Dengan frustrasi, ia mencoba melacak nomor itu melalui sistem keamanan yang ada di kota ini, tetapi hasilnya nihil. Nomor itu tidak terdeteksi, seakan-akan baru saja dihapus dari jaringan.Davin menghempaskan ponselnya ke kasur, lalu mengayunkan tangannya ke meja di samping ranjang. Benda-benda yang ada di atasnya jatuh berhamburan, suara kaca pecah kembali terdengar di kamar hotelnya.Dadanya naik turun dengan cepat, napasnya tersengal. Ia tidak bisa menahan emosinya. Ia ingin menghancurkan sesuatu, ingin melampiaskan kemarahan yang memenuhi dadanya.“Brengsek!!!” teriaknya, suaranya memenuhi ruangan.Tangannya mencengkeram rambutnya sendiri, tubuhnya gemetar hebat. Ia merasa seperti orang gila, tidak bisa berpikir jernih.Lalu, ia tersungkur ke lantai, kedua tangannya menutup wajahnya yang basah oleh keringat dan air mata yang tidak bisa ia tahan lagi.“Sayang, bertahanlah.” gumamnya, suara penuh kepedihan. “Aku akan menemukanmu… Aku janji…”Davin kembali meraih ponselnya untuk sege
"Jadi, berapa uang yang kamu butuhkan?" tanya Davin pada sekretarisnya. Naura menunduk, bingung harus menjawab karena nominalnya sangat tidak masuk akal. "Sa—satu-" Naura belum sempat menyelesaikannya, namun suara Davin memotong ucapannya. "Satu juta?" Naura menghela napas berat. Ia bingung harus menjawab apa. Demi apapun, Naura sangat malu. "Cepat katakan!" desak Davin. Sambil memejamkan mata, sang sekretaris kembali menjawab, "Satu miliar, Pak Davin." Alis Davin sontak berkerut. Bisa-bisanya sekretaris yang baru bekerja satu bulan dengannya berani meminjam uang sebesar itu. "Mau dipakai untuk apa uang itu, Naura?" Suara berat Davin membuat Naura semakin gugup dan menunduk. "Lihat lawan bicaramu!" ucap Davin lagi. Naura mengangkat wajahnya, menatap CEO Abimanyu Group, perusahaan nomor satu di Sun City, yang mempunyai ketampanan nyaris sempurna. Kulit putih, tinggi badan 185 cm, kekar, mata abu-abu, hidung mancung, dan rambut yang selalu disisir rapi ke atas. "Sa—sa
"Siapa sih ini? Belum juga mulai!" Davin menggerutu, lalu kembali mengenakan pakaiannya sembarangan. Setelah itu, ia membuka pintu kamar hotel tersebut, hanya memberi sedikit celah bagi orang yang ada di depan kamar. "Kamu ini mengganggu saja," kata Davin, kesal pada Bram, wakilnya di kantor yang mengetahui perihal Naura akan meminjam uang sebesar 1 miliar. "Saya hanya ingin memberikan surat ini untuk Anda, Pak Davin," ucapnya sambil menyerahkan map berwarna merah kepada Davin. "Oke, terima kasih. Sekarang kamu boleh pergi. Dan ingat, jangan sampai ada yang tahu soal ini," kata Davin dengan penuh penekanan. "Tenang saja, Pak. Saya sudah bekerja dengan Anda puluhan tahun, dan tak sekalipun saya pernah membocorkan rahasia Anda. Saya tidak mungkin melakukan itu, mengkhianati orang yang sudah memberi saya tempat untuk mencari nafkah," ucap Bram. "Ya sudah, pergilah, dan tolong tangani dulu urusan kantor. Aku masih ingin mencoba rasanya perawan seperti apa," bisiknya kepada Bram, yang
Setelah kegiatan panas mereka, Naura dan Davin membersihkan diri secara bergantian. Setelah penampilannya rapi, mereka kembali duduk di sofa yang ada di dalam kamar hotel itu secara berhadap-hadapan. "Kamu tahu, kan, kalau aku adalah laki-laki yang mengidap penyakit hiperseksual, dan aku baru bisa tidur setelah melakukan pelampiasan dengan lawan jenis," ucap Davin sambil menatap ke arah sang sekretaris yang saat ini menunduk dan tidak berani menatap ke arahnya. "Aku ingin kamu menandatangani surat perjanjian ini, bahwa kamu siap menjadi pelampiasan hasrat saya sampai nanti menjelang hari pernikahanmu dengan Aldo," tambah Davin, yang berhasil membuat Naura melotot ke arahnya. "Tapi, Pak, bagaimana kalau saya dengan Aldo menikahnya masih lama?" tanya Naura polos. Davin kembali tersenyum. "Selama kamu belum menikah, maka selama itu juga kamu harus menjadi pelampiasan hasratku, kecuali aku pulang ke kota kelahiranku, baru saat itu kamu bisa bebas," tutur Davin tanpa memberi kelonggara
