Setelah beberapa lama menunggu dengan ketegangan yang tak tertahankan, akhirnya seorang perawat keluar dari ruang ICU dan memanggil Davin untuk mengikuti langkahnya.“Pak Davin, dokter ingin bertemu Anda, mari saya antar ke ruangan beliau,” ucapnya dengan suara yang sedikit lebih tenang, meskipun masih ada kekhawatiran yang terpendam.Tadi Davin melihat seorang dokter paruh baya memang keluar dari ruang ICU. Namun sepertinya ada sesuatu yang sedang dilakukan oleh dokter itu sehingga menugaskan kembali pada perawat untuk meminta Davin menuju ke ruang kerjanya.Davin segera bangkit, tubuhnya terasa lelah namun penuh harap. Ia mengikuti perawat itu menuju ruangan yang tak jauh dari ruang ICU. Di dalam, seorang pria paruh baya tengah duduk di belakang meja kerjanya, mengenakan jas medis berwarna putih, wajahnya serius namun tidak tanpa rasa empati. Namanya tertera di papan nama yang ada di mejanya: Dr. Marven.Davin duduk di kursi di depan meja dokter, jantungnya berdegup kencang. Setiap
"Pak Davin, bolehkah saya bicara sebentar?" kata polisi itu, mengenakan seragam biru dengan badge yang menyala di dada. Nada suaranya tenang, tapi ada ketegangan yang tak terelakkan.Davin berhenti sejenak, menatap polisi tersebut dengan ragu. "Ada apa, Pak?" jawabnya, suaranya penuh kelelahan dan kekhawatiran.Polisi itu mengangguk, lalu menarik sedikit napas. "Kami baru saja mendapat kabar baik, Pak Davin. Kami berhasil mengamankan Victor," kata polisi itu dengan suara pelan, namun jelas.Nama Victor terdengar begitu asing di telinga Davin, namun sesuatu dalam dirinya terasa terbangun mendengar nama itu. Jantungnya berdegup lebih cepat. "Victor?" ucapnya pelan, mencoba menahan amarah yang mulai membuncah. "Brengsek!" umpatnyaPolisi itu mengangguk, matanya menatap penuh arti. "Ternyata Victor adalah salah satu kaki tangan utama Bryan. Dia yang telah membantu menculik istri Anda, Bu Naura. Kami telah menangkapnya, dan dia akan segera diperiksa lebih lanjut."Davin merasa darahnya men
Davin berdiri di ambang pintu ruang perawatan VVIP, matanya tak bisa lepas dari sosok yang terbaring diam di atas ranjang rumah sakit. Naura, istrinya, masih terhubung dengan berbagai alat medis yang memantau kondisinya. Tubuhnya yang ringkih itu dikelilingi oleh tabung oksigen, infus, dan kabel-kabel yang merambat ke tubuhnya seperti benang kehidupan yang rapuh.Hatinya berdetak cepat, menahan perasaan yang membuncah. Ia bisa merasakan betapa beratnya penderitaan yang harus ditanggung oleh Naura. Satu bulan lebih berlalu sejak terakhir kali ia melihat wanita itu, sejak Naura diculik dalam rangka balas dendam yang kejam. Keberadaannya selama ini tidak diketahui, dan pikirannya tak pernah lepas dari rasa takut akan kehilangan.Namun kini, di hadapannya, Naura masih bernapas. Terlepas dari semua penderitaan yang dialami, ia masih hidup. Dan itu sudah lebih dari cukup baginya.Davin perlahan mendekat, langkahnya terhenti di sisi ranjang. Mata Naura yang tertutup rapat, wajahnya yang terl
“Dimana Mommy? Raka kangen Mommy, Raka mau ketemu Mommy, Dad, hiks hiks...” suara Raka terputus oleh isakan tangis yang semakin keras, seakan tak mampu menahan rasa rindunya yang mendalam pada sang ibu. Ia menangis sejadi-jadinya, tak peduli pada apapun yang terjadi. Hanya satu yang ia inginkan—ibu mereka, Naura, kembali di sisi mereka.Satu bulan lebih telah berlalu sejak terakhir kali mereka melihat Naura, wanita yang melahirkan mereka. Rindu yang tak terungkapkan itu menumpuk dalam hati dua bocah kembar berusia sepuluh tahun tersebut. Wajah-wajah kecil mereka, yang seharusnya ceria dan penuh tawa, kini dipenuhi dengan kecemasan dan kepedihan yang mendalam.“Mommy, hiks hiks...” suara Rania mengikuti jejak tangisan saudaranya, terisak-isak, menahan perasaan yang meluap. Ia memandang layar ponsel dengan penuh harapan, berharap ada keajaiban yang bisa membawa ibunya kembali. Matanya yang besar dipenuhi air mata, sementara tubuh kecilnya menggigil menahan kesedihan yang begitu dalam.
