Victor melajukan mobilnya menuju kediaman Markus. Jalanan gelap dan sepi, hanya sesekali diterangi lampu jalan yang berkedip lemah. Hatinya berdebar, bukan karena takut, tetapi karena langkah besar yang akan diambilnya malam ini.Dia sudah bekerja di bawah Bryan selama bertahun-tahun, mengenal kebiasaannya, ambisinya, dan juga kelemahannya. Namun, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasa bahwa berpihak kepada Markus adalah keputusan yang paling masuk akal.Saat mobilnya berhenti di depan gerbang besar kediaman Markus, dua orang penjaga bersenjata lengkap segera menghampiri. Tanpa bicara, salah satu dari mereka membuka gerbang, membiarkannya masuk. Victor keluar dari mobilnya dan melangkah dengan mantap menuju pintu utama. Seorang pria berjas hitam menuntunnya ke dalam, ke sebuah ruangan yang mewah, dengan chandelier yang tergantung di langit-langit, dinding berlapis kayu mahal, dan perabotan yang menunjukkan kemewahan tanpa batas.Markus duduk di sebuah kursi besar di ujung r
"Ngapain kalian?" ulangnya membentak membuat Carlota gugup.Carlota buru-buru menumpahkan susu di samping Naura. Gerakannya cepat dan terkesan panik. Ia merasa ketakutan akan akibat dari percakapan yang baru saja mereka lakukan, apalagi jika Victor mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi di antara mereka. Carlota tahu betul bahwa Victor adalah orang yang sangat berbahaya, dan dia tidak ingin menjadi sasaran kemarahan pria itu. Dalam hatinya, Carlota berdoa agar tidak ada yang mencurigai apa yang sedang dia lakukan."Maaf, Pak Victor. Dia ini tidak mau minum susu, makan juga tidak mau. Saya hanya mengancamnya sedikit agar dia mau makan, sebab kata penjaga, dia tidak boleh sakit," ujar Carlota berbohong dengan suara gemetar. Kalimat itu keluar dengan terburu-buru, mencoba menyembunyikan kecemasan yang mendalam. Carlota memaksakan diri tersenyum, meskipun senyuman itu terasa sangat dipaksakan.Victor berjalan mendekat dengan langkah berat, seolah-olah ingin menunjukkan kekuasaann
"Kupikir Victor lagi yang datang," ucap Naura pada Carlota saat wanita paruh baya itu membawakan susu untuknya. Naura melihat sekilas wajah Carlota yang tampak sedikit cemas. Sesaat, wajah itu berusaha menunjukkan senyum, meski ada kesedihan yang terpendam di matanya."Pak Victor ada di dapur. Dia meminta saya untuk membawakan susu dan makanan lagi. Habiskanlah, biar Anda tidak sakit," ujar Carlota ramah, penuh perhatian. Tangan Carlota sedikit gemetar saat meletakkan cangkir dan mangkuk di meja dekat Naura, tetapi ia berusaha tetap tenang."Terima kasih, Carlota. Kamu selalu baik padaku. Aku tidak akan pernah melupakan kebaikanmu ini. Meskipun kamu berada di tempat yang salah, tapi aku tahu kamu orang baik," sahut Naura, mengambil makanan dan susu yang baru saja dibawakan oleh Carlota. Ucapan itu terlontar tulus, seolah menyentuh hati Carlota yang sudah lama terbiasa dengan ketidakpedulian dari orang-orang di sekitarnya."Saya juga sebenarnya terpaksa bekerja di sini. Saya terjebak
