"Mampus kalian!" umpatan Victor terdengar tajam. Pria itu hendak mendekati Naura dan Carlota yang sudah terjatuh tak berdaya. Namun tiba-tiba, cahaya terang menyilaukan matanya.Bukan hanya satu senter berukuran besar yang mengarah kepadanya, tetapi puluhan lampu senter lain menyinari dari berbagai arah. Victor langsung menahan langkahnya, panik, dan dalam sekejap berbalik, berlari menjauh, berusaha melarikan diri agar tidak tertangkap."Jangan bergerak!" teriak salah satu pria yang memegang senter tersebut, tapi Victor sama sekali tak menghiraukannya. Dengan gerakan cepat, ia melompat ke dalam semak-semak, mencari jalan keluar."Kejar dia!" seru salah seorang dari mereka, memberi perintah kepada yang lain untuk mengejar. Sementara itu, pria yang memimpin kelompok itu, yang merupakan seorang polisi, segera memberi instruksi, "Cepat bawa mereka ke rumah sakit, mereka harus segera mendapatkan pertolongan!"Beruntung, kepolisian itu sudah menyiapkan ambulans, mengingat mereka tahu akan m
Waktu berlalu, dan setiap detik terasa semakin berat. Setiap peralatan medis yang berbunyi menambah rasa cemas yang menggantung di udara. Naura terkulai tak berdaya, tubuhnya semakin dingin, namun dokter dan perawat tidak menyerah. Mereka bekerja tanpa henti, memberikan segala upaya yang mereka miliki."Bu Naura, bertahanlah," ucap seorang dokter dengan suara pelan, seolah berbicara langsung kepada pasien yang tak mampu mendengarnya. "Kami akan membawamu kembali."Monitor yang menunjukkan detak jantung Naura semakin lama semakin melemah. Setiap detak yang tertinggal mengundang ketegangan yang semakin dalam. Seolah waktu itu sendiri berhenti, setiap napas yang Naura hembuskan membawa harapan sekaligus ketakutan akan kehilangan.Di sisi lain, Davin memegang telepon dengan tangan yang gemetar, seakan-akan dunia di sekelilingnya perlahan menghilang. Suaranya terdengar tegang, hampir tak bisa diterima oleh pikirannya yang kacau. Polisi dari kota Mars Country yang menghubunginya terdengar j
Setiba di rumah sakit, Davin menanyakan ruang ICU pada petugas medis. Dia langsung menuju ke lantai 2, namun ketegangan terasa di sana. Petugas medis tampak lalu lalang dengan membawa alat-alat medis dan juga kantong darah menuju ke ruang ICU, membuat nafas Davin seperti tertahan di dadanya.Davin berdiri tegak di depan pintu ruang ICU, tubuhnya terasa kaku, seakan-akan seluruh dunia telah berhenti berputar. Tangannya menggenggam erat pegangan pintu, matanya tertuju pada celah kaca yang menghubungkan ruang tersebut dengan lorong rumah sakit. Dari dalam, tampak bayangan perawat dan dokter yang bergerak dengan cepat, seakan berlarian. Suara bip-bip mesin dan desahan napas yang berat semakin jelas terdengar, menciptakan atmosfer yang tegang dan mengerikan. Sesekali, dia melihat perawat berlarian keluar membawa perlengkapan tambahan, dan setiap kali itu terjadi, hatinya terasa semakin tersayat.Seorang petugas medis berdiri di samping pintu, dengan wajah penuh kecemasan. Ketika melihat D