Naura segera bangkit karena ia tidak mungkin berlama-lama di sana. Ia melajukan motornya yang sudah lecet akibat terjatuh, menuju ke kantor. Hari ini, Davin ada meeting, dan Naura harus menunggu pria itu sampai selesai rapat dengan Kepala Divisi di kantor Abimanyu Group. Saat Naura tiba di kantor, Aldo melihat kekasihnya mengalami luka lecet dan segera menghampiri. “Kamu kenapa, sayang?” tanya Aldo. Sebetulnya, Naura sedang marahan dengan kekasihnya. Ketika ia meminta tolong pada Aldo untuk memberinya pinjaman melunasi utangnya pada rentenir, bukannya uang yang didapatkan, Naura justru menerima caci maki dari kekasihnya. “Jatuh,” jawab Naura dengan suara serak. “Jatuh di mana? Kenapa bisa jatuh? Kamu ini setiap kali bawa motor selalu tidak pernah hati-hati,” kata Aldo dengan nada ketus. Ia melihat ke arah sepeda motor yang ia hadiahkan untuk Naura, kini lecet, dan kemarahannya pun memuncak. “Kamu ini memang tidak pernah telaten! Dikasih apa pun, tidak pernah dijaga dengan baik.
Setelah keluar dari ruangan Davin dengan hati yang hancur, Naura tak tahu harus pergi ke mana. Ia merasa tak punya siapa-siapa yang bisa mendengarkan keluhannya. Tiba-tiba, terlintas bayangan ibunya yang sedang terbaring di rumah sakit. Tubuhnya seolah bergerak tanpa arahan, langkahnya langsung menuju parkiran untuk segera pergi ke sana. Rasa takut dan cemas bercampur jadi satu, terutama mengingat ibunya masih di ruang ICU, tak sadarkan diri.Sesampainya di rumah sakit, Naura dengan cepat melangkah menuju ICU. Di depan pintu ruang ICU, ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu. Pemandangan ibunya yang terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terhubung ke tubuhnya membuat hati Naura semakin teriris. Matanya memanas, dan tanpa bisa dicegah, air mata pun mengalir deras. Ia duduk di samping tempat tidur, menggenggam tangan ibunya yang dingin dan kaku.“Ibu...” bisiknya, suaranya serak. “Naura nggak tahu harus gimana lagi. Naura bener-bener nggak sanggup
“Ada apa ini, Pak? Saya tidak pernah melakukan kesalahan yang bertentangan dengan hukum. Kenapa Anda datang sambil menodongkan senjata api ke arah kami?” tanya Antonio kepada 10 orang polisi yang saat ini ada di dalam ruangan tersebut. Sementara itu, Naura memeluk Davin erat-erat, tak kuasa meluapkan kebahagiaannya karena Davin adalah superheronya. “Anak buah Anda sudah ditangkap dan sudah mengakui kalau Anda yang menyuruh mereka untuk merampok uang milik Nona Naura, yang akan digunakan untuk melunasi utangnya pada Anda,” sahut polisi itu. Mata Antonio melotot tak percaya dengan apa yang didengarnya. “Itu tidak benar, Pak! Saya tidak mungkin melakukannya. Ini pasti fitnah!” teriak Antonio, berusaha mengelak dari tuduhan polisi. “Jangan banyak bicara! Silakan ikut ke kantor polisi dan jelaskan di sana. Kalau memang Anda tidak bersalah, maka Anda akan segera dibebaskan. Tapi kalau Anda dengan sengaja melakukan itu dan terbukti sebagai otak dari perampokan ini, siap-siap saja mende
