"Boleh ya? Aku akan memberimu imbalan kalau kau berhasil membiarkan aku melambaikan hasratku padamu."Bram sudah membaringkan tubuhnya di sebelah Lidya, tepat di sofa berukuran luas kamar Angelica. Lidya memang belum mengizinkan Bram untuk menyentuhnya, tapi saat Bram memainkan tangannya di selangkangan Lidya, wanita itu justru menikmatinya. Tanpa harus diminta Lidya membuka pahanya lebar-lebar seolah mengizinkan Bram untuk bebas menyentuh miliknya. Bram memejamkan mata menikmati sentuhannya, miliknya sudah berdiri tegak seakan siap untuk menembus lubang sempit milik Lidya.Bukan berarti dia melupakan Dinda wanita yang sangat dia cintai, tapi hidup di dunia ini tentu sebagai pria dewasa dia tidak bisa mengabaikan hasratnya, terlebih setiap kali dia menyentuh dada Lidya dan menikmati asinya, hasratnya seketika tak bisa ditahan. Pernah suatu hari Bram sampai basah celananya karena saking tak sanggupnya menahan hasrat namun Lidya tak mengizinkannya menyentuh wanita itu.Lidya membisu.
Di sisi lain Bryan duduk di dalam ruang kerjanya dengan pikiran yang kalut. Asap rokok memenuhi ruangan itu, sementara secangkir kopi hitam yang sudah mendingin terletak di atas meja.Tangannya menggenggam ponselnya erat-erat, matanya menatap kosong ke layar. Hari ini adalah hari paling sial dalam hidupnya. Gudang senjata api miliknya terbakar habis, tak tersisa sedikit pun yang bisa diselamatkan. Semua senjata yang selama ini menjadi sumber penghasilannya kini hanya menjadi abu.Namun, penderitaannya tak berhenti di situ. Berita buruk lain datang menambah beban pikirannya. Kiriman obat terlarangnya yang seharusnya sampai ke tangan pelanggan setianya telah digagalkan oleh polisi. Barang-barangnya disita, dan sejumlah orang kepercayaannya kini ditahan. Ini adalah pukulan telak bagi Bryan, yang selama ini dikenal sebagai mafia yang tak tersentuh. Kekuatannya kini goyah, dan ia mulai merasakan tekanan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.“Kenapa semuanya berakhir seperti, ini? Aku p
Victor melajukan mobilnya menuju kediaman Markus. Jalanan gelap dan sepi, hanya sesekali diterangi lampu jalan yang berkedip lemah. Hatinya berdebar, bukan karena takut, tetapi karena langkah besar yang akan diambilnya malam ini.Dia sudah bekerja di bawah Bryan selama bertahun-tahun, mengenal kebiasaannya, ambisinya, dan juga kelemahannya. Namun, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasa bahwa berpihak kepada Markus adalah keputusan yang paling masuk akal.Saat mobilnya berhenti di depan gerbang besar kediaman Markus, dua orang penjaga bersenjata lengkap segera menghampiri. Tanpa bicara, salah satu dari mereka membuka gerbang, membiarkannya masuk. Victor keluar dari mobilnya dan melangkah dengan mantap menuju pintu utama. Seorang pria berjas hitam menuntunnya ke dalam, ke sebuah ruangan yang mewah, dengan chandelier yang tergantung di langit-langit, dinding berlapis kayu mahal, dan perabotan yang menunjukkan kemewahan tanpa batas.Markus duduk di sebuah kursi besar di ujung r
