"Pak Davin, bolehkah saya bicara sebentar?" kata polisi itu, mengenakan seragam biru dengan badge yang menyala di dada. Nada suaranya tenang, tapi ada ketegangan yang tak terelakkan.Davin berhenti sejenak, menatap polisi tersebut dengan ragu. "Ada apa, Pak?" jawabnya, suaranya penuh kelelahan dan kekhawatiran.Polisi itu mengangguk, lalu menarik sedikit napas. "Kami baru saja mendapat kabar baik, Pak Davin. Kami berhasil mengamankan Victor," kata polisi itu dengan suara pelan, namun jelas.Nama Victor terdengar begitu asing di telinga Davin, namun sesuatu dalam dirinya terasa terbangun mendengar nama itu. Jantungnya berdegup lebih cepat. "Victor?" ucapnya pelan, mencoba menahan amarah yang mulai membuncah. "Brengsek!" umpatnyaPolisi itu mengangguk, matanya menatap penuh arti. "Ternyata Victor adalah salah satu kaki tangan utama Bryan. Dia yang telah membantu menculik istri Anda, Bu Naura. Kami telah menangkapnya, dan dia akan segera diperiksa lebih lanjut."Davin merasa darahnya men
Davin berdiri di ambang pintu ruang perawatan VVIP, matanya tak bisa lepas dari sosok yang terbaring diam di atas ranjang rumah sakit. Naura, istrinya, masih terhubung dengan berbagai alat medis yang memantau kondisinya. Tubuhnya yang ringkih itu dikelilingi oleh tabung oksigen, infus, dan kabel-kabel yang merambat ke tubuhnya seperti benang kehidupan yang rapuh.Hatinya berdetak cepat, menahan perasaan yang membuncah. Ia bisa merasakan betapa beratnya penderitaan yang harus ditanggung oleh Naura. Satu bulan lebih berlalu sejak terakhir kali ia melihat wanita itu, sejak Naura diculik dalam rangka balas dendam yang kejam. Keberadaannya selama ini tidak diketahui, dan pikirannya tak pernah lepas dari rasa takut akan kehilangan.Namun kini, di hadapannya, Naura masih bernapas. Terlepas dari semua penderitaan yang dialami, ia masih hidup. Dan itu sudah lebih dari cukup baginya.Davin perlahan mendekat, langkahnya terhenti di sisi ranjang. Mata Naura yang tertutup rapat, wajahnya yang terl
“Dimana Mommy? Raka kangen Mommy, Raka mau ketemu Mommy, Dad, hiks hiks...” suara Raka terputus oleh isakan tangis yang semakin keras, seakan tak mampu menahan rasa rindunya yang mendalam pada sang ibu. Ia menangis sejadi-jadinya, tak peduli pada apapun yang terjadi. Hanya satu yang ia inginkan—ibu mereka, Naura, kembali di sisi mereka.Satu bulan lebih telah berlalu sejak terakhir kali mereka melihat Naura, wanita yang melahirkan mereka. Rindu yang tak terungkapkan itu menumpuk dalam hati dua bocah kembar berusia sepuluh tahun tersebut. Wajah-wajah kecil mereka, yang seharusnya ceria dan penuh tawa, kini dipenuhi dengan kecemasan dan kepedihan yang mendalam.“Mommy, hiks hiks...” suara Rania mengikuti jejak tangisan saudaranya, terisak-isak, menahan perasaan yang meluap. Ia memandang layar ponsel dengan penuh harapan, berharap ada keajaiban yang bisa membawa ibunya kembali. Matanya yang besar dipenuhi air mata, sementara tubuh kecilnya menggigil menahan kesedihan yang begitu dalam.
