Setelah tiga hari menjalani pemulihan di rumah sakit, akhirnya hari ini Naura diizinkan pulang. Sejak keluar dari ruang rawat inap, Davin tidak membiarkan istrinya melangkah sedikit pun. Dia menggendong tubuh Naura dengan hati-hati, seolah istrinya adalah sesuatu yang begitu rapuh dan harus dijaga dengan sepenuh jiwa.“Sayang, aku bisa jalan sendiri, kok. Aku nggak selemah itu,” ucap Naura sambil tersenyum kecil di pelukan Davin.Davin memeluknya lebih erat. “Nggak perlu, Sayang. Aku mau kamu benar-benar istirahat. Jalan pun nggak usah. Sekarang, tugasmu cuma diam dan menikmati pelayananku.”Naura terkekeh kecil, merasa begitu hangat dengan perhatian yang ditunjukkan suaminya. “Tapi kan kamu capek kalau terus begini.”“Capekku hilang kalau lihat kamu tersenyum seperti ini. Jadi jangan khawatir, ya.”Naura hanya bisa tersipu, merasa hatinya semakin meleleh oleh kata-kata Davin. Sepanjang perjalanan menuju rumah, Davin tetap memeluknya erat. Sesampainya di rumah, Davin langsung menggen
“Aku mulai ya, sayang,” pinta Davin pelan.Naura mengangguk, karena dia juga butuh sentuhan lebih dari sekedar pemanasan.Naura mengambil posisi miring ke kiri, satu kakinya naik dan bertengger di bahu pria tersebut sementara kaki lainnya berada di bawah tubuh pria kekar tersebut, Davin mulai memasukkan bagian intimnya ke bagian intim milik Naura, dia mulai bergerak perlahan menghentak Naura secara pelan namun penuh kenikmatan. Tangannya meremas dada sang istri secara bergantian, desahan demi desahan meluncur dari mulut keduanya memenuhi kamar mewah mereka di rumahnya yang baru, meski Naura dalam keadaan hamil namun miliknya masih tetap menjepit milik Davin sehingga membuat pria tampan tersebut terus mendesah dan merancau parau.“Aaaaah, sayaaaaaaaang,” desah Davin. “Iissssssshhh,” ringis Naura.Davin menghentikan gerakannya, “sakit, sayang?” tanya Davin sambil mengusap perut sang istri.“Enaaaaaaak,” jawab Naura parau.Davin mengulum senyum, kembali melanjutkan kegiatan yang membuat
Suster mendekatkan diri, mendengar suara lemah Laura yang bergetar dari ranjangnya.“Suster,” panggil Laura, suaranya nyaris tak terdengar.“Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” tanya suster lembut, menyadari kondisi pasiennya yang terlihat lemah.“Tolong... hubungi anak saya, Davin. Katakan… saya ada di ruang ICU,” ucap Laura dengan susah payah.Suara Laura terdengar sangat lemah, suster sampai harus mendekatkan telinganya ke wajah Laura agar tidak ada hal yang ia lewatkan dari permintaan pasien tersebut. Pihak rumah sakit sangat bersyukur akhirnya Laura bisa melewati masa kritisnya akibat racun yang ia konsumsi, dan pihak rumah sakit juga sangat menyayangkan sekali terjadi hal seperti ini.“Baik, Nyonya. Akan segera saya hubungi,” jawab suster sigap. Suster segera mencatat nomor ponsel Davin, dengan suara bergetar Laura menyebutkan setiap angka yang harus dihubungi oleh suster. Setelah semuanya selesai suster pun mengangguk. Beliau meminta izin untuk keluar sebentar menghubungi Davin