Setelah beberapa lama menunggu dengan ketegangan yang tak tertahankan, akhirnya seorang perawat keluar dari ruang ICU dan memanggil Davin untuk mengikuti langkahnya.“Pak Davin, dokter ingin bertemu Anda, mari saya antar ke ruangan beliau,” ucapnya dengan suara yang sedikit lebih tenang, meskipun masih ada kekhawatiran yang terpendam.Tadi Davin melihat seorang dokter paruh baya memang keluar dari ruang ICU. Namun sepertinya ada sesuatu yang sedang dilakukan oleh dokter itu sehingga menugaskan kembali pada perawat untuk meminta Davin menuju ke ruang kerjanya.Davin segera bangkit, tubuhnya terasa lelah namun penuh harap. Ia mengikuti perawat itu menuju ruangan yang tak jauh dari ruang ICU. Di dalam, seorang pria paruh baya tengah duduk di belakang meja kerjanya, mengenakan jas medis berwarna putih, wajahnya serius namun tidak tanpa rasa empati. Namanya tertera di papan nama yang ada di mejanya: Dr. Marven.Davin duduk di kursi di depan meja dokter, jantungnya berdegup kencang. Setiap
"Pak Davin, bolehkah saya bicara sebentar?" kata polisi itu, mengenakan seragam biru dengan badge yang menyala di dada. Nada suaranya tenang, tapi ada ketegangan yang tak terelakkan.Davin berhenti sejenak, menatap polisi tersebut dengan ragu. "Ada apa, Pak?" jawabnya, suaranya penuh kelelahan dan kekhawatiran.Polisi itu mengangguk, lalu menarik sedikit napas. "Kami baru saja mendapat kabar baik, Pak Davin. Kami berhasil mengamankan Victor," kata polisi itu dengan suara pelan, namun jelas.Nama Victor terdengar begitu asing di telinga Davin, namun sesuatu dalam dirinya terasa terbangun mendengar nama itu. Jantungnya berdegup lebih cepat. "Victor?" ucapnya pelan, mencoba menahan amarah yang mulai membuncah. "Brengsek!" umpatnyaPolisi itu mengangguk, matanya menatap penuh arti. "Ternyata Victor adalah salah satu kaki tangan utama Bryan. Dia yang telah membantu menculik istri Anda, Bu Naura. Kami telah menangkapnya, dan dia akan segera diperiksa lebih lanjut."Davin merasa darahnya men
Davin berdiri di ambang pintu ruang perawatan VVIP, matanya tak bisa lepas dari sosok yang terbaring diam di atas ranjang rumah sakit. Naura, istrinya, masih terhubung dengan berbagai alat medis yang memantau kondisinya. Tubuhnya yang ringkih itu dikelilingi oleh tabung oksigen, infus, dan kabel-kabel yang merambat ke tubuhnya seperti benang kehidupan yang rapuh.Hatinya berdetak cepat, menahan perasaan yang membuncah. Ia bisa merasakan betapa beratnya penderitaan yang harus ditanggung oleh Naura. Satu bulan lebih berlalu sejak terakhir kali ia melihat wanita itu, sejak Naura diculik dalam rangka balas dendam yang kejam. Keberadaannya selama ini tidak diketahui, dan pikirannya tak pernah lepas dari rasa takut akan kehilangan.Namun kini, di hadapannya, Naura masih bernapas. Terlepas dari semua penderitaan yang dialami, ia masih hidup. Dan itu sudah lebih dari cukup baginya.Davin perlahan mendekat, langkahnya terhenti di sisi ranjang. Mata Naura yang tertutup rapat, wajahnya yang terl
“Dimana Mommy? Raka kangen Mommy, Raka mau ketemu Mommy, Dad, hiks hiks...” suara Raka terputus oleh isakan tangis yang semakin keras, seakan tak mampu menahan rasa rindunya yang mendalam pada sang ibu. Ia menangis sejadi-jadinya, tak peduli pada apapun yang terjadi. Hanya satu yang ia inginkan—ibu mereka, Naura, kembali di sisi mereka.Satu bulan lebih telah berlalu sejak terakhir kali mereka melihat Naura, wanita yang melahirkan mereka. Rindu yang tak terungkapkan itu menumpuk dalam hati dua bocah kembar berusia sepuluh tahun tersebut. Wajah-wajah kecil mereka, yang seharusnya ceria dan penuh tawa, kini dipenuhi dengan kecemasan dan kepedihan yang mendalam.“Mommy, hiks hiks...” suara Rania mengikuti jejak tangisan saudaranya, terisak-isak, menahan perasaan yang meluap. Ia memandang layar ponsel dengan penuh harapan, berharap ada keajaiban yang bisa membawa ibunya kembali. Matanya yang besar dipenuhi air mata, sementara tubuh kecilnya menggigil menahan kesedihan yang begitu dalam.