“Ada apa suster?” tanya Davin.“Pak, kami mau memberi kabar kalau Carlota akan segera dimakamkan. Mungkin anda mau melihatnya untuk terakhir kali?” tanya suster.Davin mengangguk, “tolong jaga istri saya dulu, suster,” ujarnya.“Baik pak. Di luar juga sudah ada empat polisi berjaga,” jawabnya.Davin mengangguk dan memilih pergi untuk melihat wajah Carlota, wanita yang meregang nyawa saat kabur bersama Naura.Saat membuka pintu ruang perawatan sang istri, Davin berbincang sejenak dengan pihak kepolisian yang sengaja ia minta untuk berjaga di depan ruang perawatan istrinya. Davin ingin sang istri benar-benar aman, karena Bryan masih berkeliaran di luar sana. Davin tak ingin mengambil resiko lebih jauh tentang sesuatu yang mungkin saja bisa dilakukan oleh mafia tersebut.Setelah itu, Davin berjalan menuju ruang jenazah. Seorang petugas yang ada di sana mengarahkan Davin untuk melihat Carlota terakhir kalinya.“Terima kasih, sudah menolong istriku untuk kabur. Beristirahatlah yang tenang.
“Ayo cepat kita kabur!” serunya. Dengan panik mereka keluar melalui pintu rahasia, dan beruntung polisi tidak berhasil menemukan Bryan di tempat itu. Bryan pun menuju ke apartemen yang ada di sudut kota.Bryan duduk di kursi rotan yang terletak di sudut ruang tamu apartemennya, matanya menatap kosong ke arah jendela yang terbuka lebar, memandangi jalanan kota yang sibuk. Namun, pikirannya jauh dari hiruk-pikuk itu. Ia merasa terjebak dalam dunia yang ia ciptakan sendiri. Segalanya mulai runtuh begitu cepat. Sambil menggigit bibir, Bryan meraih ponselnya dan membuka daftar kontak. Ia akan menghubungi tiga orang yang selama ini menjadi bagian dari jaringan bisnis gelapnya. Orang-orang yang tahu bagaimana kerasnya ia berjuang untuk membangun kekuasaannya. Mereka adalah orang-orang yang pernah diberinya bantuan, pinjaman, dan perlindungan saat mereka kesulitan. Bryan merasa, sudah saatnya mereka membalas budi.Dengan penuh keyakinan, ia menekan tombol untuk menelepon Jack, teman laman
Ruangan interogasi itu terasa mencekam, dinding-dinding yang tampak semakin menyempit, seolah ingin menelan siapa pun yang berada di dalamnya. Lampu yang redup menggantung di atas meja, menerangi wajah Victor yang terkesan tak bergeming, meski ia duduk di kursi dengan tangan terikat, tubuhnya lelah dan wajahnya penuh luka. Matanya yang redup menatap kosong, namun tidak ada rasa penyesalan di sana. Ia hanya diam, terperangkap dalam dunia yang ia buat sendiri, tanpa peduli pada apa yang terjadi di luar sana.Di seberang meja, dua polisi berdiri tegak, bersiap untuk mencoba memecahkan kebuntuan. Mereka sudah menunggu, sudah berkali-kali berusaha menggali informasi dari Victor, namun pria ini tetap bungkam. Kepalanya yang berdarah dan tubuh yang memar akibat penyiksaan sebelumnya tidak membuatnya gentar. Ia hanya duduk diam, menahan rasa sakit yang datang dari tubuhnya. Yang lebih sakit, baginya, adalah kenyataan bahwa ia telah terjebak, dan kini semua yang dilakukannya harus dibayar."
