Davin berdiri di depan pintu apartemen Naura, tangannya gemetar saat menekan kata sandi apartemen itu. Begitu pintu terbuka, udara dingin menyambutnya, seolah menegaskan bahwa tempat itu tak berpenghuni. Ia melangkah masuk perlahan, matanya langsung menyapu ruangan.Tidak ada yang berubah. Sofa di ruang tamu masih tersusun rapi. Vas bunga di meja masih berisi bunga-bunga kering. Barang-barang Naura dan ibunya masih ada di tempatnya, utuh. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, tapi juga tidak ada tanda-tanda pengosongan. Davin berhenti di tengah ruangan, memejamkan mata. Dadanya terasa sesak, pikirannya berputar liar.“Sayaaang…. Kamu benar-benar pergi tanpa membawa apa-apa,” gumamnya lirih.Tangannya gemetar saat meraih salah satu bantal di sofa, mendekapnya erat. Hidungnya mencium aroma samar yang masih tertinggal, aroma parfum Naura. Tanpa sadar, air matanya mengalir. Hatinya hancur membayangkan perempuan itu pergi hanya dengan pakaian di badan, entah ke mana, entah dalam keadaan sepe
Setelah satu jam menjalani perawatan di rumah sakit, kelopak mata Davin mulai terbuka perlahan. Wajahnya pucat, dan sudut matanya masih basah oleh air mata yang belum sempat kering. Di samping tempat tidurnya, Bram tetap setia duduk, mengawasi dengan cemas setiap perubahan ekspresi Davin."Syukurlah, Pak Davin sudah sadar," ucap Bram dengan nada lega, meski hatinya masih berat melihat kondisi atasannya yang begitu rapuh. "Sepertinya Bapak sangat kelelahan."Davin hanya diam, memandang langit-langit ruangan dengan tatapan kosong. Namun air matanya terus mengalir, membasahi bantal di bawah kepalanya. Bram menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum melanjutkan."Biarlah Naura menjadi urusan saya untuk sementara waktu, Pak. Saya janji, Pak Davin, saya akan membawa Naura kembali," sambung Bram dengan penuh keyakinan, mencoba menyuntikkan semangat kepada Davin, meskipun dirinya sendiri dilanda kekhawatiran.Sebagai tangan kanan Davin selama puluhan tahun, Bram mengenal Davin
"Bisa-bisanya aku tidak mengetahui hartaku dikuras seperti ini!" ucap Laura penuh emosi. Selain dikhianati oleh pria yang dia cintai, Laura juga merasa sudah tertipu habis-habisan. Sebagian harta peninggalan mendiang suami pertamanya telah dikuras habis oleh lelaki yang selama beberapa tahun belakangan ini sangat dia cintai."Saya juga tidak pernah menyangka beliau akan sekejam ini, karena selama ini beliau terlihat begitu mencintai Anda, Nyonya," ujar tangan kanan Laura dengan nada menenangkan."Hubungi dia sekarang! Aku ingin bicara dengannya. Aku ingin semua urusannya segera selesai!" perintah Nyonya Laura tegas."Baik, Nyonya," jawab tangan kanannya, lalu beberapa kali mencoba menghubungi Tuan William. Namun, tak sekalipun panggilan itu dijawab oleh pria tersebut."Maaf, Nyonya. Tidak diangkat oleh beliau," ujarnya dengan ragu."Brengsek! Dia mau main-main denganku rupanya! Tunggu saja pembalasanku! Kalian berdua akan merasakan sakit lebih dari yang aku rasakan!" ucap Laura penuh