"Tuan, tolong jemput Nyonya Naura di persimpangan Hutan Ampera, Kota Mars Country. Saya akan mengantarkan beliau sampai di tepi hutan. Kami tak punya banyak waktu, tolong suruh siapa saja menjemput dalam waktu satu jam ke depan."Davin memandangi pesan singkat itu dengan perasaan campur aduk. Tertulis dengan jelas, tapi isi pesan itu seolah mengguncang dunia yang selama ini dia kenal. Matanya menyipit, berusaha meyakinkan diri bahwa ini mungkin hanya lelucon atau mungkin pengingat dari seseorang yang salah kirim. Namun, meskipun begitu, ada rasa lain yang tumbuh di dalam dadanya—rasa cemas yang semakin dalam. Tak ada informasi lebih lanjut, hanya instruksi yang mendesak untuk menjemput Naura, istrinya, yang sudah lama diculik. Davin dengan tangan gemetar, mencoba menghubungi nomor yang tercantum di pesan itu. Namun, tanpa disangka, panggilan tersebut tidak tersambung. Nomor itu tidak aktif.Perasaan cemas berubah menjadi kebingungan. Di kota tempat Naura disekap, waktu menunjukkan p
Dengan langkah terburu-buru, Carlota membantu Naura keluar dari kamar itu, menuntunnya melalui lorong gelap yang penuh bayangan. Mereka berjalan perlahan, berusaha tidak menimbulkan suara, setiap langkah seperti menggetarkan udara yang hening. Carlota tidak bisa membiarkan dirinya lengah. Ia tahu, meskipun para penjaga tertidur, bahaya masih mengintai di setiap sudut.Setelah beberapa menit, mereka sampai di pintu keluar markas. Carlota dengan hati-hati membuka pintu itu, dan mereka melangkah keluar ke udara malam yang dingin. Hutan yang lebat sudah menanti mereka.Namun, belum jauh mereka melangkah, sebuah teriakan tiba-tiba memecah kesunyian malam."Ah!" Naura menjerit keras, suaranya penuh dengan rasa sakit yang mencekam. Carlota berbalik dan melihat Naura terjatuh ke tanah, wajahnya tampak kebingungan dan ketakutan. Matanya yang memerah penuh air mata menatapnya dengan rasa panik yang sangat jelas.Naura menggenggam kakinya yang terluka. "Carlota... kakiku... digigit ular!"Carlot
"Aku akan membuat Carlota menyesal. Tidak ada maaf untuknya!" katanya dalam hati, jantungnya berdegup kencang. Dia bisa dibunuh oleh Bryan kalau Naura benar-benar lolos. Belum lagi Markus yang meminta Victor menyerahkan Naura padanya hidup-hidup.Tentu saja peluang besar untuk mendapatkan uang hampir lenyap.Setiap langkahnya semakin cepat, setiap detiknya semakin terbakar dengan kebencian yang mendalam. "Dia akan membayar atas semua ini," gumamnya pelan, seakan mengancam dirinya sendiri.Victor yakin, Carlota dan Naura belum terlalu jauh. Ia bisa merasakannya. Hanya satu hal yang ia tahu pasti: jika ia tidak menemui mereka segera, semuanya akan berantakan. "Aku tidak akan membiarkan mereka lolos," bisiknya keras, setiap kata yang keluar dari mulutnya dipenuhi kebencian. Tak ada kata maaf bagi siapa pun yang berani melawan perintah Bryan, dan Carlota—meskipun ia tahu betul akan risikonya—telah melanggar batas.Victor terus berlari, dan di dalam pikirannya, bayangan Carlota yang berla
"Mampus kalian!" umpatan Victor terdengar tajam. Pria itu hendak mendekati Naura dan Carlota yang sudah terjatuh tak berdaya. Namun tiba-tiba, cahaya terang menyilaukan matanya.Bukan hanya satu senter berukuran besar yang mengarah kepadanya, tetapi puluhan lampu senter lain menyinari dari berbagai arah. Victor langsung menahan langkahnya, panik, dan dalam sekejap berbalik, berlari menjauh, berusaha melarikan diri agar tidak tertangkap."Jangan bergerak!" teriak salah satu pria yang memegang senter tersebut, tapi Victor sama sekali tak menghiraukannya. Dengan gerakan cepat, ia melompat ke dalam semak-semak, mencari jalan keluar."Kejar dia!" seru salah seorang dari mereka, memberi perintah kepada yang lain untuk mengejar. Sementara itu, pria yang memimpin kelompok itu, yang merupakan seorang polisi, segera memberi instruksi, "Cepat bawa mereka ke rumah sakit, mereka harus segera mendapatkan pertolongan!"Beruntung, kepolisian itu sudah menyiapkan ambulans, mengingat mereka tahu akan m