"Ngapain kalian?" ulangnya membentak membuat Carlota gugup.Carlota buru-buru menumpahkan susu di samping Naura. Gerakannya cepat dan terkesan panik. Ia merasa ketakutan akan akibat dari percakapan yang baru saja mereka lakukan, apalagi jika Victor mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi di antara mereka. Carlota tahu betul bahwa Victor adalah orang yang sangat berbahaya, dan dia tidak ingin menjadi sasaran kemarahan pria itu. Dalam hatinya, Carlota berdoa agar tidak ada yang mencurigai apa yang sedang dia lakukan."Maaf, Pak Victor. Dia ini tidak mau minum susu, makan juga tidak mau. Saya hanya mengancamnya sedikit agar dia mau makan, sebab kata penjaga, dia tidak boleh sakit," ujar Carlota berbohong dengan suara gemetar. Kalimat itu keluar dengan terburu-buru, mencoba menyembunyikan kecemasan yang mendalam. Carlota memaksakan diri tersenyum, meskipun senyuman itu terasa sangat dipaksakan.Victor berjalan mendekat dengan langkah berat, seolah-olah ingin menunjukkan kekuasaann
"Kupikir Victor lagi yang datang," ucap Naura pada Carlota saat wanita paruh baya itu membawakan susu untuknya. Naura melihat sekilas wajah Carlota yang tampak sedikit cemas. Sesaat, wajah itu berusaha menunjukkan senyum, meski ada kesedihan yang terpendam di matanya."Pak Victor ada di dapur. Dia meminta saya untuk membawakan susu dan makanan lagi. Habiskanlah, biar Anda tidak sakit," ujar Carlota ramah, penuh perhatian. Tangan Carlota sedikit gemetar saat meletakkan cangkir dan mangkuk di meja dekat Naura, tetapi ia berusaha tetap tenang."Terima kasih, Carlota. Kamu selalu baik padaku. Aku tidak akan pernah melupakan kebaikanmu ini. Meskipun kamu berada di tempat yang salah, tapi aku tahu kamu orang baik," sahut Naura, mengambil makanan dan susu yang baru saja dibawakan oleh Carlota. Ucapan itu terlontar tulus, seolah menyentuh hati Carlota yang sudah lama terbiasa dengan ketidakpedulian dari orang-orang di sekitarnya."Saya juga sebenarnya terpaksa bekerja di sini. Saya terjebak
"Tuan, tolong jemput Nyonya Naura di persimpangan Hutan Ampera, Kota Mars Country. Saya akan mengantarkan beliau sampai di tepi hutan. Kami tak punya banyak waktu, tolong suruh siapa saja menjemput dalam waktu satu jam ke depan."Davin memandangi pesan singkat itu dengan perasaan campur aduk. Tertulis dengan jelas, tapi isi pesan itu seolah mengguncang dunia yang selama ini dia kenal. Matanya menyipit, berusaha meyakinkan diri bahwa ini mungkin hanya lelucon atau mungkin pengingat dari seseorang yang salah kirim. Namun, meskipun begitu, ada rasa lain yang tumbuh di dalam dadanya—rasa cemas yang semakin dalam. Tak ada informasi lebih lanjut, hanya instruksi yang mendesak untuk menjemput Naura, istrinya, yang sudah lama diculik. Davin dengan tangan gemetar, mencoba menghubungi nomor yang tercantum di pesan itu. Namun, tanpa disangka, panggilan tersebut tidak tersambung. Nomor itu tidak aktif.Perasaan cemas berubah menjadi kebingungan. Di kota tempat Naura disekap, waktu menunjukkan p
Dengan langkah terburu-buru, Carlota membantu Naura keluar dari kamar itu, menuntunnya melalui lorong gelap yang penuh bayangan. Mereka berjalan perlahan, berusaha tidak menimbulkan suara, setiap langkah seperti menggetarkan udara yang hening. Carlota tidak bisa membiarkan dirinya lengah. Ia tahu, meskipun para penjaga tertidur, bahaya masih mengintai di setiap sudut.Setelah beberapa menit, mereka sampai di pintu keluar markas. Carlota dengan hati-hati membuka pintu itu, dan mereka melangkah keluar ke udara malam yang dingin. Hutan yang lebat sudah menanti mereka.Namun, belum jauh mereka melangkah, sebuah teriakan tiba-tiba memecah kesunyian malam."Ah!" Naura menjerit keras, suaranya penuh dengan rasa sakit yang mencekam. Carlota berbalik dan melihat Naura terjatuh ke tanah, wajahnya tampak kebingungan dan ketakutan. Matanya yang memerah penuh air mata menatapnya dengan rasa panik yang sangat jelas.Naura menggenggam kakinya yang terluka. "Carlota... kakiku... digigit ular!"Carlot