“Ada apa suster?” tanya Davin.“Pak, kami mau memberi kabar kalau Carlota akan segera dimakamkan. Mungkin anda mau melihatnya untuk terakhir kali?” tanya suster.Davin mengangguk, “tolong jaga istri saya dulu, suster,” ujarnya.“Baik pak. Di luar juga sudah ada empat polisi berjaga,” jawabnya.Davin mengangguk dan memilih pergi untuk melihat wajah Carlota, wanita yang meregang nyawa saat kabur bersama Naura.Saat membuka pintu ruang perawatan sang istri, Davin berbincang sejenak dengan pihak kepolisian yang sengaja ia minta untuk berjaga di depan ruang perawatan istrinya. Davin ingin sang istri benar-benar aman, karena Bryan masih berkeliaran di luar sana. Davin tak ingin mengambil resiko lebih jauh tentang sesuatu yang mungkin saja bisa dilakukan oleh mafia tersebut.Setelah itu, Davin berjalan menuju ruang jenazah. Seorang petugas yang ada di sana mengarahkan Davin untuk melihat Carlota terakhir kalinya.“Terima kasih, sudah menolong istriku untuk kabur. Beristirahatlah yang tenang.
Laura dan Penelope melangkah masuk ke dalam supermarket yang cukup besar, hanya beberapa blok dari rumah sementara keluarga Abimanyu. Udara dingin dari pendingin ruangan langsung menyambut mereka, memberikan kesegaran setelah berjalan di bawah terik matahari."Kita beli apa saja, Tante?" tanya Penelope dengan senyum ramah. Wajahnya tampak antusias, seolah benar-benar ingin belajar memasak.Laura melirik daftar belanja yang telah ia buat sebelum berangkat. "Tante akan memasak beberapa menu spesial hari ini. Kita butuh daging sapi, ayam, beberapa jenis sayuran, dan tentu saja bumbu-bumbu dapur," jawabnya sembari mendorong troli.Penelope mengangguk sambil menyesuaikan langkahnya dengan Laura. Dalam hati, ia tersenyum penuh kemenangan. Kesempatan ini adalah jalan terbaik untuk lebih dekat dengan keluarga Davin. Jika ia bisa mengambil hati Laura, maka ia akan punya alasan untuk datang kapan saja ke rumah mereka.Mereka mulai berkeliling supermarket, memilih bahan-bahan dengan teliti. Lau
Davin membawa keluarganya ke sebuah butik eksklusif yang menyediakan berbagai koleksi pakaian anak-anak. Sejak awal memasuki butik, Raka dan Rania terlihat sangat bersemangat, mata mereka berbinar melihat berbagai pilihan pakaian yang tersusun rapi."Wow, Daddy, lihat! Bajunya bagus-bagus banget! Ini keluaran terbaru deh, Nia belum punya!" seru Rania sambil menunjuk salah satu dress berwarna pastel dengan aksen renda yang elegan.Raka yang berdiri di sampingnya juga tak kalah antusias. "Daddy, Aka mau yang ini!" katanya sambil menarik tangan Davin ke arah sebuah jaket keren yang dipajang di etalase.Davin tersenyum, mengusap kepala keduanya dengan penuh kasih sayang. "Tentu saja, Sayang. Tapi kita harus pilih yang cocok untuk kalian berdua. Meskipun kalian berbeda jenis kelamin, Daddy tetap ingin kalian punya baju yang serasi. Bagaimana kalau kita cari couple outfit?""Keren! Raka mau baju kembaran sama Rania!" sahut Raka penuh semangat.Naura yang berdiri di samping Davin tertawa kec
