Satu minggu kemudian, butik terbesar di kota West Country milik Nyonya Laura terbakar habis hingga tak bersisa. Asap hitam masih membumbung tinggi saat tim pemadam kebakaran tiba di lokasi. Bangunan yang dulunya megah, menjadi puing-puing yang berserakan. Api tidak hanya melahap struktur bangunan, tetapi juga koleksi gaun-gaun eksklusif yang bernilai fantastis, milik para pelanggan tetap butik itu. Nyonya Laura, yang datang terlambat setelah diberi kabar, berdiri terpaku di depan reruntuhan, kedua matanya merah karena menahan amarah dan tangis."Bagaimana ini bisa terjadi?" jeritnya, suaranya bergetar. Ia menoleh ke arah manajer butik yang terlihat sama hancurnya. "Kenapa tidak ada yang menjaga? Kenapa sistem keamanan tidak berfungsi?"Manajer butik itu hanya bisa menunduk dengan ekspresi penuh rasa bersalah. "Kami belum tahu penyebabnya, Nyonya. Tapi menurut petugas pemadam, kemungkinan terjadi korsleting listrik di ruang penyimpanan.""Korsleting?" seru Nyonya Laura dengan suara y
Di lobby kantor Davin, situasi kacau tak terkendali. Darah segar yang mengalir dari area kewanitaan Naura menjadi pemandangan yang menghantui. Tubuh mungil istrinya yang hamil terkulai lemah di lantai, wajahnya pucat, matanya tertutup rapat. Davin berdiri membatu sesaat, sebelum tatapan matanya yang melotot penuh kemarahan beralih pada sang Mama."Mama sudah kelewatan, Ma!" Davin menggeram, suaranya menggelegar hingga semua orang di lobby terdiam ngeri.Nyonya Laura yang sebelumnya berdiri dengan penuh rasa puas karena berhasil melukai Naura, kini terkejut melihat wajah putranya yang berubah menjadi begitu dingin. Bengis, seolah siap menikamnya kapan saja dia mau. Namun, wanita itu masih mencoba membela diri."Dia pantas mendapatkannya, Davin! Perempuan itu hanya pembawa sial!" seru Nyonya Laura dengan nada tinggi, seolah apa yang dilakukannya benar.Namun, sebelum Nyonya Laura bisa melanjutkan, Davin dengan penuh emosi mendorong tubuh sang mama. Dorongan itu begitu kuat hingga Nyony
Wajah Davin berubah tegang. Ia menghela napas berat, mencoba menenangkan gejolak di dalam dirinya. Ingatan tentang kejadian di lobby tadi membuat dadanya terasa sesak. Ia tahu mendorong Mamanya hingga terluka adalah tindakan yang salah, tetapi dalam keadaan panik seperti itu, ia merasa tak punya pilihan lain. "Baiklah, antarkan aku ke sana," jawab Davin akhirnya, meski ada nada keraguan dalam suaranya. Bram memimpin jalan, sementara Davin mengikuti dengan langkah berat. Lorong-lorong rumah sakit terasa panjang dan dingin, mencerminkan suasana hati Davin yang penuh dengan konflik. Setibanya di lantai paling atas, Bram berhenti di depan pintu sebuah ruangan. "Beliau ada di dalam, Pak," ujarnya pelan. Davin mengangguk, menatap pintu itu dengan tatapan penuh keraguan. Setelah menarik napas panjang, ia mendorong pintu dan masuk. Di dalam ruangan, Nyonya Laura terbaring di tempat tidur, wajahnya terbalut perban. Meski terlihat lemah, sorot matanya tetap tajam saat melihat Davin masuk.
