“Ya, Pak Varo,” ucap Meera -panggilan akrabnya- dengan gugup di telepon yang menghubungkannya dengan sang CEO, karena baru beberapa menit yang lalu ia dipanggil dan kembali dengan tangan gemetar juga lutut yang lemas, sekarang ia sudah menerima panggilan kedua.
Nameera anak perempuan satu-satunya di keluarga yang terbilang sangat mematuhi aturan agama. Di usianya yang masih muda ia sudah lulus S1 di Kanada dengan beasiswa. Anak kedua yang mantap berhijab sejak Sekolah Dasar ini dikenal memang pantang menyerah, lembut dalam menyerukan kebaikan dan sangat ramah pada siapa pun.“Permisi, Bapak panggil saya?” tanyanya saat ia sudah sampai di ruang CEO, asisten pribadi CEO yang sedang duduk di sofa tersebut hanya menggelengkan kepalanya, ia tak tahu apa lagi yang akan diperbuat atasan sekaligus sahabatnya tersebut.“Iya, kamu bisa kerja ga, sih?” tanya Varo yang merupakan CEO perusahaan tempat Nameera bekerja dari kursi kebesarannya.Canavaro Althaf Kusuma, merupakan anak sulung dari dua bersaudara, orang tuanya merupakan perpaduan dua kerajaan bisnis terkemuka di Jakarta. Kakeknya dari sang ibu merupakan pemilik perusahaan dibidang alat berat, sedangkan kakek dari ayahnya adalah pejuang bisnis properti, juga bekerja sama dengan pemerintah untuk sarana umum seperti taman, danau, dan tempat rekreasi lainnya dari pemerintah setempat.“Maaf, Pak, bagian mana lagi yang salah kalau boleh tahu?” tanyanya sangat hati-hati karena tak mau menyulut emosi pimpinannya lagi dengan jarak hanya meja kerja Varo sebagai pembatasnya.“Kamu lihat aja, sebagian besar banyak yang salah! Kalau ga bisa kerja mending turun jabatan, atau kamu mengundurkan diri. Itu lebih terhormat dari pada kamu memperlambat kerja saya!” ketus Varo, ucapannya membuat Meera merasa menjadi orang yang sangat tak berguna saat ini.“Sini, Meera, biar gue yang kasih tahu salahnya di mana. Lo cukup ketik ulang, kurangin dan tambahin bagian yang gue stabillo ya.” Zayn melambaikan tangannya meminta Nameera mendekat, namun karena menjaga wudhu, Meera berdiri dengan tetap memberi jarak dan memperhatikan dengan baik apa yang diinstruksikan oleh Zayn.“Sudah paham, kan?” tanya Zayn, Meera pun mengangguk, ia kemudian mengambil berkas yang ada di tangan Zayn dan membawanya kembali ke mejanya untuk dikerjakan kembali.Sesampainya di meja kerjanya ia menaruh asal berkas yang ada di map tersebut. Ia mengerucutkan bibirnya, kesal dengan ucapan Varo, juga kesal pada dirinya sendiri.“Lo harus sabar nuntun dia buat bisa mengerti lo, Varo. Dia baru seminggu di sini. Bukan mantan sekretaris pula sebelumnya, hanya staf keuangan. Wajar dong,” ucap Zayn, ia pun berdiri kemudian hendak meninggalkan ruangan tersebut.“Zayn!” panggil Varo, sang asisten pun menoleh, menunggu hal apa yang akan diucapkan olehnya.“Ajarkan sampai dia bisa! Aku cuma mau dia yang jadi sekretarisku!” Zayn tersenyum simpul, ia paham maksud sahabatnya.“Makanya sabar, jangan sampai hal yang belum pernah lo genggam malah terlepas begitu aja!” Zayn kemudian kembali melangkah dan pergi dari ruangan tersebut, hilang di balik pintu yang ia tutup saat meninggalkan sahabatnya yang sedang bergelut dengan pikirannya.“Harusnya ga begini, lo bego banget Varo!” kesalnya pada diri sendiri, kemudian ia tersenyum mengejek diri sendiri.*******“Ayo Meer, cepat dikit kerjain berkasnya nanti keburu lewat jam makan siang,” ucap Rizki sahabat Nameera yang juga bekerja di perusahaan tersebut, namun mereka beda divisi.“Sabar, Ki. Aku udah dua kali dipanggil tadi, malas kalau sampai yang ketiga kali. Ketahuan banget aku bodohnya!” cetus Meera sambil masih tetap mengetik berkas yang harus direvisi, matanya pun tak teralihkan dari layar komputer.“Aku duluan aja deh, ya,” Rizki yang sudah tak sabar akhirnya meminta izin kepada sahabatnya, dengan berat hati Meera memperbolehkan Rizki ke kantin terlebih dahulu.“Nanti kamu susul aku, ya,” lanjut Rizki lagi sebelum benar-benar meninggalkan Meera di meja kerjanya.