“Ayo habiskan!” seru Naura sambil melipat tangan di depan dada. Tatapannya tajam seperti ingin membakar dua pria kekar yang saat ini tampak takut pada tumpukan buah mangga muda yang sudah tersaji di meja.Naura bersandar di kepala ranjang mewahnya, tubuhnya terbalut selimut. Perutnya yang membuncit menandakan usia kehamilannya sudah memasuki trimester kedua. Namun, kali ini sang calon ibu tidak sedang santai menikmati waktu, melainkan mengatur strategi untuk memberi pelajaran pada Davin dan Bram.Davin, suaminya, duduk di sofa bersama Bram, tangan kanannya yang sekaligus biang keladi dari kekacauan ini. Keduanya saling bertukar pandang penuh kecemasan. Di hadapan mereka, sepiring besar mangga muda yang sudah dipotong kecil-kecil dan ditemani sambal pedas seolah menertawakan nasib mereka.“Tapi, Sayang, ini terlalu asam untuk kami berdua. Ini kan untuk ibu hamil,” protes Davin dengan wajah memelas, mencoba mencari simpati dari istrinya.Naura hanya mengangkat alisnya, tidak peduli. “Ka
“Aaaaah, Braaaaam,” desah MariaKarena keduanya sudah diliputi hawa nafsu yang tak bisa dikendalikan lagi, mereka pun mulai permainan ini. Tubuh keduanya telah polos. Nafsu Maria jauh lebih besar dari Bram.Bram benar-benar terhanyut dengan suasana di apartemennya, dan kini Maria mulai memposisikan miliknya untuk memasukkan milik Bram ke dalam bagian intimnya.Maria masih berada di atas pangkuan Bram, lalu wanita itu bergerak alami mengikuti nafsunya yang sudah begitu besar akibat sentuhan Bram, yang lama ia rindukan.Bram pun begitu ia tak sabar ingin menikmati milik Maria yang sempit dan menjepit miliknya, bahkan berkali-kali Bram melenguh karena merasakan kenikmatan yang luar biasa dari milik Maria.Perempuan di atas pangkuannya ini, benar-benar membuat Bram lupa segala.Dia larut dalam permainan panas mereka. Wanita itu terus menaik turunkan bokongnya di atas pangkuan Bram. Meski status keduanya masih singel, nyatanya Maria berhasil melakukan tugasnya layaknya seorang istri.Jarin
Akhirnya berita meninggalnya Anna di sudut kota New Capitol berhembus kencang. Salah satu petugas medis mengenalinya. Lalu melakukan otopsi, dan benar yang meninggal adalah sang selebgram. Jenazah pun sudah dijemput oleh keluarganya dari kota West Country, dan mereka memaafkan segala kesalahan dan kejahatan serta aib yang pernah Anna buat.Di kamar utama, Naura sedang duduk bersandar di sisi ranjangnya, menggenggam erat ponsel di tangannya. Matanya terpaku pada layar, membaca ulang berita yang membuat hatinya terasa perih. Nafasnya tersengal, seolah udara di ruangan itu tiba-tiba terasa begitu berat. "Sayang, ini nggak mungkin... Anna benar-benar sudah nggak ada," ucap Naura dengan suara yang bergetar.Davin, yang sedang duduk di sofa dekat jendela, meletakan semua pekerjaannya dan menatap istrinya. "Tenang, Sayang. Jangan terlalu dipikirkan. Itu cuma berita," jawabnya mencoba menenangkan, meskipun ia tahu berita itu memang benar.Naura menggeleng pelan, air matanya mulai menetes. "A
Bukannya menjauhkan tangannya setelah mendengar bentakan dari Davin, Imelda justru memberi remasan di pangkal paha pria tersebut, hingga berhasil kembali membuat Davin membentak wanita itu.“Imeldaaaaaa!” teriaknya lagi, disusul suara decitan ban mobil di atas aspal. Jalanan itu sangat lengang, karena masyarakat di sana sama sekali tidak pernah menggunakan jalan alternatif tersebut.Meski jarak yang mereka tempuh akan lebih pendek daripada harus mengelilingi kota namun suasana yang sepi dengan pepohonan besar yang sangat banyak membuat masyarakat di sana enggan untuk menggunakan jalan alternatif tersebut sebagai jalan yang layak untuk dilewati.“Daviiiin, pelankan suaramu,” pekik Imelda, “kamu ini kayak orang perjaka saja,” tambahnya kesal.Davin mendengus, “aku bukan Davin yang dulu. Aku sekarang suami orang!” serunya tegas. “Aku pun, istri orang. Jangan lebay deh. Cuma begini doang kamu sok marah, padahal dulu sekali kita main, kamu mau nambah terus. Ayolah, kita ini mantan, beb!”