Thomas meraih pakaiannya, dia menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Hasratnya seketika hilang setelah mendapat kabar buruk. Dia menuju ke lantai paling atas, semua anak buahnya menunggu di sana. Tanpa berpamitan pada Anna pria itu melengos pergi begitu saja.Anna berdecak sebal, “belum tuntas main, dia memilih pergi gitu aja. Ya ampun mana aku kebelet banget,” ujarnya kesal. Tak ada orang yang bisa dia mintai tolong, untuk melayani hasratnya itu. Karena semua anak buah Thomas, langsung menuju ruangan khusus di rumah ini.“Huuuuffff menyebalkan. Andai aku tak tinggal di sini, bisa saja aku pergi ke club malam buat bersenang-senang,” gumamnya lagi.**Ruangan remang-remang di lantai atas sebuah rumah megah itu dipenuhi aroma asap rokok yang tebal. Thomas, duduk di kursi kulit besar di tengah ruangan. Tangannya mengetuk-ngetuk meja kayu solid di depannya, sementara wajahnya tampak lebih gelap dari biasanya. Di hadapannya, seorang pria muda, salah satu anak buahnya, berdiri deng
Tak lama kemudian, seorang dokter dan perawat masuk ke ruangan. Dokter dengan tenang mendekati Naura, memeriksa kondisinya sambil berbicara dengan suara lembut, "Bu Naura, coba tenang dulu, ya. Saya akan memeriksa apa yang terjadi."Davin berdiri di samping dokter, memperhatikan setiap gerakan dengan penuh perhatian. Wajahnya tegang, tangannya mengepal erat di samping tubuhnya.Setelah beberapa menit melakukan pemeriksaan, dokter akhirnya berkata, "Pak Davin, Bu Naura, ini hal yang biasa terjadi setelah ibu hamil jatuh. Nyeri ini kemungkinan akibat otot perut yang tegang. Selama beberapa hari ke depan, rasa nyeri mungkin akan datang dan pergi."Davin mengerutkan kening. "Apa itu tidak berbahaya, Dok?"Dokter tersenyum tipis, mencoba menenangkan. "Tidak, selama Bu Naura benar-benar mengikuti saran kami. Yang penting, beliau tidak banyak bergerak. Hanya boleh bangun untuk ke kamar mandi. Selain itu, istirahat total di tempat tidur. Tidak boleh jalan-jalan atau melakukan aktivitas yang b
Dengan mulut terus menggerutu, Davin membuka pintu ruang rawat inap sang istri. Setelah pintu dibuka, pandangannya tertuju pada perawat jaga yang bertugas malam itu."Selamat malam, Pak Davin. Maaf saya mengganggu. Saya ingin memperkenalkan dokter pengganti untuk Ibu Naura, sekaligus untuk melakukan pemeriksaan terakhir hari ini," ujarnya."Ya," jawab Davin datar.Setelah suster mempersilakan dokter itu masuk, betapa kesalnya Davin ketika menyadari bahwa dokter pengganti tersebut adalah Dion, sahabat kecilnya yang kini menjadi dokter kandungan."Loh, kok ada kamu?" tanya Dion, terkejut."Ya, iyalah, istriku yang sakit," jawab Davin ketus.Bukannya marah, Dion malah terkekeh. "Mana istrimu? Aku mau lihat secantik apa sih orangnya yang berhasil membuat seorang Davin Abimanyu tergila-gila padanya."Dion sedikit mendorong tubuh Davin untuk mencari sosok Naura. Begitu pandangannya tertuju pada wanita yang tersenyum kepadanya, wajah Dion langsung berubah. Ia mengenali Naura."Loh, Naura?" s
"Kamu benar-benar sedang membutuhkan uang untuk melunasi hutang-hutang suamimu, bukan?" tanya Nyonya Laura.Lagi dan lagi, petugas ahli gizi di rumah sakit itu terkejut. Dari mana wanita ini bisa mengetahui urusan pribadinya?"Kalau kamu memang ingin hutang itu segera lunas dalam satu kali pembayaran, dan saya juga bisa menjamin hidup kamu dan keluargamu tidak kekurangan apa pun, maka kerjakan apa yang saya perintahkan," tegas Nyonya Laura lagi."Baik, Nyonya. Saya akan melakukannya besok," jawab wanita itu, membuat Nyonya Laura tersenyum puas.Tak lama kemudian, datang empat orang pria bertubuh tinggi besar mendekati Nyonya Laura dan wanita petugas rumah sakit tersebut."Saya harap kamu nggak macam-macam dengan janjimu ini. Karena kalau kamu berbohong, maka kamu akan lenyap dari dunia ini," ancam Nyonya Laura lagi, lalu menyerahkan amplop cokelat berisi segepok uang kepada petugas rumah sakit tersebut.Tunggu saja, Naura. Sebentar lagi kamu lenyap dari dunia ini, Nyonya Laura membati
