“Tuan, dia kembali mengamuk,” ucap anak buah Bryan. Baru saja Bryan mulai bersenang-senang dengan para wanita penghibur itu, kembali anak buahnya datang melapor. Mereka memang tak diizinkan masuk ke dalam tanpa Bryan, sehingga saat Naura ngamuk, penjaga itu harus menemui sang mafia.“Fuck! Mau apa perempuan sialan itu!” desisnya marah.Pria itu berjalan dengan tergesa-gesa menuju ke kamar yang ditempati Naura. Naura menoleh, saat pintu terbuka. Kamar itu sudah berantakan dan tak berbentuk lagi. Semua barang dilempar oleh Naura.“Kau pikir dengan mengacak-ngacak kamar ini, lalu berteriak seperti orang gila, aku akan melepaskanmu, huh?” bentak Bryan.“Keluarkan aku dari sini!” balas Naura berteriak.Plak PlakTamparan kali ini lebih keras dari yang sebelumnya, sehingga kedua sudut bibir Naura mengeluarkan darah.“Ikat tangan dan kakinya!” perintah Bryan pada anak buahnya. Naura terus berteriak berusaha untuk melawan, namun tentu saja perlawanan itu sia-sia belaka. Anak buah Bryan mengi
Dengan frustrasi, ia mencoba melacak nomor itu melalui sistem keamanan yang ada di kota ini, tetapi hasilnya nihil. Nomor itu tidak terdeteksi, seakan-akan baru saja dihapus dari jaringan.Davin menghempaskan ponselnya ke kasur, lalu mengayunkan tangannya ke meja di samping ranjang. Benda-benda yang ada di atasnya jatuh berhamburan, suara kaca pecah kembali terdengar di kamar hotelnya.Dadanya naik turun dengan cepat, napasnya tersengal. Ia tidak bisa menahan emosinya. Ia ingin menghancurkan sesuatu, ingin melampiaskan kemarahan yang memenuhi dadanya.“Brengsek!!!” teriaknya, suaranya memenuhi ruangan.Tangannya mencengkeram rambutnya sendiri, tubuhnya gemetar hebat. Ia merasa seperti orang gila, tidak bisa berpikir jernih.Lalu, ia tersungkur ke lantai, kedua tangannya menutup wajahnya yang basah oleh keringat dan air mata yang tidak bisa ia tahan lagi.“Sayang, bertahanlah.” gumamnya, suara penuh kepedihan. “Aku akan menemukanmu… Aku janji…”Davin kembali meraih ponselnya untuk sege
Davin merasakan sentuhan di bahunya ketika dia sejenak memejamkan mata, persis di samping ranjang anak kembarnya.Sang Mama ternyata yang datang dengan mata sembab.“Mama,” Davin menyapanya, sontak Laura memeluk Putra bungsunya, dan mereka menangis berdua seakan saling merasakan sakit yang mereka rasakan karena kehilangan Naura, sosok yang paling mereka cintai."Sabar ya, Sayang. Mama yakin Laura akan ketemu, dia pasti akan pulang. Kamu harus kuat demi Raka dan Rania, mereka benar-benar membutuhkan kamu. Mama mohon kamu kuat, Mama dan Bram akan selalu ada di samping kamu, mendukung apapun yang menjadi keputusanmu," ucap Laura sambil berlinang air mata.Tidak hanya Davin yang merasa kehilangan, tapi dirinya juga benar-benar tak sanggup membayangkan kalau sampai sesuatu yang buruk terjadi pada Naura."Terima kasih, Ma. Davin terus berdoa pada Tuhan agar kita bisa melewati ujian ini. Davin terus memohon agar Naura dalam keadaan sehat dan bisa bertemu lagi dengan kita dalam keadaan sehat
Seperti mayat hidup, Naura benar-benar kehilangan gairah untuk melanjutkan hidupnya. Sudah lebih dari satu bulan ia diculik oleh Bryan.Pelayan yang setiap hari membawakan makanan untuknya merasa iba melihat kondisinya. Wanita paruh baya itu bernama Carlota."Nyonya, saya mohon, makanlah sedikit saja agar Anda punya tenaga. Apa Anda tidak ingin bertemu dengan keluarga Anda lagi? Anda harus bertahan, Nyonya," ucap Carlota dengan suara nyaris berbisik. Ia tidak ingin ucapannya terdengar oleh orang kepercayaan Bryan yang berjaga di depan kamar tempat Naura dikurung."Buat apa aku hidup kalau pada akhirnya aku akan dibunuh oleh bajingan itu?" sahut Naura lirih.Tubuhnya jauh lebih kurus dari biasanya. Wajah dan tubuhnya penuh luka lebam akibat siksaan yang terus-menerus dilakukan oleh Bryan setiap kali ia melawan. Namun, satu hal yang Naura tahu—mafia itu tidak akan pernah membebaskannya. Yang Bryan inginkan hanyalah kematiannya, agar Davin menderita."Jangan bicara seperti itu, Nyonya. B