“Ada apa suster?” tanya Davin.“Pak, kami mau memberi kabar kalau Carlota akan segera dimakamkan. Mungkin anda mau melihatnya untuk terakhir kali?” tanya suster.Davin mengangguk, “tolong jaga istri saya dulu, suster,” ujarnya.“Baik pak. Di luar juga sudah ada empat polisi berjaga,” jawabnya.Davin mengangguk dan memilih pergi untuk melihat wajah Carlota, wanita yang meregang nyawa saat kabur bersama Naura.Saat membuka pintu ruang perawatan sang istri, Davin berbincang sejenak dengan pihak kepolisian yang sengaja ia minta untuk berjaga di depan ruang perawatan istrinya. Davin ingin sang istri benar-benar aman, karena Bryan masih berkeliaran di luar sana. Davin tak ingin mengambil resiko lebih jauh tentang sesuatu yang mungkin saja bisa dilakukan oleh mafia tersebut.Setelah itu, Davin berjalan menuju ruang jenazah. Seorang petugas yang ada di sana mengarahkan Davin untuk melihat Carlota terakhir kalinya.“Terima kasih, sudah menolong istriku untuk kabur. Beristirahatlah yang tenang.
“Ayo cepat kita kabur!” serunya. Dengan panik mereka keluar melalui pintu rahasia, dan beruntung polisi tidak berhasil menemukan Bryan di tempat itu. Bryan pun menuju ke apartemen yang ada di sudut kota.Bryan duduk di kursi rotan yang terletak di sudut ruang tamu apartemennya, matanya menatap kosong ke arah jendela yang terbuka lebar, memandangi jalanan kota yang sibuk. Namun, pikirannya jauh dari hiruk-pikuk itu. Ia merasa terjebak dalam dunia yang ia ciptakan sendiri. Segalanya mulai runtuh begitu cepat. Sambil menggigit bibir, Bryan meraih ponselnya dan membuka daftar kontak. Ia akan menghubungi tiga orang yang selama ini menjadi bagian dari jaringan bisnis gelapnya. Orang-orang yang tahu bagaimana kerasnya ia berjuang untuk membangun kekuasaannya. Mereka adalah orang-orang yang pernah diberinya bantuan, pinjaman, dan perlindungan saat mereka kesulitan. Bryan merasa, sudah saatnya mereka membalas budi.Dengan penuh keyakinan, ia menekan tombol untuk menelepon Jack, teman laman
Ruangan interogasi itu terasa mencekam, dinding-dinding yang tampak semakin menyempit, seolah ingin menelan siapa pun yang berada di dalamnya. Lampu yang redup menggantung di atas meja, menerangi wajah Victor yang terkesan tak bergeming, meski ia duduk di kursi dengan tangan terikat, tubuhnya lelah dan wajahnya penuh luka. Matanya yang redup menatap kosong, namun tidak ada rasa penyesalan di sana. Ia hanya diam, terperangkap dalam dunia yang ia buat sendiri, tanpa peduli pada apa yang terjadi di luar sana.Di seberang meja, dua polisi berdiri tegak, bersiap untuk mencoba memecahkan kebuntuan. Mereka sudah menunggu, sudah berkali-kali berusaha menggali informasi dari Victor, namun pria ini tetap bungkam. Kepalanya yang berdarah dan tubuh yang memar akibat penyiksaan sebelumnya tidak membuatnya gentar. Ia hanya duduk diam, menahan rasa sakit yang datang dari tubuhnya. Yang lebih sakit, baginya, adalah kenyataan bahwa ia telah terjebak, dan kini semua yang dilakukannya harus dibayar."