Setelah tiga hari menjalani pemulihan di rumah sakit, akhirnya hari ini Naura diizinkan pulang. Sejak keluar dari ruang rawat inap, Davin tidak membiarkan istrinya melangkah sedikit pun. Dia menggendong tubuh Naura dengan hati-hati, seolah istrinya adalah sesuatu yang begitu rapuh dan harus dijaga dengan sepenuh jiwa.“Sayang, aku bisa jalan sendiri, kok. Aku nggak selemah itu,” ucap Naura sambil tersenyum kecil di pelukan Davin.Davin memeluknya lebih erat. “Nggak perlu, Sayang. Aku mau kamu benar-benar istirahat. Jalan pun nggak usah. Sekarang, tugasmu cuma diam dan menikmati pelayananku.”Naura terkekeh kecil, merasa begitu hangat dengan perhatian yang ditunjukkan suaminya. “Tapi kan kamu capek kalau terus begini.”“Capekku hilang kalau lihat kamu tersenyum seperti ini. Jadi jangan khawatir, ya.”Naura hanya bisa tersipu, merasa hatinya semakin meleleh oleh kata-kata Davin. Sepanjang perjalanan menuju rumah, Davin tetap memeluknya erat. Sesampainya di rumah, Davin langsung menggen
Daniel Dominic Montgomery dan Darren Damian Montgomery adalah nama yang dipilih oleh kedua orang tua mereka dan sudah disepakati oleh keluarga untuk si kembar. Kedua bayi itu kini berada di ruang perawatan sang Mama. Setelah dilahirkan kemarin, mereka sempat dibawa ke ruang perawatan bayi, tetapi pagi ini mereka sudah dipindahkan ke ruang perawatan Rania. "Selamat ya, Nia! Aku senang banget akhirnya punya keponakan," ucap Raka. "Untung saja wajahnya kayak kamu," tambahnya lagi sambil melirik ke arah sang adik ipar yang usianya jauh di atasnya. Edward hanya tersenyum mendengar ucapan iparnya. "Kamu kapan menyusul, Raka?" tanyanya. "Menyusul? Bisa-bisa aku digantung sama Mommy dan Daddy. Pacaran saja nggak boleh, apalagi nyusul kalian nikah dan punya anak. Mommy bisa mati berdiri," kata Raka sambil melirik ke arah sang Mommy. "Bener kan, Mom?" tanyanya lagi. "Bukan cuma digantung, tapi Mommy akan ikat seluruh tubuh Raka biar nggak bisa bergerak," jawab Naura, membuat seluruh or
Sementara itu, di dalam mobil, Rania terus menangis. Tangannya mencengkeram erat kursi, napasnya terengah-engah menahan rasa sakit yang begitu menyiksa. Perutnya terasa melilit hebat, sakit yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Setiap gelombang kontraksi yang datang membuat tubuhnya menegang, dan air mata semakin deras mengalir di pipinya."Sabar ya, sayang… sabar… kita sebentar lagi sampai," ucap Edward, suaranya bergetar, namun ia berusaha tetap tenang untuk istrinya. Tangannya terulur, mengusap kening Rania yang penuh peluh. Ia ingin melakukan sesuatu untuk mengurangi rasa sakit istrinya, tetapi ia tahu tidak ada yang bisa benar-benar membantu selain memastikan mereka segera tiba di rumah sakit.Rania menggigit bibirnya, tubuhnya sudah mulai gemetar. "Sakit, sayang… sakit banget…" ucapnya dengan suara lemah, hampir seperti bisikan. Air ketubannya sudah pecah sejak beberapa menit yang lalu, dan kini darah mulai keluar, membasahi pahanya hingga betisnya.Melihat kondisi itu, E