Sementara itu Bryan duduk terdiam di ruang kerjanya yang suram, matanya kosong menatap ke luar jendela, menyaksikan hujan deras yang turun tanpa ampun. Suasana di luar mencerminkan apa yang sedang dirasakannya—hujan seolah ikut mengguyur kegagalan yang terus memburunya. Setelah kebakaran besar yang menghancurkan gudang senjata api miliknya, sebuah musibah lain datang, memukul telak jantung bisnisnya. Obat terlarang yang harusnya sudah sampai ke tangan konsumen—jaringan yang selama ini ia andalkan untuk menjalankan sebagian besar operasinya—ternyata ditahan oleh polisi. Keadaan itu semakin memperburuk posisinya yang sudah rapuh.Informasi itu datang seperti petir yang menyambar di siang bolong. Anak buah Bryan yang biasanya begitu setia dan cepat memberikan laporan, kali ini tampak ketakutan saat menyampaikan kabar itu. Tak ada yang pernah menduga bahwa barang yang telah dikirim, yang begitu penting bagi kelangsungan bisnis gelapnya, tiba-tiba bisa terhenti di tengah jalan. Obat-obat
Bram baru saja tiba di rumahnya, setelah seharian penuh di rumah sakit membahas mengenai perkembangan perusahaan dengan Davin. Bram langsung menuju ke kamar Angelica, gadis kecil itu sedang terlelap di box bayinya, sementara Lidya duduk di sofa. Pria itu segera menghempas bokongnya duduk di samping Lidya.“Bagaimana keadaan Raka dan Rania, Pak?” tanya Lidya.Demi apapun semenjak Naura diculik hingga detik ini Lidya tak enak makan. Bahkan berpengaruh pada asinya. Namun dia tidak berani bilang pada Bram, dia lebih memilih segera mengatasi stress berlebihan akibat memikirkan Naura, agar ASI yang dia keluarkan punya kualitas baik untuk Angelica.“Mereka kondisinya sangat lemah, semoga Naura segera bisa ditemukan.”Bram merebahkan kepalanya di sandaran sofa, pria itu memijat pangkal hidungnya hingga berwarna merah. Demi apapun dirinya tak tega kalau terus-terusan melihat Davin terpuruk seperti ini. Rasa cinta Davin pada Naura begitu besar bahkan sang adik tiri tak segan memamerkan kemesraa
"Boleh ya? Aku akan memberimu imbalan kalau kau berhasil membiarkan aku melambaikan hasratku padamu."Bram sudah membaringkan tubuhnya di sebelah Lidya, tepat di sofa berukuran luas kamar Angelica. Lidya memang belum mengizinkan Bram untuk menyentuhnya, tapi saat Bram memainkan tangannya di selangkangan Lidya, wanita itu justru menikmatinya. Tanpa harus diminta Lidya membuka pahanya lebar-lebar seolah mengizinkan Bram untuk bebas menyentuh miliknya. Bram memejamkan mata menikmati sentuhannya, miliknya sudah berdiri tegak seakan siap untuk menembus lubang sempit milik Lidya.Bukan berarti dia melupakan Dinda wanita yang sangat dia cintai, tapi hidup di dunia ini tentu sebagai pria dewasa dia tidak bisa mengabaikan hasratnya, terlebih setiap kali dia menyentuh dada Lidya dan menikmati asinya, hasratnya seketika tak bisa ditahan. Pernah suatu hari Bram sampai basah celananya karena saking tak sanggupnya menahan hasrat namun Lidya tak mengizinkannya menyentuh wanita itu.Lidya membisu.