"Penelope!" balas Laura, memanggil wanita yang menyapanya.Tampak Penelope melangkah mendekati Laura yang sedang duduk di salah satu meja di restoran cepat saji tersebut. Wajahnya terlihat sumringah, senyum lebarnya menghangatkan suasana. Begitu sampai di hadapan Laura, mereka langsung berpelukan erat, seolah-olah melepas rindu yang sudah lama tertahan.Sementara itu, Naura dan Davin yang duduk di sisi lain meja hanya bisa saling berpandangan. Keduanya sama sekali tak menyangka bahwa Laura mengenal Penelope. Naura terutama, masih mengingat dengan jelas bagaimana pertemuan pertamanya dengan wanita itu yang terkesan meremehkannya."Kamu apa kabar, sayang? Makin cantik aja," ucap Laura dengan nada akrab, menyapa anak dari sahabatnya tersebut."Baik, Tante. Tante sendiri gimana? Tante awet muda banget, loh!" balas Penelope dengan nada ceria, matanya berbinar menatap Laura. "Kalau nggak salah, kita bertemu sekitar sepuluh tahun yang lalu ya, Tan? Untung saja Penelope mampir ke restoran ini
Fernando terus menatap ke arah Bram dan Davin yang saat ini sedang berbicara dengan Bruno, pemilik tempat hiburan malam tersebut yang juga merupakan teman baik Fernando. Dari sudut ruangan, Fernando memperhatikan dengan saksama, memperkirakan apa yang sebenarnya mereka bicarakan."Aku tak menyangka mereka suka juga ke tempat yang seperti ini. Aku pikir Davin benar-benar lelaki terbaik. Ternyata semua lelaki sama saja, mana betah kami hanya dengan satu pasangan," ucapnya pada diri sendiri, mendesah pelan sambil mengamati mereka dari kejauhan.Fernando menyandarkan tubuhnya ke kursi, mengaduk minuman di tangannya dengan gerakan lambat. Matanya tidak lepas dari mereka bertiga, terutama Davin. Ada sedikit perasaan tidak percaya dalam benaknya. Selama ini, Davin dikenal sebagai pria yang setia dan tidak tertarik dengan tempat hiburan. Namun, kenyataan di depan matanya menunjukkan sesuatu yang berbeda.Sementara itu, di sudut tempat hiburan tersebut, Davin dan Bram sedang berbicara serius
"Apa semuanya sudah sesuai dengan yang kamu rencanakan?" tanya Penelope pada Fernando, sambil meliriknya dari sofa mewah berlapis beludru merah yang sedang didudukinya.Tangannya yang ramping menggenggam gelas anggur, menggoyangkan cairan merah di dalamnya dengan gerakan anggun. Cahaya lampu kristal di ruang tamunya yang luas memantulkan kilauan di permukaan gelas, menciptakan bayangan berkilau di meja kaca di depannya.Fernando berdiri tegap di dekat rak buku yang dipenuhi koleksi bacaan mahal dan beberapa lukisan klasik yang sengaja dipajang sebagai simbol kemewahan. Mata pria itu menatap tajam pada atasannya, memastikan tidak ada keraguan dalam Suaranya saat ia menjawab."Sudah, Bu. Anda tenang saja, semuanya sudah saya atur," jawab Fernando tanpa ragu sedikit pun.Penelope menyandarkan tubuhnya, menyilangkan kakinya dengan gerakan lambat dan sensual. Senyuman tipis tersungging di bibir merahnya yang sempurna. Dia menikmati permainan ini, sebuah permainan yang dirancangnya sendiri
"Kamu kenapa, Sayang? Masih khawatir aku ketemu dengan Penelope? Makanya ayo ikut," ajak Davin saat wajah istrinya terlihat sendu, menatapnya yang sedang bersiap pergi untuk penandatanganan proyek besar Abimanyu Group di kota ini.Naura menggeleng. Untuk datang? Tentu dia tidak mungkin punya mental yang kuat, apalagi setelah Penelope menatapnya dengan tatapan seakan mengejek kondisinya yang seperti ini. Naura menjadi insecure."Nggak apa-apa kok," jawabnya, tapi sorot matanya tentu tidak membuat Davin percaya begitu saja pada sang istri.Pria itu mendekati Naura, lalu berjongkok di depan kursi roda sang istri. Dengan lembut, ia mengecup punggung tangan wanita yang sangat dia cintai. Bahkan, rasa cintanya sejak dulu hingga kini tidak berubah sama sekali."Aku tahu, di luar sana banyak sekali perempuan jahat. Tapi tidak semua laki-laki menyambut dengan baik wanita yang seperti itu. Laki-laki yang baik akan memilih perempuan yang baik pula. Laki-laki yang tidak baik mungkin akan tergoda