Setelah selesai mandi bersama, Davin mengganti pakaian, sementara Naura duduk di atas ranjang. Ia menyisir rambutnya dengan santai, tetapi Davin terus mengingatkan dengan tegas. “Ingat ya, sayang. Jangan melanggar apapun yang aku pesan. Kamu hanya boleh turun kalau mau ke kamar mandi,” ujar Davin lembut namun serius, seperti seorang komandan yang memberi perintah. Naura tersenyum tipis, merasa sedikit lucu namun juga senang atas perhatian suaminya. “Iya, sayang. Aku nggak akan ke mana-mana. Lagian, semua sudah kamu siapin. Aku mau nonton TV atau apapun juga tinggal klik. Tenang aja, udah, sana pergi ke rumah sakit.” Davin mendekati Naura, mencium kening dan bibir istrinya dengan penuh cinta. Ia bahkan tak lupa mengusap perut Naura yang sudah membesar, seolah sedang berkomunikasi dengan kedua janin kembarnya. “Anak Papa, jangan nakal ya. Sehat-sehat terus. Papa nggak sabar nunggu kalian hadir di dunia ini,” ucapnya, memandang Naura dengan penuh cinta. Setelah memastikan semuanya b
“Pak Davin, saya benar-benar minta maaf pada Anda. Saya tidak bermaksud diam-diam atau menyakiti Mama Anda. Saya tahu saya bersalah, tapi saya hanya ingin memberi pelajaran. Saya hanya mencampurkan sedikit racun itu supaya beliau merasakan bagaimana pengaruh racun itu apabila benar-benar dimakan oleh Naura. Saya tidak habis pikir, beliau tidak pernah berhenti menyakiti Naura dan bahkan tangan cucunya sendiri," ujar Bram dengan nada serius setelah mereka berada dalam satu mobil. Sopir pribadi Davin melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju lokasi pertemuan dengan klien baru mereka.Davin menghela napas panjang. Wajahnya menunjukkan rasa lelah dan frustrasi. “Justru aku harus mengucapkan terima kasih pada kamu, Bram. Kalau bukan karena kamu, mungkin istri dan calon anak-anak kami dalam bahaya. Tapi aku tidak habis pikir, Mama masih berjuang untuk berbuat jahat pada Naura dan juga calon anakku. Sampai kapan Mama akan seperti ini?” jawabnya dengan suara berat sambil menatap kelu
“Pak Davin, selamat datang,” sapa Tuan Alexander, pemimpin dari Immanuel Group, sambil berdiri dan mengulurkan tangannya. Davin segera menghampiri pria paruh baya itu dan menjabat tangannya dengan sopan.“Terima kasih atas kesempatan ini, Tuan Alexander,” balas Davin sambil tersenyum ramah, berusaha untuk tetap profesional meski pikirannya masih terganggu oleh kehadiran Imelda.Setelah memperkenalkan diri secara singkat, Tuan Alexander menunjuk ke arah Imelda. “Oh ya, saya lupa memperkenalkan. Ini adalah putri saya, Imelda. Dia yang akan memimpin proyek ini jika kerja sama kita disepakati.”Davin menoleh ke arah Imelda yang kini berdiri dan mengulurkan tangannya. “Senang bertemu dengan Anda lagi, Davin,” ujar Imelda dengan nada tenang, seolah tidak ada sejarah panjang di antara mereka.Davin menyambut uluran tangan itu tanpa banyak bicara. “Senang bertemu Anda, Nona Imelda,” jawabnya singkat, menjaga nada suaranya tetap netral.Setelah perkenalan selesai, mereka pun mulai membahas int
Beberapa anak buah Thomas segera menarik Anna dengan kasar. Tangannya diikat, dan ia diseret keluar dari ruangan meski ia meronta dan memohon. Wajah Thomas tetap dingin, tanpa sedikitpun rasa iba.Di ruang bawah tanah, Anna dilempar ke lantai kasar yang dingin. Thomas menyusul tak lama kemudian, diikuti oleh beberapa anak buahnya yang membawa alat-alat yang membuat nyali siapa pun ciut.“Mulai sekarang, kau bukan lagi bagian dari tempat ini,” ucap Thomas dengan nada dingin. “Tapi sebelum kau pergi, aku akan memastikan kau mengingat bahwa aku adalah seseorang yang tak boleh kau tantang.”Ia memberi isyarat pada anak buahnya. Mereka mulai memukul, menendang, dan menyiksa Anna tanpa ampun. Jeritannya memenuhi ruang bawah tanah, namun tidak ada yang menunjukkan belas kasihan. Thomas hanya berdiri, menonton dengan ekspresi dingin, seolah itu hanyalah sebuah hukuman yang pantas untuk tindakan nekat Anna.Setelah beberapa saat yang terasa seperti seumur hidup bagi Anna, Thomas mengangkat tan