"Bagaimana kalau kita menikah bulan depan saja?" tanya Bram tiba-tiba, menatap Monica dengan penuh harapan.Mereka sedang duduk di balkon kamar Monica. Awalnya, Bram berencana menemani Angelica di kamar ibunya karena gadis kecil itu ingin tidur bersama sang nenek. Namun, Laura tampaknya memahami situasinya dan justru menyuruh Bram untuk menemani Monica.Monica tersenyum lembut, tatapannya penuh kehangatan. "Aku ikut saja, sayang. Terserah kamu mau kapan, aku siap," jawabnya tulus. "Aku bahagia banget akhirnya Angelica mau menerima kehadiranku."Bram merasakan haru menyelimuti hatinya. Ia lalu meraih Monica ke dalam pelukannya, mendekapnya dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih, sayang. Terima kasih juga karena sudah mau menerima pernyataan cinta dari seorang duda beranak satu," ucapnya dengan suara lembut.Monica tersenyum dan membalas pelukan itu. "Aku mencintaimu, Bram. Statusmu tidak pernah menjadi masalah untukku," bisiknya.Bram mengusap pelan punggung calon istrinya. "Tapi aku
Naura menghela napas panjang, matanya masih terlihat menerawang, seolah pikirannya belum bisa benar-benar menerima kenyataan yang baru saja terjadi. “Aku nggak pernah menyangka kalau Angelica bisa langsung menerima Monica sebagai calon Mama barunya,” ucapnya lirih, suaranya terdengar masih dipenuhi rasa haru.Saat ini, dia sudah berada di kamar bersama suaminya, Davin. Malam di London terasa lebih dingin dari biasanya, tetapi suasana hati Naura jauh lebih hangat setelah melihat kebahagiaan di wajah keponakannya tadi.Davin yang tengah bersandar di kepala ranjang ikut tersenyum, meskipun ada sedikit keterkejutan di matanya. “Iya, sayang. Aku juga tidak menyangka kalau Angelica secepat itu menerima kehadiran Monica. Aku pikir tadi, saat dia mencium foto Mamanya, dia tidak akan mau Mamanya digantikan oleh siapa pun.”Naura mengangguk pelan, memahami perasaan yang mungkin sempat berkecamuk di hati Angelica. Ia tahu betul seberapa besar gadis kecil itu mencintai sosok ibunya, meskipun tak
Angelica masih sibuk menyapa teman-temannya satu per satu dengan wajah ceria. Senyumnya terus mengembang, mencerminkan kebahagiaan yang begitu tulus. Sesekali, ia tertawa kecil saat berbincang dengan sahabat-sahabatnya, menikmati momen berharga yang baru pertama kali diberikan oleh sang Papa. Sejak kecil, Angelica memang tidak pernah merasakan pesta ulang tahun sebesar ini, dan melihat banyak orang yang datang hanya untuknya membuat gadis kecil itu merasa begitu istimewa. Bram berdiri bersama ibunya, Laura, serta Monica, sekretarisnya yang selama ini selalu berada di sisinya, mendukung setiap langkahnya dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadinya. Tidak ada banyak orang di sekitar mereka, memberikan kesempatan bagi mereka bertiga untuk berbicara lebih leluasa tanpa ada yang mendengar.Laura menatap putranya dengan penuh arti sebelum akhirnya membuka suara, "Bram, kau benar-benar akan meminta izin pada Angelica untuk menikahi Monica?" Suaranya terdengar tenang, tapi ada sedikit kekh
Waktu terus berjalan, tanpa terasa minggu depan adalah jadwal kelahiran kedua anak Rania dan Edward. Perjalanan panjang yang mereka lalui bersama akhirnya membawa mereka ke titik ini—menanti hadirnya dua buah hati yang akan melengkapi keluarga kecil mereka.Sejak tiga bulan lalu, Rania telah resmi pindah ke Sun City, meninggalkan London untuk membangun kehidupan baru bersama Edward. Edward, yang sejak awal ingin memberikan kenyamanan terbaik bagi istrinya, sudah menyiapkan rumah mewah untuk Rania. Namun, meskipun Rania menerima rumah tersebut dengan penuh rasa syukur, menjelang persalinannya, dia lebih memilih tinggal di kediaman kedua orang tuanya. Bagi Rania, berada di dekat Mommy dan Daddy akan membuatnya lebih tenang.Bisnis butiknya yang kini berkembang pesat tetap berjalan dengan baik meskipun Rania sementara waktu harus istirahat dari dunia fashion. Dia mempercayakan pengelolaan butik itu kepada manajernya, tetapi setiap laporan tetap dikirimkan kepada William, asisten keper