"Aku akan membuat Carlota menyesal. Tidak ada maaf untuknya!" katanya dalam hati, jantungnya berdegup kencang. Dia bisa dibunuh oleh Bryan kalau Naura benar-benar lolos. Belum lagi Markus yang meminta Victor menyerahkan Naura padanya hidup-hidup.Tentu saja peluang besar untuk mendapatkan uang hampir lenyap.Setiap langkahnya semakin cepat, setiap detiknya semakin terbakar dengan kebencian yang mendalam. "Dia akan membayar atas semua ini," gumamnya pelan, seakan mengancam dirinya sendiri.Victor yakin, Carlota dan Naura belum terlalu jauh. Ia bisa merasakannya. Hanya satu hal yang ia tahu pasti: jika ia tidak menemui mereka segera, semuanya akan berantakan. "Aku tidak akan membiarkan mereka lolos," bisiknya keras, setiap kata yang keluar dari mulutnya dipenuhi kebencian. Tak ada kata maaf bagi siapa pun yang berani melawan perintah Bryan, dan Carlota—meskipun ia tahu betul akan risikonya—telah melanggar batas.Victor terus berlari, dan di dalam pikirannya, bayangan Carlota yang berla
"Penelope!" balas Laura, memanggil wanita yang menyapanya.Tampak Penelope melangkah mendekati Laura yang sedang duduk di salah satu meja di restoran cepat saji tersebut. Wajahnya terlihat sumringah, senyum lebarnya menghangatkan suasana. Begitu sampai di hadapan Laura, mereka langsung berpelukan erat, seolah-olah melepas rindu yang sudah lama tertahan.Sementara itu, Naura dan Davin yang duduk di sisi lain meja hanya bisa saling berpandangan. Keduanya sama sekali tak menyangka bahwa Laura mengenal Penelope. Naura terutama, masih mengingat dengan jelas bagaimana pertemuan pertamanya dengan wanita itu yang terkesan meremehkannya."Kamu apa kabar, sayang? Makin cantik aja," ucap Laura dengan nada akrab, menyapa anak dari sahabatnya tersebut."Baik, Tante. Tante sendiri gimana? Tante awet muda banget, loh!" balas Penelope dengan nada ceria, matanya berbinar menatap Laura. "Kalau nggak salah, kita bertemu sekitar sepuluh tahun yang lalu ya, Tan? Untung saja Penelope mampir ke restoran ini
Fernando terus menatap ke arah Bram dan Davin yang saat ini sedang berbicara dengan Bruno, pemilik tempat hiburan malam tersebut yang juga merupakan teman baik Fernando. Dari sudut ruangan, Fernando memperhatikan dengan saksama, memperkirakan apa yang sebenarnya mereka bicarakan."Aku tak menyangka mereka suka juga ke tempat yang seperti ini. Aku pikir Davin benar-benar lelaki terbaik. Ternyata semua lelaki sama saja, mana betah kami hanya dengan satu pasangan," ucapnya pada diri sendiri, mendesah pelan sambil mengamati mereka dari kejauhan.Fernando menyandarkan tubuhnya ke kursi, mengaduk minuman di tangannya dengan gerakan lambat. Matanya tidak lepas dari mereka bertiga, terutama Davin. Ada sedikit perasaan tidak percaya dalam benaknya. Selama ini, Davin dikenal sebagai pria yang setia dan tidak tertarik dengan tempat hiburan. Namun, kenyataan di depan matanya menunjukkan sesuatu yang berbeda.Sementara itu, di sudut tempat hiburan tersebut, Davin dan Bram sedang berbicara serius