Dokter dan suster yang bertugas hati itu, masuk dengan tergesa-gesa ke dalam ruang rawat inap Naura.Davin meraih botol air mineral yang ada di samping ranjang pasien. Lalu dia membantu sang istri untuk meminum air tersebut, setelah puas Naura menjauhkan bibirnya dari botol air mineral itu, dan Davin kembali berdiri tak jauh dari dokter yang akan memeriksa kondisi istrinya. Namun tiba-tiba suasana menjadi tegang ketika Naura semakin menyadari sesuatu tak beres terjadi pada dirinya."Ka–kakiku?" Naura terbata, suaranya tercekat, seolah ada beban berat yang menahannya untuk berbicara lebih lanjut.Dia menatap kakinya yang terbungkus perban tebal, namun tidak merasakan apa-apa. Keheningan yang menyesakkan ruang rawat inap itu hanya dipenuhi suara nafasnya yang terengah, dan detakan mesin yang memantau kondisi tubuhnya. Keputusasaannya begitu jelas terasa, meresap ke dalam udara sekelilingnya. Sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya: tubuh yang tak lagi bisa dia kendalikan.Davi
Raka dan Rania akhirnya diizinkan pulang ke rumah. Mereka juga sudah melakukan panggilan video call dengan sang Mommy. Namun tangis keduanya belum surut, ketika Bram menolak mengantarkan kedua keponakannya ke kota Mars Country.“Mau sampai kapan kalian menangis?” tegur Bram frustasi.Sambil sesegukan Raka menjawab, “sampai Uncle anterin kami ketemu Mommy,” jawabnya. Tubuh keduanya masih lemah, karena jarum infus yang baru saja dibuka. Tapi mereka tetap ngotot ingin menempuh perjalanan udara selama delapan jam, demi bertemu sang mommy.“Kami kangen sama Mommy. Kami lama banget gak ketemu Mommy, Uncle. Huaaaaa huaaaaaaa.”Tangis Rania pecah, memenuhi ruang keluarga yang mewah itu. Para pengasuhnya mencoba menenangkan anak kembar berusia sepuluh tahun itu. Tapi tetap tak bisa.“Ya udah! Uncle bicara sama Daddy kalian dulu,” ucapnya. Raka dan Rania akhirnya diam. Bram melangkah menuju taman belakang kediaman adik tirinya. Udara sore yang sejuk tidak mampu menenangkan pikirannya yang dip
Daniel Dominic Montgomery dan Darren Damian Montgomery adalah nama yang dipilih oleh kedua orang tua mereka dan sudah disepakati oleh keluarga untuk si kembar. Kedua bayi itu kini berada di ruang perawatan sang Mama. Setelah dilahirkan kemarin, mereka sempat dibawa ke ruang perawatan bayi, tetapi pagi ini mereka sudah dipindahkan ke ruang perawatan Rania. "Selamat ya, Nia! Aku senang banget akhirnya punya keponakan," ucap Raka. "Untung saja wajahnya kayak kamu," tambahnya lagi sambil melirik ke arah sang adik ipar yang usianya jauh di atasnya. Edward hanya tersenyum mendengar ucapan iparnya. "Kamu kapan menyusul, Raka?" tanyanya. "Menyusul? Bisa-bisa aku digantung sama Mommy dan Daddy. Pacaran saja nggak boleh, apalagi nyusul kalian nikah dan punya anak. Mommy bisa mati berdiri," kata Raka sambil melirik ke arah sang Mommy. "Bener kan, Mom?" tanyanya lagi. "Bukan cuma digantung, tapi Mommy akan ikat seluruh tubuh Raka biar nggak bisa bergerak," jawab Naura, membuat seluruh or
Sementara itu, di dalam mobil, Rania terus menangis. Tangannya mencengkeram erat kursi, napasnya terengah-engah menahan rasa sakit yang begitu menyiksa. Perutnya terasa melilit hebat, sakit yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Setiap gelombang kontraksi yang datang membuat tubuhnya menegang, dan air mata semakin deras mengalir di pipinya."Sabar ya, sayang… sabar… kita sebentar lagi sampai," ucap Edward, suaranya bergetar, namun ia berusaha tetap tenang untuk istrinya. Tangannya terulur, mengusap kening Rania yang penuh peluh. Ia ingin melakukan sesuatu untuk mengurangi rasa sakit istrinya, tetapi ia tahu tidak ada yang bisa benar-benar membantu selain memastikan mereka segera tiba di rumah sakit.Rania menggigit bibirnya, tubuhnya sudah mulai gemetar. "Sakit, sayang… sakit banget…" ucapnya dengan suara lemah, hampir seperti bisikan. Air ketubannya sudah pecah sejak beberapa menit yang lalu, dan kini darah mulai keluar, membasahi pahanya hingga betisnya.Melihat kondisi itu, E