"Kenapa sih, Mama nggak pernah berubah? Semua keputusan harus kemauan Mama! Kenapa seperti ini? Kalau memang Bram tidak mau menikah lagi, ya sudah, Bram nggak akan menikah!"Bram menatap sang Mama dengan rahang mengeras. Hatinya semakin sesak karena merasa tidak pernah diberi kebebasan menentukan hidupnya sendiri."Bram janji, Angelica tidak akan pernah kekurangan kasih sayang. Lagian, Lidya masih jadi pengasuhnya. Nanti, lama-lama Angelica juga akan tahu kalau Lidya itu hanya seorang pengasuh, hanya seorang ibu susu, bukan ibu kandungnya. Bram nggak mau ada orang yang menggantikan posisi Dinda di hati Angelica dan di hati Bram."Bram menghela napas berat. Matanya yang tajam menatap Laura dengan sorot penuh keteguhan."Sekarang terserah Mama. Yang jelas, sekuat apa pun Mama membujuk Bram untuk menikah lagi dan mencarikan jodoh, itu tidak akan pernah terjadi! Bram tidak ingin menikah lagi!" ucapnya tegas.Hening sejenak. Laura masih ingin membantah, tetapi Bram tidak memberinya kesempa
Bram melangkah santai menuju ruang keluarga Davin. Begitu sampai, ia mendapati kedua keponakannya, Raka dan Rania, tengah duduk di meja belajar kecil mereka. Buku-buku terbuka di hadapan mereka, sementara pensil warna-warni berserakan di atas meja. Sesekali, mereka tampak berdiskusi satu sama lain, wajah mereka serius, tetapi tetap menggemaskan di mata Bram.Senyuman kecil terukir di wajah pria itu. Meskipun jauh dari rumah mereka yang sebenarnya, Raka dan Rania tetap terlihat bahagia. Bram bangga melihat mereka tumbuh menjadi anak-anak yang mandiri dan ceria.Tanpa menunggu lebih lama, ia pun berjalan mendekat, lalu menjatuhkan diri di sofa dekat mereka. "Lagi sibuk apa nih, dua anak pintar Uncle?" tanyanya dengan nada hangat.Rania menoleh lebih dulu, lalu tersenyum lebar. "Lagi ngerjain PR, Uncle!" jawabnya bersemangat."Iya, PR Matematika," tambah Raka, mengangguk antusias.Bram mengangguk-angguk paham. "Wah, Matematika ya? Dulu waktu Uncle seumuran kalian, Matematika itu pelajar
Davin tiba di rumahnya bersama Bram. Begitu memasuki rumah, aroma khas kayu dan wewangian lembut yang selalu digunakan Naura menyambutnya. Rumah itu terasa hangat, tetapi juga sunyi, seakan ada sesuatu yang kurang.Tatapannya langsung tertuju ke ruang keluarga, tempat Raka dan Rania duduk bersisian di meja belajar kecil mereka. Kedua buah hatinya tampak serius mencoret-coret buku mereka, sesekali berdiskusi dengan suara pelan. Biasanya, di antara mereka ada Naura yang menemani—memberikan bimbingan atau sekadar duduk sambil membaca buku. Tapi kali ini, Naura tidak ada di sana."Loh, Mommy di mana, sayang?" tanya Davin, suaranya penuh keheranan.Rania dan Raka sontak menoleh ke arah sang ayah. Mereka saling berpandangan sebelum akhirnya menjawab dengan kompak. "Di kamar, Daddy."Davin mengernyit. "Kok tumben nggak nemenin kalian belajar? Apa Mommy sakit?" tanyanya lagi, kekhawatiran mulai muncul di benaknya.Sambil menunggu jawaban dari anak-anaknya, ia melambaikan tangan pada pengasuh