"Apa, Ros? Istri idamanmu seperti Hanin? Nggak salah? Jangan gi la kamu!"
Masih teringat jelas dalam ingatanku saat Mas Eris menjanjikan hal-hal manis pada kedua orang tuaku. Setidaknya, janji-janji manis itulah yang membuat ibuku luluh dan percaya jika calon menantunya itu akan benar-benar membuatku bahagia.
Dia bilang akan menjagaku dengan baik, tak hanya menjaga fisik tapi juga hati. Dia pun berjanji akan membuatku bahagia. Bahkan dia ingin segera memiliki keturunan dariku mengingat usiaku sudah cukup matang untuk menggendong bayi, katanya.
Ibu yang memang begitu mendambakan cucu, langsung mengiyakan begitu saja. Apalagi umurku memang sudah menginjak seperempat abad. Umur yang cukup matang untuk menikah, tapi belum ada lagi laki-laki yang mendekat. Ibu terlalu mengkhawatirkan soal jodoh dan masa depanku setelah penolakanku pada tiga lelaki yang melamarku saat itu.
Aku memang menolak mereka karena tak sesuai dengan isi hati. Bukan karena sok cantik atau apa. Penolakan demi penolakan itulah yang membuat ibu semakin takut jika anaknya tak laku dan menjadi gosip para tetangga sebagai perawan tua. Ibu malu.
Di saat ibu galau tentang nasib anak perempuannya yang sudah seperempat abad, datang Mas Eris dengan keseriusannya. Dia berusaha meyakinkan ibu dan bapak tentang ketulusan, tanggungjawab dan kepribadian baiknya."Saya pisah dengan istri pertama karena diselingkuhi kok, Bu. Bukan karena kdrt atau saya yang selingkuh. Jadi, bukan saya yang bermasalah, melainkan mantan istri saya," ucap Mas Eris kala itu. "Saya ingin serius dengan Hanin, Bu. Makanya saya nggak mau mengajak Hanin pacaran melainkan langsung ke pelaminan," ujarnya lagi masih jelas teringat di benak.Mas Eris terus berusaha membuat bapak dan ibu percaya dengan kata-katanya. Akbirnya, alasan demi alasannya cukup meyakinkan ibu jika laki-laki itu memang cocok untuk anak semata wayangnya, aku. Ibu bilang, lelaki yang diselingkuhi biasanya akan lebih cinta dan setia pada pasangan barunya.Bapak pun terlihat sangat setuju. Apalagi saat bapak tahu hobi Mas Eris juga sama dengannya, main catur. Mereka sering main catur bersama seb
Percakapan Mas Eris, Mas Eros dan ibu membuat hatiku tak karuan. Benci, marah, nelangsa seolah tercampur menjadi satu. Baru hitungan bulan berumah tangga, sudah diterpa masalah yang memusingkan kepala. Benar kata Mas Eros, jika memang saudara kembarnya itu tak mencintaiku, seharusnya dia tak menjadikanku tameng untuk kisah cintanya dengan Mbak Fika. Kenapa harus aku yang dia jadikan korban petualangan cintanya? Gara-gara masalah itu, aku tak bisa tidur semalaman. Obrolan mereka selalu terngiang di pelupuk mata. Sakit sekali rasanya jika mengingat semuanya. Teganya Mas Eris mempermainkan seorang wanita. Padahal jelas dia juga terlahir dari rahim seorang wanita pula. Aku harus segera mencari buku nikah dan kartu keluarga. Keputusanku sudah bulat untuk berpisah dengannya. Daripada semakin nelangsa, lebih baik berpisah secepatnya. Bukankah lebih baik menjanda daripada harus pura-pura bahagia?"Kamu nyari apa, Nin?" tanya seseorang membuatku tersentak. Suara itu cukup mengagetkan. Saat
"Sepertinya ini, Nin. Coba kamu cek isinya," perintah Mas Eros saat mengambil kotak itu dan memberikannya perlahan padaku. Sebuah kotak kayu yang agak berdebu. Perlahan aku membukanya. Benar kata Mas Eros, beberapa berkas penting Mas Eris memang berada di tempat itu, termasuk surat cerainya dengan Mbak Fika, akta nikah dan kartu keluarga juga ada di sana. Semua lengkap, syukurlah. "Aku ambil saja, Mas. Mau kusimpan sendiri," ucapku pada Mas Eros yang masih duduk di kursi. Kuambil akta nikah dan kartu keluarga untuk mengurus gugatan esok lalu gegas kukembalikan kotak itu agar Mas Eros mengembalikannya ke atas lemari. "Terima kasih, Mas," ucapku setelah laki-laki di sampingku meletakkan kotak berdebu itu kembali pada tempatnya.Mas Eros hanya menganggukkan kepala lalu keluar kamar. Kusimpan buku nikah dan kartu keluarga itu ke dalam tas jinjing. Tas yang selalu kubawa ketika bepergian.Aku tak menyangka jika ini adalah jalan akhir yang kutempuh. Menggugat cerai suami, satu hal yang t
Sore ini aku beraktivitas seperti biasanya. Bakda ashar mengajar les matematika di rumah Elisa. Setelah mengajar usai lima menit lalu, aku mampir ke super market untuk membeli keperluan bulanan. Semua memang selalu kulakukan sendirian karena Mas Eris terlalu sibuk dengan dunianya. Jarum jam di tangan nyaris menunjuk angka lima saat aku sampai di halaman parkir super market. Gegas memarkir motor lalu masuk ke super market cukup besar yang tak jauh dari rumah Elisa itu. Baru mengambil keranjang belanja, tiba-tiba mataku menangkap sosok mereka dari kejauhan. Mbak Fika dan Mas Eris tampak ngobrol sesekali tertawa sembari memilih-milih belanjaan. Hatiku mencelos. Ada sesak yang semakin terasa dalam dada lagi dan lagi. Aku tak tahu kenapa harus bertemu dengan mereka di sini. Semakin lama mereka terlihat semakin dekat, seolah tak peduli jika aku benar-benar memergoki kedekatan mereka yang di batas garis wajar. Edo sepertinya juga sangat bahagia melihat ayah dan mamanya kembali bersama.