"Bagaimana kalau kita menikah bulan depan saja?" tanya Bram tiba-tiba, menatap Monica dengan penuh harapan.Mereka sedang duduk di balkon kamar Monica. Awalnya, Bram berencana menemani Angelica di kamar ibunya karena gadis kecil itu ingin tidur bersama sang nenek. Namun, Laura tampaknya memahami situasinya dan justru menyuruh Bram untuk menemani Monica.Monica tersenyum lembut, tatapannya penuh kehangatan. "Aku ikut saja, sayang. Terserah kamu mau kapan, aku siap," jawabnya tulus. "Aku bahagia banget akhirnya Angelica mau menerima kehadiranku."Bram merasakan haru menyelimuti hatinya. Ia lalu meraih Monica ke dalam pelukannya, mendekapnya dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih, sayang. Terima kasih juga karena sudah mau menerima pernyataan cinta dari seorang duda beranak satu," ucapnya dengan suara lembut.Monica tersenyum dan membalas pelukan itu. "Aku mencintaimu, Bram. Statusmu tidak pernah menjadi masalah untukku," bisiknya.Bram mengusap pelan punggung calon istrinya. "Tapi aku
Naura menghela napas panjang, matanya masih terlihat menerawang, seolah pikirannya belum bisa benar-benar menerima kenyataan yang baru saja terjadi. “Aku nggak pernah menyangka kalau Angelica bisa langsung menerima Monica sebagai calon Mama barunya,” ucapnya lirih, suaranya terdengar masih dipenuhi rasa haru.Saat ini, dia sudah berada di kamar bersama suaminya, Davin. Malam di London terasa lebih dingin dari biasanya, tetapi suasana hati Naura jauh lebih hangat setelah melihat kebahagiaan di wajah keponakannya tadi.Davin yang tengah bersandar di kepala ranjang ikut tersenyum, meskipun ada sedikit keterkejutan di matanya. “Iya, sayang. Aku juga tidak menyangka kalau Angelica secepat itu menerima kehadiran Monica. Aku pikir tadi, saat dia mencium foto Mamanya, dia tidak akan mau Mamanya digantikan oleh siapa pun.”Naura mengangguk pelan, memahami perasaan yang mungkin sempat berkecamuk di hati Angelica. Ia tahu betul seberapa besar gadis kecil itu mencintai sosok ibunya, meskipun tak
Angelica masih sibuk menyapa teman-temannya satu per satu dengan wajah ceria. Senyumnya terus mengembang, mencerminkan kebahagiaan yang begitu tulus. Sesekali, ia tertawa kecil saat berbincang dengan sahabat-sahabatnya, menikmati momen berharga yang baru pertama kali diberikan oleh sang Papa. Sejak kecil, Angelica memang tidak pernah merasakan pesta ulang tahun sebesar ini, dan melihat banyak orang yang datang hanya untuknya membuat gadis kecil itu merasa begitu istimewa. Bram berdiri bersama ibunya, Laura, serta Monica, sekretarisnya yang selama ini selalu berada di sisinya, mendukung setiap langkahnya dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadinya. Tidak ada banyak orang di sekitar mereka, memberikan kesempatan bagi mereka bertiga untuk berbicara lebih leluasa tanpa ada yang mendengar.Laura menatap putranya dengan penuh arti sebelum akhirnya membuka suara, "Bram, kau benar-benar akan meminta izin pada Angelica untuk menikahi Monica?" Suaranya terdengar tenang, tapi ada sedikit kekh