Entah berapa pria yang sudah wanita ini ajak tidur, termasuk William kakak kelasnya sendiri."Kamu harus benar-benar melayaniku, seperti saat kamu bercinta dengan calon istrimu, karena hanya itulah yang bisa memuaskanku dan membiarkanmu tetap bekerja denganku. Namun, jika kamu seperti patung, maka aku tidak akan pernah merasa puas, aku tidak akan memberimu imbalan apapun, jadi jangan coba-coba bermain setengah hati saat melayaniku. Kamu paham maksudku?" tanya wanita itu berbisik, persis di depan wajah Nicole.“Iya, aku mengerti,” sahut pria itu.Laura membuka kain renda penutup dua gundukan kenyal yang pastinya akan Nicole sukai, karena Laura merawatnya dengan sangat baik.Besar, padat dan menggairahkan, itulah yang dilihat oleh Nicole. Meski sekarang kondisinya sama, Entah kenapa tubuh Nicole menerima dengan baik setiap sentuhan yang dilakukan oleh Laura.Laura berlutut di depan Nicole, lalu menyentuh aset lelaki itu, tak peduli dengan kondisi tubuhnya yang masih lemah, urusan ber
Aku belum pernah melihat benda panjang dan besar seperti punyamu. Terima kasih ya. Aku benar-benar merasa bahagia hari ini, aku puas.Kalimat itu terus terngiang-ngiang dalam telinga Clara. Nyonya Laura berkali-kali mengucapkan terima kasih pada Nicole, membuat pikirannya berputar liar.Sebesar apa milik Nicole? pikirnya.“Apa sih yang sedang aku pikirkan? Ya ampun, kenapa rasa penasaranku begitu besar terhadap milik Nicole?” Clara menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan gejolak rasa ingin tahu yang terus tumbuh.Tadi apa katanya? Nicole sebetulnya sudah punya calon istri dan dia sengaja menjadi budak nafsu Nyonya Laura hanya demi uang? Ya ampun, aku benar-benar ingin melihat ukuran yang sesungguhnya. Clara membatin, tapi buru-buru mengusir pikiran itu."Claraaaaaa!"Teriakan Nyonya Laura dari dalam kamar membuyarkan lamunan Clara. Ia tersentak kaget, lalu melangkah cepat menuju kamar yang ditempati oleh Nyonya Laura.Clara mengetuk pintu kamar dengan sopan."Masuk!" terdengar suara
Davin menghentikan langkahnya ketika dia mendengar sang istri menyebut kata "mantan." Padahal, tadinya Davin hendak menaruh jas kerjanya di keranjang pakaian kotor.“Maksudmu apa, sayang?” tanya Davin dengan suara lembut. Wajahnya mencoba mempertahankan ekspresi tenang meski hatinya mulai menduga sesuatu. Menghadapi Naura selama masa kehamilannya memang menuntut kesabaran ekstra. Hormon ibu hamil yang tidak stabil sering membuat wanita itu mudah tersulut emosi.Naura menatapnya dengan sorot mata tajam. “Jangan pura-pura nggak tahu. Jawab saja pertanyaanku. Bagaimana rasanya bertemu dengan mantan terindah? Senang? Puas? Bahagia sampai tertawa lepas di tempat umum?” Nada suara Naura naik satu oktaf, dan matanya mulai memerah.Davin menghela napas berat, mencoba mengatur emosinya agar tidak terpancing. Ia sudah cukup tahu arah pembicaraan ini.“Katakan, siapa yang sudah menyebar fitnah?” tanya Davin, tetap dengan nada lembut meskipun hatinya mulai mendidih.“Jawab dulu pertanyaanku!” po