Waktu berlalu, dan setiap detik terasa semakin berat. Setiap peralatan medis yang berbunyi menambah rasa cemas yang menggantung di udara. Naura terkulai tak berdaya, tubuhnya semakin dingin, namun dokter dan perawat tidak menyerah. Mereka bekerja tanpa henti, memberikan segala upaya yang mereka miliki."Bu Naura, bertahanlah," ucap seorang dokter dengan suara pelan, seolah berbicara langsung kepada pasien yang tak mampu mendengarnya. "Kami akan membawamu kembali."Monitor yang menunjukkan detak jantung Naura semakin lama semakin melemah. Setiap detak yang tertinggal mengundang ketegangan yang semakin dalam. Seolah waktu itu sendiri berhenti, setiap napas yang Naura hembuskan membawa harapan sekaligus ketakutan akan kehilangan.Di sisi lain, Davin memegang telepon dengan tangan yang gemetar, seakan-akan dunia di sekelilingnya perlahan menghilang. Suaranya terdengar tegang, hampir tak bisa diterima oleh pikirannya yang kacau. Polisi dari kota Mars Country yang menghubunginya terdengar j
Daniel Dominic Montgomery dan Darren Damian Montgomery adalah nama yang dipilih oleh kedua orang tua mereka dan sudah disepakati oleh keluarga untuk si kembar. Kedua bayi itu kini berada di ruang perawatan sang Mama. Setelah dilahirkan kemarin, mereka sempat dibawa ke ruang perawatan bayi, tetapi pagi ini mereka sudah dipindahkan ke ruang perawatan Rania. "Selamat ya, Nia! Aku senang banget akhirnya punya keponakan," ucap Raka. "Untung saja wajahnya kayak kamu," tambahnya lagi sambil melirik ke arah sang adik ipar yang usianya jauh di atasnya. Edward hanya tersenyum mendengar ucapan iparnya. "Kamu kapan menyusul, Raka?" tanyanya. "Menyusul? Bisa-bisa aku digantung sama Mommy dan Daddy. Pacaran saja nggak boleh, apalagi nyusul kalian nikah dan punya anak. Mommy bisa mati berdiri," kata Raka sambil melirik ke arah sang Mommy. "Bener kan, Mom?" tanyanya lagi. "Bukan cuma digantung, tapi Mommy akan ikat seluruh tubuh Raka biar nggak bisa bergerak," jawab Naura, membuat seluruh or
Sementara itu, di dalam mobil, Rania terus menangis. Tangannya mencengkeram erat kursi, napasnya terengah-engah menahan rasa sakit yang begitu menyiksa. Perutnya terasa melilit hebat, sakit yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Setiap gelombang kontraksi yang datang membuat tubuhnya menegang, dan air mata semakin deras mengalir di pipinya."Sabar ya, sayang… sabar… kita sebentar lagi sampai," ucap Edward, suaranya bergetar, namun ia berusaha tetap tenang untuk istrinya. Tangannya terulur, mengusap kening Rania yang penuh peluh. Ia ingin melakukan sesuatu untuk mengurangi rasa sakit istrinya, tetapi ia tahu tidak ada yang bisa benar-benar membantu selain memastikan mereka segera tiba di rumah sakit.Rania menggigit bibirnya, tubuhnya sudah mulai gemetar. "Sakit, sayang… sakit banget…" ucapnya dengan suara lemah, hampir seperti bisikan. Air ketubannya sudah pecah sejak beberapa menit yang lalu, dan kini darah mulai keluar, membasahi pahanya hingga betisnya.Melihat kondisi itu, E