Anna berdiri di depan cermin besar di kamar mewah tempatnya menginap, memastikan setiap detail penampilannya sempurna. Gaun malam berwarna merah dengan potongan leher rendah membingkai tubuh rampingnya, menonjolkan kulit putih bersihnya yang tampak bercahaya di bawah lampu. Gaun itu pas di tubuhnya, membalut lekukannya dengan elegan, sementara belahan di sisi kiri memperlihatkan kaki jenjangnya setiap kali ia melangkah. Rambut panjangnya dibiarkan terurai dengan gelombang alami, membingkai wajah cantiknya yang telah dihias riasan natural namun memikat. Bibir merahnya, serasi dengan warna gaun, menjadi titik perhatian yang sulit diabaikan.Ia melirik jam di pergelangan tangannya. Tuan William sudah berada di restoran bersama klien bisnisnya. Dengan napas panjang, Anna mengambil tas kecil berwarna perak yang senada dengan high heelsnya, lalu keluar dari kamar hotel.Dia melangkah menyusuri jembatan kayu yang kokoh. Tak jauh dari kamar itu, restoran itu sudah terlihat. Kata William kli
Anna mengurai ciumannya, dan dia mengelus dada saat William menunduk memeriksa dokumennya. Pria itu tak menyadari yang terjadi antara Anna dan Thomas.Thomas menerima dokumen itu, “malam ini, kamu ikut dulu dengan anak buahku ya. Ada pengiriman dalam jumlah besar. Besok pagi sudah kembali ke sini, kok. Setelah makan malam, kamu langsung berangkat!” serunya memberi perintah.Anna memberi anggukan pada Tuan William.“Ok, Thomas,” jawabnya.Mereka pun melanjutkan makan malamnya. Tepat pukul 21.00 Anna sudah berada di sebuah penginapan mewah. Anna dibawa ke sebuah kamar mewah, namun bukan kamar utama.Anna terkejut, karena di sana sudah ada dua wanita lain yang berpenampilan seksi.“Ke–kenapa ada orang, Tuan?” tanyanya.Thomas dibantu pada wanita itu untuk membuka jas kerjanya, “karena malam ini, kalian bertiga harus memuaskanku bersamaan.”Mata Anna nyaris meloncat dari cangkangnya, setelah mendengar ucapan Thomas.“Beliau sudah terbiasa dilayani lima orang sekaligus. Cepat buka bajumu,
Bram menatap Davin dengan cemas. Pria itu baru saja membuka selimutnya dan melepas infus dengan gerakan tergesa, meskipun wajahnya pucat pasi dan tubuhnya terlihat lemah."Pak Davin, Anda mau ke mana?" tanya Bram, mencoba menghentikannya. Bram sangat mengkhawatirkan kondisi Davin, karena dia sudah mengetahui betapa lemahnya kondisi sang atasan.Davin berhenti sejenak, menatap Bram dengan mata yang sayu tapi penuh tekad. "Tolong antarkan aku ke makam ibunya Naura," ujarnya dengan suara lirih nyaris berbisik."Tapi, Pak, kondisi Anda masih lemah," Bram mencoba membujuk. "Sebaiknya Anda istirahat dulu. Lagi pula, semuanya sudah terjadi. Saya janji, begitu kondisi Anda pulih, saya akan mengantarkan Anda ke makam ibunya Naura. Saya bersumpah, Pak."Namun, Davin menggelengkan kepalanya dengan cepat, raut wajahnya berubah penuh emosi. "Aku bilang sekarang! Ya, sekarang!" bentaknya dengan suara serak, membuat Bram terpaku sejenak.Bram menghela napas panjang, menyadari bahwa tidak ada cara un
Bram melangkah keluar dari ruangan Davin dengan wajah tegang. Ia tahu betul tekad sang atasan, dan kali ini tak ada yang bisa menahan Davin untuk pergi.Kota New Capitol, yang menjadi tujuan Davin, memang memiliki hubungan khusus dengan Naura. Kota itu adalah kota impian Naura, tempat yang sering ia bicarakan dengan penuh antusias. Selain itu, letaknya cukup dekat dengan Suncity, negara mereka bertetangga. Logikanya sederhana: jika Naura memang melarikan diri atau mencari perlindungan, kemungkinan besar ia memilih New Capitol sebagai tempat pelarian.Bram segera mengumpulkan delapan orang pilihan yang merupakan tim pengawal pribadi Davin. Mereka adalah orang-orang terbaik, terlatih dalam bela diri, ahli menembak, dan memiliki insting tajam dalam menghadapi situasi darurat. Di ruang khusus di kantor Davin, Bram berdiri di hadapan mereka dengan sikap tegas."Pak Davin akan berangkat ke New Capitol malam ini. Kalian semua akan mendampingi beliau. Pastikan kalian dalam kondisi fit. Senja
