Penangkapan Tuan William terjadi di salah satu resor mewah di Kota New Capitol, tempatnya berlibur bersama beberapa kolega. Suasana yang semula damai berubah mencekam ketika beberapa petugas berseragam datang mengepung lokasi. William yang tengah menikmati anggur di balkon vila terlihat terkejut mendapati polisi menghampirinya. "Tuan William, Anda ditangkap atas tuduhan penipuan dan pengalihan aset secara ilegal milik Nyonya Laura Abimanyu. Kami memiliki surat penahanan untuk Anda," ujar salah satu petugas tegas, sambil memperlihatkan dokumen yang telah ditandatangani oleh pengadilan. "Ini pasti salah paham! Saya tidak pernah melakukan hal seperti itu," bantah William dengan nada tinggi, wajahnya berubah merah karena marah dan panik. Namun, para petugas tetap menahan William tanpa memperdulikan penolakannya. Ia digiring keluar dari vila dengan tangan terborgol, sementara para tamu di resor mulai berbisik-bisik, menyaksikan pemandangan yang mencengangkan itu. Beberapa rekan William
Laura duduk di kursi ruang interogasi, tubuhnya gemetar bukan karena lelah, tetapi penuh dengan amarah yang membara. Matanya menatap tajam ke arah William, pria yang dulu ia percayai dengan seluruh hatinya, tetapi kini hanya menyisakan kehancuran. Tangan William terborgol di depan, namun senyum mengejek tetap terukir di wajahnya. Ia sama sekali tidak menunjukkan penyesalan, justru semakin menyulut kemarahan Laura."Seluruh hidupku, semua yang aku punya, sudah aku berikan padamu, William! Tapi apa balasan yang kudapat? Kau rampas semuanya! Tidak hanya harta, tetapi juga kehormatanku. Kau cabik-cabik hatiku seolah itu tidak berharga!"William mendengus kecil, mengangkat bahu dengan sikap meremehkan. "Harusnya kau sadar, Laura. Kau itu egois. Kau ingin semuanya berjalan sesuai kehendakmu. Kalau hidupmu hancur, itu salahmu sendiri."Laura menggertakkan giginya, menahan diri agar tidak meledak saat itu juga."Aku? Egois? Harusnya kau suruh perempuan brengsek itu bercermin! Dia seharusnya
Mereka membawanya dengan paksa, mencampakkannya di tempat asing, dan merenggut rasa aman yang selama ini ia miliki. Naura hanya bisa menggenggam perutnya yang kian membesar, berdoa agar bayi-bayi di dalam rahimnya tetap selamat meski dirinya hancur secara fisik dan emosional. Suara tangisnya begitu lirih ketika ia mencoba menceritakan kejadian mengerikan itu kepada Davin. “Mereka mengambil uangku… mereka membawaku ke sini… dan membuangku di jalanan. Aku takut,” isaknya, dengan suara bergetar. Para preman itu berhasil menemukan Naura, ketika Naura berniat bersembunyi di kota paling dekat dengan Sun City.Naura juga mendengar, Nyonya Laura meminta para preman itu membawa Naura menjauh dan memastikan hidup Naura mengenaskan.Salah satu gerombolan preman itu berkhianat, dan mengizinkan Naura pergi saat rekannya terlelap. Hingga Naura harus menjadi gelandangan dan makan dari makanan bekas yang sudah di buang ke tong sampah.Davin memeluknya erat, seolah-olah ingin melindungi Naura dari s