"Bagaimana kalau kita menikah bulan depan saja?" tanya Bram tiba-tiba, menatap Monica dengan penuh harapan.Mereka sedang duduk di balkon kamar Monica. Awalnya, Bram berencana menemani Angelica di kamar ibunya karena gadis kecil itu ingin tidur bersama sang nenek. Namun, Laura tampaknya memahami situasinya dan justru menyuruh Bram untuk menemani Monica.Monica tersenyum lembut, tatapannya penuh kehangatan. "Aku ikut saja, sayang. Terserah kamu mau kapan, aku siap," jawabnya tulus. "Aku bahagia banget akhirnya Angelica mau menerima kehadiranku."Bram merasakan haru menyelimuti hatinya. Ia lalu meraih Monica ke dalam pelukannya, mendekapnya dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih, sayang. Terima kasih juga karena sudah mau menerima pernyataan cinta dari seorang duda beranak satu," ucapnya dengan suara lembut.Monica tersenyum dan membalas pelukan itu. "Aku mencintaimu, Bram. Statusmu tidak pernah menjadi masalah untukku," bisiknya.Bram mengusap pelan punggung calon istrinya. "Tapi aku
Naura menghela napas panjang, matanya masih terlihat menerawang, seolah pikirannya belum bisa benar-benar menerima kenyataan yang baru saja terjadi. “Aku nggak pernah menyangka kalau Angelica bisa langsung menerima Monica sebagai calon Mama barunya,” ucapnya lirih, suaranya terdengar masih dipenuhi rasa haru.Saat ini, dia sudah berada di kamar bersama suaminya, Davin. Malam di London terasa lebih dingin dari biasanya, tetapi suasana hati Naura jauh lebih hangat setelah melihat kebahagiaan di wajah keponakannya tadi.Davin yang tengah bersandar di kepala ranjang ikut tersenyum, meskipun ada sedikit keterkejutan di matanya. “Iya, sayang. Aku juga tidak menyangka kalau Angelica secepat itu menerima kehadiran Monica. Aku pikir tadi, saat dia mencium foto Mamanya, dia tidak akan mau Mamanya digantikan oleh siapa pun.”Naura mengangguk pelan, memahami perasaan yang mungkin sempat berkecamuk di hati Angelica. Ia tahu betul seberapa besar gadis kecil itu mencintai sosok ibunya, meskipun tak
Angelica masih sibuk menyapa teman-temannya satu per satu dengan wajah ceria. Senyumnya terus mengembang, mencerminkan kebahagiaan yang begitu tulus. Sesekali, ia tertawa kecil saat berbincang dengan sahabat-sahabatnya, menikmati momen berharga yang baru pertama kali diberikan oleh sang Papa. Sejak kecil, Angelica memang tidak pernah merasakan pesta ulang tahun sebesar ini, dan melihat banyak orang yang datang hanya untuknya membuat gadis kecil itu merasa begitu istimewa. Bram berdiri bersama ibunya, Laura, serta Monica, sekretarisnya yang selama ini selalu berada di sisinya, mendukung setiap langkahnya dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadinya. Tidak ada banyak orang di sekitar mereka, memberikan kesempatan bagi mereka bertiga untuk berbicara lebih leluasa tanpa ada yang mendengar.Laura menatap putranya dengan penuh arti sebelum akhirnya membuka suara, "Bram, kau benar-benar akan meminta izin pada Angelica untuk menikahi Monica?" Suaranya terdengar tenang, tapi ada sedikit kekh
Waktu terus berjalan, tanpa terasa minggu depan adalah jadwal kelahiran kedua anak Rania dan Edward. Perjalanan panjang yang mereka lalui bersama akhirnya membawa mereka ke titik ini—menanti hadirnya dua buah hati yang akan melengkapi keluarga kecil mereka.Sejak tiga bulan lalu, Rania telah resmi pindah ke Sun City, meninggalkan London untuk membangun kehidupan baru bersama Edward. Edward, yang sejak awal ingin memberikan kenyamanan terbaik bagi istrinya, sudah menyiapkan rumah mewah untuk Rania. Namun, meskipun Rania menerima rumah tersebut dengan penuh rasa syukur, menjelang persalinannya, dia lebih memilih tinggal di kediaman kedua orang tuanya. Bagi Rania, berada di dekat Mommy dan Daddy akan membuatnya lebih tenang.Bisnis butiknya yang kini berkembang pesat tetap berjalan dengan baik meskipun Rania sementara waktu harus istirahat dari dunia fashion. Dia mempercayakan pengelolaan butik itu kepada manajernya, tetapi setiap laporan tetap dikirimkan kepada William, asisten keper
