"Jadi istri kok nggak sopan sama suami!" sentak Mas Eris lagi. "Bukankah ada slogan anda sopan kami segan, Mas? Selama ini kamu sopan nggak? Selama ini kamu menghargai ku sebagai istri apa nggak? Ohya, lupakan saja. Silakan dilanjut, aku juga mau beli camilan sekalian pamit mau menginap di rumah ibu," balasku cepat lalu beranjak meninggalkan mereka begitu saja. "Nin! Kamu mau ke rumah ibu? Mau ngadu maksudmu?" tanya Mas Eris lalu menyekal lenganku tiba-tiba. "Tenang saja, Mas. Aku sudah dewasa dan punya pilihan hidup sendiri. Jadi, nggak ada gunanya mengadu segala." Mas Eris manggut-manggut lalu tersenyum tipis. Dia pasti mengira jika aku akan tetap bertahan pada pernikahan ini dan tak akan mengadukan sikapnya pada ibuku. Sejak dulu dia memang sepercaya diri itu. "Sudahlah, Mas. Kita ke sini mau belanja bulanan, kan? Bukan ngurusin istri keduamu itu? Kasihan Edo sudah menunggu. Biar saja dia pergi ke rumah ibunya," ucap Mbak Fika dengan suara manjanya. Menjijikkan. Bukannya cemb
Weekend kali ini aku sengaja menginap di rumah ibu tanpanya. Mas Eris selalu memiliki banyak alasan saat kuajak ke rumah ibu. Entah mengapa sikapnya mulai berubah setelah pernikahan digelar. Merasa sudah mendapatkan apa yang dia mau lantas mengesampingkan ibu begitu saja. Sifat-sifatnya memang terlihat jelas setelah beberapa hari pernikahan dan kini semakin ketara jika kehadiranku hanya sebagai pelampiasan saja. [Nin, bukannya itu suami kamu sama mantan istrinya? Kok mesra banget ya? Memangnya kamu nggak cemburu mereka jalan berdua semesra itu?] Pesan dari Hana, sahabat satu-satunya yang kumiliki sejak kuliah itu membuatku memejamkan mata beberapa saat. Setelah itu aku baru memberanikan diri untuk mengunduh foto yang dikirimkannya. Seperti biasa, sepertinya dugaanku kali ini juga benar jika Mas Eris dan Fika memang kembali menjalin hubungan. Percuma Mas Eris terus mengelak dan menyangkal tuduhanku jika perbuatan mereka justru membuktikan memang ada hubungan spesial di antara kedua
"Maafkan ibu, Hanin. Ibu terlalu memikirkan ucapan orang-orang tentangmu. Seharusnya ibu tak perlu memusingkan anggapan orang. Mau disebut nggak laku ataupun perawan tua yang penting kamu bahagia. Seharusnya ibu yakin jika jodoh sudah diatur dan kelak di saat yang tepat kamu juga akan dipertemukan dengan belahan jiwamu. Sayangnya ibu terlalu egois yang tak peduli dengan perasaanmu saat itu. Maafkan ibu yang baru menyadari kesalahan-kesalahan itu sekarang setelah semua terlambat." Ibu mulai tergugu, membuat dadaku terasa sesak kembali. "Bu ...." Aku memeluknya. Badan ibu terguncang dengan tangisnya yang makin terdengar. "Kamu anak semata wayang ibu, tapi ibu masih saja nggak memahami apa yang kamu suka dan apa yang kurang kamu suka. Ibu masih saja mau menang sendiri dengan alasan orang tua jauh lebih paham apa yang dibutuhkan anak-anaknya. Maafkan ibu, Hanin. Maaf ibu sudah menjodohkanmu dengan laki-laki yang tak bertanggungjawab itu. Maafkan ibu karena sudah merenggut sebagian masa
"Mas, ibu titip pesan katanya mau bertemu denganmu," ujarku saat menyiapkan sarapan di meja makan. Mas Eris sedikit tersedak saat mendengar ucapanku. Buru-buru kuambilkan segelas air putih untuknya. Mas Eris pun meneguk air bening itu sampai setengah gelas. Sebagai seorang istri, aku masih menyiapkan segala kebutuhan dan berusaha tetap mengurusnya dengan baik meski mungkin tak pernah dianggapnya. Aku tak peduli sebab aku tak mau berdosa jika mengabaikannya begitu saja. Walau bagaimanapun dia masih sah sebagai suamiku dan aku wajib melayaninya. Namun, sejak dia mulai berhubungan dengan Mbak Fika, aku merasa dia mulai menghindar soal ranjang. Lagi-lagi aku tak ingin menuntut. Mungkin Mas Eris pikir aku akan merayunya lebih dulu. Nggak, aku cukup tahu diri. Jika dia tak meminta, itu justru berkah tersendiri buatku. Aku berharap begitu hingga sidang usai. Setidaknya aku tak memiliki anak dari laki-laki pengkhianat sepertinya. "Mau ngapain? Aku sibuk. Ibu bisa menelponku kalau ada hal
