Weekend kali ini aku sengaja menginap di rumah ibu tanpanya. Mas Eris selalu memiliki banyak alasan saat kuajak ke rumah ibu. Entah mengapa sikapnya mulai berubah setelah pernikahan digelar. Merasa sudah mendapatkan apa yang dia mau lantas mengesampingkan ibu begitu saja. Sifat-sifatnya memang terlihat jelas setelah beberapa hari pernikahan dan kini semakin ketara jika kehadiranku hanya sebagai pelampiasan saja. [Nin, bukannya itu suami kamu sama mantan istrinya? Kok mesra banget ya? Memangnya kamu nggak cemburu mereka jalan berdua semesra itu?] Pesan dari Hana, sahabat satu-satunya yang kumiliki sejak kuliah itu membuatku memejamkan mata beberapa saat. Setelah itu aku baru memberanikan diri untuk mengunduh foto yang dikirimkannya. Seperti biasa, sepertinya dugaanku kali ini juga benar jika Mas Eris dan Fika memang kembali menjalin hubungan. Percuma Mas Eris terus mengelak dan menyangkal tuduhanku jika perbuatan mereka justru membuktikan memang ada hubungan spesial di antara kedua
"Maafkan ibu, Hanin. Ibu terlalu memikirkan ucapan orang-orang tentangmu. Seharusnya ibu tak perlu memusingkan anggapan orang. Mau disebut nggak laku ataupun perawan tua yang penting kamu bahagia. Seharusnya ibu yakin jika jodoh sudah diatur dan kelak di saat yang tepat kamu juga akan dipertemukan dengan belahan jiwamu. Sayangnya ibu terlalu egois yang tak peduli dengan perasaanmu saat itu. Maafkan ibu yang baru menyadari kesalahan-kesalahan itu sekarang setelah semua terlambat." Ibu mulai tergugu, membuat dadaku terasa sesak kembali. "Bu ...." Aku memeluknya. Badan ibu terguncang dengan tangisnya yang makin terdengar. "Kamu anak semata wayang ibu, tapi ibu masih saja nggak memahami apa yang kamu suka dan apa yang kurang kamu suka. Ibu masih saja mau menang sendiri dengan alasan orang tua jauh lebih paham apa yang dibutuhkan anak-anaknya. Maafkan ibu, Hanin. Maaf ibu sudah menjodohkanmu dengan laki-laki yang tak bertanggungjawab itu. Maafkan ibu karena sudah merenggut sebagian masa
"Mas, ibu titip pesan katanya mau bertemu denganmu," ujarku saat menyiapkan sarapan di meja makan. Mas Eris sedikit tersedak saat mendengar ucapanku. Buru-buru kuambilkan segelas air putih untuknya. Mas Eris pun meneguk air bening itu sampai setengah gelas. Sebagai seorang istri, aku masih menyiapkan segala kebutuhan dan berusaha tetap mengurusnya dengan baik meski mungkin tak pernah dianggapnya. Aku tak peduli sebab aku tak mau berdosa jika mengabaikannya begitu saja. Walau bagaimanapun dia masih sah sebagai suamiku dan aku wajib melayaninya. Namun, sejak dia mulai berhubungan dengan Mbak Fika, aku merasa dia mulai menghindar soal ranjang. Lagi-lagi aku tak ingin menuntut. Mungkin Mas Eris pikir aku akan merayunya lebih dulu. Nggak, aku cukup tahu diri. Jika dia tak meminta, itu justru berkah tersendiri buatku. Aku berharap begitu hingga sidang usai. Setidaknya aku tak memiliki anak dari laki-laki pengkhianat sepertinya. "Mau ngapain? Aku sibuk. Ibu bisa menelponku kalau ada hal