Mereka baru saja turun dari mobil.Davin hanya bisa menghela napas panjang saat melihat Naura dengan cekatan mengambil black card miliknya, seolah kartu itu sudah menjadi milik pribadi istrinya. "Sayang, kamu kan udah punya kartu sendiri," protesnya, meski nada suaranya lebih terdengar seperti pasrah daripada keberatan.Naura hanya tersenyum manis, menggoyangkan kartu itu di depan wajah suaminya. "Tapi kan tetap saja uang suami adalah uang istri, sayang. Uang istri ya uang istri," sahutnya santai. "Apalagi aku mau belanjain anak-anak juga."Davin hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum. Dia tahu, pada akhirnya, apa pun yang ia miliki memang untuk istri dan anak-anaknya tercinta.Sementara itu, Angelica yang sedari tadi sibuk melihat-lihat koleksi sepatu mewah tiba-tiba menoleh pada pamannya. "Uncle, Angelica di-belanjain juga nggak?" tanyanya dengan mata berbinar.Davin menoleh ke arah gadis mungil itu, yang kini menatapnya dengan ekspresi menggemaskan. Wajah Angelica yang c
Davin melangkah masuk ke ruang keluarga apartemen Edward dan Rania, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia baru saja tiba bersama Naura dan Angelica, membawa beberapa koper berisi makanan dan oleh-oleh untuk putri mereka. Belum sempat duduk, Edward sudah menyambutnya dengan senyum lebar.“Duduk dulu, Daddy,” ucap Edward sambil menunjuk sofa di hadapannya.Davin mendengus geli, menatap menantunya dengan ekspresi datar. “Geli kali aku dipanggil Daddy olehmu,” sahutnya, nada suaranya masih terasa tak bersahabat.Naura yang duduk di sampingnya hanya menghela napas, sementara Edward malah cengengesan. “Masak mau dipanggil Paman?” goda Edward.Naura ikut menimpali, “Lagian kamu ini, sayang. Memang sudah sepantasnya menantu memanggilmu dengan sebutan Daddy. Kenapa protes terus setiap sama Edward?”Davin menatap istrinya dengan alis terangkat. “Makin besar kepalanya Edward. Semua dibelain. Heran deh, sama kamu dan Mamaku. Doyan sekali membela laki-laki ini,” ujarnya bercanda.Edward hanya te
Saat Rania dan Edward tiba di sebuah restoran, mereka bertemu dengan seseorang yang sudah lama tidak Rania jumpai."Hai, Andrew! Apa kabar?" sapa Rania dengan ramah, sambil mengulurkan tangan ke arah pria itu.Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh tangan Andrew, Edward dengan sigap menarik tangan istrinya, menjauhkannya dari jangkauan pria lain. Andrew, yang sudah hendak menyambut salam Rania, hanya bisa menarik tangannya kembali dengan ekspresi sedikit terkejut.Rania melirik suaminya dengan kesal. "Kamu apa-apaan sih?" tanyanya, tak habis pikir dengan tindakan Edward yang begitu protektif.Edward menatapnya tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Aku nggak suka ada yang nyentuh-nyentuh istriku, meskipun hanya sekadar salaman," ucapnya tegas.Andrew tertawa kecil melihat sikap Edward yang begitu posesif. "Nggak apa-apa, Rania. Semua pria pasti punya pemikiran seperti suamimu ini. Wajar kalau dia nggak mau istrinya yang cantik dimiliki orang lain," ujarnya santai.Edward langsung meloto