"Apa semuanya sudah sesuai dengan yang kamu rencanakan?" tanya Penelope pada Fernando, sambil meliriknya dari sofa mewah berlapis beludru merah yang sedang didudukinya.Tangannya yang ramping menggenggam gelas anggur, menggoyangkan cairan merah di dalamnya dengan gerakan anggun. Cahaya lampu kristal di ruang tamunya yang luas memantulkan kilauan di permukaan gelas, menciptakan bayangan berkilau di meja kaca di depannya.Fernando berdiri tegap di dekat rak buku yang dipenuhi koleksi bacaan mahal dan beberapa lukisan klasik yang sengaja dipajang sebagai simbol kemewahan. Mata pria itu menatap tajam pada atasannya, memastikan tidak ada keraguan dalam Suaranya saat ia menjawab."Sudah, Bu. Anda tenang saja, semuanya sudah saya atur," jawab Fernando tanpa ragu sedikit pun.Penelope menyandarkan tubuhnya, menyilangkan kakinya dengan gerakan lambat dan sensual. Senyuman tipis tersungging di bibir merahnya yang sempurna. Dia menikmati permainan ini, sebuah permainan yang dirancangnya sendiri
"Kamu kenapa, Sayang? Masih khawatir aku ketemu dengan Penelope? Makanya ayo ikut," ajak Davin saat wajah istrinya terlihat sendu, menatapnya yang sedang bersiap pergi untuk penandatanganan proyek besar Abimanyu Group di kota ini.Naura menggeleng. Untuk datang? Tentu dia tidak mungkin punya mental yang kuat, apalagi setelah Penelope menatapnya dengan tatapan seakan mengejek kondisinya yang seperti ini. Naura menjadi insecure."Nggak apa-apa kok," jawabnya, tapi sorot matanya tentu tidak membuat Davin percaya begitu saja pada sang istri.Pria itu mendekati Naura, lalu berjongkok di depan kursi roda sang istri. Dengan lembut, ia mengecup punggung tangan wanita yang sangat dia cintai. Bahkan, rasa cintanya sejak dulu hingga kini tidak berubah sama sekali."Aku tahu, di luar sana banyak sekali perempuan jahat. Tapi tidak semua laki-laki menyambut dengan baik wanita yang seperti itu. Laki-laki yang baik akan memilih perempuan yang baik pula. Laki-laki yang tidak baik mungkin akan tergoda
"Kenapa sih, Mama nggak pernah berubah? Semua keputusan harus kemauan Mama! Kenapa seperti ini? Kalau memang Bram tidak mau menikah lagi, ya sudah, Bram nggak akan menikah!"Bram menatap sang Mama dengan rahang mengeras. Hatinya semakin sesak karena merasa tidak pernah diberi kebebasan menentukan hidupnya sendiri."Bram janji, Angelica tidak akan pernah kekurangan kasih sayang. Lagian, Lidya masih jadi pengasuhnya. Nanti, lama-lama Angelica juga akan tahu kalau Lidya itu hanya seorang pengasuh, hanya seorang ibu susu, bukan ibu kandungnya. Bram nggak mau ada orang yang menggantikan posisi Dinda di hati Angelica dan di hati Bram."Bram menghela napas berat. Matanya yang tajam menatap Laura dengan sorot penuh keteguhan."Sekarang terserah Mama. Yang jelas, sekuat apa pun Mama membujuk Bram untuk menikah lagi dan mencarikan jodoh, itu tidak akan pernah terjadi! Bram tidak ingin menikah lagi!" ucapnya tegas.Hening sejenak. Laura masih ingin membantah, tetapi Bram tidak memberinya kesempa
Bram melangkah santai menuju ruang keluarga Davin. Begitu sampai, ia mendapati kedua keponakannya, Raka dan Rania, tengah duduk di meja belajar kecil mereka. Buku-buku terbuka di hadapan mereka, sementara pensil warna-warni berserakan di atas meja. Sesekali, mereka tampak berdiskusi satu sama lain, wajah mereka serius, tetapi tetap menggemaskan di mata Bram.Senyuman kecil terukir di wajah pria itu. Meskipun jauh dari rumah mereka yang sebenarnya, Raka dan Rania tetap terlihat bahagia. Bram bangga melihat mereka tumbuh menjadi anak-anak yang mandiri dan ceria.Tanpa menunggu lebih lama, ia pun berjalan mendekat, lalu menjatuhkan diri di sofa dekat mereka. "Lagi sibuk apa nih, dua anak pintar Uncle?" tanyanya dengan nada hangat.Rania menoleh lebih dulu, lalu tersenyum lebar. "Lagi ngerjain PR, Uncle!" jawabnya bersemangat."Iya, PR Matematika," tambah Raka, mengangguk antusias.Bram mengangguk-angguk paham. "Wah, Matematika ya? Dulu waktu Uncle seumuran kalian, Matematika itu pelajar