Motor keluar dari garasi lalu mulai melaju perlahan. Hijab yang kukenakan sedikit melambai-lambai tertiup angin. Meski belum genap jam sepuluh pagi, tapi panas sudah terasa begitu menyengat kulit. Jalanan pun mulai padat merayap. Mas Eros membelokkan motornya ke Anggrek Mall lalu memarkirkan motor matic itu di tempat yang sudah disediakan. Saat perlahan beriringan menuju lantai atas, Mas Eros belum jua bicara. Aku pun memilih bungkam sebab tak tahu bagaimana mengawali obrolan. "Kamu-- Kami sama-sama meringis kecil saat tak sengaja mengucapkan kata yang sama. "Kamu duluan aja, Mas. Mau ngomong apa?" tanyaku sedikit gugup. "Kamu duluan. Ladies first," ucapnya singkat dengan senyum tipis. "Kamu mau ngasih kado apa buat bapak dan ibu, Mas?" tanyaku kemudian."Terserah kamu. Kan aku minta tolong kamu yang pilih." "Tapi aku nggak tahu apa yang bagus buat ibu dan bapak. Takutnya nanti nggak suka." "Pilih yang sesuai hatimu. Suka atau nggak, biar itu menjadi urusan ibu dan bapak. Yang
"Kamu nggak apa-apa?" Mas Eros menatapku beberapa saat sebelum mengalihkan pandangan, sementara aku hanya tersenyum tipis. "Nggak apa. Memangnya ada masalah apa, Mas?" "Eris sama Fika." "Bukannya mereka sudah biasa jalan berdua? Aku sudah tak peduli dengan itu kok." Mas Eros mengernyit lalu menarik lenganku. "Kita makan ya? Kamu mau makan apa?" Laki-laki itu kembali tersenyum. "Es krim." "Dasar bocah. Tiap sedih masih saja makan es krim." "Kok tahu?" Aku balik tanya. Sampai sedewasa ini aku memang masih sering beli es krim atau coklat tiap kali galau, pusing ataupun sakit hati. Aku pun heran kenapa Mas Eros bisa tahu aku sering melakukannya hingga detik ini. "Aku sering memperhatikanmu sejak setahun lalu." Jawabannya membuatku tersedak seketika. Aku mengernyit, sementara Mas Eros kembali terkekeh melihat ekspresiku. "Tunggu sini. Aku belikan es krim." Tak menolak, aku pun mengikuti perintahnya. Duduk di kursi yang sudah disediakan lalu membuka beberapa pesan dari Hana. Dia
"Kasihan sekali kamu ya, Nin. Punya suami, tapi dia lebih memperhatikan mantan dibandingkan istrinya sendiri. Saat kesepian, istrinya terpaksa jalan sama ipar. Dia pikir bakal Bersenang-senang eh ternyata justru ditinggal sendirian. Seharusnya kamu sadar diri sih, Nin. Mungkin kamu memang terlalu membosankan, makanya nggak ada lelaki yang nyaman ngajak kamu jalan-jalan. Bahkan suamimu sendiri," ucap Fika sembari memainkan rambut curly-nya. Tanpa permisi, perempuan itu duduk di sampingku begitu saja. Aku masih cuek dan pura-pura tak mendengar ucapannya. Sengaja, supaya dia makin meradang dan kesal melihatku tak menggubris kehadirannya. Detik ini aku masih asyik menikmati es krim yang tinggal separo. "Lihat ini. Dua paper bag berisi dress, sepatu dan make up. Kamu tahu semua ini dari siapa?" tanya Fika dengan suara dan sikap yang sengaja dibuat-buat membuatku sedikit geli bercampur muak. Aku sengaja tak menjawab dan masih tetap cuek."Semua ini dari Mas Eris loh, Nin. Dia memang seper
Saat ini, entah mengapa rasanya hatiku cukup tenang dan lega. Setidaknya aku bisa membalas perlakuan perempuan itu yang selalu merasa lebih dan lebih dibandingkan aku selama ini. Turun dari motor Mas Eros, aku buru-buru mengambil dua surat yang tergeletak di samping gerbang. Beruntung ibu dan bapak belum pulang dari hajatan di rumah temannya, begitupula dengan Mas Eris yang kupastikan masih berusaha menenangkan mantan istrinya yang tengah terbakar emosi. Jadi, aku yang lebih dulu menemukan surat itu."Surat apa itu, Nin?" Mas Eros melirik dua surat yang baru saja kumasukkan ke dalam tas. Aku hanya membalas dengan senyum tipis."Surat nggak penting kok, Mas." Laki-laki itu kembali mengernyit. "Yakin nggak penting?" "Nggak." Aku membalas singkat lalu meninggalkannya di teras rumah. "Nin, kado buat ibu dan bapak kamu yang bawa." Mas Eros mengacungkan kado bermotif batik itu saat aku membalikkan badan."Kok aku yang bawa, Mas. Kamu kan yang beli kadonya. Kalau aku yang ngasih, ibu pas