Di sisi lain Bryan duduk di dalam ruang kerjanya dengan pikiran yang kalut. Asap rokok memenuhi ruangan itu, sementara secangkir kopi hitam yang sudah mendingin terletak di atas meja.Tangannya menggenggam ponselnya erat-erat, matanya menatap kosong ke layar. Hari ini adalah hari paling sial dalam hidupnya. Gudang senjata api miliknya terbakar habis, tak tersisa sedikit pun yang bisa diselamatkan. Semua senjata yang selama ini menjadi sumber penghasilannya kini hanya menjadi abu.Namun, penderitaannya tak berhenti di situ. Berita buruk lain datang menambah beban pikirannya. Kiriman obat terlarangnya yang seharusnya sampai ke tangan pelanggan setianya telah digagalkan oleh polisi. Barang-barangnya disita, dan sejumlah orang kepercayaannya kini ditahan. Ini adalah pukulan telak bagi Bryan, yang selama ini dikenal sebagai mafia yang tak tersentuh. Kekuatannya kini goyah, dan ia mulai merasakan tekanan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.“Kenapa semuanya berakhir seperti, ini? Aku p
Daniel Dominic Montgomery dan Darren Damian Montgomery adalah nama yang dipilih oleh kedua orang tua mereka dan sudah disepakati oleh keluarga untuk si kembar. Kedua bayi itu kini berada di ruang perawatan sang Mama. Setelah dilahirkan kemarin, mereka sempat dibawa ke ruang perawatan bayi, tetapi pagi ini mereka sudah dipindahkan ke ruang perawatan Rania. "Selamat ya, Nia! Aku senang banget akhirnya punya keponakan," ucap Raka. "Untung saja wajahnya kayak kamu," tambahnya lagi sambil melirik ke arah sang adik ipar yang usianya jauh di atasnya. Edward hanya tersenyum mendengar ucapan iparnya. "Kamu kapan menyusul, Raka?" tanyanya. "Menyusul? Bisa-bisa aku digantung sama Mommy dan Daddy. Pacaran saja nggak boleh, apalagi nyusul kalian nikah dan punya anak. Mommy bisa mati berdiri," kata Raka sambil melirik ke arah sang Mommy. "Bener kan, Mom?" tanyanya lagi. "Bukan cuma digantung, tapi Mommy akan ikat seluruh tubuh Raka biar nggak bisa bergerak," jawab Naura, membuat seluruh or
Sementara itu, di dalam mobil, Rania terus menangis. Tangannya mencengkeram erat kursi, napasnya terengah-engah menahan rasa sakit yang begitu menyiksa. Perutnya terasa melilit hebat, sakit yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Setiap gelombang kontraksi yang datang membuat tubuhnya menegang, dan air mata semakin deras mengalir di pipinya."Sabar ya, sayang… sabar… kita sebentar lagi sampai," ucap Edward, suaranya bergetar, namun ia berusaha tetap tenang untuk istrinya. Tangannya terulur, mengusap kening Rania yang penuh peluh. Ia ingin melakukan sesuatu untuk mengurangi rasa sakit istrinya, tetapi ia tahu tidak ada yang bisa benar-benar membantu selain memastikan mereka segera tiba di rumah sakit.Rania menggigit bibirnya, tubuhnya sudah mulai gemetar. "Sakit, sayang… sakit banget…" ucapnya dengan suara lemah, hampir seperti bisikan. Air ketubannya sudah pecah sejak beberapa menit yang lalu, dan kini darah mulai keluar, membasahi pahanya hingga betisnya.Melihat kondisi itu, E