"Kamu tahu kan kalau aku sudah memiliki tunangan dan sebentar lagi akan menikah?" tanya Davin lagi saat Naura belum memberikan jawaban. "Jujur, aku puas main dengan kamu. Naura, milikmu sangat sempit, dan belum pernah aku merasakan kenikmatan seperti saat menyentuhmu. Kamu sendiri juga tahu, sudah banyak sekali wanita malam yang aku ajak bercinta setiap malam. Jujur, kamu berbeda dari mereka. Kalau kamu mau menjadi simpananku dan merahasiakan hubungan kita dari siapapun, serta berusaha bersikap profesional di hadapan orang lain, aku janji akan membiayai pengobatan ibumu," ucap Davin lagi memberi tawaran. Naura hampir saja melupakan keadaan ibunya yang masih berjuang di ruang ICU. Lebih baik dia berkorban perasaan daripada membiarkan ibunya tanpa perawatan medis yang bagus. Naura menarik napas berat lalu menjawab, "Baiklah, Pak Davin. Saya mau menjadi simpanan Anda," sahutnya. Davin tersenyum bahagia. "Jadi mulai sekarang, bila hanya ada kita berdua saja, kamu harus memposisikan di
Dengan frustrasi, ia mencoba melacak nomor itu melalui sistem keamanan yang ada di kota ini, tetapi hasilnya nihil. Nomor itu tidak terdeteksi, seakan-akan baru saja dihapus dari jaringan.Davin menghempaskan ponselnya ke kasur, lalu mengayunkan tangannya ke meja di samping ranjang. Benda-benda yang ada di atasnya jatuh berhamburan, suara kaca pecah kembali terdengar di kamar hotelnya.Dadanya naik turun dengan cepat, napasnya tersengal. Ia tidak bisa menahan emosinya. Ia ingin menghancurkan sesuatu, ingin melampiaskan kemarahan yang memenuhi dadanya.“Brengsek!!!” teriaknya, suaranya memenuhi ruangan.Tangannya mencengkeram rambutnya sendiri, tubuhnya gemetar hebat. Ia merasa seperti orang gila, tidak bisa berpikir jernih.Lalu, ia tersungkur ke lantai, kedua tangannya menutup wajahnya yang basah oleh keringat dan air mata yang tidak bisa ia tahan lagi.“Sayang, bertahanlah.” gumamnya, suara penuh kepedihan. “Aku akan menemukanmu… Aku janji…”Davin kembali meraih ponselnya untuk sege
“Tuan, dia kembali mengamuk,” ucap anak buah Bryan. Baru saja Bryan mulai bersenang-senang dengan para wanita penghibur itu, kembali anak buahnya datang melapor. Mereka memang tak diizinkan masuk ke dalam tanpa Bryan, sehingga saat Naura ngamuk, penjaga itu harus menemui sang mafia.“Fuck! Mau apa perempuan sialan itu!” desisnya marah.Pria itu berjalan dengan tergesa-gesa menuju ke kamar yang ditempati Naura. Naura menoleh, saat pintu terbuka. Kamar itu sudah berantakan dan tak berbentuk lagi. Semua barang dilempar oleh Naura.“Kau pikir dengan mengacak-ngacak kamar ini, lalu berteriak seperti orang gila, aku akan melepaskanmu, huh?” bentak Bryan.“Keluarkan aku dari sini!” balas Naura berteriak.Plak PlakTamparan kali ini lebih keras dari yang sebelumnya, sehingga kedua sudut bibir Naura mengeluarkan darah.“Ikat tangan dan kakinya!” perintah Bryan pada anak buahnya. Naura terus berteriak berusaha untuk melawan, namun tentu saja perlawanan itu sia-sia belaka. Anak buah Bryan mengi
Tidak ada jawaban.Ia menggedor pintu sekuat tenaga, jari-jarinya mulai sakit, tetapi ia tidak peduli."SIAPA PUN DI LUAR SANA, KELUARKAN AKU DARI SINI! TOLONG!" suaranya semakin keras, semakin putus asa. "AKU MAU PULANG! SIAPA PUN YANG MELAKUKAN INI, LEPASKAN AKU!!"Matanya mulai panas, air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya mengalir. Ia menggigit bibirnya keras, menahan isakan yang mulai pecah. "Daviiiin, tolong aku, sayang. Hiks hiks…" suaranya melemah, hanya sebuah bisikan. "Sayaaaaaang, tolong aku…"Tidak ada yang menjawab.Tidak ada yang peduli.Ia tersungkur di lantai, bahunya terguncang saat tangisnya semakin pecah. Ketakutan merayap ke dalam setiap sarafnya. Apa yang mereka inginkan darinya? Kenapa mereka menculiknya? Apa yang akan mereka lakukan padanya?Berbagai kemungkinan buruk mulai memenuhi pikirannya. Ia tidak tahu siapa penculiknya.Naura mengangkat wajahnya, matanya yang membengkak menatap jeruji besi di depannya. Ia tidak bisa terus menangis. Ia harus keluar. Ia