“A–aku harus main sama mereka?” tanya Anna.Wanita itu menatap sang mafia mencoba mencari kebohongan atas ucapan pria itu dari binar matanya, namun tak Anna temukan. Thomas sedang sangat serius dengan ucapannya.Tiga pria itu salah satunya mulai menarik Anna masuk dalam pelukannya, namun dia masih meminta jawaban dari sang mafia. Dia tak mau gegabah dalam hal ini, takut kalau dia hanya sedang dijebak oleh Thomas.“Iya.”Di mata Thomas wanita hebat itu adalah wanita yang kuat bermain di atas ranjang atau di mana pun dia menginginkannya. Ada hiburan tersendiri bagi Thomas bila melihat wanita yang ia sukai bersetubuh dengan lebih dari dua pria sekaligus. Akan ada kebanggaan tersendiri di matanya bila wanita itu berhasil membuat ketiga pria tersebut terpuaskan.“Kamu, yakin?” tanya Anna, seakan tak percaya dengan ucapan sang mafia.“Sangat yakin, Anna. Semua istriku juga sering melakukan ini. Aku suka melihat wanita liar, apalagi kalau dia sampai berhasil main dengan tiga orang sekaligus.
Laura dan Penelope melangkah masuk ke dalam supermarket yang cukup besar, hanya beberapa blok dari rumah sementara keluarga Abimanyu. Udara dingin dari pendingin ruangan langsung menyambut mereka, memberikan kesegaran setelah berjalan di bawah terik matahari."Kita beli apa saja, Tante?" tanya Penelope dengan senyum ramah. Wajahnya tampak antusias, seolah benar-benar ingin belajar memasak.Laura melirik daftar belanja yang telah ia buat sebelum berangkat. "Tante akan memasak beberapa menu spesial hari ini. Kita butuh daging sapi, ayam, beberapa jenis sayuran, dan tentu saja bumbu-bumbu dapur," jawabnya sembari mendorong troli.Penelope mengangguk sambil menyesuaikan langkahnya dengan Laura. Dalam hati, ia tersenyum penuh kemenangan. Kesempatan ini adalah jalan terbaik untuk lebih dekat dengan keluarga Davin. Jika ia bisa mengambil hati Laura, maka ia akan punya alasan untuk datang kapan saja ke rumah mereka.Mereka mulai berkeliling supermarket, memilih bahan-bahan dengan teliti. Lau
Davin membawa keluarganya ke sebuah butik eksklusif yang menyediakan berbagai koleksi pakaian anak-anak. Sejak awal memasuki butik, Raka dan Rania terlihat sangat bersemangat, mata mereka berbinar melihat berbagai pilihan pakaian yang tersusun rapi."Wow, Daddy, lihat! Bajunya bagus-bagus banget! Ini keluaran terbaru deh, Nia belum punya!" seru Rania sambil menunjuk salah satu dress berwarna pastel dengan aksen renda yang elegan.Raka yang berdiri di sampingnya juga tak kalah antusias. "Daddy, Aka mau yang ini!" katanya sambil menarik tangan Davin ke arah sebuah jaket keren yang dipajang di etalase.Davin tersenyum, mengusap kepala keduanya dengan penuh kasih sayang. "Tentu saja, Sayang. Tapi kita harus pilih yang cocok untuk kalian berdua. Meskipun kalian berbeda jenis kelamin, Daddy tetap ingin kalian punya baju yang serasi. Bagaimana kalau kita cari couple outfit?""Keren! Raka mau baju kembaran sama Rania!" sahut Raka penuh semangat.Naura yang berdiri di samping Davin tertawa kec