Dokter dan suster yang bertugas hati itu, masuk dengan tergesa-gesa ke dalam ruang rawat inap Naura.Davin meraih botol air mineral yang ada di samping ranjang pasien. Lalu dia membantu sang istri untuk meminum air tersebut, setelah puas Naura menjauhkan bibirnya dari botol air mineral itu, dan Davin kembali berdiri tak jauh dari dokter yang akan memeriksa kondisi istrinya. Namun tiba-tiba suasana menjadi tegang ketika Naura semakin menyadari sesuatu tak beres terjadi pada dirinya."Ka–kakiku?" Naura terbata, suaranya tercekat, seolah ada beban berat yang menahannya untuk berbicara lebih lanjut.Dia menatap kakinya yang terbungkus perban tebal, namun tidak merasakan apa-apa. Keheningan yang menyesakkan ruang rawat inap itu hanya dipenuhi suara nafasnya yang terengah, dan detakan mesin yang memantau kondisi tubuhnya. Keputusasaannya begitu jelas terasa, meresap ke dalam udara sekelilingnya. Sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya: tubuh yang tak lagi bisa dia kendalikan.Davi
Davin membawa keluarganya ke sebuah butik eksklusif yang menyediakan berbagai koleksi pakaian anak-anak. Sejak awal memasuki butik, Raka dan Rania terlihat sangat bersemangat, mata mereka berbinar melihat berbagai pilihan pakaian yang tersusun rapi."Wow, Daddy, lihat! Bajunya bagus-bagus banget! Ini keluaran terbaru deh, Nia belum punya!" seru Rania sambil menunjuk salah satu dress berwarna pastel dengan aksen renda yang elegan.Raka yang berdiri di sampingnya juga tak kalah antusias. "Daddy, Aka mau yang ini!" katanya sambil menarik tangan Davin ke arah sebuah jaket keren yang dipajang di etalase.Davin tersenyum, mengusap kepala keduanya dengan penuh kasih sayang. "Tentu saja, Sayang. Tapi kita harus pilih yang cocok untuk kalian berdua. Meskipun kalian berbeda jenis kelamin, Daddy tetap ingin kalian punya baju yang serasi. Bagaimana kalau kita cari couple outfit?""Keren! Raka mau baju kembaran sama Rania!" sahut Raka penuh semangat.Naura yang berdiri di samping Davin tertawa kec
"Penelope!" balas Laura, memanggil wanita yang menyapanya.Tampak Penelope melangkah mendekati Laura yang sedang duduk di salah satu meja di restoran cepat saji tersebut. Wajahnya terlihat sumringah, senyum lebarnya menghangatkan suasana. Begitu sampai di hadapan Laura, mereka langsung berpelukan erat, seolah-olah melepas rindu yang sudah lama tertahan.Sementara itu, Naura dan Davin yang duduk di sisi lain meja hanya bisa saling berpandangan. Keduanya sama sekali tak menyangka bahwa Laura mengenal Penelope. Naura terutama, masih mengingat dengan jelas bagaimana pertemuan pertamanya dengan wanita itu yang terkesan meremehkannya."Kamu apa kabar, sayang? Makin cantik aja," ucap Laura dengan nada akrab, menyapa anak dari sahabatnya tersebut."Baik, Tante. Tante sendiri gimana? Tante awet muda banget, loh!" balas Penelope dengan nada ceria, matanya berbinar menatap Laura. "Kalau nggak salah, kita bertemu sekitar sepuluh tahun yang lalu ya, Tan? Untung saja Penelope mampir ke restoran ini