"Bagaimana kalau kita menikah bulan depan saja?" tanya Bram tiba-tiba, menatap Monica dengan penuh harapan.Mereka sedang duduk di balkon kamar Monica. Awalnya, Bram berencana menemani Angelica di kamar ibunya karena gadis kecil itu ingin tidur bersama sang nenek. Namun, Laura tampaknya memahami situasinya dan justru menyuruh Bram untuk menemani Monica.Monica tersenyum lembut, tatapannya penuh kehangatan. "Aku ikut saja, sayang. Terserah kamu mau kapan, aku siap," jawabnya tulus. "Aku bahagia banget akhirnya Angelica mau menerima kehadiranku."Bram merasakan haru menyelimuti hatinya. Ia lalu meraih Monica ke dalam pelukannya, mendekapnya dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih, sayang. Terima kasih juga karena sudah mau menerima pernyataan cinta dari seorang duda beranak satu," ucapnya dengan suara lembut.Monica tersenyum dan membalas pelukan itu. "Aku mencintaimu, Bram. Statusmu tidak pernah menjadi masalah untukku," bisiknya.Bram mengusap pelan punggung calon istrinya. "Tapi aku
Naura menghela napas panjang, matanya masih terlihat menerawang, seolah pikirannya belum bisa benar-benar menerima kenyataan yang baru saja terjadi. “Aku nggak pernah menyangka kalau Angelica bisa langsung menerima Monica sebagai calon Mama barunya,” ucapnya lirih, suaranya terdengar masih dipenuhi rasa haru.Saat ini, dia sudah berada di kamar bersama suaminya, Davin. Malam di London terasa lebih dingin dari biasanya, tetapi suasana hati Naura jauh lebih hangat setelah melihat kebahagiaan di wajah keponakannya tadi.Davin yang tengah bersandar di kepala ranjang ikut tersenyum, meskipun ada sedikit keterkejutan di matanya. “Iya, sayang. Aku juga tidak menyangka kalau Angelica secepat itu menerima kehadiran Monica. Aku pikir tadi, saat dia mencium foto Mamanya, dia tidak akan mau Mamanya digantikan oleh siapa pun.”Naura mengangguk pelan, memahami perasaan yang mungkin sempat berkecamuk di hati Angelica. Ia tahu betul seberapa besar gadis kecil itu mencintai sosok ibunya, meskipun tak
Angelica masih sibuk menyapa teman-temannya satu per satu dengan wajah ceria. Senyumnya terus mengembang, mencerminkan kebahagiaan yang begitu tulus. Sesekali, ia tertawa kecil saat berbincang dengan sahabat-sahabatnya, menikmati momen berharga yang baru pertama kali diberikan oleh sang Papa. Sejak kecil, Angelica memang tidak pernah merasakan pesta ulang tahun sebesar ini, dan melihat banyak orang yang datang hanya untuknya membuat gadis kecil itu merasa begitu istimewa. Bram berdiri bersama ibunya, Laura, serta Monica, sekretarisnya yang selama ini selalu berada di sisinya, mendukung setiap langkahnya dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadinya. Tidak ada banyak orang di sekitar mereka, memberikan kesempatan bagi mereka bertiga untuk berbicara lebih leluasa tanpa ada yang mendengar.Laura menatap putranya dengan penuh arti sebelum akhirnya membuka suara, "Bram, kau benar-benar akan meminta izin pada Angelica untuk menikahi Monica?" Suaranya terdengar tenang, tapi ada sedikit kekh
Waktu terus berjalan, tanpa terasa minggu depan adalah jadwal kelahiran kedua anak Rania dan Edward. Perjalanan panjang yang mereka lalui bersama akhirnya membawa mereka ke titik ini—menanti hadirnya dua buah hati yang akan melengkapi keluarga kecil mereka.Sejak tiga bulan lalu, Rania telah resmi pindah ke Sun City, meninggalkan London untuk membangun kehidupan baru bersama Edward. Edward, yang sejak awal ingin memberikan kenyamanan terbaik bagi istrinya, sudah menyiapkan rumah mewah untuk Rania. Namun, meskipun Rania menerima rumah tersebut dengan penuh rasa syukur, menjelang persalinannya, dia lebih memilih tinggal di kediaman kedua orang tuanya. Bagi Rania, berada di dekat Mommy dan Daddy akan membuatnya lebih tenang.Bisnis butiknya yang kini berkembang pesat tetap berjalan dengan baik meskipun Rania sementara waktu harus istirahat dari dunia fashion. Dia mempercayakan pengelolaan butik itu kepada manajernya, tetapi setiap laporan tetap dikirimkan kepada William, asisten keper