Setelah pulang dari rumah utama keluarga Abimanyu, suasana di dalam mobil begitu hening. Davin tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya fokus pada jalan di depannya. Tatapan matanya tajam dan dingin, membuat Naura merasa semakin kecil di kursinya. Wanita itu ingin berbicara, ingin meminta maaf atas tindakannya yang mungkin telah menyakiti Davin, tetapi keberaniannya tidak cukup untuk memecah kebekuan.Davin sengaja bersikap seperti itu. Ia tahu, jika langsung berbicara atau memaafkan Naura begitu saja, sang istri tidak akan belajar dari kesalahan. Apa yang terjadi tadi benar-benar menyadarkan Davin bahwa istrinya terlalu mudah dipengaruhi. Mama Laura jelas-jelas sengaja memprovokasi Naura dengan pesan-pesan penuh racun untuk memisahkan mereka. Tapi Naura, alih-alih mendiskusikannya dengan kepala dingin, malah memilih untuk percaya begitu saja tanpa mencari kebenarannya.Saat mereka tiba di rumah, Davin langsung keluar dari mobil dan masuk ke dalam tanpa menunggu Naura. Ia bahkan ti
Daniel Dominic Montgomery dan Darren Damian Montgomery adalah nama yang dipilih oleh kedua orang tua mereka dan sudah disepakati oleh keluarga untuk si kembar. Kedua bayi itu kini berada di ruang perawatan sang Mama. Setelah dilahirkan kemarin, mereka sempat dibawa ke ruang perawatan bayi, tetapi pagi ini mereka sudah dipindahkan ke ruang perawatan Rania. "Selamat ya, Nia! Aku senang banget akhirnya punya keponakan," ucap Raka. "Untung saja wajahnya kayak kamu," tambahnya lagi sambil melirik ke arah sang adik ipar yang usianya jauh di atasnya. Edward hanya tersenyum mendengar ucapan iparnya. "Kamu kapan menyusul, Raka?" tanyanya. "Menyusul? Bisa-bisa aku digantung sama Mommy dan Daddy. Pacaran saja nggak boleh, apalagi nyusul kalian nikah dan punya anak. Mommy bisa mati berdiri," kata Raka sambil melirik ke arah sang Mommy. "Bener kan, Mom?" tanyanya lagi. "Bukan cuma digantung, tapi Mommy akan ikat seluruh tubuh Raka biar nggak bisa bergerak," jawab Naura, membuat seluruh or
Sementara itu, di dalam mobil, Rania terus menangis. Tangannya mencengkeram erat kursi, napasnya terengah-engah menahan rasa sakit yang begitu menyiksa. Perutnya terasa melilit hebat, sakit yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Setiap gelombang kontraksi yang datang membuat tubuhnya menegang, dan air mata semakin deras mengalir di pipinya."Sabar ya, sayang… sabar… kita sebentar lagi sampai," ucap Edward, suaranya bergetar, namun ia berusaha tetap tenang untuk istrinya. Tangannya terulur, mengusap kening Rania yang penuh peluh. Ia ingin melakukan sesuatu untuk mengurangi rasa sakit istrinya, tetapi ia tahu tidak ada yang bisa benar-benar membantu selain memastikan mereka segera tiba di rumah sakit.Rania menggigit bibirnya, tubuhnya sudah mulai gemetar. "Sakit, sayang… sakit banget…" ucapnya dengan suara lemah, hampir seperti bisikan. Air ketubannya sudah pecah sejak beberapa menit yang lalu, dan kini darah mulai keluar, membasahi pahanya hingga betisnya.Melihat kondisi itu, E
"Bagaimana kalau kita menikah bulan depan saja?" tanya Bram tiba-tiba, menatap Monica dengan penuh harapan.Mereka sedang duduk di balkon kamar Monica. Awalnya, Bram berencana menemani Angelica di kamar ibunya karena gadis kecil itu ingin tidur bersama sang nenek. Namun, Laura tampaknya memahami situasinya dan justru menyuruh Bram untuk menemani Monica.Monica tersenyum lembut, tatapannya penuh kehangatan. "Aku ikut saja, sayang. Terserah kamu mau kapan, aku siap," jawabnya tulus. "Aku bahagia banget akhirnya Angelica mau menerima kehadiranku."Bram merasakan haru menyelimuti hatinya. Ia lalu meraih Monica ke dalam pelukannya, mendekapnya dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih, sayang. Terima kasih juga karena sudah mau menerima pernyataan cinta dari seorang duda beranak satu," ucapnya dengan suara lembut.Monica tersenyum dan membalas pelukan itu. "Aku mencintaimu, Bram. Statusmu tidak pernah menjadi masalah untukku," bisiknya.Bram mengusap pelan punggung calon istrinya. "Tapi aku