Victor melangkah penuh percaya diri memasuki markas bawah tanah Bryan, membawa tubuh Naura yang tak sadarkan diri di dalam gendongan anak buahnya. Wajahnya dipenuhi kebanggaan, ekspresi puas terlihat jelas dalam sorot matanya. Hari ini, ia telah mencapai sesuatu yang selama ini gagal ia lakukan—menghancurkan Davin, meskipun secara tidak langsung.Di dalam ruangan yang luas dan megah, Bryan sudah menunggu. Duduk santai di kursi besar dengan cerutu di tangannya, pria itu menatap dengan tatapan penuh kepuasan ketika melihat Naura yang tak berdaya."Jadi, kau benar-benar berhasil kali ini, Victor?" Bryan terkekeh sambil mengembuskan asap cerutunya ke udara. "Aku kira kau hanya menggertak seperti biasanya."Bryan tidak bisa menyembunyikan rasa bangganya pada Victor. Dia benar-benar bangga karena kali ini Victor tidak mengecewakannya seperti yang sudah-sudah. Bryan juga akan memberikan bonus yang begitu besar untuk anak buahnya ini.Victor menyeringai. “Saya tidak akan membuang waktu hanya
Ketegangan di antara Davin dan Tuan Lee begitu terasa saat mereka meninggalkan hotel menuju kantor polisi. Pesta yang semula penuh dengan tawa dan kebahagiaan kini berubah menjadi kehampaan yang mencekam. Setiap langkah Davin terasa semakin berat, seolah dunia di sekitarnya ikut runtuh. Suasana di luar malam itu terasa lebih gelap dari biasanya, dan setiap detik yang berlalu semakin memaksanya tenggelam dalam kecemasan.“Pak Davin, anda harus tenang,” ujar Tuan Lee dengan suara yang berusaha meyakinkan meskipun matanya tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. “Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk membantu.”Davin tidak bisa berkata apa-apa. Bibirnya terkunci, matanya hanya menatap lurus ke depan. Pikirannya hanya berputar pada satu hal: Naura.Sesampainya di kantor polisi, situasi langsung berubah. Kepala polisi yang menerima laporan mereka segera memerintahkan untuk melanjutkan penyelidikan. “Ini kasus besar, Pak Davin. Kami akan kerahkan semua personel untuk membantu,” ujar
Davin berlari, kakinya hampir tidak bisa mengimbangi detak jantungnya yang berdetak semakin cepat. Setiap langkah yang diambil terasa seperti beban yang lebih berat. Nafasnya tersengal-sengal, seolah-olah udara di sekitarnya tidak cukup untuk mengisi paru-parunya yang sesak."Naura! Sayang!" teriaknya, suaranya serak, tapi tidak ada jawaban. Hanya riuh suara para tamu yang masih kebingungan setelah listrik padam.Lampu hotel yang sempat padam kini menyala lagi, tetapi itu tidak menenangkan Davin. Justru, cahaya itu semakin menyoroti kekosongan yang ada di sekitarnya.Ia berlari menyusuri ruang dansa, matanya liar mencari sosok yang sudah terlalu lama ia cintai. Setiap sudut ruangan ia lihat dengan harapan Naura akan muncul dari bayang-bayang, tapi tidak ada. Hanya tamu yang tampak bingung dan pelayan yang tampak tergesa-gesa menyelamatkan barang-barang dari meja prasmanan yang hampir tumpah."Sayaaaaang kamu di mana? Jangan bercanda!" teriaknya lagi, kali ini lebih panik, lebih pecah.