Mereka baru saja turun dari mobil.Davin hanya bisa menghela napas panjang saat melihat Naura dengan cekatan mengambil black card miliknya, seolah kartu itu sudah menjadi milik pribadi istrinya. "Sayang, kamu kan udah punya kartu sendiri," protesnya, meski nada suaranya lebih terdengar seperti pasrah daripada keberatan.Naura hanya tersenyum manis, menggoyangkan kartu itu di depan wajah suaminya. "Tapi kan tetap saja uang suami adalah uang istri, sayang. Uang istri ya uang istri," sahutnya santai. "Apalagi aku mau belanjain anak-anak juga."Davin hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum. Dia tahu, pada akhirnya, apa pun yang ia miliki memang untuk istri dan anak-anaknya tercinta.Sementara itu, Angelica yang sedari tadi sibuk melihat-lihat koleksi sepatu mewah tiba-tiba menoleh pada pamannya. "Uncle, Angelica di-belanjain juga nggak?" tanyanya dengan mata berbinar.Davin menoleh ke arah gadis mungil itu, yang kini menatapnya dengan ekspresi menggemaskan. Wajah Angelica yang c
Davin melangkah masuk ke ruang keluarga apartemen Edward dan Rania, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia baru saja tiba bersama Naura dan Angelica, membawa beberapa koper berisi makanan dan oleh-oleh untuk putri mereka. Belum sempat duduk, Edward sudah menyambutnya dengan senyum lebar.“Duduk dulu, Daddy,” ucap Edward sambil menunjuk sofa di hadapannya.Davin mendengus geli, menatap menantunya dengan ekspresi datar. “Geli kali aku dipanggil Daddy olehmu,” sahutnya, nada suaranya masih terasa tak bersahabat.Naura yang duduk di sampingnya hanya menghela napas, sementara Edward malah cengengesan. “Masak mau dipanggil Paman?” goda Edward.Naura ikut menimpali, “Lagian kamu ini, sayang. Memang sudah sepantasnya menantu memanggilmu dengan sebutan Daddy. Kenapa protes terus setiap sama Edward?”Davin menatap istrinya dengan alis terangkat. “Makin besar kepalanya Edward. Semua dibelain. Heran deh, sama kamu dan Mamaku. Doyan sekali membela laki-laki ini,” ujarnya bercanda.Edward hanya te
Saat Rania dan Edward tiba di sebuah restoran, mereka bertemu dengan seseorang yang sudah lama tidak Rania jumpai."Hai, Andrew! Apa kabar?" sapa Rania dengan ramah, sambil mengulurkan tangan ke arah pria itu.Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh tangan Andrew, Edward dengan sigap menarik tangan istrinya, menjauhkannya dari jangkauan pria lain. Andrew, yang sudah hendak menyambut salam Rania, hanya bisa menarik tangannya kembali dengan ekspresi sedikit terkejut.Rania melirik suaminya dengan kesal. "Kamu apa-apaan sih?" tanyanya, tak habis pikir dengan tindakan Edward yang begitu protektif.Edward menatapnya tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Aku nggak suka ada yang nyentuh-nyentuh istriku, meskipun hanya sekadar salaman," ucapnya tegas.Andrew tertawa kecil melihat sikap Edward yang begitu posesif. "Nggak apa-apa, Rania. Semua pria pasti punya pemikiran seperti suamimu ini. Wajar kalau dia nggak mau istrinya yang cantik dimiliki orang lain," ujarnya santai.Edward langsung meloto