“Ayo habiskan!” seru Naura sambil melipat tangan di depan dada. Tatapannya tajam seperti ingin membakar dua pria kekar yang saat ini tampak takut pada tumpukan buah mangga muda yang sudah tersaji di meja.Naura bersandar di kepala ranjang mewahnya, tubuhnya terbalut selimut. Perutnya yang membuncit menandakan usia kehamilannya sudah memasuki trimester kedua. Namun, kali ini sang calon ibu tidak sedang santai menikmati waktu, melainkan mengatur strategi untuk memberi pelajaran pada Davin dan Bram.Davin, suaminya, duduk di sofa bersama Bram, tangan kanannya yang sekaligus biang keladi dari kekacauan ini. Keduanya saling bertukar pandang penuh kecemasan. Di hadapan mereka, sepiring besar mangga muda yang sudah dipotong kecil-kecil dan ditemani sambal pedas seolah menertawakan nasib mereka.“Tapi, Sayang, ini terlalu asam untuk kami berdua. Ini kan untuk ibu hamil,” protes Davin dengan wajah memelas, mencoba mencari simpati dari istrinya.Naura hanya mengangkat alisnya, tidak peduli. “Ka
Bryan duduk di kursi empuknya, jari-jarinya mengetuk meja kayu mahoni di ruang kerjanya yang gelap. Matanya tajam menatap ke arah sepuluh anak buah kepercayaannya yang berdiri berbaris di hadapannya. Wajah-wajah mereka menunjukkan keseriusan, siap menerima perintah dari sang pemimpin. Asap cerutu yang terus mengepul dari tangan Bryan menambah suasana mencekam di ruangan itu.“Kalian sudah dengar kabar kekalahan kita, kan?” suara Bryan rendah, namun penuh ancaman. Tatapannya beralih dari satu anak buah ke anak buah lain, seolah menantang mereka untuk menjawab.Salah satu dari mereka, seorang pria bernama Victor, memberanikan diri angkat bicara. “Ya, Tuan. Kami sangat menyesal atas kekalahan ini.”Bryan mendengus. “Penyesalan tidak ada artinya untukku, Victor. Kekalahan ini adalah tamparan keras, dan aku tidak akan membiarkan Davin Abimanyu bersenang-senang dengan kemenangan mereka.” Ia membuang cerutunya ke asbak, lalu bersandar dengan tangan terlipat di dadanya.“Tuan, apa langkah k
Bila Bram sedang sibuk persiapan ke luar negeri, berbanding terbalik dengan Davin. Malam ini adalah malam bahagia untuknya.Davin baru saja selesai mandi ketika ponselnya yang tergeletak di meja nakas berbunyi. Ia meraih ponselnya dan melihat nama pengacara mereka muncul di layar. Mendengar kabar baik yang disampaikan oleh sang pengacara, ekspresinya berubah cerah. Wajahnya penuh antusiasme, dan tanpa berpikir panjang, ia setengah berlari keluar kamar menuju kamar sang Mama.Tanpa Davin sadari, kedua anak kembarnya, Raka dan Rania, yang berdiri tak jauh darinya, langsung mengekor di belakang. Keduanya saling berbisik sambil tertawa kecil, seakan merasa ini adalah petualangan seru di rumah.“Mama! Mama!” Davin berteriak seperti anak kecil, penuh semangat.“Mama! Mama!” si kembar ikut-ikutan memanggil sambil berlari kecil.Davin terlalu fokus dengan pikirannya, tak sadar kalau kedua buah hatinya mengikuti. Raut wajahnya memancarkan kebahagiaan yang meluap-luap, ia tak sabar ingin segera