"Maksud kamu apa bilang begitu, Nin?" tanya Mas Eris kaget. Dari ekspresinya dia jelas tak terima saat aku membenarkan ucapan Mas Eros yang menyebut Fika murahan. Mungkin dia memang lupa atau pura-pura lupa saking bucinnya, padahal dulu dia ditinggalkan Fika demi selingkuhannya. "Hmm ... jangan-jangan saat ini dia juga sedang merayu suami orang untuk jadi teman tidurnya. Kasihan kamu, Mas. Nggak sekalian tanya kamu mendapatkan nomor berapa sebagai teman kencannya?" Aku menjatuhkan bobot di sofa saat melihat keduanya saling tatap dengan wajah memerah. Mas Eros masih menyandarkan tubuhnya di tembok dengan senyum tipis. "Apa kamu bilang?" Mbak Fika menarik hijabku kasar. Kedua laki-laki itu tersentak seketika. Berusaha melerai, tapi aku meminta mereka untuk mundur dan tak ikut campur. Genggaman tangan Mbak Fika semakin kasar, gegas kutarik tangannya lalu kupelintir ke belakang saat dia lengah. Perempuan itu teriak-teriak kesakitan saat tangannya mulai memerah. "Kamu pikir aku akan di
"Mas, boleh minta sesuatu?" tanya Hanin setelah terdiam beberapa saat. Eros begitu setia dan bersabar menunggu Hanin bicara. "Minta apapun boleh, Sayang. Apaa yang nggak buat kamu. Asalkan tak menyalahi aturanNya, InsyaAllah aku berusaha mewujudkan." Eros membingkai wajah istrinya lalu tersenyum tipis."Kita kembali ke makam Tania sebentar saja, boleh? Mumpung masih di sini," tanya Hanin dengan mengedipkan mata seolah memohon agar permintaannya dikabulkan. "Boleh." Eros membalas singkat dengan seulas senyum di kedua sudut bibirnya. "Makasih, Mas." Eros mengangguk lagi. Setelahnya membuka sabuk pengaman Hanin dan mengajaknya turun dari mobil. Sepasang suami istri itu kembali ke tempat semula. Mereka berdiri di depan sebuah makam yang telah berwarna-warni dengan taburan bunga. Hanin dan Eros jongkok di depan makam itu seperti yang dilakukannya beberapa menit lalu. Bulir-bulir bening menetes di kedua pipinya saat mengusap nisan putih itu. Tania Putri Salsabila binti Danang Saputro.
"Hanin, Eros, kalian di sini?" tanya Delima saat melihat Hanin dan Eros di depan makam Tania. Hanin yang masih memejamkan mata sembari merapalkan doa pun mendongak. Dia menatap Delima yang sudah berdiri di sampingnya."Tante Delima ...." Hanin beranjak dari tempatnya berjongkok lalu menyalami Delima, sementara Eros sedikit membungkuk sebagai pengganti jabat tangan. Eros belajar banyak dari Hanin yang tak mau bersentuhan dengan non mahram. "Maafkan saya yang baru datang ke pemakaman Tania, Tante," lirih Hanin setelah kedua perempuan itu mengurai pelukan. Delima mengusap lengan Hanin pelan lalu menggelengkan kepala. "Nggak apa-apa, Nin. Tante tahu kamu baru saja melahirkan. Pamali kalau datang ke pemakaman sebelum masa nifas usai. Hanin mengangguk sembari tersenyum tipis menatap Delima yang berkaca. "Om Danang nggak ikut, Tante?" tanya Hanin setelah menyadari jika Delima datang sendirian ke pemakaman ini. "Papanya Tania ke kantor, ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Kebetulan T