Davin tak pernah melepaskan pandangannya dari tubuh Naura yang terbaring lemah di atas ranjang hotel. Wanita itu telah tertidur, tapi wajahnya yang dipenuhi luka membuat hati Davin terasa hancur. Tubuhnya yang kurus, tangan dan kakinya yang penuh bekas luka gores, menjadi bukti penderitaan yang dialami Naura selama tiga bulan terakhir. Bahkan wajah cantiknya kini dihiasi bekas luka yang sulit hilang, seolah menjadi pengingat kejamnya dunia terhadap wanita yang ia cintai.Pandangan Davin terhenti pada pergelangan tangan Naura. Bekas ikatan tali yang dalam masih terlihat jelas, seperti mencengkeram hatinya erat-erat."Bagaimana bisa seseorang sekejam itu kepadamu, sayang?" pikir Davin dengan amarah yang membakar dada. "Demi Tuhan, aku bersumpah akan membalas semua ini. Mereka tidak akan pernah lepas dari tanganku!"Ia mengusap wajahnya yang basah oleh air mata, mencoba menenangkan dirinya. Namun, setiap kali ia memandang Naura, luka yang terlihat seperti berbicara, berteriak meminta ke
Davin menggenggam erat tangan Naura saat dokter kandungan mulai memeriksa perutnya menggunakan alat USG. Wajahnya tegang, sementara Naura hanya bisa tersenyum tipis untuk menenangkannya."Sayang, tenang. Aku nggak apa-apa," ucap Naura pelan, mencoba meyakinkan Davin meski ia sendiri merasa sedikit gugup."Aku cuma nggak mau ada apa-apa sama kamu, sayang" jawab Davin cepat sambil mengusap punggung tangan Naura. "Aku nggak bisa lihat kamu lemah begini."Dokter tersenyum menenangkan. "Santai saja, Bu Naura, Pak Davin. Mual-mual di trimester pertama hingga awal trimester kedua itu biasa, apalagi kalau kondisi tubuh sedang sensitif. Sekarang mari kita lihat kondisi bayi," ujarnya sambil memulai pemeriksaan.Ruangan menjadi sunyi sejenak, hanya suara alat USG yang terdengar. Beberapa detik kemudian, suara detak jantung kecil memenuhi ruangan. Naura langsung memejamkan mata, air matanya jatuh begitu saja."Itu... mereka?" bisiknya sambil melirik layar monitor."Iya, Sayang. Itu anak-anak kit
Nyonya Laura duduk di ruang kerjanya yang luas, jari-jarinya menggenggam gelas kristal berisi wine merah. Matanya yang tajam menatap kosong ke arah jendela besar yang memperlihatkan pemandangan malam kota West Country. Namun, pikirannya tidak berada di sana. Amarah yang membara di hatinya membuat tangannya sedikit gemetar saat ia meneguk minuman itu.“Wanita sialan itu...! Berani-beraninya dia masuk ke dalam hidup Davin!” geramnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.Ia meletakkan gelasnya dengan kasar di meja marmer di depannya, lalu menunduk untuk memungut ponsel yang sebelumnya ia lempar ke lantai. Ponsel itu sudah sedikit retak di bagian sudut, tapi masih menyala. Dengan jemari yang gemetar, ia menekan nomor Clara, wanita yang ia percaya untuk menjadi mata-matanya di rumah Davin.Telepon tersambung setelah nada ketiga.“Halo, Nyonya,” suara Clara terdengar hati-hati di seberang.Tanpa basa-basi, Nyonya Laura langsung meluapkan kemarahannya. “Wanita miskin itu ben
Tangan Davin terulur membuka piyama yang dikenakan Naura, lalu menjatuhkannya sembarangan. Penampilan sang istri ketika hamil justru membuat Davin semakin berhasrat.Dada Naura yang awalnya sudah besar dan menantang, kini semakin besar dan membuatnya selalu ingin menyentuh benda favorit itu. Davin dan Naura sudah mencari posisi hubungan badan yang baik dan aman untuk kedua calon anak mereka yang sedang berjuang di rahim sang ibu.Davin mengangkat tubuh Naura, dan didudukkan di atas meja besar, yang berada tak jauh dari meja rias di kamar mewah itu. Davin mulai meninggalkan jejak kepemilikan di dada sang istri. Sementara tangan Naura, meremas rambut Davin, menandakan kalau dia juga sedang menikmati permainan ini. Davin meminta Naura menaikkan kedua kakinya di atas meja. Dengan posisi Kedua kaki terbuka hingga Davin bisa menikmati bagian intim sang istri secara leluasa. Pria itu berlutut di depan Naura yang saat ini tangannya ada di belakang tubuhnya, dan posisi ini membuat Naura terlih