"Kalian mau makan apa?" tanya Bram pada Raka dan Rania. Mereka baru saja mengakhiri permainan di sebuah mal. Keduanya tampak kelelahan. Bram benar-benar mengasuh Raka dan Rania dengan baik; dia juga sesekali mengajak Angelica ikut bermain."Uncle mau makan apa?" Rania yang bertanya."Ditanya malah tanya balik," kata Bram. Namun, pria itu kembali menjawab, "Ya sudah deh, Uncle mau makan ayam goreng aja."Tentu saja itu bukan makanan favoritnya; ayam goreng adalah makanan favorit Raka dan Rania. Tapi demi keponakannya, Bram tidak apa-apa memesan makanan yang tidak terlalu ia sukai tersebut.Namun, di luar dugaan, jawaban Raka dan Rania malah berbeda. Mereka tidak ingin makan makanan kesukaannya tersebut karena makanan itu dipilih oleh sang uncle."Ya sudah deh, kalau begitu kami makan steak sapi aja. Yang premium ya, Uncle," ucapnya lagi penuh penekanan.Mata Bram membulat sempurna. Tentu saja steak yang dimaksud harganya sangat fantastis karena mereka tidak terbiasa makan daging yang
Naura dan Davin melangkah memasuki ballroom hotel berbintang dengan penuh percaya diri. Malam ini, perayaan ulang tahun pernikahan emas Tuan Lee dan istrinya berlangsung dengan meriah, ditambah dengan pertunangan putri semata wayang mereka. Sejumlah tamu undangan, yang mayoritas adalah para pebisnis berpengaruh dari berbagai negara, telah memadati ruangan yang luas itu.Davin melirik Naura yang berjalan di sampingnya. Gaun malam berwarna navy yang dikenakan istrinya membingkai tubuhnya dengan anggun. Tanpa banyak bicara, Davin menggenggam tangan Naura dan menuntunnya lebih dalam ke keramaian. Beberapa orang sudah mulai memperhatikan mereka. Davin hanya membalas dengan anggukan kecil dan senyum tipis, lalu terus melangkah menuju tuan rumah.Begitu tiba di depan Tuan Lee dan istrinya, Davin segera menyerahkan kotak kecil berisi jam tangan couple yang sudah dipersiapkannya. "Selamat ulang tahun pernikahan, Tuan Lee. Dan juga selamat atas pertunangan putri Anda," ujar Davin dengan sopa
Bila Davin dan Naura tengah asyik bercinta, berbeda dengan Bram yang tampak tak punya semangat hidup karena si kembar memilih menginap di kamarnya.“Mbar,” panggil Bram.“Hmmmmmmm,” jawab Raka dan Rania. Bram terkekeh, biasanya keduanya sangat marah kalau dipanggil kembar!Keduanya sudah memejamkan mata di atas ranjang, mereka tidur di antara Bram dan Lidya sementara Angelica sudah terlelap di box bayi yang disediakan oleh pihak hotel.“Sana pergi ke kamar. Mommy sama Daddy buat adik lagi tuh!” kata Bram. Lidya yang mendengar hanya menggeleng.“Udah biarin aja. Kalau Uncle gak mau Daddy buat adik lagi, sana Uncle aja di kamar Mommy sama Daddy,” jawab si jutek Rania.Bram yang hendak membuka mulut, melihat Lidya cekikikan, ia kembali mengatupkan bibirnya.“Tidur, Uncle. Bukankah besok malam Uncle harus ajak kami ke Mall. Kami mau belanja banyak loh!” Raka menimpali. Tapi bocah tampan itu juga enggan membuka matanya.“Kan pergi ke Mall nya baru sore. Pagi dan siang masih bisa istiraha