[Assalamualaikum, Bu. Gimana keadaan Tania sekarang?]Sudah tiga kali Hanin mengirimkan pesan yang sama pada ibunya, tapi sampai saat ini belum ada balasan apapun. Eros juga sudah menelepon Eris, tapi tak diangkat bahkan pesannya pun belum dibaca. Hanin dan Eros tak tenang. Mereka curiga ada sesuatu yang tak diinginkan terjadi pada Tania, tapi tak mungkin pergi sekarang karena Arkana baru saja aqiqah dan masih ada beberapa tamu di rumah. "Gimana, Mas?" tanya Hanin pada Eros yang baru masuk ke kamar mereka. Eros menggeleng pelan lalu mengusap lengan istrinya. "Nggak apa-apa, Sayang. Mungkin ibu sama Eris masih menjaga orang tua Tania. Jadi, mereka nggak sempat membuka handphone. Nanti kalau sudah longgar pasti menghubungi kita," ucap Eros dengan senyum tipisnya. Dia berusaha menenangkan Hanin yang terus gelisah. "Eros benar, Nin. Kamu tenang saja. Nanti ibu juga telepon," ucap Desy, kakak iparnya yang masuk kamar sembari menggendong Arkana. Desy tersenyum lalu menidurkan Arkan di
"Tania? Mana Tania, Del?" tanya Yuningsih mengikuti pandangan Delima ke area jalan raya. "Itu, Mbak. Dia tersenyum menatapku," balas Delima lagi. Salah satu jemarinya kembali menunjuk ke arah jalan. "Nggak ada, Del. Tania sudah pergi. Dia kembali ke pangkuanNya, Del. Ikhlaskan kepergiannya ya, supaya dia juga bisa tenang di sana." Yuningsih mengusap lengan Delima lalu kembali memeluknya. "Tania masih ada, Mbak. Dia bilang akan mengajakku dan Mas Danang jalan-jalan ke taman kota. Dia pasti sudah menunggu di rumah kan?" lirih Delima lagi. Air matanya masih bercucuran. Delima benar-benar belum bisa menerima kenyataan jika Tania telah tiada. Delima merasa jika anak angkatnya itu masih ada bersamanya bahkan kini menunggunya di rumah. Berulang kali Yuningsih menjelaskan, berulang kali pula Delima bersikukuh dengan ucapannya. "Tante, Tania sudah pergi. Om dan papa masih mengurus jenazahnya. Nanti kita makamkan bersama ya? Tak apa jika sekarang Tante belum bisa menerima ini semua, tapi k
Dokter Erwin keluar dari UGD. Dia mencari keluarga pasien yang ditanganinya saat ini. Danang dan Delima yang berada tak jauh dari ruangan itu pun saling tatap lalu buru-buru beranjak dari kursi. Mereka melangkah tergesa menghampiri sang dokter. Keduanya tak sabar ingin mendengar penjelasan dokter tentang keadaan Tania saat ini. "Keluarga pasien Tania?" tanya Dokter Erwin saat Danang dan Delima sampai di dekatnya. Sepasang suami istri itu mengangguk bersamaan. "Benar dokter. Kami orang tua Tania. Bagaimana keadaan anak kami, Dok?" tanya Delima sedikit terbata. Dokter Erwin menghela napas panjang lalu menatap Danang dan Delima dengan sorot mata berbeda. Ada mendung di kedua matanya. "Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, Pak, Bu, tapi Allah berkehendak lain," ucap dokter lirih, tapi cukup jelas terdengar. Delima shock. Dia tak sanggup mendengarkan ucapan dokter selanjutnya. Wanita itu menangis histeris. Tubuhnya lemas dan luruh di lantai begitu saja. Danang yang berada di samping
"Ya Allah Tania kenapa, Tante? Padahal tadi tampak bersemangat dan ceria. Kenapa mendadak seperti ini?" Hanin kembali gugup dan terkejut melihat perubahan drastis perempuan di sampingnya. Tania benar-benar tampak lemas dan tak berdaya. "Tania memang begitu, Nin. Dia selalu berusaha kuat dan baik-baik saja makanya selama ini Tante dan Om juga nggak tahu kalau sakitnya sudah separah ini. Dia pintar menyembunyikan semuanya dan tak ingin melihat orang lain kerepotan." Delima mengoles minyak angin di kening Tania, tapi tak ada efek apapun karena Tania tetap terdiam."Maafkan kami, Nin. Kami harus bawa Tania ke rumah sakit," ujar Danang kemudian.Hanin mengiyakan dan mendoakan yang terbaik untuk Tania. Eros dan Eris pun ikut membantu Danang membawa Tania ke mobilnya. Ahmad, Yuningsih dan Eris ikut mengantar Tania ke rumah sakit. Sementara Rukmini dan Eros tetap di rumah menemani Hanin. Bahkan Hana pun ingin menginap di rumah sahabatnya itu."Semoga Tania baik-baik saja," lirih Hanin saat m