Satu minggu kemudian, butik terbesar di kota West Country milik Nyonya Laura terbakar habis hingga tak bersisa. Asap hitam masih membumbung tinggi saat tim pemadam kebakaran tiba di lokasi. Bangunan yang dulunya megah, menjadi puing-puing yang berserakan. Api tidak hanya melahap struktur bangunan, tetapi juga koleksi gaun-gaun eksklusif yang bernilai fantastis, milik para pelanggan tetap butik itu. Nyonya Laura, yang datang terlambat setelah diberi kabar, berdiri terpaku di depan reruntuhan, kedua matanya merah karena menahan amarah dan tangis."Bagaimana ini bisa terjadi?" jeritnya, suaranya bergetar. Ia menoleh ke arah manajer butik yang terlihat sama hancurnya. "Kenapa tidak ada yang menjaga? Kenapa sistem keamanan tidak berfungsi?"Manajer butik itu hanya bisa menunduk dengan ekspresi penuh rasa bersalah. "Kami belum tahu penyebabnya, Nyonya. Tapi menurut petugas pemadam, kemungkinan terjadi korsleting listrik di ruang penyimpanan.""Korsleting?" seru Nyonya Laura dengan suara y
Daniel Dominic Montgomery dan Darren Damian Montgomery adalah nama yang dipilih oleh kedua orang tua mereka dan sudah disepakati oleh keluarga untuk si kembar. Kedua bayi itu kini berada di ruang perawatan sang Mama. Setelah dilahirkan kemarin, mereka sempat dibawa ke ruang perawatan bayi, tetapi pagi ini mereka sudah dipindahkan ke ruang perawatan Rania. "Selamat ya, Nia! Aku senang banget akhirnya punya keponakan," ucap Raka. "Untung saja wajahnya kayak kamu," tambahnya lagi sambil melirik ke arah sang adik ipar yang usianya jauh di atasnya. Edward hanya tersenyum mendengar ucapan iparnya. "Kamu kapan menyusul, Raka?" tanyanya. "Menyusul? Bisa-bisa aku digantung sama Mommy dan Daddy. Pacaran saja nggak boleh, apalagi nyusul kalian nikah dan punya anak. Mommy bisa mati berdiri," kata Raka sambil melirik ke arah sang Mommy. "Bener kan, Mom?" tanyanya lagi. "Bukan cuma digantung, tapi Mommy akan ikat seluruh tubuh Raka biar nggak bisa bergerak," jawab Naura, membuat seluruh or
Sementara itu, di dalam mobil, Rania terus menangis. Tangannya mencengkeram erat kursi, napasnya terengah-engah menahan rasa sakit yang begitu menyiksa. Perutnya terasa melilit hebat, sakit yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Setiap gelombang kontraksi yang datang membuat tubuhnya menegang, dan air mata semakin deras mengalir di pipinya."Sabar ya, sayang… sabar… kita sebentar lagi sampai," ucap Edward, suaranya bergetar, namun ia berusaha tetap tenang untuk istrinya. Tangannya terulur, mengusap kening Rania yang penuh peluh. Ia ingin melakukan sesuatu untuk mengurangi rasa sakit istrinya, tetapi ia tahu tidak ada yang bisa benar-benar membantu selain memastikan mereka segera tiba di rumah sakit.Rania menggigit bibirnya, tubuhnya sudah mulai gemetar. "Sakit, sayang… sakit banget…" ucapnya dengan suara lemah, hampir seperti bisikan. Air ketubannya sudah pecah sejak beberapa menit yang lalu, dan kini darah mulai keluar, membasahi pahanya hingga betisnya.Melihat kondisi itu, E