Davin menatap Bram dengan dahi berkerut, masih mencerna penjelasan kakak tirinya. Situasi ini jelas jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan. “Jadi, Dinda itu… masih istri orang?” tanya Davin dengan nada menuntut penjelasan lebih lanjut.Bram mengangguk pelan, ekspresinya terlihat berat. “Iya, dia masih istri Dimas. Tapi pernikahan mereka hanya status di atas kertas. Tidak ada hubungan suami-istri seperti layaknya pasangan lain,” jelas Bram.Davin menyandarkan tubuhnya ke kursi, kedua tangannya menyilang di dada. “Kenapa mereka sampai seperti itu? Bukannya sudah menikah?”Bram menarik napas panjang, jelas berat menceritakan hal ini. “Dimas itu... pecinta sesama jenis, Vin. Dinda pernah memergoki dia dengan sahabatnya, Herman. Mereka bahkan... berciuman di rumah sakit.”Mata Davin melebar, tangannya hampir menjatuhkan cangkir kopi yang tadi baru ia pegang. “Astaga, jadi selama ini...?”Bram mengangguk. “Iya, selama ini Dimas memanfaatkan Dinda untuk menutupi orientasinya. Dia nggak pern
“Gak usah malu gitu. Lagian kamu udah dewasa wajar sedekat itu dengan kekasihmu. Yang penting tanggung jawab,” ujar satpam itu, karena melihat Andi tampak gugup. Andi mengangguk, berharap tak ada yang curiga kalau merah ini akibat keganasan Laura.Sementara di dalam rumah Raka dan Rani sedang menunjukan kado-kadonya yang diberikan Mommy, Daddy, dan Uncle Bram. Tiga orang itu yang memberikan kado tak kaleng-kaleng buat Raka dan Rania.“Lihatlah nek. Ini dali Mommy dan Daddy. Yang itu dali Uncle Blam. Yeeeeeew.”Keduanya berjingkrak girang. Meski acara buka kado terbilang terlambat tapi mereka puas melihatnya. Bram memberikan dua sepatu roda untuk Raka dan Rania. Satu mobil aki untuk Raka dan satu untuk Rania. Satu motor aki untuk Raka juga satu untuk Rania.Sementara sang Daddy, membelikan gundam dan tang tangan tanos jumlahnya empat. Ukurannya sangat besar dan terpajang di rak kaca. Rania mendapat Barbie keluaran terbaru juga yang besar dan berjumlah empat sesuai usianya.Sementara sa
Hujan deras masih mengguyur, menciptakan suasana dingin dan berkabut di luar vila megah tempat Andi dan Laura berada. Setelah permainan panas yang baru saja mereka lewati, Laura berbaring santai di sofa besar yang empuk. Tubuhnya diselimuti kimono satin tipis yang nyaris transparan, sementara Andi berdiri kaku tak jauh darinya, tubuhnya sama sekali tak tertutup sehelai benang pun. Wajah Andi tampak memerah, bukan hanya karena udara dingin, tetapi juga karena rasa malu yang begitu dalam."Andi, ambilkan ponselku," perintah Laura tiba-tiba, suaranya lembut namun penuh otoritas.Andi menelan ludah, matanya menghindari pandangan langsung ke arah majikannya. "Nyonya, bolehkah saya—""Tidak perlu pakai baju," potong Laura cepat sambil tersenyum tipis, menikmati rasa canggung yang jelas tergambar di wajah Andi.Meski malu, Andi tak punya pilihan selain menuruti perintah itu. Dengan langkah ragu, ia berjalan mengambil ponsel Laura yang tergeletak di meja tak jauh dari sana. Ia menyerahkan p
“Jangan gugup,” kata Laura.Andi jantungnya berdebar kian kencang. Sementara Laura semakin bahagia. Melihat daun muda tentu membuatnya jauh lebih semangat.“Ta–tapi Nyonya, benar kan akan membiayai operasi ibu, saya?” tanya Andi.“Tentu saja benar. Puaskan dulu aku, biar kamu dapat bayaran. Ingan selama kamu berhubungan denganku, jangan sesekali bercinta dengan wanita lain, termasuk kekasihmu. Paham!”“Pa–paham Nyonya,” jawab Andi. “Ya ampun, gini amat nyari uang, aku harus main dengan nenek-nenek. Bahkan aku harus menyerahkan perjakaku padanya. Ibu harus segera pulih, demi Ibu, apapun akan Andi lakukan, Bu,” Andi membatin.Laura menarik tangan sang sopir, mengajaknya menuju kolam air panas. Mereka berdua turun ke dalam. “Kau tak ingin menghisap dadaku hmmmm?” tanya Laura saat keduanya sudah masuk dalam kolam. “Sa–saya-” Andi semakin gugup.“Puaskan aku. Hanya itu yang perlu kamu lakukan. Kalau kau tak mau biar aku pesan cowok lain dari Vila ini!” ancam Laura. “Nanti juga terbiasa,