Mereka baru saja turun dari mobil.Davin hanya bisa menghela napas panjang saat melihat Naura dengan cekatan mengambil black card miliknya, seolah kartu itu sudah menjadi milik pribadi istrinya. "Sayang, kamu kan udah punya kartu sendiri," protesnya, meski nada suaranya lebih terdengar seperti pasrah daripada keberatan.Naura hanya tersenyum manis, menggoyangkan kartu itu di depan wajah suaminya. "Tapi kan tetap saja uang suami adalah uang istri, sayang. Uang istri ya uang istri," sahutnya santai. "Apalagi aku mau belanjain anak-anak juga."Davin hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum. Dia tahu, pada akhirnya, apa pun yang ia miliki memang untuk istri dan anak-anaknya tercinta.Sementara itu, Angelica yang sedari tadi sibuk melihat-lihat koleksi sepatu mewah tiba-tiba menoleh pada pamannya. "Uncle, Angelica di-belanjain juga nggak?" tanyanya dengan mata berbinar.Davin menoleh ke arah gadis mungil itu, yang kini menatapnya dengan ekspresi menggemaskan. Wajah Angelica yang c
Davin melangkah masuk ke ruang keluarga apartemen Edward dan Rania, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia baru saja tiba bersama Naura dan Angelica, membawa beberapa koper berisi makanan dan oleh-oleh untuk putri mereka. Belum sempat duduk, Edward sudah menyambutnya dengan senyum lebar.“Duduk dulu, Daddy,” ucap Edward sambil menunjuk sofa di hadapannya.Davin mendengus geli, menatap menantunya dengan ekspresi datar. “Geli kali aku dipanggil Daddy olehmu,” sahutnya, nada suaranya masih terasa tak bersahabat.Naura yang duduk di sampingnya hanya menghela napas, sementara Edward malah cengengesan. “Masak mau dipanggil Paman?” goda Edward.Naura ikut menimpali, “Lagian kamu ini, sayang. Memang sudah sepantasnya menantu memanggilmu dengan sebutan Daddy. Kenapa protes terus setiap sama Edward?”Davin menatap istrinya dengan alis terangkat. “Makin besar kepalanya Edward. Semua dibelain. Heran deh, sama kamu dan Mamaku. Doyan sekali membela laki-laki ini,” ujarnya bercanda.Edward hanya te
Saat Rania dan Edward tiba di sebuah restoran, mereka bertemu dengan seseorang yang sudah lama tidak Rania jumpai."Hai, Andrew! Apa kabar?" sapa Rania dengan ramah, sambil mengulurkan tangan ke arah pria itu.Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh tangan Andrew, Edward dengan sigap menarik tangan istrinya, menjauhkannya dari jangkauan pria lain. Andrew, yang sudah hendak menyambut salam Rania, hanya bisa menarik tangannya kembali dengan ekspresi sedikit terkejut.Rania melirik suaminya dengan kesal. "Kamu apa-apaan sih?" tanyanya, tak habis pikir dengan tindakan Edward yang begitu protektif.Edward menatapnya tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Aku nggak suka ada yang nyentuh-nyentuh istriku, meskipun hanya sekadar salaman," ucapnya tegas.Andrew tertawa kecil melihat sikap Edward yang begitu posesif. "Nggak apa-apa, Rania. Semua pria pasti punya pemikiran seperti suamimu ini. Wajar kalau dia nggak mau istrinya yang cantik dimiliki orang lain," ujarnya santai.Edward langsung meloto