Motor keluar dari garasi lalu mulai melaju perlahan. Hijab yang kukenakan sedikit melambai-lambai tertiup angin. Meski belum genap jam sepuluh pagi, tapi panas sudah terasa begitu menyengat kulit. Jalanan pun mulai padat merayap. Mas Eros membelokkan motornya ke Anggrek Mall lalu memarkirkan motor matic itu di tempat yang sudah disediakan. Saat perlahan beriringan menuju lantai atas, Mas Eros belum jua bicara. Aku pun memilih bungkam sebab tak tahu bagaimana mengawali obrolan. "Kamu-- Kami sama-sama meringis kecil saat tak sengaja mengucapkan kata yang sama. "Kamu duluan aja, Mas. Mau ngomong apa?" tanyaku sedikit gugup. "Kamu duluan. Ladies first," ucapnya singkat dengan senyum tipis. "Kamu mau ngasih kado apa buat bapak dan ibu, Mas?" tanyaku kemudian."Terserah kamu. Kan aku minta tolong kamu yang pilih." "Tapi aku nggak tahu apa yang bagus buat ibu dan bapak. Takutnya nanti nggak suka." "Pilih yang sesuai hatimu. Suka atau nggak, biar itu menjadi urusan ibu dan bapak. Yang
"Kamu nggak apa-apa?" Mas Eros menatapku beberapa saat sebelum mengalihkan pandangan, sementara aku hanya tersenyum tipis. "Nggak apa. Memangnya ada masalah apa, Mas?" "Eris sama Fika." "Bukannya mereka sudah biasa jalan berdua? Aku sudah tak peduli dengan itu kok." Mas Eros mengernyit lalu menarik lenganku. "Kita makan ya? Kamu mau makan apa?" Laki-laki itu kembali tersenyum. "Es krim." "Dasar bocah. Tiap sedih masih saja makan es krim." "Kok tahu?" Aku balik tanya. Sampai sedewasa ini aku memang masih sering beli es krim atau coklat tiap kali galau, pusing ataupun sakit hati. Aku pun heran kenapa Mas Eros bisa tahu aku sering melakukannya hingga detik ini. "Aku sering memperhatikanmu sejak setahun lalu." Jawabannya membuatku tersedak seketika. Aku mengernyit, sementara Mas Eros kembali terkekeh melihat ekspresiku. "Tunggu sini. Aku belikan es krim." Tak menolak, aku pun mengikuti perintahnya. Duduk di kursi yang sudah disediakan lalu membuka beberapa pesan dari Hana. Dia
"Kasihan sekali kamu ya, Nin. Punya suami, tapi dia lebih memperhatikan mantan dibandingkan istrinya sendiri. Saat kesepian, istrinya terpaksa jalan sama ipar. Dia pikir bakal Bersenang-senang eh ternyata justru ditinggal sendirian. Seharusnya kamu sadar diri sih, Nin. Mungkin kamu memang terlalu membosankan, makanya nggak ada lelaki yang nyaman ngajak kamu jalan-jalan. Bahkan suamimu sendiri," ucap Fika sembari memainkan rambut curly-nya. Tanpa permisi, perempuan itu duduk di sampingku begitu saja. Aku masih cuek dan pura-pura tak mendengar ucapannya. Sengaja, supaya dia makin meradang dan kesal melihatku tak menggubris kehadirannya. Detik ini aku masih asyik menikmati es krim yang tinggal separo. "Lihat ini. Dua paper bag berisi dress, sepatu dan make up. Kamu tahu semua ini dari siapa?" tanya Fika dengan suara dan sikap yang sengaja dibuat-buat membuatku sedikit geli bercampur muak. Aku sengaja tak menjawab dan masih tetap cuek."Semua ini dari Mas Eris loh, Nin. Dia memang seper
Saat ini, entah mengapa rasanya hatiku cukup tenang dan lega. Setidaknya aku bisa membalas perlakuan perempuan itu yang selalu merasa lebih dan lebih dibandingkan aku selama ini. Turun dari motor Mas Eros, aku buru-buru mengambil dua surat yang tergeletak di samping gerbang. Beruntung ibu dan bapak belum pulang dari hajatan di rumah temannya, begitupula dengan Mas Eris yang kupastikan masih berusaha menenangkan mantan istrinya yang tengah terbakar emosi. Jadi, aku yang lebih dulu menemukan surat itu."Surat apa itu, Nin?" Mas Eros melirik dua surat yang baru saja kumasukkan ke dalam tas. Aku hanya membalas dengan senyum tipis."Surat nggak penting kok, Mas." Laki-laki itu kembali mengernyit. "Yakin nggak penting?" "Nggak." Aku membalas singkat lalu meninggalkannya di teras rumah. "Nin, kado buat ibu dan bapak kamu yang bawa." Mas Eros mengacungkan kado bermotif batik itu saat aku membalikkan badan."Kok aku yang bawa, Mas. Kamu kan yang beli kadonya. Kalau aku yang ngasih, ibu pas