"Bagaimana kalau kita menikah bulan depan saja?" tanya Bram tiba-tiba, menatap Monica dengan penuh harapan.Mereka sedang duduk di balkon kamar Monica. Awalnya, Bram berencana menemani Angelica di kamar ibunya karena gadis kecil itu ingin tidur bersama sang nenek. Namun, Laura tampaknya memahami situasinya dan justru menyuruh Bram untuk menemani Monica.Monica tersenyum lembut, tatapannya penuh kehangatan. "Aku ikut saja, sayang. Terserah kamu mau kapan, aku siap," jawabnya tulus. "Aku bahagia banget akhirnya Angelica mau menerima kehadiranku."Bram merasakan haru menyelimuti hatinya. Ia lalu meraih Monica ke dalam pelukannya, mendekapnya dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih, sayang. Terima kasih juga karena sudah mau menerima pernyataan cinta dari seorang duda beranak satu," ucapnya dengan suara lembut.Monica tersenyum dan membalas pelukan itu. "Aku mencintaimu, Bram. Statusmu tidak pernah menjadi masalah untukku," bisiknya.Bram mengusap pelan punggung calon istrinya. "Tapi aku
Naura menghela napas panjang, matanya masih terlihat menerawang, seolah pikirannya belum bisa benar-benar menerima kenyataan yang baru saja terjadi. “Aku nggak pernah menyangka kalau Angelica bisa langsung menerima Monica sebagai calon Mama barunya,” ucapnya lirih, suaranya terdengar masih dipenuhi rasa haru.Saat ini, dia sudah berada di kamar bersama suaminya, Davin. Malam di London terasa lebih dingin dari biasanya, tetapi suasana hati Naura jauh lebih hangat setelah melihat kebahagiaan di wajah keponakannya tadi.Davin yang tengah bersandar di kepala ranjang ikut tersenyum, meskipun ada sedikit keterkejutan di matanya. “Iya, sayang. Aku juga tidak menyangka kalau Angelica secepat itu menerima kehadiran Monica. Aku pikir tadi, saat dia mencium foto Mamanya, dia tidak akan mau Mamanya digantikan oleh siapa pun.”Naura mengangguk pelan, memahami perasaan yang mungkin sempat berkecamuk di hati Angelica. Ia tahu betul seberapa besar gadis kecil itu mencintai sosok ibunya, meskipun tak
Angelica masih sibuk menyapa teman-temannya satu per satu dengan wajah ceria. Senyumnya terus mengembang, mencerminkan kebahagiaan yang begitu tulus. Sesekali, ia tertawa kecil saat berbincang dengan sahabat-sahabatnya, menikmati momen berharga yang baru pertama kali diberikan oleh sang Papa. Sejak kecil, Angelica memang tidak pernah merasakan pesta ulang tahun sebesar ini, dan melihat banyak orang yang datang hanya untuknya membuat gadis kecil itu merasa begitu istimewa. Bram berdiri bersama ibunya, Laura, serta Monica, sekretarisnya yang selama ini selalu berada di sisinya, mendukung setiap langkahnya dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadinya. Tidak ada banyak orang di sekitar mereka, memberikan kesempatan bagi mereka bertiga untuk berbicara lebih leluasa tanpa ada yang mendengar.Laura menatap putranya dengan penuh arti sebelum akhirnya membuka suara, "Bram, kau benar-benar akan meminta izin pada Angelica untuk menikahi Monica?" Suaranya terdengar tenang, tapi ada sedikit kekh
Waktu terus berjalan, tanpa terasa minggu depan adalah jadwal kelahiran kedua anak Rania dan Edward. Perjalanan panjang yang mereka lalui bersama akhirnya membawa mereka ke titik ini—menanti hadirnya dua buah hati yang akan melengkapi keluarga kecil mereka.Sejak tiga bulan lalu, Rania telah resmi pindah ke Sun City, meninggalkan London untuk membangun kehidupan baru bersama Edward. Edward, yang sejak awal ingin memberikan kenyamanan terbaik bagi istrinya, sudah menyiapkan rumah mewah untuk Rania. Namun, meskipun Rania menerima rumah tersebut dengan penuh rasa syukur, menjelang persalinannya, dia lebih memilih tinggal di kediaman kedua orang tuanya. Bagi Rania, berada di dekat Mommy dan Daddy akan membuatnya lebih tenang.Bisnis butiknya yang kini berkembang pesat tetap berjalan dengan baik meskipun Rania sementara waktu harus istirahat dari dunia fashion. Dia mempercayakan pengelolaan butik itu kepada manajernya, tetapi setiap laporan tetap dikirimkan kepada William, asisten keper