“Iya, kamu ga usah khawatirin aku,” ucap Meera seraya tersenyum ke arah Rizki yang perlahan sudah menjauh darinya.Tak jauh dari meja kerjanya, seseorang tengah memperhatikan Meera, ia bersandar pada dinding. Ponsel yang ada ditangannya hanya alibi agar dipikir orang yang lewat ia sedang bertelepon, padahal sedang memperhatikan Nameera.“Kenapa ga istirahat, harus lembur demi revisi. Benar-benar tu cewek!” gumam pria yang memperhatikan Meera dari jauh, ia tersenyum kemudian pergi dari tempatnya.*******“Alhamdulillah selesai juga revisinya, semoga ga salah lagi.” Meera mendekap berkas yang baru saja ia print out, dengan senyum mengembang ia meletakkan berkas tersebut ke dalam map kemudian meninggalkannya di meja karena ia harus segera istirahat makan siang.Meera berjalan menuju lift karena ruangannya berada di lantai lima. Sesampainya ia di depan pintu lift ternyata ada Varo yang sedang menunggu lift juga, perasaan canggung pun di rasakan oleh Meera.“Mau ke mana kamu? Istirahat?” tanya Varo dengan suaranya yang datar.“Iya, Pak,” ucap Meera sambil mengangguk.“Besok-besok jangan telat makan siang, apalagi sampai ga makan siang karena lembur kerjaan. Saya ga mau karyawan saya sakit, nanti nyusahin saya,” ucap Varo ketus.Meera yang mendengar ucapan Varo hanya bisa beristighfar dalam hati, tak menyangka maksud atasannya karena tak ingin direpotkan. “Tenang aja, Pak. Saya juga ga biasa nyusahin orang, kok.”“Bagus kalau gitu,” ucap Varo datar ia pun menyunggingkan sudut bibirnya.Bersamaan dengan itu pintu lift khusus karyawan terbuka, Meera menggunakan kesempatan tersebut untuk menyudahi percakapannya dengan sang atasan.“Permisi, Pak. Saya duluan.” Dengan cepat Meera masuk ke dalam lift dan meninggalkan Varo yang masih berdiri di sana tanpa menunggu Varo menjawab ucapannya.
Begitu pintu lift sudah tertutup Meera langsung mengelus dadanya, “Alhamdulillah liftnya sampai tepat waktu,” ia kemudian memencet tombol GF pada panel pintu lift.Sesampainya di lantai bawah ia langsung menuju kantin, iaa sudah sangat hapal dengan seluk beluk kantor ini karena sebelumnya ia menjabat sebagai staf keuangan selama dua tahun, dan dipindah tugas menjadi sekretaris CEO karena sekretaris yang lama berhenti tanpa kabar.“Meera!” panggil Rizki, teman satu divisi Meera dulu saat menjadi staf keuangan, ia pun melambaikan tangannya agar Meera mendekatinya.“Makan apa Meer?” tanya Rizki saat Meera sudah sampai di depannya.“Nasi rames aja setengah porsi, kamu udah?” Meera balik bertanya karena dilihatnya piring Rizki masih ada sisa sepertiganya.“Aku belum, mau tambah gorengan,” ucapnya seraya nyengir kuda, Rizki adalah sahabat Meera yang porsi makannya lebih banyak dari Meera namun beruntung bentuk badannya tak berubah.“Ingat, Ki, berhenti sebelum kenyang.” Meera mengingatkan sahabatnya lagi setelah Rizki sudah berada di depannya membawakan nasi rames pesanannya dan tiga buah gorengan untuk ia dua dan satu untuk Meera.“Tapi aku memang belum kenyang, Meer. Gimana, udah selesai revisinya?” tanya Rizki mengalihkan pembicaraan mereka.“Alhamdulillah udah selesai. Tapi aku belum tahu benar apa ga, semoga aja ga revisi lagi.” Meera kemudian mulai menyuap makanannya ke mulut.“Kalau ga sanggup, minta balik ke staf lagi aja, Meer. Dari pada kaya begini, setiap hari revisi terus,” cetus Rizki, membuat Meera sejenak berpikir apa perlu ia melakukan hal tersebut.“Tapi staf yang gantiin aku, gimana?” tanyanya pada Rizki, ia tak tega jika harus membuat staf baru tersebut yang akan terkena dampaknya nanti.“Itu ... urusan mereka, emang kamu ga bosan kaya gini terus? Aku aja yang lihat bosan banget.” Rizki kembali melahap gorengannya hingga mulutnya penuh.“Pelan-pelan, Ki.” Meera menyodorkan minuman kepada Rizki.“Aku ga bisa egois gitu, Ki. Ini bukan hanya menyangkut masalah aku aja,” ucap Meera tertunduk lesu, ia mengingat bagaimana Varo selalu ketus dan bersikap dingin padanya.Meera sedang berada di ruangan CEO saat ini, ia sedang menyerahkan hasil revisinya tadi siang. Di sana ada juga Zayn karena mereka baru saja selesai makan siang bersama di luar kantor.“Coba Zayn, kamu yang cek revisinya!” perintah Varo kepada asisten pribadinya, Zayn.“Sini, Meera. Berkasnya, bukan lo. Ga usah tegang gitu, gue ga gigit.” Meera kemudian menghampiri Zayn yang duduk di depan meja kerja Varo, memberikan berkas tersebut kepadanya.“Udah betul, kok. Ya udah kasih lagi berkas yang harus disalin dan dicopy beberapa bundel, Var,” ucap Zayn sambil melirik ke arah Varo.“Nih! Copy jadi lima belas bundle, sebelumnya salin dulu, baru dicetak. Buat di kertas ukuran A4, margin normal. Jangan lupa berkas ini harus selesai hari ini karena akan dipakai untuk rapat besok pagi. Ini satu lagi berkas buat siangnya, harus selesai hari ini juga!” Varo m