Fernando terus menatap ke arah Bram dan Davin yang saat ini sedang berbicara dengan Bruno, pemilik tempat hiburan malam tersebut yang juga merupakan teman baik Fernando. Dari sudut ruangan, Fernando memperhatikan dengan saksama, memperkirakan apa yang sebenarnya mereka bicarakan."Aku tak menyangka mereka suka juga ke tempat yang seperti ini. Aku pikir Davin benar-benar lelaki terbaik. Ternyata semua lelaki sama saja, mana betah kami hanya dengan satu pasangan," ucapnya pada diri sendiri, mendesah pelan sambil mengamati mereka dari kejauhan.Fernando menyandarkan tubuhnya ke kursi, mengaduk minuman di tangannya dengan gerakan lambat. Matanya tidak lepas dari mereka bertiga, terutama Davin. Ada sedikit perasaan tidak percaya dalam benaknya. Selama ini, Davin dikenal sebagai pria yang setia dan tidak tertarik dengan tempat hiburan. Namun, kenyataan di depan matanya menunjukkan sesuatu yang berbeda.Sementara itu, di sudut tempat hiburan tersebut, Davin dan Bram sedang berbicara serius
"Apa semuanya sudah sesuai dengan yang kamu rencanakan?" tanya Penelope pada Fernando, sambil meliriknya dari sofa mewah berlapis beludru merah yang sedang didudukinya.Tangannya yang ramping menggenggam gelas anggur, menggoyangkan cairan merah di dalamnya dengan gerakan anggun. Cahaya lampu kristal di ruang tamunya yang luas memantulkan kilauan di permukaan gelas, menciptakan bayangan berkilau di meja kaca di depannya.Fernando berdiri tegap di dekat rak buku yang dipenuhi koleksi bacaan mahal dan beberapa lukisan klasik yang sengaja dipajang sebagai simbol kemewahan. Mata pria itu menatap tajam pada atasannya, memastikan tidak ada keraguan dalam Suaranya saat ia menjawab."Sudah, Bu. Anda tenang saja, semuanya sudah saya atur," jawab Fernando tanpa ragu sedikit pun.Penelope menyandarkan tubuhnya, menyilangkan kakinya dengan gerakan lambat dan sensual. Senyuman tipis tersungging di bibir merahnya yang sempurna. Dia menikmati permainan ini, sebuah permainan yang dirancangnya sendiri
"Kamu kenapa, Sayang? Masih khawatir aku ketemu dengan Penelope? Makanya ayo ikut," ajak Davin saat wajah istrinya terlihat sendu, menatapnya yang sedang bersiap pergi untuk penandatanganan proyek besar Abimanyu Group di kota ini.Naura menggeleng. Untuk datang? Tentu dia tidak mungkin punya mental yang kuat, apalagi setelah Penelope menatapnya dengan tatapan seakan mengejek kondisinya yang seperti ini. Naura menjadi insecure."Nggak apa-apa kok," jawabnya, tapi sorot matanya tentu tidak membuat Davin percaya begitu saja pada sang istri.Pria itu mendekati Naura, lalu berjongkok di depan kursi roda sang istri. Dengan lembut, ia mengecup punggung tangan wanita yang sangat dia cintai. Bahkan, rasa cintanya sejak dulu hingga kini tidak berubah sama sekali."Aku tahu, di luar sana banyak sekali perempuan jahat. Tapi tidak semua laki-laki menyambut dengan baik wanita yang seperti itu. Laki-laki yang baik akan memilih perempuan yang baik pula. Laki-laki yang tidak baik mungkin akan tergoda
"Kenapa sih, Mama nggak pernah berubah? Semua keputusan harus kemauan Mama! Kenapa seperti ini? Kalau memang Bram tidak mau menikah lagi, ya sudah, Bram nggak akan menikah!"Bram menatap sang Mama dengan rahang mengeras. Hatinya semakin sesak karena merasa tidak pernah diberi kebebasan menentukan hidupnya sendiri."Bram janji, Angelica tidak akan pernah kekurangan kasih sayang. Lagian, Lidya masih jadi pengasuhnya. Nanti, lama-lama Angelica juga akan tahu kalau Lidya itu hanya seorang pengasuh, hanya seorang ibu susu, bukan ibu kandungnya. Bram nggak mau ada orang yang menggantikan posisi Dinda di hati Angelica dan di hati Bram."Bram menghela napas berat. Matanya yang tajam menatap Laura dengan sorot penuh keteguhan."Sekarang terserah Mama. Yang jelas, sekuat apa pun Mama membujuk Bram untuk menikah lagi dan mencarikan jodoh, itu tidak akan pernah terjadi! Bram tidak ingin menikah lagi!" ucapnya tegas.Hening sejenak. Laura masih ingin membantah, tetapi Bram tidak memberinya kesempa