"Jadi istri kok nggak sopan sama suami!" sentak Mas Eris lagi. "Bukankah ada slogan anda sopan kami segan, Mas? Selama ini kamu sopan nggak? Selama ini kamu menghargai ku sebagai istri apa nggak? Ohya, lupakan saja. Silakan dilanjut, aku juga mau beli camilan sekalian pamit mau menginap di rumah ibu," balasku cepat lalu beranjak meninggalkan mereka begitu saja. "Nin! Kamu mau ke rumah ibu? Mau ngadu maksudmu?" tanya Mas Eris lalu menyekal lenganku tiba-tiba. "Tenang saja, Mas. Aku sudah dewasa dan punya pilihan hidup sendiri. Jadi, nggak ada gunanya mengadu segala." Mas Eris manggut-manggut lalu tersenyum tipis. Dia pasti mengira jika aku akan tetap bertahan pada pernikahan ini dan tak akan mengadukan sikapnya pada ibuku. Sejak dulu dia memang sepercaya diri itu. "Sudahlah, Mas. Kita ke sini mau belanja bulanan, kan? Bukan ngurusin istri keduamu itu? Kasihan Edo sudah menunggu. Biar saja dia pergi ke rumah ibunya," ucap Mbak Fika dengan suara manjanya. Menjijikkan. Bukannya cemb
Weekend kali ini aku sengaja menginap di rumah ibu tanpanya. Mas Eris selalu memiliki banyak alasan saat kuajak ke rumah ibu. Entah mengapa sikapnya mulai berubah setelah pernikahan digelar. Merasa sudah mendapatkan apa yang dia mau lantas mengesampingkan ibu begitu saja. Sifat-sifatnya memang terlihat jelas setelah beberapa hari pernikahan dan kini semakin ketara jika kehadiranku hanya sebagai pelampiasan saja. [Nin, bukannya itu suami kamu sama mantan istrinya? Kok mesra banget ya? Memangnya kamu nggak cemburu mereka jalan berdua semesra itu?] Pesan dari Hana, sahabat satu-satunya yang kumiliki sejak kuliah itu membuatku memejamkan mata beberapa saat. Setelah itu aku baru memberanikan diri untuk mengunduh foto yang dikirimkannya. Seperti biasa, sepertinya dugaanku kali ini juga benar jika Mas Eris dan Fika memang kembali menjalin hubungan. Percuma Mas Eris terus mengelak dan menyangkal tuduhanku jika perbuatan mereka justru membuktikan memang ada hubungan spesial di antara kedua
"Maafkan ibu, Hanin. Ibu terlalu memikirkan ucapan orang-orang tentangmu. Seharusnya ibu tak perlu memusingkan anggapan orang. Mau disebut nggak laku ataupun perawan tua yang penting kamu bahagia. Seharusnya ibu yakin jika jodoh sudah diatur dan kelak di saat yang tepat kamu juga akan dipertemukan dengan belahan jiwamu. Sayangnya ibu terlalu egois yang tak peduli dengan perasaanmu saat itu. Maafkan ibu yang baru menyadari kesalahan-kesalahan itu sekarang setelah semua terlambat." Ibu mulai tergugu, membuat dadaku terasa sesak kembali. "Bu ...." Aku memeluknya. Badan ibu terguncang dengan tangisnya yang makin terdengar. "Kamu anak semata wayang ibu, tapi ibu masih saja nggak memahami apa yang kamu suka dan apa yang kurang kamu suka. Ibu masih saja mau menang sendiri dengan alasan orang tua jauh lebih paham apa yang dibutuhkan anak-anaknya. Maafkan ibu, Hanin. Maaf ibu sudah menjodohkanmu dengan laki-laki yang tak bertanggungjawab itu. Maafkan ibu karena sudah merenggut sebagian masa
"Mas, ibu titip pesan katanya mau bertemu denganmu," ujarku saat menyiapkan sarapan di meja makan. Mas Eris sedikit tersedak saat mendengar ucapanku. Buru-buru kuambilkan segelas air putih untuknya. Mas Eris pun meneguk air bening itu sampai setengah gelas. Sebagai seorang istri, aku masih menyiapkan segala kebutuhan dan berusaha tetap mengurusnya dengan baik meski mungkin tak pernah dianggapnya. Aku tak peduli sebab aku tak mau berdosa jika mengabaikannya begitu saja. Walau bagaimanapun dia masih sah sebagai suamiku dan aku wajib melayaninya. Namun, sejak dia mulai berhubungan dengan Mbak Fika, aku merasa dia mulai menghindar soal ranjang. Lagi-lagi aku tak ingin menuntut. Mungkin Mas Eris pikir aku akan merayunya lebih dulu. Nggak, aku cukup tahu diri. Jika dia tak meminta, itu justru berkah tersendiri buatku. Aku berharap begitu hingga sidang usai. Setidaknya aku tak memiliki anak dari laki-laki pengkhianat sepertinya. "Mau ngapain? Aku sibuk. Ibu bisa menelponku kalau ada hal