tamu yang ke rumahnya, dan ia harus hadir sore nanti. Ia tengah memikirkan alasan apa yang akan disampaikan oleh Varo nanti.“Bismillah, dicoba dulu, deh,” ucap Meera saat ia mengangkat gagang telepon kantornya.Meera memencet beberapa tombol pada telepon dan sedang menunggu panggilan tersambung. Tak perlu menunggu lama, orang di seberang mengangkat panggilan tersebut pada deringan pertama, membuat degup jantung Meera berpacu karena ia akan berhadapan dengan Varo untuk meminta izin pulang cepat sore nanti.“Halo,” ucap Varo di seberang telepon.“Maaf, Pak. Bisa nanti sore saya izin pulang cepat?” tanya Meera sambil ia memilin ujung pakaiannya.“Ada perlu a
“Ya, Pak Varo,” ucap Meera -panggilan akrabnya- dengan gugup di telepon yang menghubungkannya dengan sang CEO, karena baru beberapa menit yang lalu ia dipanggil dan kembali dengan tangan gemetar juga lutut yang lemas, sekarang ia sudah menerima panggilan kedua. Nameera anak perempuan satu-satunya di keluarga yang terbilang sangat mematuhi aturan agama. Di usianya yang masih muda ia sudah lulus S1 di Kanada dengan beasiswa. Anak kedua yang mantap berhijab sejak Sekolah Dasar ini dikenal memang pantang menyerah, lembut dalam menyerukan kebaikan dan sangat ramah pada siapa pun. “Permisi, Bapak panggil saya?” tanyanya saat ia sudah sampai di ruang CEO, asisten pribadi CEO yang sedang duduk di sofa tersebut hanya menggelengkan kepalanya, ia tak tahu apa lagi yang akan diperbuat atasan sekaligus sahabatnya tersebut. “Iya, kamu bisa kerja ga, sih?” tanya Varo yang merupakan CEO perusahaan tempat Nameera bekerja dari kursi kebesarannya.
Hari ini Varo bekerja seperti biasanya, ia terlihat santai dan dingin, memang seperti itulah dia. Sedangkan Meera hari ini sedang sedikit bingung, karena sore nanti akan ada tamu yang ke rumahnya, dan ia harus hadir sore nanti. Ia tengah memikirkan alasan apa yang akan disampaikan oleh Varo nanti.“Bismillah, dicoba dulu, deh,” ucap Meera saat ia mengangkat gagang telepon kantornya.Meera memencet beberapa tombol pada telepon dan sedang menunggu panggilan tersambung. Tak perlu menunggu lama, orang di seberang mengangkat panggilan tersebut pada deringan pertama, membuat degup jantung Meera berpacu karena ia akan berhadapan dengan Varo untuk meminta izin pulang cepat sore nanti.“Halo,” ucap Varo di seberang telepon.“Maaf, Pak. Bisa nanti sore saya izin pulang cepat?” tanya Meera sambil ia memilin ujung pakaiannya.“Ada perlu a
“Hasbi, Hasbi Kairi Muammar. Bahkan kalian pernah satu kelas di kelas sebelas,” ucapan Meera membuat Varo tersentak.Ia benar-benar terkejut dengan ucapan Meera baru saja, yang disebut namanya adalah seseorang yang dekat dengannya dulu. Mereka pernah dekat, sedekat jari telunjuk dengan jari tengah. Namun, karena satu hal mereka berselisih pendapat membuat keduanya menjauh.Karena saat dululah, terbentuk Varo yang sekarang. Tak mempunyai banyak teman, tak percaya dengan persaudaraan lain tak sedarah hanya Zayn sahabat satu-satunya, dan lagi ia akan selalu curiga jika seseorang memiliki persahabatan dengan lawan jenis.Sebenarnya ada kesempatan di mana Varo bisa menanyakan semua yang mengganjal hatinya saat itu, tapi ia menutup telinga dan matanya seakan tak mau mendengarkan penjelasan apa pun dan dari siapa pun. Hasbi yang sudah lebih dewasa saat dulu sebenarnya menelan luka yang begitu pahit, sahabatnya