Bram melangkah santai menuju ruang keluarga Davin. Begitu sampai, ia mendapati kedua keponakannya, Raka dan Rania, tengah duduk di meja belajar kecil mereka. Buku-buku terbuka di hadapan mereka, sementara pensil warna-warni berserakan di atas meja. Sesekali, mereka tampak berdiskusi satu sama lain, wajah mereka serius, tetapi tetap menggemaskan di mata Bram.Senyuman kecil terukir di wajah pria itu. Meskipun jauh dari rumah mereka yang sebenarnya, Raka dan Rania tetap terlihat bahagia. Bram bangga melihat mereka tumbuh menjadi anak-anak yang mandiri dan ceria.Tanpa menunggu lebih lama, ia pun berjalan mendekat, lalu menjatuhkan diri di sofa dekat mereka. "Lagi sibuk apa nih, dua anak pintar Uncle?" tanyanya dengan nada hangat.Rania menoleh lebih dulu, lalu tersenyum lebar. "Lagi ngerjain PR, Uncle!" jawabnya bersemangat."Iya, PR Matematika," tambah Raka, mengangguk antusias.Bram mengangguk-angguk paham. "Wah, Matematika ya? Dulu waktu Uncle seumuran kalian, Matematika itu pelajar
Davin tiba di rumahnya bersama Bram. Begitu memasuki rumah, aroma khas kayu dan wewangian lembut yang selalu digunakan Naura menyambutnya. Rumah itu terasa hangat, tetapi juga sunyi, seakan ada sesuatu yang kurang.Tatapannya langsung tertuju ke ruang keluarga, tempat Raka dan Rania duduk bersisian di meja belajar kecil mereka. Kedua buah hatinya tampak serius mencoret-coret buku mereka, sesekali berdiskusi dengan suara pelan. Biasanya, di antara mereka ada Naura yang menemani—memberikan bimbingan atau sekadar duduk sambil membaca buku. Tapi kali ini, Naura tidak ada di sana."Loh, Mommy di mana, sayang?" tanya Davin, suaranya penuh keheranan.Rania dan Raka sontak menoleh ke arah sang ayah. Mereka saling berpandangan sebelum akhirnya menjawab dengan kompak. "Di kamar, Daddy."Davin mengernyit. "Kok tumben nggak nemenin kalian belajar? Apa Mommy sakit?" tanyanya lagi, kekhawatiran mulai muncul di benaknya.Sambil menunggu jawaban dari anak-anaknya, ia melambaikan tangan pada pengasuh
Ballroom hotel mewah itu dipenuhi cahaya lampu, memberikan kesan eksklusif dan profesional. Meja panjang sudah tertata rapi dengan dokumen-dokumen kerja sama yang siap untuk didiskusikan. Bram dan tiga orang timnya tiba lebih dulu, memastikan semua persiapan sudah sesuai dengan kebutuhan presentasi Davin.Beberapa menit kemudian, Davin datang dengan setelan jas hitam yang sempurna, menampilkan sosoknya yang berwibawa sebagai Presiden Direktur Abimanyu Group. Matanya tajam, fokus pada pertemuan hari ini. Meskipun ia menyadari kehadiran Penelope, ia memilih untuk tidak memperhatikan wanita itu lebih dari yang diperlukan.Penelope melangkah masuk bersama Fernando dan timnya. Seperti biasa, wanita itu tampil memesona dengan gaun formal yang membingkai tubuhnya dengan anggun. Senyum tipis menghiasi bibirnya saat matanya langsung tertuju pada Davin.“Selamat siang, Pak Davin.” Suaranya terdengar lembut, tapi ada nada ketertarikan yang tak berusaha ia sembunyikan.“Selamat siang, Bu Penelope