Mereka baru saja turun dari mobil.Davin hanya bisa menghela napas panjang saat melihat Naura dengan cekatan mengambil black card miliknya, seolah kartu itu sudah menjadi milik pribadi istrinya. "Sayang, kamu kan udah punya kartu sendiri," protesnya, meski nada suaranya lebih terdengar seperti pasrah daripada keberatan.Naura hanya tersenyum manis, menggoyangkan kartu itu di depan wajah suaminya. "Tapi kan tetap saja uang suami adalah uang istri, sayang. Uang istri ya uang istri," sahutnya santai. "Apalagi aku mau belanjain anak-anak juga."Davin hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum. Dia tahu, pada akhirnya, apa pun yang ia miliki memang untuk istri dan anak-anaknya tercinta.Sementara itu, Angelica yang sedari tadi sibuk melihat-lihat koleksi sepatu mewah tiba-tiba menoleh pada pamannya. "Uncle, Angelica di-belanjain juga nggak?" tanyanya dengan mata berbinar.Davin menoleh ke arah gadis mungil itu, yang kini menatapnya dengan ekspresi menggemaskan. Wajah Angelica yang c
Davin melangkah masuk ke ruang keluarga apartemen Edward dan Rania, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia baru saja tiba bersama Naura dan Angelica, membawa beberapa koper berisi makanan dan oleh-oleh untuk putri mereka. Belum sempat duduk, Edward sudah menyambutnya dengan senyum lebar.“Duduk dulu, Daddy,” ucap Edward sambil menunjuk sofa di hadapannya.Davin mendengus geli, menatap menantunya dengan ekspresi datar. “Geli kali aku dipanggil Daddy olehmu,” sahutnya, nada suaranya masih terasa tak bersahabat.Naura yang duduk di sampingnya hanya menghela napas, sementara Edward malah cengengesan. “Masak mau dipanggil Paman?” goda Edward.Naura ikut menimpali, “Lagian kamu ini, sayang. Memang sudah sepantasnya menantu memanggilmu dengan sebutan Daddy. Kenapa protes terus setiap sama Edward?”Davin menatap istrinya dengan alis terangkat. “Makin besar kepalanya Edward. Semua dibelain. Heran deh, sama kamu dan Mamaku. Doyan sekali membela laki-laki ini,” ujarnya bercanda.Edward hanya te
Saat Rania dan Edward tiba di sebuah restoran, mereka bertemu dengan seseorang yang sudah lama tidak Rania jumpai."Hai, Andrew! Apa kabar?" sapa Rania dengan ramah, sambil mengulurkan tangan ke arah pria itu.Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh tangan Andrew, Edward dengan sigap menarik tangan istrinya, menjauhkannya dari jangkauan pria lain. Andrew, yang sudah hendak menyambut salam Rania, hanya bisa menarik tangannya kembali dengan ekspresi sedikit terkejut.Rania melirik suaminya dengan kesal. "Kamu apa-apaan sih?" tanyanya, tak habis pikir dengan tindakan Edward yang begitu protektif.Edward menatapnya tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Aku nggak suka ada yang nyentuh-nyentuh istriku, meskipun hanya sekadar salaman," ucapnya tegas.Andrew tertawa kecil melihat sikap Edward yang begitu posesif. "Nggak apa-apa, Rania. Semua pria pasti punya pemikiran seperti suamimu ini. Wajar kalau dia nggak mau istrinya yang cantik dimiliki orang lain," ujarnya santai.Edward langsung meloto