Hari ini acara syukuran kelahiran Arkana Bima Atharrazka, anak pertama Hanin dan Eros. Bayi mungil itu tampan dan lucu. Dia begitu menggemaskan, membuat kedua orang tuanya semakin bahagia. Saat ini, dua keluarga berkumpul di rumah Eros, termasuk keluarga kakaknya Dani dari Semarang dan adiknya perempuannya, Ayu. Sejak pernikahan Eros dan Hanin, apalagi setelah Fika masuk penjara, Ayu tak kembali ikut campur masalah Hanin. Mungkin dia malu atau tak enak hati jika terus menghina kakak iparnya itu, apalagi setelah dia tahu jika ternyata kedua kakak kembarnya mencintai orang yang sama. Mereka sama-sama menyukai Hanin, perempuan yang selama ini dibenci dan selalu dihinanya. Bukan tanpa alasan Ayu selalu menyudutkan Hanin di setiap waktu dan kesempatan. Dia selalu berpikir jika Hanin tak pantas menjadi bagian dari keluarganya. "Selamat ya, Nin. Semoga jagoan kecil ini bisa menjadi anak yang shaleh dan sukses dunia akhirat. Mbak mendoakan yang terbaik buat kalian." Desy, istri Dani yang k
Waktu terus bergulir dan kini hari perkiraan lahir tinggal menghitung hari. Hanin mulai kewalahan dengan perutnya yang membesar dan cukup susah untuk digerakkan. Dia sering begadang tiap malam karena susah tidur. Entah mengapa mata susah diajak kompromi. Rasanya nggak nyaman. Miring susah, terlentang nggak enak dan nggak mungkin tengkurap juga kan?Sudah tiga hari belakangan Eros tak memeriksa cafe maupun bisnis ekspedisinya. Dia ingin fokus mengurus dan menemani Hanin jika melahirkan sewaktu-waktu. Eros tak ingin kehilangan momen penting dalam hidupnya. Dia benar-benar berharap bisa menemani dan memberi dukungan pada Hanin saat persalinan nanti. "Istrimu lama sekali di kamar mandi, Ros. Cek sana. Ibu takut dia kepleset atau kenapa-kenapa. Perutnya sudah segede itu soalnya." Rukmini baru saja memerintah. Tak selang lama, suara Hanin dari kamar mandi membuat menantu dan mertua itu shock seketika. "Hanin!" teriak keduanya bersamaan lalu buru-buru lari ke kamar mandi. Benar kata Rukmi
"Hamil?" Hanin menggumam. "Mungkinkah aku hamil? Secepat itu?" lirihnya lagi seolah tak percaya jika dia bisa hamil secepat itu. Rasanya seperti tak mungkin, tapi jika iya, tentu dia sangat mensyukurinya. Hanin buru-buru mencuci muka lalu membuka pintu kamar mandi. Eros sudah menunggu di sana dengan ekspresi cemas. "Kamu nggak kenapa-kenapa kan, Sayang?" ucapnya sembari membingkai wajah Hanin dengan kedua telapak tangan. Hanin tersenyum tipis lalu menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, Mas. Kamu tenang saja ya? Mungkin karena kebanyakan minum air putih saja tadi makanya mual begini." Lagi-lagi Hanin mengusap punggung tangan Eros yang masih menempel di pipinya. "Syukurlah kalau begitu. Kita ke dokter saja ya? Bisa jadi mual-mualmu ini bukan mual sembarangan." "Maksudnya?" Hanin mengernyit. "Iya, mual karena hamil. Coba kamu ingat-ingat, telat nggak datang bulannya?" Eros merangkul sang istri lalu mengajaknya duduk di sofa ruang tengah. Hanin pun berusaha mengingat tanggal haid bulan