Selesai shalat Varo langsung menuju keluar masjid, ia tak mau Meera menunggunya terlalu lama. Namun, saat sampai di depan mobilnya belum ada Meera di sana. Ia pun memutuskan untuk menunggu Meera sampai beberapa menit lagi.Dua puluh menit Varo menunggu, akhirnya Meera memperlihatkan batang hidungnya lagi. Varo sempat menaikkan sebelah sudut bibirnya melihat Meera yang saat diperhatikan ternyata sangat anggun dengan hijab dan setelan pakaian kerjanya, tetap elegan dan ada inner beautynya yang keluar.“Varo, kamu masih nunggu aku?” tanya Meera saat sudah berada dua langkah di depannya.Varo hanya mengangguk karena ia tak sadar jika Meera sudah berada di depannya, ia sedang melamun tadi. Meera hanya tersenyum melihat Varo yang seperti salah tingkah karena ulahnya.“Kita jalan lagi?” ucap Varo sambil berjalan menuju pintu kemudi.“Ga usah, Varo. Aku pula
Akhirnya sampai lewat jam pulang kerja karyawan, Meera masih mengetik berkas yang diminta oleh Varo untuk meeting besok siang. Jam sudah menunjukkan pukul enam sore saat Meera selesai mengetik.Dengan segera ia merapikan mejanya, menyusun berkas yang tujuh belas bundel dan satu bundel lagi di map hijau dan biru. Semua ia masukkan di laci meja kerjanya, ia kunci kemudian kuncinya ia letakkan di laci panjang satunya.Meera memang seperti itu, terbiasa mengunci lacinya jika ada berkas penting yang digunakan untuk meeting atau yang hanya sekedar dititipkan padanya. Varo sudah pulang sejak tiga puluh menit yang lalu, maka di ruangan ini tinggallah Meera.Selesai dengan meja kerjanya, Meera merapikan barang bawaannya. Ponsel, dompet, dan beberapa barang penting ia cek lagi. Setelah dirasa cukup ia pun turun dari lantai lima. Menaiki lift dan keluar di lantai dasar.Meera tak langsung pulang, ia terlebih da
Meera sedang berada di ruangan CEO saat ini, ia sedang menyerahkan hasil revisinya tadi siang. Di sana ada juga Zayn karena mereka baru saja selesai makan siang bersama di luar kantor.“Coba Zayn, kamu yang cek revisinya!” perintah Varo kepada asisten pribadinya, Zayn.“Sini, Meera. Berkasnya, bukan lo. Ga usah tegang gitu, gue ga gigit.” Meera kemudian menghampiri Zayn yang duduk di depan meja kerja Varo, memberikan berkas tersebut kepadanya.“Udah betul, kok. Ya udah kasih lagi berkas yang harus disalin dan dicopy beberapa bundel, Var,” ucap Zayn sambil melirik ke arah Varo.“Nih! Copy jadi lima belas bundle, sebelumnya salin dulu, baru dicetak. Buat di kertas ukuran A4, margin normal. Jangan lupa berkas ini harus selesai hari ini karena akan dipakai untuk rapat besok pagi. Ini satu lagi berkas buat siangnya, harus selesai hari ini juga!” Varo m
“Ya, Pak Varo,” ucap Meera -panggilan akrabnya- dengan gugup di telepon yang menghubungkannya dengan sang CEO, karena baru beberapa menit yang lalu ia dipanggil dan kembali dengan tangan gemetar juga lutut yang lemas, sekarang ia sudah menerima panggilan kedua. Nameera anak perempuan satu-satunya di keluarga yang terbilang sangat mematuhi aturan agama. Di usianya yang masih muda ia sudah lulus S1 di Kanada dengan beasiswa. Anak kedua yang mantap berhijab sejak Sekolah Dasar ini dikenal memang pantang menyerah, lembut dalam menyerukan kebaikan dan sangat ramah pada siapa pun. “Permisi, Bapak panggil saya?” tanyanya saat ia sudah sampai di ruang CEO, asisten pribadi CEO yang sedang duduk di sofa tersebut hanya menggelengkan kepalanya, ia tak tahu apa lagi yang akan diperbuat atasan sekaligus sahabatnya tersebut. “Iya, kamu bisa kerja ga, sih?” tanya Varo yang merupakan CEO perusahaan tempat Nameera bekerja dari kursi kebesarannya.