Menyadari laki-laki muda itu sangat gugup, Laura pun menjauhkan tangannya dari paha pria itu."Apa kamu tidak pernah berhubungan dengan perempuan? Masa sih orang seusiamu mendengar kata-kata saya ini terlihat sangat gugup?" tanya Laura.Andi benar-benar kehilangan konsentrasinya. Dia harus fokus berkendara, namun pikirannya terganggu oleh pertanyaan ambigu yang dilayangkan oleh Laura.Usianya saat ini baru 25 tahun, namun postur tubuhnya yang sangat tinggi dan besar membuat wajah tampannya terlihat lebih tua dari usianya."Kamu yakin belum pernah melakukannya dengan kekasihmu atau perempuan lain?" tanya Laura lagi ketika pria itu benar-benar semakin salah tingkah."Demi Tuhan, Nyonya. Saya tidak pernah melakukan itu dengan siapapun. Saya benar-benar hanya fokus pada penyembuhan ibu saya. Hanya beliau satu-satunya orang yang saya miliki di dunia ini," jawab Andi, semakin membuat Laura tersenyum bahagia."Kalau begitu, aku akan memanjakanmu dengan uang yang aku miliki. Aku akan membelik
"Naura sayang," panggil sang Mama mertua."Ya, Ma," jawab Naura, lalu membuka pintu kamarnya untuk menanyakan apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh sang Mama mertua.Si kembar ikut keluar dan menyembulkan kepala mereka di balik pintu untuk melihat sang nenek. Saat ini, Naura dan si kembar baru saja selesai mandi setelah panen buah di kebun.Bahkan Raka dan Rania tubuhnya masih terlilit handuk, dan rambutnya masih setengah basah."Mama mau pergi sebentar ya, sayang," pamit sang Mama mertua pada Naura. Ia juga mengusap rambut kedua cucunya."Kenapa nenek tidak di lumah saja? Padahal kami mau pamel kado ulang tahun, loh. Nenek jangan pergi ya," bujuk Raka."Iya, nih! Nenek halus temenin kami buka kado!" Rania ikut merengek."Kalau kalian mau ditemani nenek, berarti Mommy yang akan pergi ke kantor. Gimana?" Naura memberi tawaran sambil menaik-turunkan alisnya ketika kedua anak kembarnya menatap ke arah Naura."Oh, tidak bisa, Nyonya!" jawab keduanya kompak, lalu memeluk sang Mommy."Ya udah
Esok harinya, semua sudah berkumpul di meja makan. Naura mengenakan pakaian rumahan, namun sudah wangi dan cantik. Cuti hari ini diberikan langsung oleh sang CEO, dan akan dimanfaatkan dengan baik menemani kedua buah hatinya seharian penuh di rumah.Rania dan Raka melirik menu di atas meja. Ada daging dan salad sayur, serta susu untuk keduanya. Segera mereka mengambil posisi di samping kanan dan kiri sang Daddy.Bram masuk ke rumah itu, dan melayangkan protes saat tempat duduk yang biasa ia tempati diambil oleh Raka.“Minggir,” kata Bram mengusir Raka.Segera Raka berpegangan pada lengan sang Daddy, dan kakinya melilit pada tiang meja.“Iiiih, apaan nih. Dasal tamu tak diundang, tak punya sopan, ya numpang makan di lumah olang,” omelnya.Davin hanya terkekeh, sambil mengecup wajah jagoannya, yang makin hari makin bawel.“Iiih, apaan nih. Dad, tolongin apa anaknya,” kata Raka lagi, saat Bram kembali berniat mengangkat tubuhnya.Laura bergabung dan menjewer Bram hingga membuat Rania dan