"Penelope!" balas Laura, memanggil wanita yang menyapanya.Tampak Penelope melangkah mendekati Laura yang sedang duduk di salah satu meja di restoran cepat saji tersebut. Wajahnya terlihat sumringah, senyum lebarnya menghangatkan suasana. Begitu sampai di hadapan Laura, mereka langsung berpelukan erat, seolah-olah melepas rindu yang sudah lama tertahan.Sementara itu, Naura dan Davin yang duduk di sisi lain meja hanya bisa saling berpandangan. Keduanya sama sekali tak menyangka bahwa Laura mengenal Penelope. Naura terutama, masih mengingat dengan jelas bagaimana pertemuan pertamanya dengan wanita itu yang terkesan meremehkannya."Kamu apa kabar, sayang? Makin cantik aja," ucap Laura dengan nada akrab, menyapa anak dari sahabatnya tersebut."Baik, Tante. Tante sendiri gimana? Tante awet muda banget, loh!" balas Penelope dengan nada ceria, matanya berbinar menatap Laura. "Kalau nggak salah, kita bertemu sekitar sepuluh tahun yang lalu ya, Tan? Untung saja Penelope mampir ke restoran ini
Fernando terus menatap ke arah Bram dan Davin yang saat ini sedang berbicara dengan Bruno, pemilik tempat hiburan malam tersebut yang juga merupakan teman baik Fernando. Dari sudut ruangan, Fernando memperhatikan dengan saksama, memperkirakan apa yang sebenarnya mereka bicarakan."Aku tak menyangka mereka suka juga ke tempat yang seperti ini. Aku pikir Davin benar-benar lelaki terbaik. Ternyata semua lelaki sama saja, mana betah kami hanya dengan satu pasangan," ucapnya pada diri sendiri, mendesah pelan sambil mengamati mereka dari kejauhan.Fernando menyandarkan tubuhnya ke kursi, mengaduk minuman di tangannya dengan gerakan lambat. Matanya tidak lepas dari mereka bertiga, terutama Davin. Ada sedikit perasaan tidak percaya dalam benaknya. Selama ini, Davin dikenal sebagai pria yang setia dan tidak tertarik dengan tempat hiburan. Namun, kenyataan di depan matanya menunjukkan sesuatu yang berbeda.Sementara itu, di sudut tempat hiburan tersebut, Davin dan Bram sedang berbicara serius
"Apa semuanya sudah sesuai dengan yang kamu rencanakan?" tanya Penelope pada Fernando, sambil meliriknya dari sofa mewah berlapis beludru merah yang sedang didudukinya.Tangannya yang ramping menggenggam gelas anggur, menggoyangkan cairan merah di dalamnya dengan gerakan anggun. Cahaya lampu kristal di ruang tamunya yang luas memantulkan kilauan di permukaan gelas, menciptakan bayangan berkilau di meja kaca di depannya.Fernando berdiri tegap di dekat rak buku yang dipenuhi koleksi bacaan mahal dan beberapa lukisan klasik yang sengaja dipajang sebagai simbol kemewahan. Mata pria itu menatap tajam pada atasannya, memastikan tidak ada keraguan dalam Suaranya saat ia menjawab."Sudah, Bu. Anda tenang saja, semuanya sudah saya atur," jawab Fernando tanpa ragu sedikit pun.Penelope menyandarkan tubuhnya, menyilangkan kakinya dengan gerakan lambat dan sensual. Senyuman tipis tersungging di bibir merahnya yang sempurna. Dia menikmati permainan ini, sebuah permainan yang dirancangnya sendiri
"Kamu kenapa, Sayang? Masih khawatir aku ketemu dengan Penelope? Makanya ayo ikut," ajak Davin saat wajah istrinya terlihat sendu, menatapnya yang sedang bersiap pergi untuk penandatanganan proyek besar Abimanyu Group di kota ini.Naura menggeleng. Untuk datang? Tentu dia tidak mungkin punya mental yang kuat, apalagi setelah Penelope menatapnya dengan tatapan seakan mengejek kondisinya yang seperti ini. Naura menjadi insecure."Nggak apa-apa kok," jawabnya, tapi sorot matanya tentu tidak membuat Davin percaya begitu saja pada sang istri.Pria itu mendekati Naura, lalu berjongkok di depan kursi roda sang istri. Dengan lembut, ia mengecup punggung tangan wanita yang sangat dia cintai. Bahkan, rasa cintanya sejak dulu hingga kini tidak berubah sama sekali."Aku tahu, di luar sana banyak sekali perempuan jahat. Tapi tidak semua laki-laki menyambut dengan baik wanita yang seperti itu. Laki-laki yang baik akan memilih perempuan yang baik pula. Laki-laki yang tidak baik mungkin akan tergoda