Naura menghela napas panjang, matanya masih terlihat menerawang, seolah pikirannya belum bisa benar-benar menerima kenyataan yang baru saja terjadi. “Aku nggak pernah menyangka kalau Angelica bisa langsung menerima Monica sebagai calon Mama barunya,” ucapnya lirih, suaranya terdengar masih dipenuhi rasa haru.Saat ini, dia sudah berada di kamar bersama suaminya, Davin. Malam di London terasa lebih dingin dari biasanya, tetapi suasana hati Naura jauh lebih hangat setelah melihat kebahagiaan di wajah keponakannya tadi.Davin yang tengah bersandar di kepala ranjang ikut tersenyum, meskipun ada sedikit keterkejutan di matanya. “Iya, sayang. Aku juga tidak menyangka kalau Angelica secepat itu menerima kehadiran Monica. Aku pikir tadi, saat dia mencium foto Mamanya, dia tidak akan mau Mamanya digantikan oleh siapa pun.”Naura mengangguk pelan, memahami perasaan yang mungkin sempat berkecamuk di hati Angelica. Ia tahu betul seberapa besar gadis kecil itu mencintai sosok ibunya, meskipun tak
Angelica masih sibuk menyapa teman-temannya satu per satu dengan wajah ceria. Senyumnya terus mengembang, mencerminkan kebahagiaan yang begitu tulus. Sesekali, ia tertawa kecil saat berbincang dengan sahabat-sahabatnya, menikmati momen berharga yang baru pertama kali diberikan oleh sang Papa. Sejak kecil, Angelica memang tidak pernah merasakan pesta ulang tahun sebesar ini, dan melihat banyak orang yang datang hanya untuknya membuat gadis kecil itu merasa begitu istimewa. Bram berdiri bersama ibunya, Laura, serta Monica, sekretarisnya yang selama ini selalu berada di sisinya, mendukung setiap langkahnya dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadinya. Tidak ada banyak orang di sekitar mereka, memberikan kesempatan bagi mereka bertiga untuk berbicara lebih leluasa tanpa ada yang mendengar.Laura menatap putranya dengan penuh arti sebelum akhirnya membuka suara, "Bram, kau benar-benar akan meminta izin pada Angelica untuk menikahi Monica?" Suaranya terdengar tenang, tapi ada sedikit kekh
Waktu terus berjalan, tanpa terasa minggu depan adalah jadwal kelahiran kedua anak Rania dan Edward. Perjalanan panjang yang mereka lalui bersama akhirnya membawa mereka ke titik ini—menanti hadirnya dua buah hati yang akan melengkapi keluarga kecil mereka.Sejak tiga bulan lalu, Rania telah resmi pindah ke Sun City, meninggalkan London untuk membangun kehidupan baru bersama Edward. Edward, yang sejak awal ingin memberikan kenyamanan terbaik bagi istrinya, sudah menyiapkan rumah mewah untuk Rania. Namun, meskipun Rania menerima rumah tersebut dengan penuh rasa syukur, menjelang persalinannya, dia lebih memilih tinggal di kediaman kedua orang tuanya. Bagi Rania, berada di dekat Mommy dan Daddy akan membuatnya lebih tenang.Bisnis butiknya yang kini berkembang pesat tetap berjalan dengan baik meskipun Rania sementara waktu harus istirahat dari dunia fashion. Dia mempercayakan pengelolaan butik itu kepada manajernya, tetapi setiap laporan tetap dikirimkan kepada William, asisten keper