Davin tiba di rumahnya bersama Bram. Begitu memasuki rumah, aroma khas kayu dan wewangian lembut yang selalu digunakan Naura menyambutnya. Rumah itu terasa hangat, tetapi juga sunyi, seakan ada sesuatu yang kurang.Tatapannya langsung tertuju ke ruang keluarga, tempat Raka dan Rania duduk bersisian di meja belajar kecil mereka. Kedua buah hatinya tampak serius mencoret-coret buku mereka, sesekali berdiskusi dengan suara pelan. Biasanya, di antara mereka ada Naura yang menemani—memberikan bimbingan atau sekadar duduk sambil membaca buku. Tapi kali ini, Naura tidak ada di sana."Loh, Mommy di mana, sayang?" tanya Davin, suaranya penuh keheranan.Rania dan Raka sontak menoleh ke arah sang ayah. Mereka saling berpandangan sebelum akhirnya menjawab dengan kompak. "Di kamar, Daddy."Davin mengernyit. "Kok tumben nggak nemenin kalian belajar? Apa Mommy sakit?" tanyanya lagi, kekhawatiran mulai muncul di benaknya.Sambil menunggu jawaban dari anak-anaknya, ia melambaikan tangan pada pengasuh
Ballroom hotel mewah itu dipenuhi cahaya lampu, memberikan kesan eksklusif dan profesional. Meja panjang sudah tertata rapi dengan dokumen-dokumen kerja sama yang siap untuk didiskusikan. Bram dan tiga orang timnya tiba lebih dulu, memastikan semua persiapan sudah sesuai dengan kebutuhan presentasi Davin.Beberapa menit kemudian, Davin datang dengan setelan jas hitam yang sempurna, menampilkan sosoknya yang berwibawa sebagai Presiden Direktur Abimanyu Group. Matanya tajam, fokus pada pertemuan hari ini. Meskipun ia menyadari kehadiran Penelope, ia memilih untuk tidak memperhatikan wanita itu lebih dari yang diperlukan.Penelope melangkah masuk bersama Fernando dan timnya. Seperti biasa, wanita itu tampil memesona dengan gaun formal yang membingkai tubuhnya dengan anggun. Senyum tipis menghiasi bibirnya saat matanya langsung tertuju pada Davin.“Selamat siang, Pak Davin.” Suaranya terdengar lembut, tapi ada nada ketertarikan yang tak berusaha ia sembunyikan.“Selamat siang, Bu Penelope
Davin tidak perlu bertanya untuk tahu bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Sejak mereka keluar dari restoran setelah pertemuan bisnis dengan Penelope, ekspresi Naura berubah. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, dan Davin tidak akan membiarkan itu berlarut-larut.Begitu sampai di rumah, Davin turun lebih dulu, lalu berjalan ke sisi pintu mobil dan membukakannya untuk Naura. Dengan lembut, ia membantu sang istri turun dan mendorong kursi rodanya masuk ke dalam rumah.Naura tetap diam.Davin menghela napas. Setelah mereka tiba di ruang keluarga, ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya duduk berhadapan dengan istrinya.“Sayang,” panggil Davin lembut.Naura tidak merespons.Davin menatapnya dalam-dalam. Ia menyentuh jemari Naura dan menggenggamnya erat. “Kamu mau cerita sesuatu?” tanyanya pelan.Naura masih tidak mengatakan apa pun.Davin menarik kedua alisnya. “Sayang, aku tahu ada sesuatu yang mengganggumu. Aku bukan orang bodoh yang bisa dibohongi dengan diam seperti