Akhirnya sampai lewat jam pulang kerja karyawan, Meera masih mengetik berkas yang diminta oleh Varo untuk meeting besok siang. Jam sudah menunjukkan pukul enam sore saat Meera selesai mengetik.Dengan segera ia merapikan mejanya, menyusun berkas yang tujuh belas bundel dan satu bundel lagi di map hijau dan biru. Semua ia masukkan di laci meja kerjanya, ia kunci kemudian kuncinya ia letakkan di laci panjang satunya.Meera memang seperti itu, terbiasa mengunci lacinya jika ada berkas penting yang digunakan untuk meeting atau yang hanya sekedar dititipkan padanya. Varo sudah pulang sejak tiga puluh menit yang lalu, maka di ruangan ini tinggallah Meera.Selesai dengan meja kerjanya, Meera merapikan barang bawaannya. Ponsel, dompet, dan beberapa barang penting ia cek lagi. Setelah dirasa cukup ia pun turun dari lantai lima. Menaiki lift dan keluar di lantai dasar.Meera tak langsung pulang, ia terlebih da
Selesai shalat Varo langsung menuju keluar masjid, ia tak mau Meera menunggunya terlalu lama. Namun, saat sampai di depan mobilnya belum ada Meera di sana. Ia pun memutuskan untuk menunggu Meera sampai beberapa menit lagi.Dua puluh menit Varo menunggu, akhirnya Meera memperlihatkan batang hidungnya lagi. Varo sempat menaikkan sebelah sudut bibirnya melihat Meera yang saat diperhatikan ternyata sangat anggun dengan hijab dan setelan pakaian kerjanya, tetap elegan dan ada inner beautynya yang keluar.“Varo, kamu masih nunggu aku?” tanya Meera saat sudah berada dua langkah di depannya.Varo hanya mengangguk karena ia tak sadar jika Meera sudah berada di depannya, ia sedang melamun tadi. Meera hanya tersenyum melihat Varo yang seperti salah tingkah karena ulahnya.“Kita jalan lagi?” ucap Varo sambil berjalan menuju pintu kemudi.“Ga usah, Varo. Aku pula
“Hasbi, Hasbi Kairi Muammar. Bahkan kalian pernah satu kelas di kelas sebelas,” ucapan Meera membuat Varo tersentak.Ia benar-benar terkejut dengan ucapan Meera baru saja, yang disebut namanya adalah seseorang yang dekat dengannya dulu. Mereka pernah dekat, sedekat jari telunjuk dengan jari tengah. Namun, karena satu hal mereka berselisih pendapat membuat keduanya menjauh.Karena saat dululah, terbentuk Varo yang sekarang. Tak mempunyai banyak teman, tak percaya dengan persaudaraan lain tak sedarah hanya Zayn sahabat satu-satunya, dan lagi ia akan selalu curiga jika seseorang memiliki persahabatan dengan lawan jenis.Sebenarnya ada kesempatan di mana Varo bisa menanyakan semua yang mengganjal hatinya saat itu, tapi ia menutup telinga dan matanya seakan tak mau mendengarkan penjelasan apa pun dan dari siapa pun. Hasbi yang sudah lebih dewasa saat dulu sebenarnya menelan luka yang begitu pahit, sahabatnya
Hari ini Varo bekerja seperti biasanya, ia terlihat santai dan dingin, memang seperti itulah dia. Sedangkan Meera hari ini sedang sedikit bingung, karena sore nanti akan ada tamu yang ke rumahnya, dan ia harus hadir sore nanti. Ia tengah memikirkan alasan apa yang akan disampaikan oleh Varo nanti.“Bismillah, dicoba dulu, deh,” ucap Meera saat ia mengangkat gagang telepon kantornya.Meera memencet beberapa tombol pada telepon dan sedang menunggu panggilan tersambung. Tak perlu menunggu lama, orang di seberang mengangkat panggilan tersebut pada deringan pertama, membuat degup jantung Meera berpacu karena ia akan berhadapan dengan Varo untuk meminta izin pulang cepat sore nanti.“Halo,” ucap Varo di seberang telepon.“Maaf, Pak. Bisa nanti sore saya izin pulang cepat?” tanya Meera sambil ia memilin ujung pakaiannya.“Ada perlu a