Waktu terus berjalan, tanpa terasa minggu depan adalah jadwal kelahiran kedua anak Rania dan Edward. Perjalanan panjang yang mereka lalui bersama akhirnya membawa mereka ke titik ini—menanti hadirnya dua buah hati yang akan melengkapi keluarga kecil mereka.Sejak tiga bulan lalu, Rania telah resmi pindah ke Sun City, meninggalkan London untuk membangun kehidupan baru bersama Edward. Edward, yang sejak awal ingin memberikan kenyamanan terbaik bagi istrinya, sudah menyiapkan rumah mewah untuk Rania. Namun, meskipun Rania menerima rumah tersebut dengan penuh rasa syukur, menjelang persalinannya, dia lebih memilih tinggal di kediaman kedua orang tuanya. Bagi Rania, berada di dekat Mommy dan Daddy akan membuatnya lebih tenang.Bisnis butiknya yang kini berkembang pesat tetap berjalan dengan baik meskipun Rania sementara waktu harus istirahat dari dunia fashion. Dia mempercayakan pengelolaan butik itu kepada manajernya, tetapi setiap laporan tetap dikirimkan kepada William, asisten keper
Mereka baru saja turun dari mobil.Davin hanya bisa menghela napas panjang saat melihat Naura dengan cekatan mengambil black card miliknya, seolah kartu itu sudah menjadi milik pribadi istrinya. "Sayang, kamu kan udah punya kartu sendiri," protesnya, meski nada suaranya lebih terdengar seperti pasrah daripada keberatan.Naura hanya tersenyum manis, menggoyangkan kartu itu di depan wajah suaminya. "Tapi kan tetap saja uang suami adalah uang istri, sayang. Uang istri ya uang istri," sahutnya santai. "Apalagi aku mau belanjain anak-anak juga."Davin hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum. Dia tahu, pada akhirnya, apa pun yang ia miliki memang untuk istri dan anak-anaknya tercinta.Sementara itu, Angelica yang sedari tadi sibuk melihat-lihat koleksi sepatu mewah tiba-tiba menoleh pada pamannya. "Uncle, Angelica di-belanjain juga nggak?" tanyanya dengan mata berbinar.Davin menoleh ke arah gadis mungil itu, yang kini menatapnya dengan ekspresi menggemaskan. Wajah Angelica yang c
Davin melangkah masuk ke ruang keluarga apartemen Edward dan Rania, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia baru saja tiba bersama Naura dan Angelica, membawa beberapa koper berisi makanan dan oleh-oleh untuk putri mereka. Belum sempat duduk, Edward sudah menyambutnya dengan senyum lebar.“Duduk dulu, Daddy,” ucap Edward sambil menunjuk sofa di hadapannya.Davin mendengus geli, menatap menantunya dengan ekspresi datar. “Geli kali aku dipanggil Daddy olehmu,” sahutnya, nada suaranya masih terasa tak bersahabat.Naura yang duduk di sampingnya hanya menghela napas, sementara Edward malah cengengesan. “Masak mau dipanggil Paman?” goda Edward.Naura ikut menimpali, “Lagian kamu ini, sayang. Memang sudah sepantasnya menantu memanggilmu dengan sebutan Daddy. Kenapa protes terus setiap sama Edward?”Davin menatap istrinya dengan alis terangkat. “Makin besar kepalanya Edward. Semua dibelain. Heran deh, sama kamu dan Mamaku. Doyan sekali membela laki-laki ini,” ujarnya bercanda.Edward hanya te
Saat Rania dan Edward tiba di sebuah restoran, mereka bertemu dengan seseorang yang sudah lama tidak Rania jumpai."Hai, Andrew! Apa kabar?" sapa Rania dengan ramah, sambil mengulurkan tangan ke arah pria itu.Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh tangan Andrew, Edward dengan sigap menarik tangan istrinya, menjauhkannya dari jangkauan pria lain. Andrew, yang sudah hendak menyambut salam Rania, hanya bisa menarik tangannya kembali dengan ekspresi sedikit terkejut.Rania melirik suaminya dengan kesal. "Kamu apa-apaan sih?" tanyanya, tak habis pikir dengan tindakan Edward yang begitu protektif.Edward menatapnya tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Aku nggak suka ada yang nyentuh-nyentuh istriku, meskipun hanya sekadar salaman," ucapnya tegas.Andrew tertawa kecil melihat sikap Edward yang begitu posesif. "Nggak apa-apa, Rania. Semua pria pasti punya pemikiran seperti suamimu ini. Wajar kalau dia nggak mau istrinya yang cantik dimiliki orang lain," ujarnya santai.Edward langsung meloto