"Kenapa sih, Mama nggak pernah berubah? Semua keputusan harus kemauan Mama! Kenapa seperti ini? Kalau memang Bram tidak mau menikah lagi, ya sudah, Bram nggak akan menikah!"Bram menatap sang Mama dengan rahang mengeras. Hatinya semakin sesak karena merasa tidak pernah diberi kebebasan menentukan hidupnya sendiri."Bram janji, Angelica tidak akan pernah kekurangan kasih sayang. Lagian, Lidya masih jadi pengasuhnya. Nanti, lama-lama Angelica juga akan tahu kalau Lidya itu hanya seorang pengasuh, hanya seorang ibu susu, bukan ibu kandungnya. Bram nggak mau ada orang yang menggantikan posisi Dinda di hati Angelica dan di hati Bram."Bram menghela napas berat. Matanya yang tajam menatap Laura dengan sorot penuh keteguhan."Sekarang terserah Mama. Yang jelas, sekuat apa pun Mama membujuk Bram untuk menikah lagi dan mencarikan jodoh, itu tidak akan pernah terjadi! Bram tidak ingin menikah lagi!" ucapnya tegas.Hening sejenak. Laura masih ingin membantah, tetapi Bram tidak memberinya kesempa
Bram melangkah santai menuju ruang keluarga Davin. Begitu sampai, ia mendapati kedua keponakannya, Raka dan Rania, tengah duduk di meja belajar kecil mereka. Buku-buku terbuka di hadapan mereka, sementara pensil warna-warni berserakan di atas meja. Sesekali, mereka tampak berdiskusi satu sama lain, wajah mereka serius, tetapi tetap menggemaskan di mata Bram.Senyuman kecil terukir di wajah pria itu. Meskipun jauh dari rumah mereka yang sebenarnya, Raka dan Rania tetap terlihat bahagia. Bram bangga melihat mereka tumbuh menjadi anak-anak yang mandiri dan ceria.Tanpa menunggu lebih lama, ia pun berjalan mendekat, lalu menjatuhkan diri di sofa dekat mereka. "Lagi sibuk apa nih, dua anak pintar Uncle?" tanyanya dengan nada hangat.Rania menoleh lebih dulu, lalu tersenyum lebar. "Lagi ngerjain PR, Uncle!" jawabnya bersemangat."Iya, PR Matematika," tambah Raka, mengangguk antusias.Bram mengangguk-angguk paham. "Wah, Matematika ya? Dulu waktu Uncle seumuran kalian, Matematika itu pelajar
Davin tiba di rumahnya bersama Bram. Begitu memasuki rumah, aroma khas kayu dan wewangian lembut yang selalu digunakan Naura menyambutnya. Rumah itu terasa hangat, tetapi juga sunyi, seakan ada sesuatu yang kurang.Tatapannya langsung tertuju ke ruang keluarga, tempat Raka dan Rania duduk bersisian di meja belajar kecil mereka. Kedua buah hatinya tampak serius mencoret-coret buku mereka, sesekali berdiskusi dengan suara pelan. Biasanya, di antara mereka ada Naura yang menemani—memberikan bimbingan atau sekadar duduk sambil membaca buku. Tapi kali ini, Naura tidak ada di sana."Loh, Mommy di mana, sayang?" tanya Davin, suaranya penuh keheranan.Rania dan Raka sontak menoleh ke arah sang ayah. Mereka saling berpandangan sebelum akhirnya menjawab dengan kompak. "Di kamar, Daddy."Davin mengernyit. "Kok tumben nggak nemenin kalian belajar? Apa Mommy sakit?" tanyanya lagi, kekhawatiran mulai muncul di benaknya.Sambil menunggu jawaban dari anak-anaknya, ia melambaikan tangan pada pengasuh