Mereka baru saja turun dari mobil.Davin hanya bisa menghela napas panjang saat melihat Naura dengan cekatan mengambil black card miliknya, seolah kartu itu sudah menjadi milik pribadi istrinya. "Sayang, kamu kan udah punya kartu sendiri," protesnya, meski nada suaranya lebih terdengar seperti pasrah daripada keberatan.Naura hanya tersenyum manis, menggoyangkan kartu itu di depan wajah suaminya. "Tapi kan tetap saja uang suami adalah uang istri, sayang. Uang istri ya uang istri," sahutnya santai. "Apalagi aku mau belanjain anak-anak juga."Davin hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum. Dia tahu, pada akhirnya, apa pun yang ia miliki memang untuk istri dan anak-anaknya tercinta.Sementara itu, Angelica yang sedari tadi sibuk melihat-lihat koleksi sepatu mewah tiba-tiba menoleh pada pamannya. "Uncle, Angelica di-belanjain juga nggak?" tanyanya dengan mata berbinar.Davin menoleh ke arah gadis mungil itu, yang kini menatapnya dengan ekspresi menggemaskan. Wajah Angelica yang c
Davin melangkah masuk ke ruang keluarga apartemen Edward dan Rania, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia baru saja tiba bersama Naura dan Angelica, membawa beberapa koper berisi makanan dan oleh-oleh untuk putri mereka. Belum sempat duduk, Edward sudah menyambutnya dengan senyum lebar.“Duduk dulu, Daddy,” ucap Edward sambil menunjuk sofa di hadapannya.Davin mendengus geli, menatap menantunya dengan ekspresi datar. “Geli kali aku dipanggil Daddy olehmu,” sahutnya, nada suaranya masih terasa tak bersahabat.Naura yang duduk di sampingnya hanya menghela napas, sementara Edward malah cengengesan. “Masak mau dipanggil Paman?” goda Edward.Naura ikut menimpali, “Lagian kamu ini, sayang. Memang sudah sepantasnya menantu memanggilmu dengan sebutan Daddy. Kenapa protes terus setiap sama Edward?”Davin menatap istrinya dengan alis terangkat. “Makin besar kepalanya Edward. Semua dibelain. Heran deh, sama kamu dan Mamaku. Doyan sekali membela laki-laki ini,” ujarnya bercanda.Edward hanya te
Saat Rania dan Edward tiba di sebuah restoran, mereka bertemu dengan seseorang yang sudah lama tidak Rania jumpai."Hai, Andrew! Apa kabar?" sapa Rania dengan ramah, sambil mengulurkan tangan ke arah pria itu.Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh tangan Andrew, Edward dengan sigap menarik tangan istrinya, menjauhkannya dari jangkauan pria lain. Andrew, yang sudah hendak menyambut salam Rania, hanya bisa menarik tangannya kembali dengan ekspresi sedikit terkejut.Rania melirik suaminya dengan kesal. "Kamu apa-apaan sih?" tanyanya, tak habis pikir dengan tindakan Edward yang begitu protektif.Edward menatapnya tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Aku nggak suka ada yang nyentuh-nyentuh istriku, meskipun hanya sekadar salaman," ucapnya tegas.Andrew tertawa kecil melihat sikap Edward yang begitu posesif. "Nggak apa-apa, Rania. Semua pria pasti punya pemikiran seperti suamimu ini. Wajar kalau dia nggak mau istrinya yang cantik dimiliki orang lain," ujarnya santai.Edward langsung meloto